Tentang Mimpi, Pilihan dan Konsekuensi*

“Dia bilang, ‘I have no choice. This is my dream.’”

Itulah yang diucapkan seorang teman kemarin, dalam konversasi singkat sambil menyantap nasi-perkedel, ketika ia bercerita tentang seseorang yang kebablasan ngoyo dalam mewujudkan impian sampai rela menempuh segala macam cara, termasuk yang ‘tidak wajar’.

Saya mengerutkan kening. “No choice?”

Teman saya mengangguk. “Dia bilang gitu. Katanya, cuma itu satu-satunya jalan untuk mendapatkan mimpinya. Tau, lah. Anaknya emang keras, sih…”

Kami meneruskan makan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Tidak punya pilihan? Itu hal baru bagi saya, yang selalu mempercayai bahwa hidup ini terdiri dari pilihan dan kesempatan untuk memilih – lengkap dengan segala resiko dan konsekuensinya. Bahkan anak sekecil Alex sudah belajar tentang itu dalam usia yang sangat dini.

Gara-gara ketakutannya pada pesawat, berkali-kali si kecil harus ‘pasrah’ ditinggal Mommy dan Daddy keluar kota selama berhari-hari. Untuk alasan yang tidak jelas, Alex sangat emoh diajak naik pesawat. Jangan coba-coba membujuknya dengan rayuan apapun. Ia bahkan pernah ‘ngamuk’ di bandara sesaat sebelum boarding dan menggigit bahu Ncus sampai jadi tontonan orang.

Berkali-kali diajak Mommy dan Daddy plesiran *halah* keluar kota, berkali-kali juga si kecil menolak, meski ia tahu konsekuensinya adalah tidak bisa bobo bersama Mommy, tidak bisa dikeloni Daddy, tidak bisa bermain bersama mereka, tidak bisa bermanja-manja, dan segudang ‘tidak bisa’ lainnya. Still, tiap kali diancamdiingatkan tentang berbagai konsekuensi itu, ia kekeuh menolak.

Saya pernah meneteskan airmata ketika suatu malam Alex terbangun dan menangis hebat karena tidak menemukan Mommy dan Daddy. Ia ngotot ingin masuk ke kamar mereka, dan ketika melihat tempat tidur yang kosong, tangisnya makin bertambah hebat. Saya hanya bisa mengelus punggung kecilnya yang berguncang-guncang (sementara airmata dan ingus berlelehan di wajah mungilnya yang memerah). Saya berbisik, “Alex kemarin diajak Mommy kan nggak mau, jadi Alex ditinggal. Sekarang kita tunggu aja, lusa Mommy sama Daddy pulang. Lain kali kalau Alex diajak, Alex harus nurut…”

Ajaib, tangisnya berhenti dan ia kembali terlelap. Saya memandanginya sampai ikut tertidur. Sekejap, hati saya mencelos. Bocah sekecil itu sudah belajar menjalani konsekuensi dari sebuah pilihan.

Seminggu lalu, out of nowhere, saya tergoda keinginan nggak pakai mikir impulsif untuk ‘hidup mandiri’. Setelah menghubungi seorang teman yang kos di daerah Tangerang dan memastikan ada sebuah kamar kosong di sana, plus melakukan kalkulasi seadanya (sekadar memastikan saya tidak akan terlunta-lunta, minimal gaji cukup untuk hidup selama sebulan), saya mengepak pakaian.

Ketika tahu bahwa saya akan menempati sebuah kamar tanpa AC dan hanya berbekal kipas angin pinjaman, adik saya sempat nyeletuk, “Paling juga langsung sakit!”. Saya hanya menanggapi dengan cengar-cengir.

Dan terbuktilah bahwa selama 24 tahun saya sudah menjadi anak manja yang terbiasa dengan kehidupan serba nyaman. 4 hari kos, entah berapa kali saya memaki-maki (dalam hati) atas semua ketidaknyamanan yang saya rasakan, yang akhirnya bikin saya malu sendiri karena terlalu aleman: Duoooh, biasa aja kaleee Jen…

Tapi, lepas dari semuanya, saya sangat menikmati efek keputusan ini. Saya yang terbiasa pulang kerja-masuk kamar-menyalakan AC-mandi air hangat-nongkrong di depan komputer kini merasakan ngejogrok di pinggir jalan menunggui tukang mie tek-tek, nyasar di gang yang gelap pukul 10 malam, menahan mulut untuk tidak jerit-jerit melihat laci dirubung semut merah yang menyerbu persediaan makanan instan saya, terkunci di depan kamar sendiri dengan dodolnya, berkali-kali ketinggalan barang, berpeluh-ria mengejar angkot saat bangun kesiangan, hidup super-irit ala anak kos sejati *tsaelah*, dan banyak lagi (yang kalau diteruskan bakal semakin membongkar aib, hahaha!).

Tapi semua itu terbayar ketika saya membuka pintu kos-kosan dan mendengar suara tawa teman yang sedang asyik menonton Extravaganza. Kekesalan menghadapi cucian berember-ember menguap begitu saja saat mencium aroma tempe goreng dan percakapan teman-teman yang sedang memasak di dapur. Rasa jengkel gara-gara invasi semut merah lenyap seketika saat bergabung di depan TV untuk melihat babak workshop Indonesian Idol (yang dulu mah boro-boro saya ikuti). Sebal gara-gara udara panas yang membuat keringat terus-terusan mengalir langsung sirna begitu tubuh tersiram air keran yang sejuk. Kembung di pagi hari akibat terpapar kipas angin seperti tidak ada artinya ketika mendengar teman kos jebar-jebur di kamar mandi sambil bernyanyi-nyanyi riang. Seluruh penat hilang ketika saya berdiri di balkon, tepat di depan kamar, ngadem sambil memperhatikan atap rumah tetangga dan menatap langit malam yang tidak pernah berbintang.

Mendadak saya merasa ‘bebas’. Hidup ini milik saya seutuhnya, dan apapun pilihan yang saya buat akan menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya, lengkap dengan segala konsekuensinya.

Saya memilih untuk tidak melihat konsekuensi sebagai ‘akibat’ dari keputusan yang ‘harus’ saya jalani, melainkan memandangnya sebagai sebuah pembelajaran. Sama seperti ketika saya mengejar mimpi-mimpi saya dan menemui begitu banyak kegagalan. Saya memilih untuk tetap berjalan. Saya memilih untuk bangkit dan terus mencoba. Saya menolak untuk dikalahkan oleh rasa jenuh dan putus asa. Saya menolak untuk berhenti ketika menghadapi tembok. Saya berjalan memutar. Saya mendaki. Saya memanjat.

Dalam saat-saat paling sukar dimana saya merasa tidak ada gunanya meneruskan perjalanan, impian-impian itu menopang semangat saya – menuangkan bensin pada nyala api yang mulai redup. Saat saya mulai mempertanyakan keputusan yang saya buat, saya diingatkan bahwa tidak ada gunanya menyesali sebuah pilihan, karena hidup diciptakan untuk terus dijalani; ke depan, bukan ke belakang. Saat saya merasa kehabisan energi untuk terus melangkah, saya membuka kembali lembaran-lembaran mimpi yang tersimpan rapi di dasar hati dan menemukan tenaga untuk kembali berjalan.

Sederhana saja. Saya memilih untuk bertahan.

Saya selalu percaya pada kekuatan mimpi. Mimpi yang ‘menghidupkan’ saya. Mimpi yang memberi makna dalam tiap jengkal langkah saya. Mimpi yang menyediakan masa depan dan menyalakan sinar dalam malam-malam tergelap saya. Saya tidak akan berhenti bermimpi, dan saya tidak akan jera mengejar mimpi-mimpi itu sambil terus berharap pada Sang Pemilik Kehidupan yang berkuasa mewujudkan setiap impian — menurut cara-Nya sendiri.

Saya selalu percaya Ia akan memeluk setiap harapan, dan karenanya saya tidak pernah takut untuk bermimpi. Saya selalu yakin, Ia yang berkuasa menilik hati setiap manusia, yang telah memberi kekuatan pada kaki-kaki saya, juga akan membukakan jalan ketika saya terus menapak dengan hati yang senantiasa terbuka untuk belajar dari kesalahan serta mengisi hidup dengan rasa syukur.

—–

Saya bersuara pelan. “Mimpi memang bisa ngasih arti di hidup kita, tapi ngeri banget kalau mimpi sampai bikin kita jadi ‘buta’ dan nggak sanggup ngeliat konsekuensi di depan.”

“Atau punya ambisi berlebihan,” teman saya menimpali. Lagi-lagi kami membisu, melanjutkan makan siang dengan benak mengembara.

Tidak punya pilihan? Bukankah tindakan menjalani hidup yang tanpa pilihan itu juga sebuah keputusan?

Entri ini hanya ditulis dari sebuah percakapan singkat saat makan siang. Kontemplatif? Mungkin tidak. Sok bijak? Sepertinya. Menggurui? Mudah-mudahan tidak.

Mungkin yang saya tulis ini tidak ada artinya untuk sebagian orang, bahkan nggak jelas ujung pangkalnya. Tapi, bagi artis muda cantik nan berbakat seseorang yang sedang mengejar mimpi untuk berjaya di dunia internasional dengan cara memperpanjang kaki dan menggunakan tulang artifisial sepanjang 15 senti demi menambah tinggi badan (dengan resiko osteoporosis dini, kelumpuhan setelah 1 dekade, plus pantang berolahraga), mudah-mudahan tulisan ini akan punya arti.

Semoga. 😉

*Entri pertama yang saya tulis di ‘rumah baru’, pukul 1 malam, dengan jendela terbuka sambil mendengarkan rintik hujan.. yes, nggak penting ;-D

Zebra, Jajan dan Sebuah Pelajaran

Iya, jajan.

Bukan sekali-dua kali saya dibilang ‘perut naga’, lantaran kebiasaan yang sudah mendarah daging ini. Hidup untuk makan, atau makan untuk hidup? Saya mah nggak pusing dengan pertanyaan itu, karena saya hidup untuk JAJAN. Hehehe.

Jajan itu nikmat, bos. Teman-teman sekantor sudah hafal dengan kebiasaan saya yang sering menyelinap keluar pada jam kerja *uuups* untuk mampir ke toko buah di ruko sebelah (yang juga menjual snack dan es krim), sekadar untuk membeli cemilan.

*Eh, by the way, sebagai karyawan yang baik budi, saya tahu diri untuk tidak kabur lebih dari 10 menit, lho. :-D*

Sekali lagi, jajan itu nikmat, Jendral. Nggak tahu ya kalau orang lain, tapi saya sering sekali menyetok makanan di kantor, di rumah, bahkan di tas, saking sukanya jajan.

—–

Kemarin, Alex merengek minta diperlihatkan foto ketika wisata ke Taman Safari. Dia sangat suka gambar binatang, dan selembar foto patung zebra segera menarik perhatiannya. Berulangkali dia memperhatikan foto itu sambil berceloteh sendiri.

Merasa dapat ide jenius, saya mengeluarkan sebungkus Astor.

“Liat nih Auntie punya COKELAT ZEBRA!!!”

(Go on, laugh.. ;-D)

Benar saja. Dalam sekejap dia langsung terfokus pada bungkusan merah itu dengan raut ingin. Awalnya saya ragu, karena anak ini tidak terlalu suka makanan manis. Tapi, setelah mencicipi, ternyata Alex malah minta tambah.

Di ruangan sebelah, Daddy dan Mommy-nya sedang berdiskusi dengan 2 orang tamu. Sejak dulu, Alex selalu diajar: “Kalau Daddy dan Mommy lagi meeting, nggak boleh ganggu.” Jadilah dia bermain hanya ditemani Ncus dan teddy bear.

Ketika sedang mengunyah Astor ketiga, tiba-tiba Mommy menjenguk dari balik pintu. Spontan si kecil melonjak girang dan menghambur ke pelukannya.

“Awek mamam zebwa!” lapornya dengan mata berbinar-binar. Tangan kanannya terulur bangga, memamerkan ‘cokelat zebra’.

Sebatang Astor berpindah ke mulut Mommy. Alex memang suka memberi dan tidak pelit (walaupun mood-nya sangat menentukan, hihihi). Tidak lama kemudian, sang Mommy kembali meeting bersama tamu-tamunya.

Astor keempat kini sudah di tangan, tapi Alex tidak mau melahapnya.

“Buat Daddy,” katanya. Dan batangan cokelat bergaris-garis itu tetap digenggam, sama sekali tidak dimakan.

Kami bermain lagi, tapi gerakan Alex tidak leluasa karena tangannya terus memegang Astor. Sesekali si kecil berlari ke luar untuk mengintip Mommy dan Daddy, yang terus berbincang serius. Lalu dia kembali meneruskan permainan dengan Astor di genggaman.

“Buat Daddy,” ulangnya. Dia bahkan tidak mau menitipkannya pada Ncus.

“Alex makan aja,” saya cengar-cengir geli. “Nanti Auntie kasih yang baru untuk Daddy, kalau meeting-nya udah kelar.”

“Ga mau,” tolak Alex. “Buat Daddy.”

Berulangkali dia melirik makanan itu, tapi tidak digigitnya. Saya dan si Ncus saling berpandangan. Kira-kira tahan berapa lama?

Alex terus saja bermain. Tangan kanannya yang menggenggam Astor tidak bisa digunakan, tapi dia tidak peduli. Semua dilakukan dengan tangan kiri. Justru saya dan si Ncus yang geregetan melihat tingkahnya. Ribet bo.

“Alex makan dulu aja itu Astor-nya, biar nggak susah mainnya,” bujuk Ncus.

Alex menggeleng. “Buat Daddy,” katanya kekeuh. Dia kembali beranjak ke ruang sebelah, mengintip Daddy yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan selesai meeting, dan bermain lagi dengan satu tangan.

Meeting itu selesai berjam-jam kemudian, saat Alex sudah berganti baju tidur dan siap terbang ke pulau mimpi. Dia sudah lupa pada Astor-nya. Makanan itu sudah tidak karuan rupanya, karena Astor cepat melempem jika terlalu lama terpapar udara.

Daddy tidak jadi mendapat cokelat zebra, tapi matanya berbinar ketika diberitahu bahwa bocah semata wayangnya rela tidak makan Astor demi membaginya dengan sang ayah. Sebagai ganti Astor yang tidak jadi diberikan, Alex mendapat pelukan dan ciuman sayang dari Daddy.

🙂

Hari itu saya kembali belajar, bahwa kasih sayang bisa mengalahkan rasa egois dan keinginan yang berpusat pada diri sendiri. Menginginkan sesuatu untuk diri sendiri bukan hal yang salah, namun keinginan itu menjadi lebih indah bila dibagi dengan orang yang dicintai. Memberi –bahkan berkorban—menjadi tidak sulit untuk dilakukan bila dilandasi dengan hati yang penuh cinta. Alex telah membuktikan itu dengan caranya sendiri.

Ah, Alex. Kemarin saya belajar dari seorang remaja. Sekarang saya belajar dari bocah berumur 2 tahun.

Tapi, bukankah kehidupan memang sebuah proses belajar? 😉

"Titip ya, Kak."

Kali pertama (dan terakhir) saya bertemu dengannya adalah dalam bis antar kota jurusan Sukabumi-Jakarta.

Setelah dengan cakepnya ketinggalan travel, saya memilih untuk pulang naik bis. Ternyata angkutan umum itu penuh. Saya salah satu yang beruntung mendapatkan kursi terakhir. Beberapa penumpang terpaksa berdiri. Tukang jualan hilir-mudik di sepanjang lorong bis yang sempit, mengundang makian dari beberapa penumpang yang tersenggol atau terinjak, sementara asap rokok tidak berhenti menguar bagai kabut tebal. Belum lagi pengamen yang tidak berhenti naik-turun dengan penuh semangat. Tidak ada AC, jendela pun sulit dibuka. Lagipula, gerimis di luar membuat beberapa orang yang berdiri protes ketika kaca jendela digeser. Kena tampias, katanya.

Saya memangku tas berisi pakaian dan postman bag, memeluknya erat-erat dengan paranoia berlebihan. Jujur, rasanya agak gimanaa gitu. Saya yang terbiasa manja dengan kenyamanan mobil travel, mendadak merasa risih.

“Jam berapa, Kak?” pertanyaan itu membuat saya menoleh.

“9 kurang 10.” jawab saya kepada gadis berpostur imut dengan rambut pendek yang duduk berselang 1 kursi dari saya.

Ia beringsut dari tempat duduknya. “Titip tas ya, Kak. Pengen pipis,” katanya polos. Saya cuma mengangguk.

Tidak lama setelah ia kembali, seorang laki-laki setengah baya masuk dan duduk di antara kami. Mengingat sempitnya bangku yang saya duduki, saya sempat berpikir untuk meletakkan tas di rak atas kursi. Tapi niat itu gagal, karena tas saya terlalu gendut untuk dijejalkan di situ. Sama sekali tidak muat.

Udara panas mulai membuat saya gerah. Teriakan-teriakan pedagang asongan dan pekatnya asap rokok membuat saya menghela nafas. Ini bakal jadi perjalanan yang tidak menyenangkan.

Pengamen selesai mendendangkan lagu. Kantong bekas permen mulai diedarkan. Saya ingat ada beberapa lembar ribuan di dompet, tapi dompet itu ada dalam postman bag (di dalam kantung ber-retsluiting pula) yang sedang saya dekap erat-erat di celah sempit antara perut saya dan tas pakaian.

Ah, bodo deh.

Saya hanya menjawab sodoran kantung permen dengan gelengan.

Si gadis rambut pendek membungkuk-bungkuk, merogoh tas yang ditaruh di lantai bis sebagai pijakan kaki. Tidak lama, sekeping ratusan berpindah tangan.

“TAHU, TAHU, TAHU! Lima sarebu, masih anget!!!”
“KACANG! KACANG REBUS!”
“PERMEN, TISU, ROKOK! Aqua-nya, Neng?”

Saya kembali menggeleng.

“Buat di jalan? Kalo haus?”

“Nggak, Bang.” Saya mulai menyesali keputusan untuk duduk di pinggir. Sudah beberapa kali peti asongan menyerempet kepala saya, dan entah berapa kali kaki saya terinjak pedagang-pedagang slebor.

“Tisunya, Neng? Permen buat di jalan?”

“NGGAK.”

Saya memejamkan mata, berusaha tidur.

“SELAMAT PAGI BAPAK-IBU SEKALIAN, SENANG JUMPA DENGAN ANDA SEMUA, IZINKAN KAMI MENGHIBUR ANDA DENGAN TEMBANG-TEMBANG MERDU…”

D-A-R-N. This is going to be a long day.

Saya adalah tukang tidur, terutama dalam kendaraan yang sedang bergerak. Saya bahkan biasa tidur pulas di angkot (yang menurut teman-teman saya berbahaya, which is true, hahaha!). Di mobil, angkot, taksi, travel, ojek (!), saya selalu terlelap dengan mudahnya. Tapi hari ini adalah pengecualian.

Lagi-lagi saya menampik ketika kantung uang diedarkan, meski dompet saya ada di balik kain hijau penutup tas. Males, males, males.

Saya melirik ke samping. Si gadis berambut pendek kembali membungkuk-bungkuk, meraih ransel di bawah kaki. Kali ini dua keping ratusan berpindah tangan.

Dan itulah yang terjadi selama sisa perjalanan. Sekali waktu, saya ingat bahwa saya masih punya uang ribuan dalam saku celana dan memberikannya untuk seorang pengamen bersuara merdu. Tapi cuma itu. Si gadis berulang kali merogoh tasnya dan mengeluarkan beberapa keping rupiah untuk SETIAP pengamen yang naik ke bis. Semua pengamen dikasih!

Hebat, batin saya. Saya, tanpa alasan yang benar-benar spesifik, tiba-tiba merasa salut padanya. Entah kenapa. Mungkin karena keikhlasannya memberi. Mungkin karena kerelaannya mengulurkan rupiah demi rupiah, sementara ia sendiri hanya berbalut sehelai kaus hitam lusuh dan ransel merah kotor. Mungkin karena nurani saya ikut terketuk oleh tindakannya memberi tanpa terhalang kepapaan.

Tiba-tiba saya merasa sejuk, meski udara panas semakin menggigit.

Bis berhenti sejenak di halte Grogol. Lelaki yang duduk di antara saya dan si gadis beranjak turun. Dengan lega kami menggeser tubuh agar lebih leluasa duduk.

Pengamen terakhir meloncat naik: 3 orang bocah berumur sekitar 8 sampai 4 tahun yang membawa kecrekan dan amplop-amplop putih. Saya tersenyum geli. Mengamati tingkah mereka jauh lebih menghibur daripada mendengar nyanyiannya, karena suara mereka …sumpah fals, bo.

Tapi mereka lucu dan menggemaskan. Beda dengan anak jalanan yang sering saya jumpai, ketiga bocah ini justru asyik bercanda dan tertawa-tawa ribut.

Saya mengambil dompet dan baru mengeluarkan selembar rupiah, ketika siku saya disenggol.

Si gadis menyodorkan uang seribuan kepada saya. “Titip ya, Kak,” ucapnya sambil menunjuk amplop putih yang saya pegang.

Saya memasukkan uang ke dalam amplop dan memberikannya kepada bocah yang paling besar. Lalu saya berpaling pada si gadis yang sudah asyik memperhatikan kendaraan di luar jendela.

Penasaran, saya mengajaknya ngobrol. Ternyata ia gadis yang supel dan tidak segan-segan bertanya balik. Ia bekerja di Sukabumi dan sedang dalam perjalanan pulang ke Pandeglang, Banten.

“Sampe sananya bisa malem, Kak. Lumayan jauh,” ungkapnya. Saya manggut-manggut sambil nyengir.

Ingatan saya cukup payah. Saya memiliki kapasitas otak yang sangat terbatas untuk mengingat nama orang. Jangankan nama, wajah aja suka nggak hafal. Bahkan setelah ngobrol cukup panjang, sampai detik ini saya tidak bisa mengingat namanya.

Yang saya ingat hanya jawaban terakhir yang diberikannya sebelum kami berpisah di terminal. Didorong penasaran, saya bertanya apa pekerjaannya di Sukabumi. Dugaan saya, dia bekerja di pabrik atau toko.

Ia memandangi saya dengan polos. Rambutnya kusut dan kelelahan membayang di matanya, tapi dia tetap tersenyum.

“Saya pembantu rumah tangga, Kak.”

I Love You!

Untuk cinta yang tanpa syarat, 24/7: I love you.

Untuk sepasang mata yang selalu bersinar lembut saat tatapan kita bertemu: I love you.

Untuk tidak pernah lupa menelepon, “Udah makan belum? Jangan lupa makan teratur, jangan kecapean kerjanya”: I love you.

Untuk obrolan-obrolan santai di dalam mobil, waktu kita berkendara menyusuri jalan tol yang lengang pada Minggu pagi atau Minggu malam: I love you.

Untuk curhat-curhatnya yang membuat saya merasa ‘penting’ dan dipercaya: I love you.

Untuk bercandaan yang garing tapi tetap kocak: I love you.

Untuk mendukung setiap pilihan yang saya jalani dalam hidup: I love you.

Untuk selalu ada bagi saya, kapan pun, dimana pun: I love you.

Untuk petuah-petuah berharga yang tidak menggurui: I love you.

Untuk nasehat-nasehat bijaksana yang tidak pernah membosankan didengar berulang kali: I love you.

Untuk memberi teladan lewat tindakan dan perbuatan, bukan kata-kata belaka: I love you.

Untuk ketekunan dan ketabahan yang membuat saya semakin mengerti makna bersyukur: I love you.

Untuk setiap tetes keringat dan tekad yang selalu saya kagumi: I love you.

Untuk kerelaannya berkorban tanpa pernah mengharap pamrih: I love you.

Untuk senantiasa menekankan bahwa yang terpenting bukanlah apa yang kita miliki, melainkan bagaimana cara kita menjalani hidup: I love you.

Untuk tetap bertahan menghadapi saya dalam masa-masa sukar dimana saya menjelma jadi perempuan paling menyebalkan sedunia: I love you.

Untuk menjadi diri sendiri; sosok yang selalu membuat saya merasa nyaman dan dicintai apa adanya: I love you.

Untuk menempatkan saya sebagai prioritas, dalam hati dan kehidupan: I love you.

Untuk mengajarkan bahwa yang terpenting bukanlah pertalian darah, melainkan cinta yang dipilin dengan ketulusan tanpa pernah mementingkan diri sendiri: I love you.

Untuk setiap helai uban dan kerut di wajah yang bertambah seiring usiamu, yang menandakan betapa lamanya kita telah bersama dan saling menyayangi: I love you.

Thank you for making me the luckiest girl on earth, Dad. I will always, always be so much proud of you.

*Terinspirasi sebuah percakapan di Minggu malam saat menyusuri tol berdua dengan Ayah, dan sebuah entri di blog ini. 😉

Tentang Dave

Namanya Dave. Umurnya 2 tahun, tapi badannya yang mungil sempat membuat saya mengira bahwa dia baru berusia setahun lebih.

Dia tidak menjawab ketika saya menanyakan namanya. Dia hanya menyambut uluran tangan saya sambil tersipu-sipu. Kuku-kukunya mencakar telapak saya saat dia mengepalkan jemari dalam genggaman saya.

Saya mengajaknya bermain. Dave lari menjauh dan bersembunyi di belakang kereta bayi. Tapi saya tahu, dia tidak takut. Cuma malu. Kepalanya berulang kali menyembul dari balik kereta, mengintip saya dengan raut penasaran.

Saya mengambil wadah mainan dan menumpahkan aneka binatang plastik di atas karpet. Harimau, buaya, beruang, singa (belakangan baru nyadar, kok semuanya binatang buas ya? Hehehe). Saya mulai bermain sendirian. Mengadu harimau dengan beruang. Menjejerkan buaya, singa dan beruang dalam 1 barisan. Memasangkan masing-masing binatang sesuai dengan jenisnya.

Dave keluar dari balik kereta bayi. Dia berlari kecil dan duduk di samping saya. Detik berikutnya kami sudah asyik bermain. Lalu saya mulai membuat wajah-wajah lucu. Dave tersenyum, menggemaskan. Saya menggodanya. Dia lari menjauh, lalu kembali mendekati saya. Begitu terus.

Saya menjadi akrab dengan bocah berambut hitam tebal itu. Dia tidak menolak saya gendong, bahkan sesekali dia menghampiri saya dan minta dipangku. Setiap kali kami berpapasan, dia selalu tersenyum.

Dave mengikuti langkah-langkah saya, mengejar saya dengan kaki-kaki mungilnya, tertawa gembira ketika saya mencandainya, dan mendekati saya untuk disayang. Namun yang paling menyentuh adalah ketika saya berjongkok dan mengembangkan tangan ke arahnya. Dave berlari dan menyurukkan tubuhnya ke dalam pelukan saya, lalu bersandar dengan nyaman di sana.

Terus seperti itu, berulang-ulang. Dave mengikuti saya, dan saya menggodanya sampai kami berlari-larian. Ketika saya berjongkok sambil mengembangkan tangan, dia akan berlari secepat kedua kakinya dapat membawanya dan menghempaskan diri dalam rengkuhan saya.

Mata beningnya menatap saya lekat-lekat. Rasanya saya tak ingin melepaskan tubuh mungil itu. Bahkan tidak ketika Mama-Papanya mendekat hendak mengajaknya pulang. Sepasang mata bening yang selalu bersinar itu telah mengajari saya. Mengingatkan saya arti bahagia.

Senyum lebar Dave membuat saya tak rela melepasnya pulang. Senyum yang menampilkan geligi putih bersih itu telah mengingatkan saya akan makna bersyukur, yang begitu sering saya lupakan. Mengingatkan saya untuk berterima kasih –tanpa perlu melalui bahasa verbal— kepada Sang Pencipta atas setiap nikmat yang disodorkan kehidupan, meski hidup itu sendiri seringkali tak sesempurna yang didambakan.

Lengan-lengan mungil yang memeluk tubuh saya telah mengajari saya arti cinta. Mengingatkan saya untuk senantiasa mencintai tanpa syarat, dan mempercayai tanpa prasangka.

Langkah-langkah kecil Dave telah mengajari saya untuk memandang hidup dengan optimis. Bahwa hidup harus selalu dijalani dengan positif. Bahwa tidak peduli kesulitan apapun yang menjelang, semua pasti bisa diatasi dengan mata yang terus tertuju ke depan. Bahwa selama kita masih bisa terus berharap, langkah-langkah kita tak perlu mati.

Dia tak mungkin mengerti. Dave masih terlalu kecil untuk memahami bahwa dia telah mengajarkan saya begitu banyak hal hanya dalam beberapa jam. Mungkin dia akan melupakan saya sehari setelah pertemuan kami. Mungkin kami tak akan berjumpa lagi setelah ini.

Apapun itu, saya bersyukur sudah bertemu dengannya – bocah kecil yang telah mengajari saya lebih banyak dari yang dia sadari.

Namanya Dave. Umurnya 2 tahun. Dia sama cerianya dengan anak-anak lain sebayanya. Ketika dia merosot turun dari gendongan dan menjejak bumi dengan tapak-tapak mungil bersalut senyum ceria, tak akan ada yang menduga bahwa dia tuli sejak lahir.