Tuhanku

Kau datang padaku dan bertanya,
Apakah kau percaya Tuhan?

Tentu.
Sudah terlalu banyak kualami untuk berkata tak ada tuhan
Ia bagiku senyata embusan napas dan senyaring suaramu.

Tuhanku tak punya nabi dan rasul untuk menyampaikan pesan
Ia tak butuh sekelompok orang untuk membelanya
Dan tak merasa perlu mendirikan kerajaan di muka Bumi.

Tuhanku mencintai tanpa syarat dan tak pandang rupa
Ia tak mengenal benci dan umatnya tak perlu berjuang menyatukan perbedaan
Karena perbedaan diciptakannya untuk memberi warna dunia.

Tuhanku kutemui di mana-mana, setiap hari
Tanpa perlu kuinjak tempat ibadah, tanpa kubuka kitab suci.

Tuhanku tak minta kau percaya padanya dan tak mesti disanjung
Ia hanya ada dan cuma itu yang perlu kutahu.

Kau tanya padaku,
Apakah kau percaya Tuhan?

Tentu.
Namun barangkali
Kita tak sedang membicarakan Tuhan yang sama.

Jakarta, Januari 2011. Diiringi sebuah doa, agar tak perlu lagi darah tumpah karena Tuhanku dan Tuhanmu tak sama.

Natal, Kata dan Cinta

24 Desember 2010.

Saya duduk dengan seorang sahabat di dalam restoran yang mulai temaram. Lampu-dimatikan satu persatu, kursi-kursi disusun di atas meja—pengusiran secara halus. Namun kami bergeming. Ia dengan sebatang rokok, saya dengan suapan nasi dan kuah hangat.

Entah siapa yang mengawali, kami mulai saling bertutur. Tentang bersyukur. Tentang belajar. Tentang hidup yang selalu punya 1001 macam cara untuk memberi, mengingatkan, mengajarkan. Dan pembicaraan di ruang temaram itu menghasilkan kesimpulan yang sama: selalu ada banyak hal dalam hidup yang bisa disyukuri, tak peduli situasi yang sedang dihadapi. Selalu ada banyak hal yang bisa mengingatkan betapa hidup tak melulu terdiri dari pencobaan—bahwa hidup sebenarnya indah.

Asap rokok menari-nari di udara. Saya menyeruput sisa kaldu ayam. Saya harus bergegas. Empatpuluhlima menit lagi kebaktian Natal dimulai.

Saya duduk sendiri di ujung barisan, dalam ruangan besar yang dingin luar biasa. Kedua kaki saya gemetar. Namun denting piano yang memainkan lagu-lagu Natal lambat laun menghilangkan perasaan tidak nyaman.

Melewatkan malam di gereja bukanlah kebiasaan saya. Baru kali ini saya menghadiri kebaktian Natal yang diselenggarakan pada malam tanggal 24, namun entah bagaimana, semua terasa… tepat.

Kebaktian dimulai. Lagu-lagu dinyanyikan. Saya ikut bernyanyi, perlahan. Dan tiba-tiba, seluruh beban di hati saya seakan terangkat begitu saja. Bukan peristiwa ilahi. Bukan juga mujizat Natal. Tidak ada malaikat menampakkan diri, dan saya tidak sedang mabuk anggur Perjamuan.

Apa ini?

Lamat-lamat, saya mencoba mencerna apa yang terjadi. Hingga jawaban itu datang.

Saya sedang memaafkan.

Betul, memaafkan.

Saya tercenung sendiri ketika jawaban itu muncul di benak saya.

Memaafkan? Memaafkan siapa?

Entahlah. Yang saya tahu hanya, hati saya membuka lebar dan malam ini ia melepaskan semua yang menyumbatnya satu tahun terakhir. Segala sedih. Segala kecewa. Segala gundah. Segala khawatir. Segala gembira. Segala bahagia. Segala senang. Semua dilepasnya tanpa kecuali.

Berbagai nama dan wajah muncul di benak saya, silih berganti, sebelum saya sadar, saya tidak sedang memaafkan orang lain. Saya sedang memaafkan hidup. Memaafkan setiap hal yang dihantarkannya kepada saya setahun terakhir, kadang melalui orang-orang yang saya kenal, kadang melalui peristiwa yang terjadi begitu saja, yang tidak saya sukai, yang mengecewakan, yang membuat saya terluka. Dan akhirnya saya sadar, saya sedang memaafkan diri sendiri.

Penyadaran itu muncul dengan amat sederhana. Benak saya tak punya banyak waktu dan energi untuk menganalisa. Batin sayalah yang mencerna semuanya, dan saya tahu. Saya sedang berdamai. Dengan apa pun yang menjadi jatah saya. Dengan apa pun yang digariskan bagi saya. Suka atau duka. Senang atau susah. Sulit atau mudah.

Dua jam berlalu dengan cepat. Saya meninggalkan gereja yang baru pertama saya kunjungi itu dengan perasaan campur aduk; senang, terharu, terkejut dan setengah mati kedinginan. Sebuah santapan manis untuk menutup tahun yang akan memasuki penghujungnya tujuh hari lagi.

Kebaktian ini barangkali kebaktian terindah yang pernah saya ikuti selama tiga tahun terakhir, dan Natal ini adalah Natal paling menyentuh selama entah berapa tahun terakhir, namun keduanya bukan hal terbaik yang saya alami hari ini.

Peristiwa terbaik hari ini?

Sahabat yang mengantarkan saya ke gereja untuk mengikuti kebaktian Natal adalah seorang Muslim.

Cinta, tidak paham arti perbedaan.

—–

Gambar diambil dari sini.

Ubud, Saya dan Keberuntungan

“Kamu sangat beruntung.”

Saya tersenyum pada perempuan asal Polandia yang mengucapkan kalimat itu. Entah sudah berapa orang mengatakan hal yang sama ketika mereka mengetahui saya akan menghabiskan seminggu di resort di pinggir kota Ubud ini. Sebelumnya, Tammy, perempuan asal Thailand yang sempat tinggal dua malam di sini, mengatakan hal yang persis sama.

Saya tidak tahu apa yang membuat mereka berkata seperti itu. Faktanya, saya berada di sini hanya karena sudah terlampau penat dengan kehidupan di kota besar. Seminggu sebelum memesan tiket pesawat, saya pulang ke kamar pukul dua pagi, dengan kepala bagai dipalu dan sukar berjalan lurus—hasil dari menggelontor empat gelas minuman beralkohol sepanjang malam.

Esoknya, saya terbangun dengan kepala berdenyut. Sekujur tubuh saya lemas. Saya tergolek di tempat tidur, dan sebuah pertanyaan menghampiri saya.

Apa ini, Jen?”

Saya tidak bisa menjawabnya.

Saat itulah saya tahu. Saya harus pergi.

Saya menjelajah internet, mencari tiket murah yang bisa membawa saya ke Jawa Tengah. Yang terbayang di benak saya adalah Salatiga, kota kecil indah yang selalu saya anggap sebagai rumah kedua. Namun Merapi yang terus memuntahkan debu membuat saya mengurungkan niat.

Kota berikutnya adalah Ubud. Saya jatuh cinta pada Ubud sejak mengunjunginya pada bulan Februari 2009. Lebih dari satu setengah tahun saya merindukan tempat itu.

Saya berhasil menemukan tiket dengan harga bersahabat. Selanjutnya, penginapan. Saya tidak tahu harus menginap di mana.

Seorang kawan yang baru-baru ini pergi ke Ubud bercerita tentang sebuah resort yang membuatnya jatuh cinta. Dari resort tersebut para tamu dapat menikmati dua pemandangan sekaligus: sawah dan sungai. Saya membuka situs resort itu dan nyaris mengurungkan niat. Anggaran saya tidak memadai.

Namun tiket sudah saya dapatkan. Saya harus pergi. Saya pun menelepon Michi dan berbicara dengan wanita pengelola resort. Setelah berbincang singkat, ia memberikan harga khusus kepada saya. Bukan diskon, sebenarnya. Hanya harga kamar utuh tanpa dikenai pajak dan service charge 15%. Setelah menghitung-hitung, saya memutuskan untuk berangkat. Sendirian.

Sejujurnya, saya sendiri tidak tahu apa yang salah. Baru kali ini saya merasakan penat dan jenuh yang luar biasa selama tinggal di Jakarta. Saya lahir dan besar di sini. Adalah sesuatu yang tidak masuk akal—setelah 26 tahun menjalani semuanya dengan baik-baik saja—untuk merasa muak luar biasa pada kehidupan di metropolitan yang penuh gempita. Jakarta adalah rumah saya. Saya memiliki kehidupan yang baik, pekerjaan yang baik, dan teman-teman saya berada di sini. Apa yang salah?

Entahlah.

Yang saya tahu hanya, saya harus secepatnya pergi, atau saya akan mati pengap. Julangan gedung dan ribuan kendaraan yang bagaikan parkir di jalan selepas pulang kantor menghimpit kewarasan saya. Kehidupan yang penuh hiruk-pikuk dan hingar-bingar telah menggerogoti saya. Kebosanan teramat-sangat pada rutinitas yang saya jalani setiap hari—tanpa jeda, tanpa perbedaan—mencuri kebahagiaan saya.

Barangkali tidak ada yang salah. Barangkali memang sudah waktunya untuk pergi.

Saya tiba di Michi pada pukul 21:30 waktu setempat, setelah pesawat saya mengalami tunda terbang selama dua jam. Sesampainya di resort, saya disambut pengelola hotel dan housekeeper yang memberikan saya tur keliling sebagian wilayah resort.

Setelah memilih kamar, saya menikmati makan malam di restoran. Melihat saya sendirian, Wayan, pria paruh baya pengelola resort, menemani saya. Ia menjelaskan asal-usul dipilihnya nama Michi, filosofi yang terkandung di baliknya dan sebagainya. Di akhir percakapan, ia menawarkan diri untuk membaca telapak tangan saya.

Saya sempat risih, namun akhirnya membiarkannya mengamati telapak tangan kiri saya. Setelah mengutarakan beberapa hal tentang diri saya, ia kembali bercerita tentang Michi. Tentang aliran sungai. Tentang hidup yang hendaknya dibiarkan mengalir, ke mana pun ia mau; tanpa dibebani ambisi dan keinginan yang memberatkan. Tentang kesederhanaan. Tentang kebahagiaan. Tentang senyuman.

Mendengar Wayan bicara, entah mengapa mata saya membasah. Saya tahan agar cairan itu tidak mengumpul dan menetes. Saya tidak tahu mengapa, dan tidak ingin tahu. Yang saya tahu, saya berada di sini. Jauh dari gegap-gempita metropolitan yang menyesakkan. Itu sudah cukup.

Setelah makan, saya kembali ke kamar. Kamar saya terletak persis di atas sungai berarus deras. Saya sempat menyangka hujan lebat turun dan akhirnya sadar bahwa suara menderu itu adalah arus air.

Esok paginya, ketika saya keluar dari kamar, pemandangan indah menyambut saya. Hamparan hijau sawah dan pepohonan, air sungai yang memecah bebatuan dan hawa sejuk yang dibawa aliran deras itu menemani pagi pertama saya di Ubud. Saya melangkah ke restoran untuk sarapan. Sejumlah karyawan tersenyum menyambut kedatangan saya dan mengucapkan selamat pagi.

Sejenak, saya tercekat. Tidak terbiasa dengan keramahan itu. Bukannya saya tidak pernah menemui keramahan di kota besar, namun keramahan itu adalah keramahan yang sudah dilatih. Senyum itu adalah senyuman yang tersungging secara otomatis, karena pembeli dan pengguna adalah raja. Di resort kecil ini, semua orang menyambut saya dengan senyum lebar. Bukan senyum basa-basi, bukan pula senyum formal penyedia layanan kepada customer-nya. Ketika saya menatap mereka, mata mereka ikut tersenyum.

Pada hari kedua, saat saya sedang menikmati camilan sore sambil bekerja, seorang karyawan menghampiri saya.

“Ini jatuh kemarin…” Ia menyodorkan secarik kertas berukuran kecil. Saya mengambil kertas itu dan terbengong sesaat. Kertas putih itu adalah tiket bioskop bekas yang belum sempat saya buang. Barangkali kertas itu jatuh dari dompet ketika saya mengeluarkan uang untuk membayar makan malam saya hari sebelumnya.

Saya memperhatikan kertas itu dan secercah haru menyusupi batin saya.

Betapa remehnya. Betapa sederhananya. Betapa bermaknanya.

Setiap hari saya menikmati sarapan sambil melihat hamparan sawah, merasakan semilir angin dan mendengarkan arus sungai. Siangnya saya berkunjung ke pusat kota, mencicipi makanan di beberapa restoran yang direkomendasikan kawan dari Jakarta dan jalan-jalan tak tentu arah. Di malam hari, saya mematikan kipas angin dan tidur dengan selimut sambil mendengarkan deruan air di bawah sana. Dan esok paginya saya akan kembali bangun, keluar kamar, menarik napas dalam-dalam menghirup udara segar yang bersih, memanjakan mata dengan hamparan hijau dan kembali melangkahkan kaki ke restoran untuk sarapan.

Saya akan menjumpai senyum ramah di wajah setiap karyawan hotel. Tak jarang mereka menyapa, “Tidurnya enak semalam?” “Hari ini mau ke kota?” dan sebagainya. Dan mata mereka selalu ikut tersenyum. Wayan yang lebih banyak bekerja di lantai dua sering melongokkan kepala ketika saya melintasi kolam renang di bawah. Ia akan berseru, “Apa kabar?” dan saya akan menjawab dengan seruan pula.

Wajah-wajah tersenyum itu ada di mana-mana. Seorang karyawan perempuan bahkan menitipkan pesan, “Hati-hati di jalan, ya…” ketika saya berkata bahwa saya berniat mengunjungi kota untuk makan babi guling. Saya tertegun dan bibir saya otomatis mengembangkan senyum dan mengucapkan terima kasih, namun hangat yang merambati hati saya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Karena lokasi yang sedikit terpencil dan berada di antara hamparan sawah dan sungai, sinyal telepon genggam sering sulit didapat. Koneksi internet sering terputus, bahkan mati sama sekali, padahal telepon genggam dan internet adalah dua hal yang sangat esensial bagi saya di Jakarta. Anehnya, saya tak terlalu merasa kehilangan. Di tempat ini, setiap hari saya tersenyum.

Wanita Polandia itu menghabiskan jus semangkanya dan berpamitan. Ia datang hanya untuk melihat-lihat dan akan segera pergi ke kota lain.

“Kamu sangat beruntung.”

Saya memandangi punggungnya yang bergerak menjauh. Saya menatap seorang karyawan resort tak jauh dari kami yang berdiri dengan senyum ramahnya.

Mendadak senyuman itu terasa jauh lebih berarti ketimbang hal-hal lainnya.

Ya, saya memang beruntung.

—–

Bertanya (tentang) Cinta

Kau tanya padaku apa itu cinta.

Aku termenung
Tak sepatah pun keluar dari bibirku.

Cinta itu apa?”

Pertanyaan yang sama sudah kuulang entah berapa ribu kali kepada diriku sendiri, dan aku masih tak paham.

Adakah ia desir-desir aneh yang merambati hatimu saat kau lihat pujaanmu berdiri tak jauh darimu?

Adakah ia getar-getar geli yang membuat harimu jadi indah ketika mendengarnya menyebut namamu?

Adakah ia bahagia yang mengusikmu dan memunculkan senyum di wajahmu yang biasa kelabu?

Adakah ia air mata yang menyusuri lekuk pipimu saat rindu menyerang, pertengkaran melahirkan gundah dan perpisahan terucap?

Adakah ia semburat panas di dadamu ketika melihatnya bersama orang lain dan bahagia tanpamu?

Adakah ia amarah yang tak bisa kau jelaskan, seribu perasaan yang tak bisa kau gambarkan dan jutaan cahaya dalam matamu saat kalian bertatapan?

Adakah ia hitam, putih, warna-warni?

Kenalkah ia pada dosa, pahamkah ia akan tabu, pedulikah ia akan benar-salah?

Entahlah.

Kau jelas bertanya pada orang yang salah, karena bahkan sufi dan pujangga gagal merangkum maknanya.

Yang kutahu cuma, ia hadir sewajar hembusan udara pagi, lenyap seperti embun di siang hari, mengalir ke mana pun ia suka. Tanpa bisa diperintah. Tanpa bisa dicangkangi. Dan kita terhanyut-hanyut di dalamnya tanpa pernah berhasil merumuskan artinya.

Yang kutahu cuma, cinta tak membiarkanmu memilih jiwa. Namun kau bisa memutuskan untuk memberangusnya atau membiarkannya tumbuh, menjaganya dengan hatimu.

Dan aku tahu ia tak pernah berjanji. Bahagia, gembira, gelisah, getir, sedih, amarah, semua bisa hadir tanpa sanggup kau pilah.

Jadi, apa itu cinta?” desakmu.

Diam adalah jawabanku.
Bukan karena angkuh namun sungguh tak paham
Puluhan tahun usiaku dan aku masih gagap mendefinisikan cinta.

Namun inilah yang bisa kukatakan kepadamu:
Barangkali cinta tak perlu ditanyakan
Alamilah sendiri. Biarkan ia menjemputmu dan kau akan tahu.

Sebuah persembahan untuk sahabat yang tengah jatuh cinta—perempuan beruntung yang saya sayangi. Semoga diberkahi kebahagiaan. 🙂

—–

Gambar dipinjam dari sini.

Surat Buat Presiden

Bapak Presiden yang Terhormat,

Beberapa minggu lalu, seorang pejabat tempat ibadah mengalami luka berat akibat penusukan yang dilakukan sekelompok orang dari sebuah organisasi pembela agama. Sebelumnya, tempat ibadah yang dilarang berdiri itu sudah menjadi saksi unjuk rasa dan adu jotos kepentingan atas nama agama. Jemaat pun terguncang. Bukan saja mereka kehilangan tempat beribadah, mereka harus menyaksikan orang yang mereka hormati berlumuran darah di depan mata mereka sendiri.

Kemarin, ratusan orang dari sebuah organisasi agama menyerbu sebuah festival film. Mereka mengancam akan membakar tempat itu. Kemudian Bapak Menteri mengeluarkan pernyataan yang membuat kami terhenyak. Kegiatan itu menyimpang dari etika masyarakat, katanya. Kami pun termangu. Sejak kapan preferensi seksual seseorang menjadi tolok ukur etika dan moral masyarakat?

Hari ini, terjadi kerusuhan di Jalan Ampera. Mereka bilang, korban tewas sejauh ini sudah tiga orang. Empat luka-luka. Seorang polisi tertembak. Potongan tubuh terserak di jalan. Jalan ditutup. Kemacetan mengular. Masyarakat diperingatkan untuk menjauhi area itu.

Bapak, saya tak mengerti politik dan tak ingin tahu banyak tentang politik. Saya warga negara biasa yang sudah cukup puas dengan kehidupan yang layak dan pekerjaan yang baik. Saya yakin di negara ini banyak yang seperti itu. Politik bukan bidang kami, dan barangkali kami memang tak perlu memahaminya, karena seperti yang sering dibilang orang, politik itu bau tai. Kami lebih suka mencium aroma makanan ketimbang kotoran, maka kami serahkan ranah itu kepada orang-orang yang sudah ahli berkecimpung di dalamnya. Namun, kali ini, izinkan kami bersuara.

Bapak, kami marah bukan karena benci. Kami marah karena cinta. Cinta yang kepalang besar bagi pertiwi yang tanahnya sudah kami injak puluhan tahun, yang udaranya kami hirup setiap hari, yang hasil buminya memberi makan mulut-mulut kami.

Prihatin tak lagi cukup, Bapak. Beragam janji dan instruksi tidak lagi mampu membungkam mulut kami, karena kami sudah kenyang dengan janji. Kami lelah menunggu tanpa daya. Kami letih menonton tanpa bisa berbuat apa-apa.

Nyanyian dari bibirmu sudah kami dengarkan, Bapak. Kini kami menanti sesuatu yang lain. Yang bukan cuma bisa kami simpan dalam bentuk kepingan cakram. Yang bukan cuma bisa kami baca di internet, kami lihat di televisi, kami simak di koran, tanpa pernah menghasilkan apa-apa.

Kami tak minta banyak, Bapak. Kami hanya ingin orang yang kami pilih mampu menyediakan keamanan bagi kami. Kami ingin bisa beribadah dengan damai. Kami ingin bisa melalui jalan-jalan kota dengan tenteram. Kami ingin menikmati film dan pergi ke tempat-tempat hiburan dengan leluasa. Kami ingin bebas dari rasa takut dan teror.

Kami ingin pajak yang kami bayarkan digunakan untuk sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan pembangunan negara, karena sekalipun kami hidup berkecukupan, jutaan penduduk Indonesia belum menikmati kehidupan yang layak. Sudah cukup kami merasa pedih melihat uang hasil jerih payah kami digunakan untuk plesiran anggota dewan yang terhormat, sementara jutaan rakyat miskin makan nasi yang sudah kotor setiap hari.

Kami muak dengan kekerasan. Kami muak dengan aksi semena-mena. Kami muak melihat nama Tuhan digadaikan demi hawa nafsu segelintir orang tertentu. Kami sudah lelah mencaci dan menangis.

Bapak, tolong dengarkan kami. Lakukan sesuatu. Bertindaklah agar kami tahu orang yang kami pilih memang layak mengemban kepercayaan kami.

Kami tak minta banyak, sungguh. Jangan bilang itu terlalu sulit.

—–