Membeli Senyuman

Benda yang paling disukai Alex –putra sahabat saya yang berumur 2,5 tahun- adalah buku. Bukan mainan, bukan teddy bear, bukan bola warna-warni yang bisa bernyanyi kalau dipantulkan, bukan balon gas yang bisa membubung tinggi, juga bukan tenda kecil yang dibelikan uncle-nya sebagai hadiah Natal.

Ingin memberi hadiah untuk Alex? Ingin mencuri hatinya? Ingin membawakan oleh-oleh?

Gampang. Buku lah jawabannya. Nggak perlu yang mahal. Wong buku fotokopian yang minim gambar aja dia suka.

*Tentang gimana ceritanya Alex bisa menyukai fotokopian yang hitam-putih dan nggak jelas gambarnya itu, saya juga heran.*

Cara paling mudah untuk mendiamkan Alex saat sedang rewel? Ajak saja dia membaca. Jangan lupa tambahkan mimik wajah lucu. Dia akan terbahak-bahak sampai lupa pada rengekannya.

Cara paling mudah menidurkan Alex? Berikan sebuah buku. Dia akan memeluknya sampai tertidur (walau kadang-kadang tetap harus digendong atau dikelonin juga sih, hehehe).

Saya sangat suka memberikan hadiah buku untuk Alex. Pertama, saya paling kagok dalam pilih-memilih kado. Biasanya, jelang hari ulang tahun sahabat-sahabat saya, saya akan mengirimi mereka SMS berisi pertanyaan: Elo mau kado apa? Selanjutnya barulah saya bergerilya mencari benda yang disebutkan.

Pernah, saking bingungnya, saya memberi hadiah ulang tahun berupa voucher handphone kepada seorang sahabat yang sedang berada di luar kota. Sangat biasa dan tidak berkesan, tapi yang ada di otak saya waktu itu hanya: yang penting kepake dan berguna.

Karena Alex sangat suka buku, pilihan saya dalam mencari hadiah jadi sangat terarah. Nggak perlu susah-susah mikir beli apa, saya tinggal mampir ke Gramedia, langsung menuju rak yang khusus men-display buku anak-anak, memilih-milih sebentar (pakai feeling), bawa ke kasir, dan beres.

Alasan kedua saya hobi membelikan si kecil ini buku (sampai saya dijuluki supplier oleh ibunya Alex), karena… yah, buku adalah sarana belajar yang paling efektif dari masa ke masa, toh? Membeli buku itu artinya berinvestasi. Yea, yea… klise syekaleee. Tapi bener, kan? *wink*

Hampir seminggu ini Alex rewel karena penyakit musiman pancaroba (eh, sekarang masih pancaroba nggak sih, hitungannya?): radang tenggorokan dan pilek. Booo… kasihan banget. Anak-anak kecil adalah makhluk yang sangat menderita kalau sedang sakit. Mata berkaca-kaca (meski tidak menangis) dan tidak sebening biasanya, sorotnya redup, hidung terus mengeluarkan ingus sampai lecet karena keseringan diseka, suara bindeng, badan lemas.

Alhasil, beberapa hari ini Alex jadi sangat cranky. Lebih-lebih karena sepupunya dari Jawa Tengah (yang sedang berkunjung ke Jakarta dan memiliki hubungan love-hate dengan bocah ini hingga sering banget berantem) tidak habis-habisnya melakukan hal-hal yang memicu emosi jiwa. Yah… namanya juga anak-anak. Sebenarnya tindakan menjengkelkan itu bisa dimaklumi, tapi tidak bagi Alex yang sedang nggak enak body dan jadi super-sensitif.

Puncaknya adalah 2 hari lalu. Alex terus merengek. Tubuhnya panas, wajahnya sayu dan tidak henti-hentinya rewel. Batuk-pileknya semakin menjadi-jadi. Karena dia anak yang aktif, dia tidak betah diam di kamar. Tapi untuk bermain seperti biasa juga tidak mungkin.

Sore itu, saya masuk ke rumah Alex dan menemukannya sedang terbaring lemas di sofa, dipakaikan baju tidur oleh Ncus-nya sambil terus merengek. Matanya basah dan sembab karena kebanyakan menangis. Ingus berlelehan dari hidungnya dan dia terus terbatuk.

Saya meraba keningnya. Hangat.

Tangisan Alex semakin keras ketika si Ncus membedaki tubuhnya. Tapi dia tidak meraung atau menjerit — sepertinya sudah kehabisan tenaga.

Saya mengeluarkan sebuah buku dari balik punggung. Buku bersampul merah yang masih dibungkus plastik dan berjudul ‘Spot Goes to School’. Saya menggoyang-goyangkan buku itu di depan wajahnya.

Benar saja. Sepasang mata bulatnya segera terfokus pada cover yang eye-catching. Dalam hitungan detik, tangisnya pupus.

Saya menyerahkan buku itu ke dalam genggaman tangan-tangan mungilnya.

“Dibukanya besok pagi aja, ya. Sekarang Alex bobo dulu,” pesan saya. Dia mengangguk sambil memeluk buku barunya erat-erat.

Ncus sudah selesai memakaikan baju. Si kecil Alex kini siap tidur, ditemani buku yang masih bau toko.

Ia bersandar dengan tenang di bahu Ncus, mata sembabnya berbinar-binar memperhatikan buku baru dalam genggaman. Itulah binar pertama yang saya lihat sejak menyambangi rumahnya pagi itu.

Bibir mungilnya membuka, menampilkan sederet gigi susu yang belum sempurna.

Alex tersenyum.

Saya sudah terbiasa memberi Alex buku, sampai dijuluki ‘supplier’ oleh ibunya. Saya sudah sangat terbiasa menyambangi toko buku, langsung menuju rak yang memajang buku anak-anak, memilih-milih sebentar, dan membawanya ke kasir. Saya selalu suka mencium harum buku baru dan menyerahkannya ke pelukan Alex.

Hari ini berbeda.

Saya tidak mengeluarkan uang untuk membeli buku. Saya membeli sebuah senyuman.

Dan di tas saya masih tersimpan sebuah buku berjudul ‘Zara the Elephant’.

Setitik Embun, Semalam.

“Bisa tolong ceritakan keadaan di dalam, Bu?”
“Ya… ada keluarganya, dekat kaki Pak Harto. Ada Mbak Tutut juga, terus saya lihat Pak Moerdiono…”
“Bagaimana Ibu bisa masuk ke dalam?”
“Digilir, Mbak. Sepuluh-sepuluh. Yang pakai baju Muslim duluan, jadi saya masuk sama teman-teman pengajian.”
“Mbak sempat lihat jenazah Pak Harto?”
“Cuma sekilas, Mbak. Ndak tahan saya…”
Mata itu berkaca-kaca dan sembab, seolah merasakan pedih akibat ditinggal sanak keluarga atau sahabat terkasih.

Tangisnya tumpah semalam. Untuk sosok kaku yang terbujur dengan kain putih panjang.

Airmatanya jatuh semalam. Untuk seseorang yang bahkan tak pernah dikenalnya secara pribadi.

Dia berduka atas seseorang yang telah menuai hujat dan amarah penghuni negeri. Dan dalam doanya, dia memohonkan ampun.

Wanita berjilbab hitam itu menghela nafas. Berat.

Di depan layar kaca, saya termangu.

Siapa bilang kita tak lagi punya harapan?

Di tengah padang yang mulai meranggas ini, masih berkilau setitik embun.

Masih ada hati yang mau memberi maaf.

Selamat Jalan, Pak Harto.

Tentang Pelecehan dan Dilecehkan

Sudah ada entri yang saya tulis dan siap dipublikasikan di sini. Tapi begitu membaca ini, mendadak saya berubah pikiran.

Pelecehan seksual memang bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan korbannya bisa siapa saja *perasaan ini kayak iklan layanan masyarakat apa gitu, ya?*.

I had been there, too.

Pelakunya? Bukan pacar, bukan orang asing, bukan penjahat kelamin. Saya mengalami pelecehan seksual ketika duduk di bangku SD. Pelakunya orang yang sangat dekat dengan keluarga saya dan sudah dianggap keluarga sendiri oleh orang tua saya, sehingga akses keluar-masuk rumah dan kamar (!) terbuka lebar.

Di sisi lain, orang tua saya super-sibuk, mereka hampir tidak pernah ada di rumah dan kualitas komunikasi kami kurang baik (okay, jelek). Saya sendiri, ya namanya juga anak kecil, mau diapain juga terserah.

Peristiwa tersebut terjadi berulang-ulang dalam waktu yang cukup lama, dan saya masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi – boro-boro lapor ke Komnas HAM, mikir aja nggak. Yang saya tahu hanya, setiap kali itu terjadi, saya merasa aneh. Saya merasa tidak nyaman, that’s it.

Waktu saya beranjak besar, saya mulai mengerti… dan akhirnya sakit hati. Ya iyalah, siapa juga yang mau dilecehkan? Kalau mau, mah, namanya bukan pelecehan 😀

Beberapa tahun lalu, seorang teman bercerita kepada saya sambil nangis bombai. Ia mengalami pelecehen seksual di kamar hotel. Usut punya usut, teman saya berterus-terang bahwa ia baru berkenalan dengan laki-laki setanjahanam itu –sebut saja Pak Anu– dan mereka baru bertemu sekali dalam rangka business meeting. Dalam pertemuan kedua, teman saya (yang waktu itu sedang menginap di hotel) tanpa curiga mengiyakan perubahan rencana yang diusulkan Pak Anu (dari yang awalnya janjian di suatu tempat, lalu pindah ke lobby hotel tempat teman saya menginap). Setengah jam berbincang di lobby, Pak Anu mengeluh bahwa suasana yang agak ramai membuatnya tidak nyaman. Dan teman saya, tanpa curiga sedikit pun, mengajaknya pindah ke… kamar.

Halah.

Setelah diinterogasi lebih lanjut (baca: ditanya pelan-pelan dengan penuh simpati), teman saya bercerita bahwa dari awal bertemu, memang ada sesuatu yang tidak beres. Pak Anu, alih-alih membicarakan masalah bisnis, malah merayu teman saya dengan memuji-muji kecantikannya, mengata-ngatai mantan pacar teman saya, sampai akhirnya obrolan nyangkut ke urusan ranjang.

Saya: “Trus, lo gak curiga?”
Teman saya: “Nggak. Ya gue pikir doi simpati aja ama gue, gara-gara gue baru putus.”
Saya: “Lha, terus urusan bisnisnya?”
Teman saya: “Gak kebahas bo, yang ada malah ngomongin gituan deh…”
Saya: “…..”

Kasus lain, sepupu saya –mahasiswa kedokteran nan alim lagi baik budi dan rajin menabung (seriously!)—mengalami pelecehan waktu sedang menunggu taksi dalam perjalanan ke kampus. Dia dibekap dari belakang, sedemikian rupa sampai tidak bisa bergerak, dan payudaranya diremas-remas. Untungnya dia cukup sadar untuk tidak panik berlebihan. Setelah meronta sekuat tenaga, sepupu saya berhasil mencakar tangan si Setanjahanam dan kabur menyelamatkan diri.

Respon pertama keluarga besar saya (selain mencaci maki Setanjahanam itu tentunya):

“Jalanan situ tuh emang bahaya, sepi-sepi gitu, suka banyak orang jahat.”

Masalahnya, mau sepi kek, ramai kek, bahaya kek, aman kek, sepupu saya tetap harus melewati rute yang sama tiap kali berangkat kuliah, karena itulah satu-satunya jalan untuk mencapai kampusnya. Tidak ada jalan tikus, tidak ada jalan lain, tidak ada alternatif kecuali kalau dapat tebengan gratis.

Meski sempat trauma, akhirnya sepupu saya kembali menempuh rute yang sama setiap hari. Berdiri di pinggir jalan yang sama (cuma tempatnya bergeser beberapa meter, hehehe), menunggu taksi pada jam-jam yang sama, dan demikian seterusnya. Apa boleh buat. Menyalahkan situasi sudah tidak ada gunanya, yang ada malah bikin tambah stress.

Meski pelecehan yang saya alami tidak pernah berujung pada penetrasi/pemerkosaan, ketika saya beranjak dewasa peristiwa itu menimbulkan bekas yang cukup dalam. Saya terluka dan sakit hati. Saya menghabiskan waktu untuk mengutuki Tuhan, membenci-Nya karena membiarkan hal itu terjadi pada saya. Mau menyalahkan diri sendiri nggak mungkin, karena semuanya terjadi di luar kendali saya sebagai bocah. Saya hanya bisa memaki 2 sosok itu: si pelaku dan Tuhan.

Masalah beres? Boro-boro. Sementara hidup terus berjalan, saya menjelma jadi nenek sihir bitchy yang mengutuk segala sesuatu dalam kemarahan.

Sampai akhirnya saya sadar, tidak ada gunanya menyalahkan siapa pun; Tuhan, diri sendiri, keadaan. Walau kedengaran klise, life goes on. Ketika saya sibuk menyalahkan situasi, kehidupan tidak akan berhenti berputar.

Meski sempat berdarah-darah, akhirnya saya belajar bahwa kejadian itu bukan kesalahan saya, bukan salah situasi, dan sama sekali bukan salah Tuhan. Itu hanya sebuah peristiwa, yang terjadi pada suatu masa dan kurun waktu tertentu dalam kehidupan. Tidak lebih.

Salah si pelaku? Umm… iya juga sih, hehehe.

Intinya, saya cuma mau bilang pada seluruh perempuan di muka bumi yang pernah mengalami pelecehan dalam bentuk apa pun: Stop blaming yourself. Stop blaming your situation. Being abused is bad enough, don’t make it worse. Percayalah, itu tidak ada gunanya. Been there done that 🙂

Dan jangan pernah merasa nista. Nista itu kalau mencuri, menggelapkan uang orang, memfitnah, memperkosa, mencari nafkah dengan cara haram, dan masih banyak lagi yang bisa dikategorikan nista. Tapi menjadi korban pelecehan jelas bukan salah satunya.

Tidak ada yang salah dengan merasa shocked. Menangis bisa melegakan, dan sah-sah saja jadi cengeng. I cried, too. Sepupu saya menangis. Teman saya apalagi. Tapi, jangan lupa bahwa hidup harus terus bergulir.

Hari esok akan tetap menjelang, apa pun yang terjadi. Karenanya, hadapi semua dengan berani dan percaya diri. Tapi, kalau kedua hal itu terlalu sulit untuk dilakukan, setidaknya cara yang satu ini bisa menjadi resep yang ampuh untuk bangkit kembali:

Cry, and get over it.

🙂

PR Liburan

16 hari. Cukup panjang untuk liburan akhir tahun. Saya dan beberapa rekan sekantor langsung membayangkan, enaknya liburan ini diisi dengan apa, mau apa, dan kemana.

17 Desember. Hari terakhir masuk kerja di tahun 2007. Kami semua dipanggil — rapat akhir tahun, sekaligus pembagian hadiah natal. Kado-kado dalam bungkus cantik dibagikan, dengan nama setiap orang di atasnya. Semua hadiah itu berbentuk persegi panjang. Isinya buku.

“Baca di rumah, jadikan PR, dan buat ringkasannya. Dikumpul pada hari pertama kerja, awal tahun depan.” Itulah kalimat penutup rapat akhir tahun yang diucapkan atasan kami.

Yang pertama terlintas di otak saya adalah, “PR? Nggak salah?” Berasa balik ke jaman SD. ;D

Kami kembali ke ruangan masing-masing. Kertas kado disobek. Buku dikeluarkan. Hal pertama yang dilihat? Tentu tebal bukunya.

“Punya gue tebal banget,” cetus seorang rekan.

“Punya gue juga lumayan, nih,” cetus yang lain. “Lo, Jen?”

“Lumayan,” sahut saya, setengah nggak konsen.

Saya membolak-balik buku saya, mengamati isinya sejenak sebelum menutupnya kembali. Pikiran saya masih terfokus pada stok opnam yang harus saya lakukan, first thing in the morning. Dan laporan-laporan yang menunggu untuk dikerjakan. Belum lagi komputer yang mendadak ngadat dan berpotensi menyebabkan gangguan jiwa. Seandainya bisa, saya ingin berteriak pada komputer itu, “TOLONG JANGAN RUSAK SEKARANG. GUE MAU LIBURAN!!!”

Minggu berikutnya, saya berkutat dengan kartu stok dan timbunan barang di gudang, sementara kantor sudah sepi. Sejujurnya, saya malah senang, karena suasana sepi membuat saya lebih mudah berkonsentrasi. Tak lupa, demi menghibur diri karena masih masuk saat yang lain sudah libur, saya meluangkan waktu untuk nonton di mal yang tak jauh dari kantor.

Pikiran saya terus beradu. Pada komputer pengacau yang tak berbelaskasihan. Pada laporan yang tak kunjung selesai. Pada stok opnam yang melelahkan. Pada pernikahan seorang saudara yang tinggal menjelang hari, di mana saya bertugas sebagai penerima tamu (dan meskipun judulnya ‘cuma’ menerima tamu, minimal saya harus menyiapkan tenaga untuk stand by seharian penuh, dengan high heels dan kebaya). Belum lagi ringkasan buku ini.

Ah, sudahlah. Makin dipikir, makin numpuk rasanya. Tak usahlah dipusingkan. Kerjakan saja.

Stok opnam selesai. Laporan selesai. Komputer saya crash (aaaarrrghhhh!). Saya hanya punya waktu sehari untuk pulang (yup, selama lembur saya menginap di kantor) dan beristirahat, untuk kembali menggeber tenaga esok harinya di pernikahan saudara.

Saya meriang. Mungkin karena pergantian cuaca. Mungkin juga karena kecapekan. Apa pun penyebabnya, saya tak mungkin minta dikeroki, seperti kebiasaan saya jika masuk angin. Kebaya yang sudah dimodifikasi itu akan menampilkan sebagian punggung atas saya. Tak mungkin saya memperlihatkan loreng-loreng merah dalam resepsi pernikahan.

Sehari setelah pesta usai, saya pergi ke gereja. Bertemu dengan beberapa rekan kantor (yup, kami beribadah di tempat yang sama). Pertanyaan pertama yang saya dengar bukan “Apa kabar?”, melainkan “Bukunya sudah sampai mana?”

Saya cuma cengar-cengir dan menjawab seadanya. Buku saya baru tersentuh seperempatnya.

Esok paginya, saya berangkat ke Puncak untuk liburan selama 5 hari. Tanpa buku. Tanpa ingat bahwa saya punya PR yang harus dikumpulkan pada hari pertama masuk kantor. Saya ingin menikmati liburan dan tak ingin terdistraksi oleh apa pun.

Begitu bis yang saya tumpangi –sekembalinya dari perjalanan- berhenti di terminal, saya jelalatan mencari ojek. Di benak saya hanya ada 1 kalimat: Pulang, mandi air hangat, baca buku. Buku PR, tentunya.

Ternyata, buku PR tidak se’rumit’ yang saya bayangkan. Awalnya saya ketar-ketir membandingkan tebalnya dengan sisa waktu yang saya punyai sebelum masuk kerja. Keburu nggak, ya?

Namun kekhawatiran itu tidak terjadi. Ternyata saya bisa menikmati buku itu, jauh melebihi yang saya bayangkan. Isinya bagus dan sangat cocok untuk saya, sampai saya berpikir jangan-jangan atasan saya punya indra keenam. Sekejap saja saya sudah tenggelam dalam keasyikan membaca. Saya lupa bahwa buku itu adalah PR. Yang saya tahu, saya menyukainya. Buku ini sangat bermanfaat dan akan banyak gunanya di kemudian hari.

Lalu saya mulai menulis.

Tulis, tulis, tulis. Ketik, ketik, ketik.

Saya menikmatinya, dan bertekad menjadikan PR ini bukan sekedar ‘tugas’ maupun ‘ringkasan’ belaka. Saya akan membaca ulang hasil pekerjaan saya di kemudian hari, dan saya akan menjadikannya berguna untuk kemajuan diri saya sendiri. Performa dan kinerja saya akan mengalami peningkatan drastis setelah ini, itulah yang saya pikirkan. Dan pemikiran itu menyuntikkan semangat baru bagi saya — setiap waktu, setiap saat.

Tiba-tiba saya sadar: untuk itulah pemimpin saya memberikan buku sebagai hadiah sekaligus pekerjaan rumah.

Buku itu bukan sekadar tugas. Ringkasan itu bukan sekadar PR untuk mengisi liburan. Buku itu berisi prinsip-prinsip dan ‘bekal’ yang besar faedahnya bagi kami semua. Kenapa harus dijadikan PR? Ya iyalah. Kalau saya diberi buku semacam itu ‘hanya sambil lalu’, yang akan saya lakukan paling banter hanya membacanya sebagian, setelah itu bosan dan membiarkannya tertumpuk bersalut debu. Karena ada deadline di penghujung hari, saya jadi terpacu menyelesaikannya dan berhasil memetik manfaatnya.

Saya salah. Atasan saya tidak punya indra keenam. Yang mereka punyai adalah hati yang peduli.

🙂

Hari Minggu tiba lagi. Saya kembali bertemu dengan rekan-rekan sekantor. Pertanyaan yang diajukan masih sama.

“Bukunya sudah sampai mana?”
“Sudah bab berapa?”
“Udah mulai ngeringkas, atau masih baca-baca?”

Saya menjawab sekenanya, dengan cengar-cengir yang sama. Entah kenapa, mendadak saya tak lagi menganggapnya sebagai tugas. Sisa liburan yang sedianya akan saya manfaatkan untuk facial dan potong rambut memang jadi terpakai untuk menyelesaikan dan meringkas buku, tapi rasanya saya tak keberatan. Saya sedang berinvestasi.

Ringkasan tersebut selesai tepat sehari sebelum saya kembali bekerja. Saya sangat bangga. Saya’ menang’ terhadap diri sendiri, walau dalam skala yang kecil.

Lagi-lagi, pertanyaan senada memenuhi udara pagi yang segar di awal Januari, ketika rekan-rekan saya saling bertukar ‘informasi’: sudah sampai bab berapa, sudah meringkas atau belum, bagaimana cara menulisnya, harus sepanjang apa, dan sebagainya.

Pimpinan saya masuk ke ruang meeting. Pertanyaan pertamanya adalah, “Bagaimana PR-nya, sudah dikerjakan atau belum?”.

Selesai rapat, semua segera berhamburan ke meja masing-masing. Berkutat dengan buku dan komputer sampai jelang makan siang, bahkan ada yang lembur sampai malam, lantaran bukunya nyaris belum tersentuh sama sekali.
Atasan saya geleng-geleng kepala. Saya sempat mendengar beliau bergumam, “Gimana sih.. itu buku kan dikasih buat dikerjain di rumah.”
Saya tersenyum lebar.

Ringkasan saya, sepanjang 6 halaman dengan font 11 dan spasi 1,5, sudah tergeletak manis di atas meja.

🙂

Perjalanan Dadakan dan Pilihan Tahun 2008

“Milih aja lama.” cetus seorang teman ketika kami mengantri di sebuah gerai kopi, tepat di belakang remaja-remaja bawel yang ribut memilih pesanan sambil bercanda.

Beberapa sibuk memilih kopi, membatalkan pesanan untuk memilih yang lain, kemudian berdiskusi muffin mana yang paling enak. Sisanya sibuk ngobrol dengan berisik tanpa berniat menyingkir, menyebabkan antrian mandek di situ.

“Baru milih kopi, belum milih hidup.” tambah teman saya, yang langsung saya setujui.

Beberapa minggu terakhir, banyak banget kejadian menyebalkan yang saya alami (entah memang nyebelin, atau saya-nya aja yang mulai senewen), mulai dari komputer rusak, berurusan dengan manusia-manusia paling ngeselin sedunia yang kelakuannya bikin pengen garuk-garuk tanah, sampai hal-hal sepele yang dengan mudahnya bikin saya naik darah dan bawaannya pengen nyolot.

Demi kesehatan jiwa, saya memutuskan untuk berlibur.

Awalnya saya berniat pergi ke Jawa Tengah. Traveling sendirian, keliling-keliling sampe bego, miskin-miskinan kalau perlu (yang diketawain semua orang dan bikin saya bolak-balik mikir: Emang salah gitu, kalo gue jalan-jalan bukan buat shopping?).

Niat itu agak goyah setelah saya ngobrol via SMS dengan seorang kawan yang baru kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan masa jabatan di Belanda. Setelah lama tidak berjumpa *alah*, saya pikir seru juga kalau ketemuan, mumpung liburan dan Neng Supersibuk ini sedang punya waktu luang.

Niat ke Jawa Tengah sama sekali berubah ketika kawan lain mengajak jalan-jalan ke Puncak. Saya mengiyakan dan langsung mengepak pakaian untuk perjalanan selama 5 hari dengan rute Puncak-Bandung-Sukabumi.

(FYI, keputusan diambil sehari sebelum perjalanan. Super dadakan. Don’t ask why.)

24 Desember, pukul 9 pagi, saya turun dari mobil dan menarik nafas dalam-dalam, menghirup kesegaran hawa Puncak. Saat yang lain asyik melihat-lihat kaktus mini dan anggrek, saya menyelinap ke kamar mandi dan membasuh wajah dengan air dingin. Segar sekali. Tidak lama kemudian, poffertjes manis-gurih dan secangkir cokelat mengepul datang –- sajian pertama dalam liburan-menyejukkan-hati.

Saya menyesap cokelat panas, mengunyah sepotong poffertjes, melihat rimbunan pohon dan pucuk gunung di luar jendela, dan merasa kepenatan saya pelan-pelan menguap. Sebagian.

Udara sejuk. Titik-titik gerimis di kaca mobil dan di permukaan kulit. Hujan lebat yang membasuh bumi dari debu polusi. Kuda-kuda yang ditudungi plastik agar tak kedinginan. Rumah peristirahatan aneka rupa dan bentuk. Nasi timbel hangat dan teh panas. Pisang goreng bersalut keju dan cokelat. Puding nikmat diguyur vla dan kue dengan rhum yang banyak. Chardonnay dengan es batu. Bercanda dan tertawa sampai sakit perut. Mengobrol sampai mulut terasa kering. Semuanya menyegarkan hati.

Esok paginya, saya sampai di Bandung. Kali ini sendirian.

Nasi goreng sosis yang gurih. Milkshake cokelat yang menyegarkan. Menitipkan tas di sebuah factory outlet supaya bisa jalan-jalan dengan santai. Numpang men-charge handphone di tempat yang sama (mokal? Iya lah. Abis gimana lagi, kepepet, hahaha!). Berburu oleh-oleh untuk si kecil Alex sambil harap-harap cemas, mudah-mudahan tas saya aman. Bertemu si Jeng yang baru kembali dari misi-menunaikan-panggilan-hati. Mencicipi Starbucks lagi, setelah berbulan-bulan (kayak di Jakarta nggak ada aja :D). Lukisan seniman tattoo yang bikin terkagum-kagum. Cerita-cerita kocak sambil cekikikan. Menghitung mobil berplat B di parkiran mal. Membahas segala hal yang tak penting. Semuanya menenteramkan hati.

Malamnya saya berangkat ke Sukabumi.

Bertemu lagi dengan Jeng ini. Shocked mendapati ternyata dia memelihara DELAPAN anjing, sementara saya paling takut dengan hewan satu itu. Sok Berakrab ria dengan anjing-anjing demi menghilangkan fobia, dan jerit-jerit ketika diterjang sampai jatuh dan digigit (nggak sakit sebenernya, malah lebih kerasa malunya, hehehe), serta belajar menghafal kebiasaan masing-masing anjing. Nasi uduk ungu plus teh panas. Pangsit pengantin dan soto mie di pinggir jalan. Lapis legit dan tiramisu lembut dengan Bailey. Menyimak foto dan cerita perjalanan. Menyusuri Sukabumi di bawah siraman air dari langit pukul 3 sore. Ngobrol sampai jam 4 pagi. Maraton menyetel dorama sampai jam 2 subuh.

Ketika saya tersadar, semua penat sudah hilang. Lenyap entah ke mana. Mungkin terbawa hembusan angin dingin yang membuat saya merapatkan jaket. Mungkin pergi bersama uap teh panas dalam hujan bulan Desember. Mungkin menyingkir ketika saya larut dalam alur dorama. Atau ketika saya cengar-cengir norak campur senang setiap kali anjing-anjing menggemaskan itu datang untuk minta disayang (dan menjilati saya dengan lidah yang basah dan hangat)…

—–

Saya memandang keluar dari balik kaca mobil.

Kabut mulai turun. Makin lama makin tebal, sampai tidak terlihat apa-apa kecuali gumpalan putih yang membatasi jarak pandang. Beberapa orang yang tadinya tidur terbangun, duduk tegak sambil mencoba memperhatikan jalan – dan sia-sia karena kabut sangat pekat dan nyaris tidak bisa ditembus lampu mobil. Mobil-mobil lain tidak terlihat. Pohon dan pembatas jalan lenyap dari pandangan, tertutup kabut putih dingin yang bergulung-gulung.

Mobil terus bergerak. Pelan dan hati-hati. Menembus kabut tanpa suara. Merayap pasti.

Menjelang tikungan, kabut mulai menipis. Setelah melewati tikungan, gumpalan putih itu hilang sama sekali, meninggalkan pemandangan yang bersih dan jernih. Semua orang dalam mobil mendesah lega.

Sambil memandang keluar –ke jalanan yang basah oleh rintik dari langit, saya membuat sebuah keputusan untuk tahun yang akan datang. Bukan resolusi dengan daftar panjang, bukan rancangan hebat disertai target, bukan pula rencana liburan selanjutnya. Hanya sebuah pilihan sederhana untuk 2008 yang akan segera menjelang.

Saya telah menetapkan untuk terus melangkah maju, ada atau tanpa kabut.

Feliz Navidad y Año Nuevo!
Merry Christmas and Happy New Year! 🙂