Si Nyolot Janet

“DUUUH, DUNIA SEMPIT BANGET SIH!”

Saya menoleh, spontan mencari sumber suara itu. Teriakan itu terasa agak mengganggu, karena diucapkan dengan nada tajam dan *ehem* nyolot di antara kerumunan anak Sekolah Minggu berusia antara 2 sampai 12 tahun yang memadati aula gereja dalam rangka perayaan Natal.

There she was, duduk di atas tempat tidur dengan beberapa anak perempuan lain, sibuk menghias kaus kaki Natal dengan bahan seadanya. Dalam perayaan kali ini, semua anak diwajibkan menghias kaus kaki flanel yang nantinya akan diisi hadiah dan mereka semua menginap di aula yang sudah disulap jadi lautan matras.

Namanya Janet. Rambutnya pendek dan ia satu kepala lebih tinggi dari anak-anak seusianya. Sekilas melihat saja, ia sudah tampak menonjol. Begitu ia buka mulut, semua orang menoleh.

Sumpah, cara bicaranya sangat nyolot untuk ukuran anak SD.

Beberapa anak yang sudah selesai dengan pekerjaan masing-masing menghampiri kerumunan kecil itu dan asyik menonton sambil berceloteh ribut.

“KITA HARUS SABAR YA LON, BIKIN PRAKARYA DI RUANGAN KAYAK GINI!”

Ilona -anak yang diajak bicara- tidak menyahut. Beberapa pasang mata menatap Janet dengan sorot terganggu, tapi ia tidak peduli. Nggak nyadar, malah.

Semakin banyak anak yang datang berkerubung. Matras dan bantal diinjak-injak. Janet melirik matrasnya yang tidak jauh dari situ.

“TERUS AJA INJEK-INJEK RANJANG GUA! BIKIN TANGAN GATEL AJA PENGEN MUKUL!”

Saya menoleh ke arah yang dimaksudnya, dan melihat bocah yang dengan inosen enjot-enjotan di atas matras Janet.

Si kecil Alex.

Hayyyah.

“Janet, kamu itu terlalu jujur kalo ngomong,” cetus Ilona, yang pembawaannya halus dan sangat lembut.

“Emang.” Janet membalas cuek.

“Menurut aku kamu terlalu kasar,” sela adik Ilona.

Janet diam saja. Saya sempat mikir, “Dalem bo, daleeeem” dan menyangka Janet akan menghentikan polahnya.

Seorang guru Sekolah Minggu menghampiri Janet, memperhatikan pekerjaan tangannya dan berkomentar di depan anak-anak lain, “Ini manik-maniknya kalo ditempel di sini, warnanya jadi mati.”

(FYI, guru Sekolah Minggu ini adalah seorang bapak dua anak yang mengajar di kelas Senior.)

“TERUS AJA KASIH TAU SEMUA ORANG!!”

Buset dah.

Setelah puas melihat-lihat, saya meninggalkan mereka.

Tadi pagi, saya kembali untuk menonton anak-anak itu berburu kado Natal dan menghias ginger bread.

Setiap anak mendapat sepotong ginger bread, whipped cream, permen dan cokelat aneka bentuk untuk menghias kue masing-masing. Setelah berkeliling, saya kembali nyangkut di tempat Janet dan kawan-kawan.

Cukup lama Janet menunggu giliran untuk menyaluti kuenya dengan whipped cream, karena sendoknya hanya satu. Ketika tiba gilirannya, Janet memulas kuenya dengan hati-hati dan rapi. Setelah seluruh permukaan kue tersalut whipped cream, ia mulai mengambil cokelat mungil berbentuk bulat.

Saya terus mengamatinya bekerja. Boleh juga. Sangat cermat dan telaten, jauh lebih rapi dibanding teman-temannya.

Lumayan deh, biar galak seenggaknya kerjaannya bagus, pikir saya usil.

Tiba-tiba, seorang gadis cilik menghampiri kelompok Janet dan langsung berjalan ke arahnya.

Janet sedang berkonsentrasi menyusun cokelat supaya tidak merusak lapisan whipped cream yang mudah sekali tercecer. Badannya membungkuk, keningnya berkerut-kerut.

Bocah itu duduk persis di sebelah Janet, nyaris menempelkan tubuh ke lengan Janet, mengacungkan ginger bread yang bentuknya nggak karuan sambil berseru lantang:

“CICI JANET, LIAT DEH PUNYA AKU.”

Mampus dah.

Saya sungguh iba pada nasib si bocah tak berdosa.

Tapi Janet tidak berteriak.

Ia menoleh, memperhatikan ginger bread yang nggak jelas wujudnya itu dan berkata pelan, ”Iya, nanti ya, lagi ngerjain ini dulu.”

Bocah itu menarik tangannya dan duduk nyaman di sisi Janet, masih dengan posisi hampir lendotan di lengan Janet.

Bocah kedua datang dan melakukan hal yang sama: menunjukkan hasil karyanya kepada Janet dan menunggu komentar gadis itu.

Lalu bocah ketiga datang, dan begitu seterusnya. Janet meladeni mereka dengan sabar sambil terus berkonsentrasi menyelesaikan ginger bread-nya.

Akhirnya kue berbentuk boneka itu selesai dihias. Janet menyingkirkan sisa cokelat dan memandang ‘prakarya’nya dengan bangga. Saat itu, di sekelilingnya sudah berkumpul anak-anak kecil yang usianya tak lebih dari 5 tahun.

Saya melongo bego.

Kemana monster kecil yang tadi malam?

Usai perayaan, saya duduk di meja makan dan ngobrol dengan seorang guru Sekolah Minggu yang juga kawan saya. Saya bertanya tentang Janet dan sikapnya semalam.

“Oh, Janet. Iya tuh, semua orang nanyain tentang Janet.” Ucap kawan saya sambil cengar-cengir. “Anaknya emang gitu, tapi sebenernya dia baik. Sama anak kecil ngemong banget, malah.”

Saya kembali bengong dengan blo’on.

Di pojok ruangan, Janet sedang sibuk berfoto dengan Ilona dan adiknya memakai kamera handphone dalam berbagai gaya. Setiap kali kamera selesai dijepretkan, mereka akan berebut mengamati hasilnya sambil tergelak-gelak seru. Semuanya, termasuk Janet.

Dia tidak ada bedanya dengan anak-anak lain. Polos, heboh, ceria dan sama berisiknya.

Saya memandangnya, dan langsung merasa malu karena terlalu cepat menghakimi.

🙂

Menemukan Surga

We just can’t be separated.”

Itu jawaban singkat teman saya beberapa minggu lalu, waktu saya keheranan melihatnya gloomy berat akibat ditinggal suami keluar kota selama 4 hari. Gak tanggung-tanggung bo, ‘perpisahan’nya pakai nangis segala.

Pengantin baru?

Nggak juga. Mereka sudah menikah selama 1,5 tahun, tapi (memang) belum pernah berpisah semalam pun.

Awalnya saya nggak habis pikir. 4 hari gitu loh. Saya sempat meledeknya,”Baru juga 4 hari. Kalo 2 minggu gimana coba?”

“Nggak boleh.” Teman saya menjawab tandas. Saya ngakak.

“Lah, tapi kalo tugas kantor kan mau gak mau?” Pancing saya.

I’ll make him say ‘no’.” Lagi-lagi ia menjawab tegas, “kecuali gue boleh ikut,” tambahnya cuek. Singkat, padat dan bikin bengong.

Mendengar jawaban itu, saya jadi terdiam.

Mungkin memang ada orang-orang seperti itu, yang saking cintanya sampai nggak bisa pisah sehari pun — mereka yang menemukan ‘surga’ dalam diri pasangannya dan tidak sanggup ‘kehilangan’ walau sebentar saja. Sejujurnya, saya nggak bisa membayangkan apa jadinya kalau si suami harus pergi selama 10 hari, misalnya. Benar-benar nggak kebayang.

Di sisi lain, saya merasa menemukan ‘hal baru’ yang membuat saya bertanya-tanya: Kalau gue nikah nanti, kira-kira bakal kayak gitu nggak, ya?

*Uhmm… mudah-mudahan nggak. Tersiksa bo! Hehehe.

Anyway, selain gloomy berat, teman saya jadi kehilangan semangat selama ditinggal suami. Males kerja, males makan, males ngapa-ngapain. Kalau kehilangan ‘surga’, hidup rasanya kayak di ‘neraka’ kali ya? 🙂

Tadi siang saya menonton acara TV yang meliput panti perawatan khusus orang cacat mental di Jawa Tengah (namanya lupa). Bukan rumah sakit jiwa, melainkan semacam asrama yang diperuntukkan bagi mereka yang menderita gangguan jiwa. Pendiri sekaligus pengelola panti itu adalah seorang pria berpenampilan ‘nyentrik’ yang sekilas tampak sangar. Tapi, ketika wajahnya di-close up dalam wawancara, sepasang matanya bersinar lembut.

“Dulu panti ini cuma diisi 5 orang,” ia memulai ceritanya, disusul tayangan yang menampilkan aktivitas sehari-hari para penghuni panti: mendengarkan ceramah, melakukan pekerjaan ringan atau sekedar duduk-duduk di beranda.

“Cara kami merawat dan menyembuhkan mereka adalah melalui pendekatan agamis,” ia kembali bertutur. Rambut keriting yang terurai panjang dan jenggot yang dibiarkan dalam keadaan serupa tidak menutupi ketulusan yang terpancar dari matanya.

“Untuk penghuni yang baru datang dan belum bisa mengendalikan tingkah laku, kami siapkan ruangan khusus berbentuk seperti sel. Kami tempatkan mereka di sana selama 3 hari, maksimal 7 hari. Setelahnya kami lepaskan, dengan syarat mereka harus membawa sebuah bangku kemana-mana. Tujuannya untuk menguji dan melihat sejauh mana mereka bisa dipercaya. Setelah itu, kami bebaskan mereka sepenuhnya di dalam panti.”

Kalimat-kalimat itu sempat membuat saya bergidik, ditambah gambar seorang wanita yang menangis keras-keras di balik pintu berterali besi. Tapi, sekali lagi, ada ketulusan dalam suara laki-laki itu. Kedengarannya kejam, tapi apa yang dilakukannya semata-mata demi kebaikan seluruh penghuni panti.

Saya terkesima.

Tidak banyak yang berani bergaul dengan orang gila, namun pria bersahaja ini menghabiskan setengah hidupnya untuk merawat puluhan orang yang terkucil dari masyarakat dan terlunta-lunta akibat gangguan jiwa.

Sebagian dari kita mungkin akan mengernyit jika melihat orang gila berkeliaran di pinggir jalan. Sebagian lagi mungkin cepat-cepat menyingkir. Sebagian lagi mungkin memilih untuk cuek. Tidak dengan pria ini, karena orang gila adalah dunianya.

Lagi-lagi saya teringat dengan teman yang mewek karena ditinggal suami selama 4 hari.

Baginya, sang suami adalah segalanya.

Akhir-akhir ini saya sedang dekat dengan Alex, putra sahabat saya (sekaligus satu-satunya anak kecil yang namanya paling beredar di sini ^_^). Belum lama ini, Alex ditinggal daddy-nya untuk perjalanan dinas selama hampir sebulan penuh (tiap minggu pulang, tapi cuma sebentar). Di minggu terakhir, Mommy menyusul. Jadilah saya menginap di rumah mereka, menjaga si kecil bersama nanny-nya.

Sebelum menginap di sana, saya sudah sering bermain dengan Alex, membacakannya buku, menemaninya jalan-jalan atau sekedar nonton TV. Tapi menjumpainya first thing in the morning, mendengarnya mengucapkan “Morning, Auntie” dengan suara cadel, memandikannya karena ia ngotot “Da au bui Ncus, bui Auntie” (terjemahan bebas: Nggak mau mandi sama Suster, mau sama Auntie), membacakannya buku sementara ia bersandar di dada saya, memeluknya, menggendong, memangku dan merasakan tubuh mungilnya bergelung nyaman dalam pelukan saya, adalah hal-hal yang sama sekali berbeda.

Mendengarkan rengekannya, menenangkannya, mengusap punggungnya ketika ia kangen pada Mommy dan Daddy mendadak menjadi sesuatu yang priceless buat saya. Mendengar gelak tawanya saat bermain kereta-keretaan, mendiamkan saat ia menangis dan membujuk sambil mengelus-elus kepalanya tiba-tiba menjadi sangat menyentuh dan meninggalkan kesan mendalam, padahal saya sudah mengenal bocah ini sejak ia lahir.

Bersama Alex menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya. Merasakannya bersandar di tubuh saya dan membiarkannya naik ke pangkuan saya (lalu meringkuk di sana) selalu memberikan sensasi menyenangkan yang susah diungkapkan. Kalau menurut Mbakyu ini, sepertinya itulah yang dinamakan keajaiban.

Sepotong surga dalam dunia.

Indah, bos. 🙂

Iklan terakhir selesai ditayangkan (iya, ini mikirnya selama jeda iklan :-)). Wajah laki-laki bersahaja itu kembali muncul di layar. Pertanyaan terakhir si pewawancara adalah: Bagaimana rasanya hidup dengan begitu banyak orang gila?

Ia tersenyum.

“Orang gila adalah teman-teman saya. Nafas saya. Orang gila adalah surga saya.” Itulah caranya menjawab.

Saya ikut tersenyum.

Semua orang mencoba memaknai hidup dengan mencari surga dalam wujud yang berbeda-beda, menurut rupa yang terlihat oleh hati. Berbahagialah mereka yang menemukannya. 🙂

Gambar diambil dari gettyimages.com

Kekuatan Sang Pemimpi

Saya tidak pernah bisa mengetik sepuluh jari. Satu-satunya kesempatan di mana saya belajar mengetik adalah saat duduk di kelas 3 SMU, di mana syarat kelulusan mutlak adalah mengantongi sedikitnya SATU dari dua ijazah ujian nasional: Akuntansi dan Mengetik.

Sebagai pembenci angka sejati, saya mengandalkan kelulusan pada ijazah mengetik, yang sialnya, sama sekali tidak saya kuasai. Alhasil, selama 3 jam setiap minggu -di ruangan sumpek di sudut gedung sekolah- saya berkutat dengan mesin tik butut yang huruf-hurufnya ditempeli stiker hitam, merelakan mata saya ditutup dengan kain buluk dan belajar menghafal letak huruf di bawah ancaman hukuman. Jangan tanya kenapa. Itulah metode mengajar guru saya yang herannya terbukti efektif membuat kami lulus hanya dengan persiapan selama 6 bulan, walau tentu saja, sebagai efek sampingnya kami membenci beliau setengah mati.

Setelah belajar mati-matian, saya lulus dengan nilai seadanya. Sangat tidak sebanding dengan jerih lelah selama 6 bulan, tapi itulah hasil yang didapat jika terbalik memasang kertas stensil pada ujian mengetik berstandar nasional. 🙂

Saya bertekad tidak akan menyia-nyiakan ‘ilmu’ yang didapat dengan susah payah itu. Saya selalu ingin menjadi penulis. Sejak belajar mengetik, saya menguasai satu-satunya mesin ketik di rumah dan saya bertekad akan mengoptimalkan kinerja mesin tua itu. Jadi, mulailah saya menulis, eh, mengetik. Tidak tanggung-tanggung. Saya mengetik cerpen sepanjang 9 halaman.

Pekerjaan itu memakan waktu semalaman. Hasilnya adalah berlembar-lembar kertas HVS yang penuh tipp-ex dan jari telunjuk yang pegal setengah mati. Tim penilai ujian nasional telah melakukan kesalahan besar dengan meluluskan saya. Berulang kali saya menjebloskan jari ke sela-sela tombol huruf dan membuat kesalahan konyol yang (sialnya) tidak bisa di-undo.

Dengan penuh percaya diri saya mengirim cerpen itu ke majalah; mahakarya pertama yang dibuat dengan mesin ketik usang. Saya sangat bangga. Optimis luarbiasa. Redaksi majalah itu pasti terkesan.

*Sebelum ditanya, mending saya jawab dulu: Nggak tuh, saya nggak mikir panjang sama sekali. Dengan bego polos saya berasumsi, kalau redaksi menganggap naskah saya bagus, ya tugas mereka dong untuk ngetik ulang. Hihihi.

Cerpen tersebut saya tulis lebih dari 5 tahun yang lalu. Sampai sekarang tidak ada kabar apapun dari majalah yang bersangkutan. Sejujurnya, saya bahkan ragu naskah itu DIBACA, secara penuh tipp-ex dan ‘lo-taulah-gimana-hasil-ketikan-mesin-tik-butut’.

😀

Menjadi penulis adalah cita-cita terbesar saya. Melihat karya saya diterbitkan adalah mimpi yang selalu saya jaga baik-baik agar tidak layu. Sayangnya, berapa kali pun mencoba, saya tidak pernah melihat mimpi itu terwujud.

Saya melihat mimpi berbunga di pekarangan rumah orang. Mimpi saya sendiri tetaplah berupa benih dalam pot yang tidak kunjung bertunas.

Bahkan setelah saya mengganti mesin ketik dengan seperangkat komputer, bunga yang saya lihat tetap tumbuh di pekarangan orang. Novel atas nama orang. Cerpen atas nama orang. Artikel atas nama orang. Mimpi saya tetaplah benih yang bersemayam jauh di dalam lapisan tanah kotor dan lembap.

Awal 2006, saya menemukan sebuah majalah yang langsung membuat liur saya bertetesan. Majalah itu adalah sebuah kompilasi cerpen yang terbit setiap bulan dengan mengusung penulis-penulis kawakan sebagai editor: Putu Wijaya, Seno Gumira, Jujur Prananto dan entah siapa lagi.

Saya berdiri di depan rak Gramedia sambil memegangi majalah itu. Ketika saya membawanya ke kasir, semua kegagalan saya terlupakan. Saya tahu, nama saya akan tercatat dalam majalah tersebut.

Beberapa minggu setelahnya, saya pergi mengunjungi kawan di Jakarta Selatan. Ketika berhenti untuk membayar tol, pandangan saya singgah pada si penjaga loket; wanita berusia awal duapuluhan berambut sebahu yang wajahnya superkecut. Malamnya, saya duduk di depan komputer dan menulis cerita berjudul ‘Anugerah Terindah’ dengan tokoh utama gadis jutek penjaga loket. Saya mengirim cerpen itu ke redaksi majalah impian, dan memasrahkan diri pada hasilnya.

Que sera-sera. What will be, will be.

3 bulan kemudian, menjelang malam, sebuah e-mail mampir di inbox saya. Cerpen saya diterima.

Malam itu menjadi malam yang ajaib dalam hidup saya. Saya tersenyum-senyum di depan komputer warnet selama setengah jam penuh.

Saya membayar ongkos warnet sambil tersenyum lebar.
Saya berjalan ke tempat parkir dengan senyum superlebar.
Saya berhenti di tukang jagung bakar –untuk membelikan pesanan si Papah- masih dengan senyum lebar.
Saya menunggui jagung matang sambil cengar-cengir. Encik paruh baya penjual jagung tampak begitu cantik, dan pengipas arang berkaus kumal menjelma menjadi pangeran tampan.

*Okay, okay, HIPERBOLA. Hehehe.

Malam itu, saya mengalihkan pandangan dari pekarangan tetangga. Benih di pot saya mulai bertunas.

Beberapa minggu lalu, saya mampir ke toko buku dan iseng membeli novel kedua dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata: Sang Pemimpi. Karena sibuk, saya mengabaikan novel itu selama beberapa hari. Ketika akhirnya punya waktu luang, saya mulai membaca dan tidak bisa berhenti.

Ikal dan Arai, tokoh utama dalam kisah nyata ini, adalah sosok-sosok yang bukan hanya memahami makna ‘bermimpi’. Mereka bertahan demi mimpi. Mereka mengejar mimpi. Mereka hidup untuk mewujudkan mimpi.

Ikal dan Arai hanya 2 dari sekian banyak pemuda Melayu pedalaman yang terpaksa pasrah menerima kenyataan terlahir sebagai rakyat miskin di daerah terpencil yang penduduknya bahkan belum pernah melihat kuda. Dalam kondisi serba sulit, mereka tidak punya pilihan selain berjuang mempertahankan hidup sambil menggali keindahan sebuah mimpi. Menahan berat peti dan bau amis ikan sebagai konsekuensi dari pekerjaan kuli angkut pelabuhan sambil terus memeluk mimpi-mimpi.

Tekad untuk tidak mendahului nasib telah menghantar 2 pemuda yang hingga lulus SMA tidak pernah mengenal Kentucky Fried Chicken ini ke Sorbonne, Perancis, sebuah tempat yang bertahun-tahun silam digaungkan oleh seorang guru dan menjelma menjadi sebutir benih dalam hati mereka. Benih yang terus dipelihara dan dijaga dengan setia, tidak peduli semustahil apapun tampaknya, sesukar apapun kondisinya.

“Bermimpilah, sebab Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.”

Itulah kalimat yang selalu mereka ucapkan. Kalimat yang kesaktiannya menyaingi daya magis ilmu madraguna — bukan karena jampi bertuah, melainkan karena kata-kata sederhana itu telah memberi kekuatan pada kaki-kaki mereka untuk terus berlari.

Saya menutup buku dengan perasaan campur aduk; antara terharu, senang dan geli.

Mereka benar.

Kekuatan yang sama telah membuat mimpi saya bertunas, walau saya tetap tidak bisa mengetik sepuluh jari. 🙂

* Untuk versi ‘serupa tapi tak sama’ dari tulisan ini, silakan klik di sini.

*Makasih banyak ya Ami, atas kesempatannya.. I really appreciate it! 🙂

Gambar diambil dari www.fotosearch.com

Sosok Sejati

Saya mengenalnya beberapa tahun lalu, ketika kami datang ke sebuah acara yang sama dan saya melihatnya dikerumuni perempuan-perempuan yang heboh meminta tips seputar kecantikan dan kesehatan kulit. Karena penasaran, saya ikut mendekat.

Informasi yang dipaparkan beliau tentang banyaknya penderita kanker kulit di Indonesia akibat pemakaian produk perawatan dan make-up yang mengandung merkuri sangat menarik perhatian (kala itu belum banyak orang yang tahu bahwa sebagian besar produk kecantikan yang beredar di pasaran mengandung zat berbahaya ini). Jadilah saya bergabung dalam kerumunan kecil itu, menjadi salah satu perempuan bawel yang bertanya ini-itu tentang perawatan kulit — walau pada akhirnya informasi tetaplah informasi, alias nggak dilakukan, hehehe.

Ketika acara itu selesai, pertemanan kami berlanjut. Seorang wanita kharismatik yang usianya menginjak pertengahan limapuluh dengan perempuan yang baru menamatkan masa ABG. Dua ‘dunia’ yang sangat nggak nyambung, sebetulnya, karena usia beliau bahkan jauh di atas Ibu saya. Tapi herannya, saya betah-betah saja bergaul dengan beliau (malah enjoy!), begitu pula sebaliknya. Believe it or not, kami bisa menghabiskan 3 sampai 5 jam sekali ngobrol.

Beliau selalu bermurah hati memberikan tips dan nasehat berharga mengenai perawatan kulit dan berbagai aspek kesehatan ditinjau dari segi medis *sedap, bahasa gua!*. Dan kami, perempuan-perempuan haus informasi ini, selalu mendengarkan dengan senang hati, karena tips-tips canggih seperti itu tidak mudah didapatkan secara gratis dari pakar kecantikan sekaliber beliau *ihiwww*.

Beliau telah beberapa kali memperoleh penghargaan dari pemerintah atas jasa-jasanya dalam dunia medis, secara spesifik dalam bidang kosmetologi. Beberapa bulan yang lalu, atas undangan dari Oom Bush, beliau menginjakkan kaki di Gedung Putih. Meski begitu, di tengah kesibukannya yang segudang beliau selalu bersedia meluangkan waktu untuk menolong kami-kami yang buta ilmu kesehatan.

Ketika seorang kawan melahirkan anak pertama, beliau memonitor perkembangan si calon ibu dan jabang bayi melalui teman baiknya -seorang dokter kandungan- untuk memastikan proses persalinan berjalan dengan lancar sesuai keinginan si ibu: melahirkan dengan normal. Ketika putra sahabat saya menderita penyakit berbahaya Stevens-Johnson syndrome, beliau ikut repot mencari informasi mengenai penyakit yang terbilang langka itu dan menghubungi teman-temannya sesama dokter untuk mencari penanganan terbaik yang dapat ditempuh demi kesehatan si bayi. Ketika tante seorang teman lain menderita tumor otak ganas, beliau memberi rujukan ke rumah sakit terpercaya (baca: kemungkinan malprakteknya bisa diminimalkan) dan dengan sukarela memantau perkembangan si pasien yang notabene tidak dikenalnya sama sekali.

Salah satu omelan favoritnya setiap bertemu saya adalah, “ITU MUKA KENAPA MERAH-MERAH LAGI? Kemarin perasaan udah mulusan! Pasti makan donat lagi ya?”

Hehehe.

Yup, beliau ‘mengharamkan’ saya sering-sering makan donat dan telur demi mengendalikan populasi jerawat di wajah saya. Masalahnya oh masalahnya, sebagai penggemar sejati donat –khususnya yang dijual di mal-mal dengan brand berupa inisial seorang tukang cukur yang berkonversi jadi tukang roti dan donat- saya sangat sulit menahan keinginan untuk tidak nyemil kue bolong itu. Dan buat saya, tidak ada yang bisa menyamai kenikmatan makan telur ceplok pakai kecap asin dan cabe rawit. Alhasil, jerawat pun terus berkembang biak. Setiap kali diomeli, saya cuma cengar-cengir sambil minta ampun dan mencoba mengurangi konsumsi 2 makanan ‘haram’ itu, yang biasanya cuma bertahan beberapa bulan sebelum saya kembali memamahnya secara konsisten. Hihihi. (duhhh, maap, Tan!)

Kemarin siang kami kembali bertemu. Saya, beliau dan beberapa teman duduk membentuk kerumunan kecil yang superberisik. Beliau memukul saya dengan bercanda ketika saya berkomentar bahwa larangannya makan donat dan telur sangat menyiksa kesejahteraan jiwa. Seorang teman yang wajahnya sedang jerawatan parah juga tidak luput dari omelan. Kami sedang sibuk ngeles sambil tertawa-tawa heboh, ketika seorang kawan mendadak menyeruak ke dalam kerumunan sambil mengulurkan sebuah bungkusan kepada si Tante.

“Titipan dari Edo,” ia menyebut nama anak bungsu Tante yang sedang menempuh pendidikan di London. Rupanya si kawan baru kembali dari perjalanan dinas di kota yang sama.

“Oh, dari Edo?!” wajah si Tante berubah sumringah. Surprised campur senang.

Kawan tersebut hanya mampir sebentar untuk menyerahkan titipan. Setelah ngobrol beberapa jenak, ia pamit dan Tante memasukkan bungkusan itu ke dalam tasnya. Saat saya mengira obrolan akan kembali berlanjut, Tante membatalkan niatnya menutup tas. Ia melongok ke dalam tas dan membuka bungkusan itu, mengintip isinya cepat-cepat. Ketika mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca.

“Makasih ya, Pepi,” serunya pada si kawan yang sudah beranjak menjauh. Beliau mengeluarkan bungkusan itu dari tas dan mendekapnya erat-erat di dada dengan kedua tangan.

“Aduh, senengnya…” komentarnya lirih. “Baiknya… dia inget sama Tante. Kalo yang dua lagi kan udah cuek, udah pada gede…” ia merujuk pada dua putrinya yang tinggal di Eropa.

Obrolan tidak jadi berlanjut. Tante terus mendekap bungkusan itu di dadanya. Saya memperhatikan beliau menyusut airmata dengan ujung jari, sementara sepasang manik itu terus berbinar dengan kebahagiaan yang sulit dideskripsikan.

Tanpa bermaksud mengecilkan makna sebuah pemberian, saya yakin isi bungkusan itu tidaklah seberapa dibandingkan tas buatan perancang yang disandang beliau maupun perhiasan yang sangat mencolok dan tidak pernah absen dikenakannya.

Bertahun-tahun mengenalnya, saya tidak pernah melihat beliau memegang sertifikat penghargaan dari pemerintah maupun trofi bergrafir indah -yang menunjukkan catatan prestasi nan fantastis dan selalu mengundang decak kagum orang- seperti mendekap hadiah sederhana dari putra tersayangnya.

Ia adalah seorang wanita berkharisma yang memancarkan aura kesuksesan sejati. Namanya tercatat dalam kumpulan profil orang-orang yang berjasa memberikan kontribusi secara langsung bagi kemajuan Negara, dan prestasinya telah menghantarnya ke Gedung Putih untuk bertemu orang nomor 1 di Amerika.

Kemarin siang, jauh di balik pesona gemerlap nan berkilau yang disandang beliau sebagai figur masyarakat -dengan segala pencapaiannya- saya memandang dengan kagum ketika sosok yang bersembunyi di lapisan terdalam itu memunculkan diri.

Sosok sejati itu adalah seorang Ibu.

Menjaga Hati

Saya selalu nggak habis pikir kagum dengan orang-orang yang bisa selalu menahan diri dalam menghadapi sesuatu yang tidak enak atau menyakitkan tanpa pernah terpancing untuk membalas, atau setidaknya melampiaskan emosi. Jujur, walau saya nggak suka berantem, saya termasuk manusia yang tidak sabaran dan mudah naik darah, walau sering kali kekesalan saya hanya terlafalkan dalam hati, tidak sampai terucap.

Saya punya beberapa teman yang seperti itu: supersabar, nggak pernah marah, tutur katanya selalu halus, ramah budi bahasa, nggak pernah mengucapkan atau melakukan sesuatu yang menyakiti orang lain, ringan tangan (dalam arti suka menolong, bukan ngegampar orang)… pokoknya TOP lah, sampai saya sering merasa minder sendiri berdekatan dengan mereka, karena meski termasuk golongan Pencinta Damai, tidak jarang saya mengeluarkan kalimat protes maupun celaan *uuups* dalam menghadapi hal-hal tertentu yang melanggar batas kesabaran saya, mulai dari yang paling nggak waras (komat-kamit ngedumel nggak jelas), curhat ke teman, sampai ngomel langsung ke orang yang bersangkutan.

Sejujurnya, tiap selesai menyalurkan kejengkelan, sering saya menyesal dan berpikir, “Ya elah Jen, segitu aja kok dibawa kesel…” dan saya lantas membuat janji pada diri sendiri untuk lebih menguasai temperamen dan menjaga lidah, walau seringnya… gagal lagi.

Salah 1 hal yang paling cepat memancing emosi saya adalah jika saya merasa sudah melakukan yang terbaik, namun tindakan itu justru disalahpahami oleh orang yang bersangkutan, apalagi jika diembel-embeli prasangka. Duuuh, berasa disilet, hehehe. Menyangkut hal ini, seorang teman pernah berkata dengan bijaknya, “Kalau kita melakukan yang terbaik dan disalahpahami, biarkan saja. Itu malah bisa menguji keikhlasan kita. Kalau kita-nya betul-betul ikhlas, mau dianggap bagaimana pun, diperlakukan kayak apapun seharusnya nggak terpengaruh.”

Dia mengucapkan itu setahun yang lalu, ketika kami bercakap-cakap persis sehari setelah lebaran. Saya terdiam. Sampai hari ini, 12 bulan setelah mendengar kalimat itu, saya masih mengakui: itu nggak gampang, bok.

Sama sekali tidak gampang.

Menjaga nurani agar selalu bersih dan murni bukanlah sesuatu yang mudah. Menjaga hati dari kontaminasi agenda pribadi, walau terdengar sepele, sama sekali bukan hal remeh yang dapat dilakukan sekejap mata. Berkali-kali, dalam banyak hal, saya merasa tertohok menyadari bahwa tindakan saya dimotori oleh ketidaktulusan yang meski tidak kasat mata, tetap diketahui oleh suara kecil bernama nurani ini. Berkali-kali juga saya menegur diri agar lebih mampu melindungi hati dari motif terselubung, setiap kali saya melakukan sesuatu yang (menurut saya) baik.

Menjaga hati, lidah, tindakan dan khususnya menjaga nurani adalah sesuatu yang masih terus saya ‘gumuli’ hingga detik ini. Bukan untuk menjadi manusia serba sempurna yang tidak pernah berbuat kesalahan, namun untuk menjadi manusia yang lebih baik dari waktu ke waktu.

Saya ingin menjadi manusia yang lebih baik, terutama dalam hal-hal sederhana seperti lebih banyak bersyukur, bermurah hati memberi maaf, melupakan kesalahan (it’s easier to forgive than forget, right?), tidak mudah terbawa emosi, menjaga perkataan, sikap, tindakan maupun pikiran agar senantiasa tulus, melapangkan hati, dan yang terpenting, terus mendengarkan bisikan kecil yang bersemayam jauh di dalam kalbu tanpa tergoda untuk menepisnya demi sesuatu yang bernama ego.

Semoga saya bisa… 🙂

*Dedicated to Steven & Elly Agustinus, manusia-manusia terbaik yang saya kenal, yang telah menjadi ‘rumah’ bagi begitu banyak orang. Terima kasih karena tak pernah lelah mengingatkan, menegur serta memberi inspirasi. Dan terima kasih untuk sebuah ‘kamar’ yang senantiasa tersedia bagi saya… 🙂