Desperate Housewives Season 3

Baru menamatkan Desperate Housewives Season 3, dan agak kecewa dengan endingnya. Tapi, biar gimana juga, serial ini akan selalu jadi favorit saya dan tidak akan membosankan untuk ditonton berulang-ulang. Kalau Ibu ini menyamakan diri dengan Bree Van de Kamp (eh, sekarang Bree Hodge ya?) yang living the life of Lynette Scavo, maka figur yang paling pas buat saya adalah Susan Mayer (when you meet me in person, you will know why. Hahaha!).

Life sucks and they deal with it.

Itulah yang paling saya suka dari serial ini. Selain plot yang selalu sukses membuat saya mehe-mehe dan sok mikir keras untuk nebak ‘ini pasti nyambungnya ke sini, ntar pasti jadinya kayak gini, de-es-te’ (yang ternyata salah ;-D), saya sangat suka dengan karakter-karakternya yang kuat dan kutipan-kutipan dalam dialog maupun narasi yang nggak pernah ada matinya. Dalem, bok!

Banyak scene dalam season 3 ini yang menjadi favorit saya, di antaranya ketika para housewives ini berusaha melakukan yang terbaik untuk diri mereka dan malah mengakhirinya dengan kesalahan besar — seperti Susan yang memutuskan untuk kencan dengan pria lain setelah sia-sia menunggui Mike yang koma selama 6 bulan dan mendapati bahwa Mike siuman justru ketika ia pergi berlibur dan Edie Britt telah menggantikan tempatnya saat ia kembali; atau seperti Bree, yang berusaha melakukan yang terbaik untuk orang-orang yang ia cintai, dan justru mendapati hasil berkebalikan.

Bree: I’m so tired of feeling like the worst mother who ever lived. I’ve tried so hard to set a good example. I’ve done the best to teach you kids right from wrong. Why isn’t it taking?
Andrew: It took. I mean, we know the difference between right and wrong. We just chose wrong.
Bree: Why?
Andrew: Sometimes when you push a kid really hard to go one way, the other way starts to look more entertaining.

Somehow, saya menemukan korelasi antara para desperate housewives ini dengan percakapan saya dan seorang teman, beberapa minggu lalu, ketika lagi-lagi membahas tentang pilihan hidup.

+ “Terus, kalo pilihan yang kita buat ternyata salah, gimana? Shouldn’t we regret it?”
– “Ngapain nyesel? Berguna? Nggak kali. Hidup itu untuk jalan maju terus, keputusan adalah awalnya. Kalo gak seneng sama apa yang dijalanin, ya bikin keputusan lain aja. Ganti arah.”

Entah korelasi beneran atau saya aja yang nyambung-nyambungin, tapi kok ya sepertinya tidak ada yang lebih tepat untuk merefleksikan kalimat nyebelin-tapi-bener teman saya itu, selain dialog Lynette dengan Caroline Bigsby saat ia disandera di supermarket.

Lynette: What is the matter with you?

Caroline: Have you not been paying attention? My husband cheated on me!
Lynette: Who cares? We all have pain, but we deal with it! We swallow it and get going with our lives! What we don’t do is go around shooting strangers!
Okay, ini nggak penting, tapi saya sampai memutar episode yang sama 3 kali cuma untuk nonton scene ini, bow. 🙂
Moral of the story?
1. ‘Desperate Housewives’ ROCKS.
2. Do your best. When life sucks, hang on. Deal with it, swallow it and get going. 🙂
*Eh, eh, gue udah punya Fesbuk! YAY! :-D*
Gambar diambil dari http://www.starpulse.com/

Di Bawah Langit (Tanpa) Bintang

Kemarin malam, saya duduk sendirian di teras rumah seorang teman. Sambil mengeringkan rambut yang basah setelah keramas, saya menengadah ke langit.

Kosong. Yang ada cuma hamparan gelap dengan dua titik cahaya. Sesepi rumah yang sedang saya tunggui, yang ditinggalkan pemiliknya mudik ke Jawa Tengah.

Sumpah, susah banget nemu langit berbintang di kota yang penuh polusi seperti Jakarta. Tapi, somehow saya merasa cukup dengan keheningan yang tenteram itu.

Kemarin, saya lelah berpikir. Lelah mempertanyakan segala sesuatu. Lelah menguras emosi.

Saya hanya ingin beristirahat dan membiarkan sel-sel otak bernafas lega.

So there I was, sitting alone. Menikmati setiap menit yang diberikan malam sunyi tanpa bintang.

Dan saya merasa damai.

Sesaat, saya ingin waktu berhenti supaya saya bisa lebih lama menikmati keheningan itu. Keheningan yang menggerakkan saya untuk memulai dialog sederhana dengan Sang Pencipta, yang kerap terlupa oleh egoisme atas nama kesibukan.

Kemarin, saya kembali diingatkan.

Bahwa bersyukur, meski terdengar remeh, dapat mengangkat begitu banyak beban.

Bersyukur tidak menyelesaikan masalah, namun membuat kita mampu menghadapinya tanpa menjadi terlalu penat.

Bersyukur tidak menghilangkan persoalan, namun membuatnya terasa jauh lebih ringan.

Kemarin, di bawah langit tanpa bintang, saya kembali diingatkan.

Bersyukur itu tidak bisa cuma sekali.

Berani Bermimpi

Saya sangat suka menonton film Denias: Senandung di Atas Awan, dan tidak pernah bosan memutarnya berulang kali.

Buat saya, Denias itu te-o-pe be-ge-te. Kalau Roeper & Ebert memberi ‘two thumbs up’ untuk film-film box office, saya memberi ‘four thumbs up’ (iya, jempol kaki juga dihitung 😉 ) untuk bocah dari pedalaman Papua ini – bocah biasa dengan tekad yang luar biasa. Saya selalu mendapat insight baru setiap menonton ulang film ini, dan (sebagai penyandang predikat ratu mellow) tentunya selalu termehe-mehe menjelang akhir cerita. 🙂

Setahun terakhir, ada seseorang lagi yang menjadi sumber inspirasi saya. Bukan karena pencapaiannya, bukan karena prestasinya, tapi karena mimpinya.

Audrey Clarissa hanya seorang gadis biasa yang dibesarkan di Sukabumi. Yang membedakannya dari gadis-gadis lain di Sukabumi (dan seluruh Indonesia) adalah keberaniannya untuk bermimpi.

Keberanian itu diawali oleh sebuah keinginan: ingin Indonesia terdaftar sebagai anggota Organisasi Mahasiswa Farmasi Sedunia setelah organisasi ini berdiri selama puluhan tahun. Cita-citanya sederhana, namun besar: ingin melihat Indonesia eksis dalam dunia farmasi internasional – atau setidaknya, diakui keberadaannya.

Audrey bukanlah orang pertama yang menginginkan hal tersebut, tapi (saya rasa) ialah orang pertama yang memiliki cukup driving force dan tekad untuk mewujudkan impian itu.

Niatnya tidak surut meski langkah awalnya tertunda selama setahun karena wabah SARS. Sebaliknya, keinginan itu terus menggelora dan menciptakan driving force yang lebih kuat lagi. Berdasarkan pertimbangan akal sehat, hanya ‘orang gila’ yang berani mengajukan ide untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan simposium salah satu organisasi internasional tertua di dunia, persis ketika negaranya baru saja terdaftar sebagai anggota –setelah puluhan tahun tidak diakui eksistensinya- sekaligus menyanggupi untuk bertanggung jawab sebagai ketua panitia.

Keberanian dan driving force yang sama kini telah menghantar Audrey menjadi presiden International Pharmaceutical Students’ Federation yang pertama dari Asia. Seorang gadis sederhana dari Sukabumi telah mengharumkan bukan hanya Indonesia, namun Asia secara keseluruhan – karena ia berani bermimpi.

Saya selalu salut dengan mereka yang berani bermimpi besar, dan bangkit untuk mengejar mimpi itu. Bukan hanya bermimpi dan patah arang di tengah jalan, bukan sekedar berangan-angan dan melupakannya ketika hambatan datang, namun berani berjuang sampai mimpi itu betul-betul terwujud.

Denias tidak menunggu kesempatan. Ia bahkan tidak mau menunggu guru pengganti dari Jawa. Ia bangkit untuk mengejar mimpinya ke sekolah fasilitas, meski berdasarkan logika adalah mustahil untuk belajar di sekolah yang diperuntukkan bagi kalangan tertentu dengan biaya yang tidak sedikit.

Audrey tidak menunggu kesempatan. Ia tidak menunggu dunia farmasi melirik Indonesia. Ia datang ke sana membawa Indonesia. Ia tidak menunggu dunia farmasi memberinya peluang. Ia menyodorkan diri kepada mereka, dan mereka memberinya kesempatan.

Denias dan Audrey tidak berbeda dengan orang-orang lain yang ada di sekitar mereka, pada waktu dan tempat yang sama. Hidup di tanah yang sama. Berdiri di negeri yang sama. Makan, minum dan menghirup udara yang sama. Yang menjadikan mereka berbeda adalah keberanian untuk bermimpi dan bangun dari tidur untuk mewujudkan mimpi itu.

Mereka tidak menunggu. Mereka mengejar mimpi. Mereka siap meraih kesempatan, namun ketika kesempatan tidak kunjung menyapa, mereka menciptakan kesempatan.

Saya selalu suka menonton film Denias, dan tidak pernah bosan memutarnya berulang kali.

Seperti dia, saya pun ingin terus belajar. Belajar bermimpi.

Tapi, yang paling penting, saya ingin bangun dari setiap mimpi dan mulai mengejarnya – satu demi satu. Seperti Denias. Seperti Audrey. Seperti jutaan orang lain di masa lalu dan masa kini, yang meraih impian karena belajar menciptakan kesempatan.

Dan saya mulai berpikir.

Mungkin… mungkin yang dibutuhkan bangsa ini bukan orang-orang spektakuler. Bukan peluang raksasa. Bukan janji-janji muluk. Bukan uluran tangan penuh belas kasihan.

Sesulit dan separah apapun kondisi suatu bangsa, saya percaya akan selalu ada harapan, selama masih ada orang-orang yang sanggup bermimpi — mereka yang menggantung cita-cita dan bersedia menempuh proses untuk menggapainya, berapapun harga yang harus dibayar.

Saya juga selalu percaya bahwa anak-anak adalah pilar penopang bangsa. Apa yang telah diraih dan diwujudkan generasi sekarang akan diteruskan dan dikembangkan oleh generasi selanjutnya. Apa yang kita capai pada masa kini akan diestafetkan kepada generasi di bawah kita, dan demikian seterusnya.

Saya percaya kekuatan suatu bangsa ditentukan oleh bagaimana mereka membangun masa kini dan mempersiapkan masa depan. Berlari sebaik mungkin, dan melatih (calon) pemegang tongkat estafet berikutnya untuk melanjutkan perjalanan yang telah dimulai.

Mungkin yang dibutuhkan bangsa ini sebenarnya hanya orang-orang biasa dengan tekad yang luar biasa.

Yang berani bermimpi dan bangun dari tidur untuk mewujudkannya, untuk kemudian meneruskan mimpi dan kekuatan yang sama kepada generasi di bawah mereka.

Mimpi untuk terus bangkit, bergerak maju dan berjuang menjadi lebih baik.

Kekuatan untuk terus mengejar mimpi, dan setelah berhasil meraihnya, menggunakannya bukan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan untuk membangun bangsa dan negara.

Denias berani bermimpi. Audrey berani bermimpi.

Mari, belajar bermimpi.

“Beranilah bermimpi, dan bangunlah untuk mengejar mimpi-mimpi itu. Jika kesempatan menghampiri, itu baik. Namun jika tidak, ciptakan saja kesempatan itu.”

*Au, if you read this: Thanks for being an inspiration. Ditunggu makan-makannya, Neng 😉

Manusia-Manusia Super

Tadinya mau posting entri lain, tapi berubah pikiran gara-gara begadang semalam.

Tadi malam saya lagi-lagi menginap di kamar Alex, setelah desperate menghadapi para penghuni kamar tempat saya beramai-ramai tidur selama training di kantor.

Saya bisa mentolerir dengkuran seseorang yang tidur persis di sebelah saya (ya mau diapain lagi, bow, udah dari sononya ‘kali), tapi mbok yaaaaao tidurnya jangan sambil nyetel radio! Kalaupun teuteub mau nyetel, tolong ya itu radionya jangan diumpetin entah di mana. G-A-N-G-G-U. Saya sedang menimbang-nimbang untuk membangunkan si pemilik radio, ketika handphone orang yang tidur di seberang saya berbunyi. Setelah berdering dengan frekuensi yang membuat saya tergoda mencelupkan handphone ke bak mandi, teman saya akhirnya mengangkat benda keparat itu. Dan ngobrol dengan asyiknya.

Edan. *untuk memperhalus kata geblekmonyongkampret*

Demi kesejahteraan jiwa, jadilah saya hijrah ke kamar Alex.

Bocah itu sedang tidur dengan pulasnya ketika saya mengendap-endap masuk dan merebahkan diri di alas karet bongkar-pasang tempat bermainnya. Kurang nyaman, tapi lumayan lah. Saya menutupi tubuh dengan selimut tebal dan bersiap-siap tidur

…ketika Alex mendadak bangun, dengan kronologis sebagai berikut:

30 detik pertama: guling-guling di ranjang.
30 detik kedua: mulai memanggili Ncus.
30 detik ketiga: Ncus terbangun dan menghampiri Alex.
30 detik keempat: Alex menolak ditidurkan kembali.
30 detik kelima: Alex merengek dan mulai menangis.
30 detik keenam: Ncus berusaha mendiamkan.
30 detik ketujuh: Alex menjerit.
30 detik kedelapan: Alex semakin keras menjerit.
30 detik kesembilan: Alex masih betah menjerit.
30 detik kesepuluh: Mommy dan Daddy keluar kamar.

30 detik kesebelas sampai seterusnya, terjadi adu mulut paling menegangkan sedunia antara Mommy-Daddy dan Alex.

Hancurlah istirahat malam yang tenang dan syahdu.

Saya? Pasrah di balik selimut. Lha mau ngapain lagi?

Jangankan ikut campur, tindakan paling gagah yang saya lakukan cuma mengintip sahabat saya yang sedang duduk di meja makan dengan ekspresi desperate, sementara sang suami masih keukeuh adu suara dengan si bocah.

Pukul 3 pagi, akhirnya Alex capek dan terlelap – setelah dibuai di kamar, ruang tamu, ruang makan, teras dan dapur (seriously).

Dan menangis lagi pada pukul 8.

What a day.

Hari ini, sahabat saya (Daddy-nya Alex) kembali mengajar dalam training, seperti biasa. 3 session pagi-siang, 1 session malam. Plus menjadi narasumber sebuah program radio yang menyita seluruh waktu istirahat sorenya. Saya cuma geleng-geleng heran melihatnya cuap-cuap dengan intensitas yang tidak menurun sedikit pun. Kok bisa, ya? FYI, menurut si Ncus, rewelnya Alex ternyata sudah berlangsung selama beberapa malam dan dengan suksesnya menjadikan sahabat-sahabat saya makhluk nokturnal.

Hari ini Alex didisiplin; tidak boleh main keluar rumah dan tidak boleh ikut para Auntie & Uncle jalan-jalan ke mall seperti yang sempat dijanjikan kemarin sore. Sebagai gantinya, DVD anak-anak siap menemaninya bermain dan makan siang.

Si bocah kriwil berlari gembira ketika saya dan dua orang teman datang ke rumah. Dia berlari-lari menyambut sambil minta diajak pergi, yang sayangnya, kali ini tidak bisa kami penuhi.

Dia tertawa-tawa memamerkan gigi yang belum semuanya tumbuh sambil memeluk boneka ‘Sweet Banana’ erat-erat, bikin geli sekaligus gemas.

Namun, dari semuanya, yang paling menyentuh adalah pemandangan di siang hari, ketika Daddy pulang ke rumah untuk makan siang.

Daddy menjenguk Alex yang asyik bermain di kamar bersama Ncus.

Begitu melihat ayahnya, Alex segera berdiri di atas tempat tidur, memanggil-manggilnya sambil berloncatan gembira.

Daddy tersenyum lebar dan mengembangkan tangan. “Sini, hug Daddy.”

Alex berlari ke pelukan Daddy dan menghadiahkan 2 ciuman, pipi kiri dan kanan. Adu mulut paling menegangkan sedunia yang baru terjadi 10 jam sebelumnya terlupakan sama sekali. Di balik punggung Daddy, Mommy tersenyum menyaksikan scene itu. Mengintip sambil tertawa.

Buat saya, mereka ini adalah manusia-manusia super. Mereka, dan semua orangtua di seluruh belahan dunia – karena orang-orang ini mampu berkali-kali merasa kesal, capek, jenuh, letih, jengkel, marah dan menangis tanpa pernah kehilangan cinta.

Cerita Sebatang Pohon

Salah satu wanita yang paling saya kagumi di dunia adalah Tante saya, a.k.a putri sulung dari 9 bersaudara yang menikah pada usia 18 tahun, langsung memiliki anak dan menjalani kehidupan yang tidak bisa dibilang mudah.

Beliau dan 8 saudaranya (termasuk Ibu saya) dibesarkan dalam kondisi serba kekurangan. Cerita yang paling sering saya dengar adalah sup kacang hijau yang dicampur banyak air dan es batu supaya encer, sebutir telur ceplok yang dibagi 6, bikin prakarya nebeng teman (bukan karena males ngerjain sendiri, tapi karena tidak punya uang untuk membeli bahan), berjualan es mambo, sampai nonton TV beramai-ramai di rumah seorang sepupu dan diolok-olok karenanya. Belum lagi Kakek saya yang sangat keras dalam mendidik anak.

Setelah menikah, kehidupan yang dijalani Tante saya tetap tidak gampang, karena beliau menikah dengan seorang pria yang supersederhana. Ia membesarkan ketiga anaknya dalam rumah mungil berlantai tanah yang kerap kebanjiran.

“Kalau banjir, Tante selalu was-was,” kisahnya. “Soalnya tiap habis banjir, suka banyak binatang masuk rumah.”

Binatang di sini, salah duanya adalah ular dan cacing-cacing kecil yang suka bersembunyi di lipatan kasur. Saking seringnya, beliau hafal suara gemersak yang ditimbulkan seekor ular. Tiap kali bunyi itu terdengar, mereka tidur dengan was-was dan esok paginya bergerilya membongkar rumah untuk mencari si ular. Sebelum anak-anaknya pergi tidur, Tante saya akan menelusuri jengkal demi jengkal kasur kapuk, memastikan tidak ada cacing yang melata di sana.

Begitulah beliau hidup. Sialnya lagi, Oom saya semasa mudanya adalah jelmaan Buto Ijo. Nyeremin. Emosi beliau sangat mudah terpancing, bahkan oleh hal paling sepele. Sebagai ayah yang sangat menyayangi anak, sifat perfeksionis dan temperamen meledak-ledak adalah kombinasi berbahaya. Oom saya sanggup mengomel dari terbit matahari sampai pada masuknya, hanya karena di tubuh anaknya terdapat SATU GIGITAN NYAMUK.

Bukan memar, bukan luka sobek, bukan goresan. Bukan sulap, buk… *ah, sudahlah* ;-D
Satu gigitan nyamuk cukup untuk membuat Oom saya naik darah sepanjang hari. Dan gigitan nyamuk yang sama sempat membuat Tante berniat mengajukan gugatan cerai karena tidak tahan dengan kelakuan si Oom.

Suatu siang, Tante mengamati anaknya yang sedang bermain dan nyaris bunuh diri melihat TIGA GIGITAN NYAMUK di wajah si bocah. Saking hebatnya gejolak batin itu *tsah*, rasa takut yang selalu muncul mendadak berubah menjadi kemarahan. Ketika Oom pulang, hal pertama yang dilakukan si Tante adalah membuka pintu lebar-lebar dan berseru sekeras-kerasnya,

“TUH! ANAK KAMU DIGIGIT NYAMUK LAGI! BUKAN SATU. TIGA! TUH LIAT BENTOLNYA TIGA!!! SEKARANG KAMU MAU APA?! MAU NGAPAIIIN???!!”

Shocked, Oom saya cuma bisa bengong dan berkata pelan,”Ya udah, mau diapain lagi…” — yang disambut bahagia oleh Tante,

“NAH, GITU DONG!! KENAPA GAK DARI DULU NGOMONG KAYAK GITU.”

Hihihihihi.

Seiring bertambahnya usia pernikahan, lambat laun keduanya berubah. Pelan tapi pasti, Oom saya menjadi figur suami terpuji dan ayah teladan yang sabar dan sangat mencintai keluarga. Kehidupan mulai berbelok. Puluhan tahun setelah mengucapkan janji sehidup-semati dan tinggal di rumah berlantai tanah, mereka berhasil menghantar anak-anak meraih gelar Master di Negeri Paman Sam dan menggapai kesuksesan. Sekarang ketiga sepupu saya sudah menikah, dan Tante mulai menempuh fase baru dalam hidupnya: menjadi seorang nenek.

Oom dan Tante saya mengawali babak baru dalam hidup dengan serba kekurangan. Yang mereka punyai hanya benih dari spesies tumbuhan bernama Kasih Sayang, yang disirami dengan Kesabaran dan diberi pupuk Kebesaran Hati, hari demi hari. Kini pohon itu telah tumbuh kuat. Menaungi Oom dan Tante. Membuat mereka tak lagi rentan terhadap hujan dan sengatan matahari.

Saya tidak pernah bosan mendengar cerita-cerita Tante dan membiarkan imajinasi saya berkembang menjadi sebuah harapan yang semoga tidak terlalu muluk untuk diwujudkan.

Pernikahan saya nanti, mungkin bukanlah pesta mewah di hotel bintang lima yang biayanya setara dengan rumah 3 lantai, karena saya adalah manusia pelit yang lebih memilih punya rumah sendiri dan tabungan untuk membiayai pendidikan si kecil – kalau sudah punya anak nanti. Saya tidak ingin berkeluh-kesah karena tagihan kartu kredit yang tidak kunjung lunas (seperti yang diucapkan seorang teman kemarin, “Nikahnya kapaaan, lunasnya kapan.”), pun tidak ingin deg-degan saat merancang repelita anak saya kelak. (Akur, Jeng? ;-D)

Seandainya diberi kelebihan (dan kemudahan) untuk ‘hidup lebih leluasa’, puji Tuhan. Saya bukan tipikal sosok rendah hati pun baik budi seperti kontestan reality show yang ketika ditanya “Kalau menang, uangnya buat apa?” jawabannya adalah, “Buat bangun Gereja dan Mesjid.” Saya, seperti banyak perempuan lain di muka bumi, menginginkan pernikahan dan kehidupan yang lebih dari layak.

Tapi, di atas segalanya, yang paling saya dambakan adalah kehidupan pernikahan yang terus bertumbuh – seperti pohon yang berasal dari sebutir benih. Mungkin sederhana, tapi memiliki akar yang kuat.
Mungkin tidak sempurna, tapi dapat terus menjulang sampai menjadi pohon yang kokoh dan rindang.
Tidak goyah diterpa angin, tidak gentar menghadapi badai, tidak kalah melawan terik sang Surya, mampu memberi perlindungan bagi burung-burung kecil, dan meneduhkan siapa pun yang bernaung di bawahnya.

Semoga.