Sepenggal Cerita Akhir Pekan ;-)

Akhir pekan.
Tumpukan kertas, tugas dan deadline.
Restoran bergaya kapitalis tidak jauh dari kantor.
Saya dan seorang sahabat.

Setelah memesan makanan, kami sama-sama diam. Sesuatu yang janggal karena selama saya bersahabat dengannya, setiap pertemuan selalu diwarnai obrolan heboh, canda sinting dan tawa gila.

Saya tidak berusaha mengisi keheningan itu. Saya hanya menyentuh cangkir berisi teh madu panas dan membiarkan kesunyian terus mengambang.

Saya menatapnya. Wajah itu pucat dan kehilangan rona. Setahun belakangan, wajah itu sering sekali dihiasi ekspresi yang sama, tapi malam ini adalah puncaknya.

Sahabat saya terduduk lemas. Rambutnya sedikit acak-acakan, wajahnya berminyak tanpa make-up. Sesuatu yang biasa untuk saya, mengingat saya termasuk dalam spesies perempuan cuek yang tidak peduli penampilan. Tapi tidak bagi dia. Sahabat saya sangat memperhatikan penampilan. Malam ini menjadi luar biasa karena ia rela terlihat berantakan di sebuah restoran mewah.

Ia terdiam. Matanya memandang kosong ke sebuah sudut. Saya tidak berniat mengusiknya. Juga tidak ingin bertanya.

Makanan datang. Kami menghabiskannya tanpa banyak cakap. Sesi makan malam itu terasa tidak menyenangkan. Bukan karena penyanyi berusia setengah baya dengan kepala nyaris botak yang melantunkan ‘Terajana’ dengan suara super-fals di pojok ruangan (seriously!), bukan juga karena keheningan yang terus mendominasi meja mungil kami. Tapi karena mata itu begitu hampa. Karena senyum yang biasa bermain di sana tidak ada lagi. Karena wajah di depan saya begitu pias. Karena, tanpa perlu diucapkan, saya tahu hatinya sangat sakit.

“Jelek banget,” gumam saya saat ‘Terajana’ kembali melengking, memperkosa telinga dengan nada patah-patah. “Mending elu aja yang nyanyi.”

Sahabat saya punya suara yang bagus. Berbeda dengan saya yang berpotensi menimbulkan kekacauan massal begitu menyanyi.

Ia tersenyum. Tipis.

“Boleh aja kalo diizinin mah.”

Saya nyengir kuda. Sangat yakin bahwa manajer restoran tidak akan keberatan posisi penyanyinya digantikan selama 5 menit oleh seorang perempuan dengan kemampuan vokal setara Celine Dion. (okay, okaaay… hiperbola.)

Saya menghampiri si Manajer dan mencolek bahunya.

Benar, kan, dia setuju. 😉

“Elu gila, ah,” bisik sahabat saya, ketika saya menyeretnya mendekati si penyanyi. Ia melangkah keluar restoran. Saya menahannya.

“Apaan sih lo,” protesnya.

Saya kembali menunjukkan wajah kuda tertawa.

“Tadi katanya mau. Udah dibolehin, tuh!” Saya menggamit lengannya. “Trust me, you’re gonna feel better. Lepasin semuanya. Let it go.”

…..

Malam itu, lagu yang pernah dipopulerkan Ruth Sahanaya mengalun dengan keindahan yang menyaingi penyanyi aslinya. Beberapa pengunjung menoleh dengan raut terkesan. Seorang Ibu mencolek anaknya dan menunjuk-nunjuk ke arah kami. Sisanya tampak lega karena terbebas dari keharusan mendengarkan lagu-lagu Ratu dan Naff yang dinyanyikan secara tidak wajar oleh pria setengah uzur.

Suara itu memenuhi ruangan dengan indah, menutupi denting keyboard yang tidak sempurna lantaran pemainnya kurang menguasai lagu.

Gelombang kesedihan menerpa saya. Setiap kata mewakili rasa sakit yang tersembunyi selama lebih dari 12 purnama.

Saya menemaninya menghabiskan malam. Saya tidak berusaha mengorek. Biarlah. Saya juga tidak memupuk kesedihannya. ia tidak perlu itu. Yang diperlukannya hanya seseorang untuk berbagi malam. Untuk memahaminya dalam hening.

Selang beberapa jam, sebuah pesan mampir di inbox saya. SMS dari sahabat saya yang lain, yang sedang bersukaria di negeri tetangga.

Baru naik sepeda, berenang & sunbathing. Sekarang lagi di atas genteng, liat bintang, ngopi, denger MP3 player. Hidup ini syedap Kakak!
sender: sobatgokil

Saya cengar-cengir sendiri, antara iri, sebal dan geli. Membayangkan tumpukan pekerjaan yang mustahil diabaikan dan terus-menerus membunyikan sinyal peringatan di otak.

Lalu saya tertawa.

Betapa beruntungnya saya, punya sahabat seperti mereka. Orang-orang yang selalu menyentuh hidup saya dengan cara yang khas; membuat saya terharu dan tertawa pada saat yang sama.

Mereka yang selalu bersedia berbagi tawa dan sedih, senang dan susah, gembira dan kesal dalam berbagai cara. Entah itu sekedar banyolan nyeleneh, canda gila nan absurd, obrolan santai yang sungguh tak penting, diskusi gak-jelas-juntrungannya, curhat berujung ngomel, sampai berbagi keheningan di restoran kapitalis diiringi ‘Terajana’.

Semuanya indah. Semuanya berarti. Karena mereka sahabat saya.

Saya membalas SMS itu dengan cepat. Satu kata, sepenuh jiwa.

Kampreeeet!

;-D

Semoga kami akan terus berbagi.

*OOT: Buat yang nanyain kabarnya Alex, ini foto terbarunya, bareng Mommy & Daddy. ;-)*

Riding Roller Coaster

Bulan Agustus betul-betul membuat hidup saya ‘meriah’. Banyak kejadian tidak terduga yang sukses membuat saya termehe-mehe, kaget, senang, sebal. Semuanya dalam waktu yang berdekatan.

Saya dipercaya untuk menangani sebuah project yang cukup besar dalam tenggat waktu yang sangat sempit, sendirian. Sebuah kehormatan yang bikin hidung kembang-kempis, sekaligus deg-degan setengah mampus sampai kebawa mimpi.

Seorang teman yang tinggal di Bangka mengabari bahwa ia hamil, beberapa minggu menjelang ulang tahun pernikahannya yang pertama.

Seorang teman lain -sahabat semasa SMU- juga memberi tahu bahwa ia hamil. ‘Pengumuman’nya cukup ajaib – dengan mengirim SMS panjang berisi puisi supermellow (sumpah!), sementara saya selalu mengenalnya sebagai sosok yang tomboi, gokil dan cuek abis. Being a Mom does change someone, right?

Novel solo sahabat saya rilis dan sudah beredar di toko buku. (‘Indonesian Idle’ – Gagas Media. Get it now!)

Membaca entri yang bikin mehe-mehe ini dan berkhayal seandainya saya ada di tempat yang sama. 🙂

Ngomel-ngomel nggak penting karena kasus penculikan yang menurut saya biadab dan konyol. (Bo, plis deh, anggota komunitas keagamaan nyulik anak umur 5 tahun?!)

Seorang sahabat lain merasa tersinggung dengan sikap saya (yang saya anggap wajar, sementara menurut dia tidak). Alhasil, sudah beberapa minggu saya merasa ‘baru kenal’ dengan orang yang ‘mendadak asing’ ini.

Adik saya putus dari pacarnya (well, bukan kejadian luar biasa sebetulnya, kalau saya tidak pernah mendengar kata ‘nikah’ tercetus dari si Bontot ini).

Sepupu saya divonis menderita kanker kelenjar getah bening stadium tiga, dan tante seorang teman yang lain divonis mengidap tumor otak.

Ayah kawan baik saya meninggal dunia. Saya mengetahui ini dari commenting system di blog-nya dan hanya bisa mengirim ucapan turut berdukacita melalui SMS.

Bulan ini juga, saya mulai menabung gila-gilaan untuk sebuah rencana besar yang akan saya lakukan pertengahan tahun depan. Banyak hal yang dulu ‘sah-sah aja’ saya lakukan, sekarang terpaksa dipapas di sana-sini demi memperkecil pengeluaran. I believe it’s worth the cost, though. 🙂

Dan masih banyak peristiwa lain yang tidak bisa ditulis di sini.

Bulan ini bagaikan roller coaster buat saya. Banyak kejadian yang membuat saya termehe-mehe, kaget, senang dan sebal dalam waktu berdekatan. Lucu rasanya, duduk di depan komputer dan mengingat-ingat semuanya.

Apapun itu, peristiwa di sepanjang Agustus ini sekali lagi menyadarkan saya tentang pentingnya mensyukuri hidup dan segala warnanya –baik itu cerah, terang, kelabu maupun gelap- dan tidak memandang sesuatu dari ‘permukaan’ nya saja.

Mensyukuri setiap tarikan nafas yang memberi saya kesempatan untuk mencecap hidup lebih lama.
Mensyukuri udara segar yang mengingatkan saya bahwa hari ini tercipta untuk dijalani sebaik-baiknya.
Bersyukur atas matahari, saat ia bersinar lembut maupun terik membakar.
Bersyukur bahwa semua panca indera saya masih berfungsi dengan baik.
Bersyukur bahwa saya masih bisa menuliskan ini, karena tandanya saya masih mampu berterima kasih.

Dan apapun yang terjadi, entah senang atau sedih, manis atau pahit, terang atau mendung; saya yakin pada akhirnya semua pasti akan baik-baik saja. 🙂

*Lah, tadi perasaan nyalain komputer untuk mberesin kerjaan, kenapa jadi posting?*

Proses Itu Tak Pernah Berhenti

Beberapa hari lalu, saya iseng melihat-lihat entri yang saya posting di blog saya yang lain. (Iya, saya punya dua blog, tapi yang satu lagi khusus untuk mencurahkan unek-unek, buka isi perut). Saya tertawa-tawa melihat entri yang berjumlah 40-an, yang hampir semuanya berisi hal-hal nggak penting. Salah duanya adalah foto koleksi Seri Kumbang-nya Enid Blyton dan foto cover CD bajakan yang menampilkan tulisan ‘Copying This CD Without Permission Is A Crime’ (dan ditayangkan di Museum ini, haha!). Sisanya kebanyakan berisi celoteh nggak penting yang jauh dari bermakna.

Saya mesam-mesem sambil membaca ulang entri-entri itu satu persatu dan berpikir, kok tulisan saya yang di sini, beda ya dengan entri di blogspot? Entri-entri saya di blogspot sangat serius, mellow dan kadang ‘sok bijak’. Mungkinkah saya punya alter ego seperti Beyonce Knowles atau seorang blogger old-skool *hai, Teh! :)* yang memposting hal serupa di sini? Maka mulailah saya berkhayal gila, seandainya punya alter ego, saya akan menamakannya Janice. (Ha!) ;-D

Kemarin saya membaca entri seorang sahabat yang berjudul Sekolah Kehidupan. Isinya sangat menggugah. Sekolah yang terbaik di dunia adalah Universitas Kehidupan – lengkap dengan mata kuliah yang beragam, yang semuanya memberikan pelajaran berharga tentang kehidupan; bagaimana menilik hidup dari sudut yang berbeda, memandang dengan bijaksana dan menjadi orang yang lebih baik.

Saya pernah menjalani sebuah fase dalam hidup, di mana saya ‘terobsesi’ dengan makhluk bernama Kesempurnaan. Segala sesuatu pada diri saya harus sempurna. Bukaaaan, bukan dari segi penampilan atau penampakan lahiriah. Saya tidak terlalu peduli dengan keindahan tampak-luar, yang menjadi ‘obsesi’ saya adalah kesempurnaan perilaku.

Kedengaran aneh?

Itulah yang saya kejar, dulu. Saya berusaha terlalu keras menjadi figur yang sempurna di depan keluarga dan teman-teman. Saya menjaga sikap, pembawaan dan tutur kata sedemikian rupa agar selalu tampil tanpa cacat-cela. Alasannya sederhana, saya ingin menjadi seorang teladan terpuji. Seseorang yang bisa memberi contoh perilaku mulia.

Masalahnya adalah, tanpa sadar motivasi itu bergeser dan saya mulai menganggap diri saya lebih baik dari orang-orang lain. Saya menganggap diri saya yang paling benar, paling sempurna, tanpa cacat.

Usaha terlalu keras itu berhasil, awalnya. Orang-orang yang saya temui memberi komentar baik tentang saya. Beberapa bahkan diungkapkan secara berlebihan, dan saya enjoy saja dengan semua itu. Ini berlangsung bertahun-tahun, dan saya tenggelam dalam sindroma ‘look-at-me-I-am-damn-good’… sampai saya sadar, ‘kesempurnaan’ itu telah menjauhkan saya dari keluarga saya sendiri.

Adik, sepupu-sepupu, bahkan pacar sepupu saya (!) jadi segan berdekatan dengan saya. Somehow, perilaku dan sikap sempurna yang saya tunjukkan mulai mengintimidasi mereka sampai taraf tertentu. Ya iyalah, gimana nggak, saya memang kelewatan, bow. Saya sangat menjaga omongan. Saya menjaga cara saya tertawa, bercanda dan berkomunikasi, bahkan saat berkumpul dengan orang-orang terdekat.

Saya memasang ‘garis pembatas’ yang sangat sempit, padahal sumpah mati, diva Indonesia aja nggak segitunya, ‘kali. Saya memasang batasan yang ketat dalam berteman. Saya memilih teman-teman saya. Hal yang sama saya terapkan dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis, bahkan standarnya lebih tinggi lagi (jangan tanya berapa kali saya pacaran selama masa kesintingan itu). Mungkin yang paling ekstrim adalah ketika saya memutuskan untuk tidak nonton bioskop sama sekali, namun dengan gilanya tetap berburu DVD bajakan di kaki lima. Saya menjadi figur yang terpuji di mata banyak orang, namun hati kecil ini mengakui bahwa saya tak lebih dari orang saklek. Songong karena merasa diri ini lebih baik dari orang lain.

Saya mendapat pujian dari banyak orang, namun mulai kehilangan keakraban dengan orang-orang terdekat. Adik saya menjaga jarak dengan saya. Sepupu saya menjaga sikap setiap bertemu dengan saya. Dan dengan sintingnya saya mengira sudah berhasil memberi teladan bagi mereka. Untungnya, kegilaan ini berakhir tidak lama kemudian, ketika saya mulai serius menekuni pelajaran di Universitas Kehidupan.

Saya mengambil mata kuliah ‘Membuka Diri’, ‘Memahami Perbedaan’ dan ‘Tenggang Rasa’. Saya belajar untuk tidak menganggap diri sendiri yang paling benar. Saya belajar membuka mata dan hati seluas-luasnya. Saya belajar melihat keindahan dalam setiap ketidaksempurnaan.

Dan ternyata memang benar, ketidaksempurnaan itu indah adanya.

Saya tidak lagi menghakimi ketika seorang teman memasang anting di hidung dan bibir. Saya tidak lagi mengernyit kepada mereka yang merajah tubuh dengan tattoo. Saya yang dulu selalu mencibir, kini membukakan mobil untuk teman yang kebelet merokok saat bertamu ke rumah seorang kenalan baru (secara tuan rumahnya wanita paruh baya yang superramah lagi baik budi, rasanya agak kurang pas ajaaa menjadikan terasnya tempat buangan asap rokok pada pertemuan pertama gitu, ganti). Saya tidak lagi anti dengan gedung bioskop. Dan saya tetap berburu DVD bajakan di kaki lima. *wink*

Saya belajar bahwa hidup adalah pilihan, dan setiap orang memiliki kehendak bebas untuk memilih secara sadar (serta bertanggung jawab atas pilihan itu, tentunya). Perlahan, saya mulai merasa damai karena hati ini tidak lagi gemar menghakimi.

Saya masih terus belajar. Saya percaya tidak ada satu orang pun yang akan lulus dari Universitas Kehidupan, karena proses belajar di tempat ini tidak pernah berhenti.

Harapan saya cuma satu: saya bisa menjalani setiap mata kuliah yang saya ambil dengan baik dan memperoleh nilai yang memuaskan. Tidak harus sempurna, tapi minimal baik. Dan siapa tahu, kita akan bertemu di salah satu kelas. 🙂

Selamat belajar! 🙂

Never Quit. Never Give Up.

Pria berusia awal empatpuluhan itu berdiri dengan wajah berseri-seri. Rambutnya yang tersisir rapi dan pembawaannya yang sangat khas anak muda sempat membuat saya terkecoh saat menafsirkan umurnya.

Ia sangat santai. Bibirnya hampir tidak pernah berhenti tersenyum, dan setiap kali ia tertawa matanya membentuk garis lengkung yang jenaka. Ia sangat ramah pada siapa saja, termasuk saya yang baru pertama kali dikenalnya. Humor-humornya selalu segar dan tidak pernah membosankan. Jujur, ketika pertama kali mengobrol dengannya, saya pikir ia bukanlah tipe pria yang bisa diajak berdiskusi serius dalam waktu lama.

“Saya mengenal satu keluarga,” Ia memulai ceritanya siang hari itu. Saya mengalihkan pandangan dari buku yang sedang saya pegang dan menatapnya, tapi sejujurnya saya tidak terlalu memperhatikan ucapannya.

“Keluarga ini memiliki seorang anak laki-laki.” Ia meneruskan. “Ketika bocah itu berumur 4 tahun, mereka menyadari bahwa ia cacat.”

Saya diam, mendengarkan. Sebagian perhatian saya masih terfokus pada buku yang sedang saya baca sebelum ia memulai konversasi itu.

“Anak laki-laki itu tidak bisa mendengar,“ lanjutnya, “Juga tidak bisa bicara. Yang bisa ia lakukan hanya lari kesana kemari sambil berteriak, seperti ini.” Ia mencontohkan dengan meniru jeritan yang menyakitkan telinga. Saya tertawa sambil mengernyitkan dahi. Sumpah, jeritan itu sangat tidak enak didengar.

“Ia juga menderita dyslexia,” sambungnya. Saya mengangguk. Saya pernah mendengar tentang penyakit itu (eh, penyakit atau bukan, ya? Pokoknya semacam kelainan yang menyebabkan si penderita kesulitan merangkai huruf; tidak bisa membaca, apalagi menulis). “Tidak ada sekolah yang mau menerimanya. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan pada seorang anak yang bisu-tuli, tidak bisa membaca, dan selalu lari sambil berteriak.”

Kali ini saya membisu. Novel di tangan saya terlupakan.

“Suami-istri itu membawa anak mereka ke berbagai dokter. Tapi dokter angkat tangan dan menyuruh mereka membawanya pulang. Semua dokter mengatakan, tidak ada yang bisa dilakukan terhadap anak itu. Ia tidak akan sembuh.”

Sampai di sini saya berpikir, betapa teganya orang-orang yang mengucapkan kalimat seperti itu terhadap orangtua yang sedih dan putus asa. Dasar nggak punya perasaan. Tapi, ternyata saya salah.

“Sesampainya di rumah, sang istri berkata pada suaminya, ‘Dokter bisa menyerah, tapi kita tidak akan menyerah.’”

“Bayangkan, punya anak seperti itu…” ia meneruskan. Lagi-lagi saya hanya diam. “Bayangkan perasaan mereka – punya anak yang tidak bisa bicara, tidak bisa mendengar, tidak bisa membaca, dan selalu berlarian sambil menjerit-jerit. Tapi mereka menolak untuk menyerah.” Mata laki-laki itu kembali berbinar.

“Mereka berdoa setiap hari. Mereka membacakan ayat-ayat Firman untuk putra mereka; tidak peduli ia mendengarnya atau tidak. ‘Kamu adalah seorang juara’, mereka berkata, ‘Kamu akan disembuhkan.’ Mereka terus melakukan itu, setiap hari. Lagi dan lagi. Terus seperti itu.”

“Setelah beberapa waktu, tidak ada perubahan apapun. Tapi mereka tetap menolak untuk menyerah. Kepada setiap orang yang menanyakan keadaan si bocah, mereka selalu menjawab, ‘Ia sudah membaik. Memang belum terlalu kelihatan, tapi sudah lebih baik.’ Selalu seperti itu, hari demi hari, 4 tahun lamanya.”

“Ketika anak laki-laki itu berumur 8 tahun, orangtuanya kembali memasukkannya ke sekolah…” sampai sini, ia memotong kalimatnya. Matanya bersinar jenaka. Saya tidak. Saya menunggu kalimat berikutnya dengan tidak sabar sambil ngomel-ngomel dalam hati atas kelakuannya yang sengaja membuat saya penasaran.

“Sejak saat itu, setiap tahun ia memenangkan penghargaan. Ia mendapat nilai tertinggi dalam setiap ujian di sekolah. Ia bahkan mengajar di kelas-kelas motivasional, memberi dukungan pada orang-orang yang mengalami kegagalan. Kalimat andalannya adalah: ‘Jangan pernah menyerah.’ Dan itu yang selalu ia ucapkan — sampai hari ini, ketika ia berusia 15 tahun: Jangan pernah berhenti. Jangan menyerah.’

Senyumnya merekah lebar. Sejak awal saya sudah menebak, pasti cerita ini berakhir bahagia. Tapi, melihat ekspresinya yang begitu hidup, tiba-tiba saya merasa hangat.

“Orangtua anak itu membawanya kembali pada ahli terapi yang pernah menolaknya. Ahli terapi itu keluar dengan bingung dan mencetus, ‘Ini bukan anakmu!’
Si ayah balik bertanya, ‘Memangnya kenapa?’
Ahli terapi itu menjawab, ‘Anakmu, yang kamu bawa dulu itu, tidak bisa bicara. Anak ini tidak mau berhenti bicara!’”

Kami terbahak-bahak. Wajah teman baru saya berbinar-binar dan sedikit memerah. Keningnya berkilap oleh keringat. Setelah puas tertawa, ia berhenti. Tatapannya berubah intens, sementara saya menunggu dengan penasaran, apalagi yang akan dia ceritakan?

Rautnya berubah teduh. Wajahnya masih berbinar, namun kehangatan kini mendominasi ekspresi riangnya.

Saya menunggu.

Senyumnya kembali merekah.

Saya tidak akan melupakan sinar di matanya, saat dengan lembut ia berkata, “Anak laki-laki itu adalah putra saya.”

To Brother Francis -a devoted father and beloved friend- thank you so much for sharing this wonderful story. May God richly bless you and your family!

The Power of Love

Setelah terkagum-kagum dengan tindakan heroik Lily Evans Potter untuk melindungi putranya (dan berharap saya bisa punya keberanian yang sama, seandainya dihadapkan pada situasi serupa), semalam saya kembali terbengong-bengong dalam usaha menamatkan Harry Potter 7.


*Mrs. Rowling, if you ever read this, 4 thumbs up for you (kayak mungkin dibaca ajaaa, hihihi).

J.K. Rowling itu jenius.

Dengan senang hati saya mengatakan itu pada orang-orang yang mencela Ibu beranak tiga ini atas kisah Harry Potter yang dianggap menyesatkan dan mengajarkan ilmu hitam (plis dyeeeh). Bukan sok membela seakan kenal, tapi sebagai penggemar Harry Potter yang sudah khatam buku-buku setebel dosa itu, saya tahu apa saja yang tersaji dalam cerita tersebut secara keseluruhan — tidak seperti mereka-mereka (maab) yang sekedar ‘merasa tahu’ dan menjadikan pengetahuan seujung kuku itu alasan untuk mencela seenak perut. (Yang kalau ditanya, “Nyela gitu, emangnya pernah baca?” Maka jawabannya kira-kira: “Nggak sih… tapi ya tau laaah, Harry Potter itu kan penyihir, trus dia pakai mantra-mantra gituuu sama belajar ilmu sihir yadda yadda blablabla…” Idih.)

Maafkan kalimat saya, tapi hal-hal seperti ini sungguh membuat naik darah. Sekali lagi, bukan karena sok membela Ibu Rowling, tapi karena sebagai orang yang sama-sama gemar menulis *ihiwww sedap*, saya menghargai tulisan beliau sebagai sebuah karya. Maka dari itu, please, wahai orang-orang yang demen-asal-nyela, kalau kalian tidak bisa menahan dorongan jiwa untuk mencela Maestro yang satu ini, at least tolong jangan mengucapkannya di depan saya, karena hal tersebut berpotensi memberi pengaruh buruk pada kesejahteraan jiwa. Hahaha. :DD

Anyway, sampai mana tadi…

Oh ya. Saya selalu mengagumi Lily Evans dan jiwa heroiknya. Tapi seiring berjalannya waktu *tsah*, saya mulai berpikir, mungkin faktor utamanya bukan jiwa heroik kali, ya… Sepertinya sih -dan kayaknya ini yang benar- faktor utama yang memicu kejadian dahsyat (yang membuat Harry menyandang predikat The Boy Who Lived sekaligus mengalahkan Voldemort dalam ‘Harry Potter: The Chamber of Secrets’) itu adalah, well…simply the power of love.

🙂

Bahkan J. K. Rowling dengan daya imajinasi dan writing skill yang edhian tenan itu kembali pada prinsip yang sederhana namun kuat ini: the power of love. Dan dalam kasus Mas Harry *gw kok asa ilfil ya nulis gini, hehehe… biarin deh*, kekuatan cinta itu datang dari seorang Ibu.

Seorang Ibu yang membawa anaknya di dalam rahim selama 9 bulan, melahirkannya ke dunia dengan perjuangan antara hidup dan mati (okay, now, don’t tell me they use magic for such thing as birth-processing), membesarkannya dengan segenap cinta… untuk kemudian mengorbankan nyawa demi melindungi si bocah.

Lily tidak pernah tahu apakah tindakannya betul-betul sanggup melindungi Harry. Ia tidak pernah tahu bahwa kekuatan cintanya memiliki kuasa untuk menyelamatkan Harry. Lily tidak pernah tahu. Yang ia tahu hanya berjuang sampai titik darah terakhir. Mengorbankan diri demi memperpanjang usia putranya, walau hanya untuk sekian detik. Memilih mati asalkan Harry tetap (memiliki kemungkinan untuk) hidup, walau konsekuensinya ia tidak akan pernah melihat putranya lagi. Tidak akan bisa bermain bersamanya lagi. Tidak akan bisa mengajarinya berjalan. Tidak akan bisa mengantarnya naik Hogwart’s Express. Tidak akan bisa menyaksikan Harry tumbuh dewasa.

Itulah yang dipilih Lily Evans. Asalkan putranya tetap hidup.

Semalam saya kembali terharu-biru membaca dua kisah heroik yang lain. Lagi, kekuatan cinta seorang Ibu dengan suksesnya membuat saya bengong-bengong mellow.

Molly Weasley bertransformasi dari ibu rumah tangga biasa nan cerewet menjadi superheroine yang bertarung satu lawan satu dengan Bellatrix Lestrange (a.k.a powerful -not to mention skillful- witch who killed Sirius Black and managed to turn two Aurors into nothing more than living corpses) ketika melihat Ginny nyaris tewas oleh Unforgivable Curse yang dilancarkan Bellatrix…

‘OUT OF MY WAY!’ shouted Mrs. Weasley to the three girls, and with a swipe of her wand she began to duel.

…bahkan menolak pertolongan dengan gagah berani.

‘No!’ Mrs. Weasley cried, as a few students ran forwards, trying to come to her aid. ‘Get back! Get back! She is mine!’

Keberanian seperti itu hanya bisa dihasilkan dari kekuatan cinta. Dorongan untuk maju membela seseorang tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri hanya bisa dihasilkan dari kekuatan cinta. Dan kekuatan untuk menyelesaikan pertarungan –walau resikonya kehilangan nyawa- tidak bisa tidak, hanya muncul dari kekuatan cinta. 🙂

Narcissa Malfoy memilih untuk mempertaruhkan hidupnya dengan cara yang berbeda, untuk tujuan yang sama.

Is Draco alive? Is he in the castle?’
The whisper was barely audible; her lips were an inch from his ear, her head bent so low that her long hair shielded her face from the onlookers.
Yes,’ he breathed back.
He felt the hand on his chest contract, her nails pierced him. Then it was withdrawn. She sat up.
‘He is dead!’ Narcissa Malfoy called to the watchers.

Mengabaikan tugas pertama (dan mungkin satu-satunya yang pernah diterima seumur hidup) demi menipu Voldemort di depan seluruh Death Eaters, itu juga hanya bisa dilakukan dengan kekuatan cinta. 🙂

Sumpah, saya membenci Lucius Malfoy dengan segala tingkahnya. Pun Draco Malfoy, dengan arogansinya yang selalu sukses bikin naik darah *deuuuwwwhh segitunya*. Tapi khusus untuk Narcissa Malfoy, saya membuat pengecualian, dengan beberapa alasan:

Pertama, karena sejak awal tokoh ini jarang sekali muncul dan hanya berfungsi sebagai pelengkap suasana, sehingga tidak memberi saya alasan untuk bersikap sentimen. *wink*
Kedua, karena saya tidak yakin Narcissa betul-betul jahat. Ia bahkan bukan Death Eater; hanya seorang istri yang ketiban pulung oleh kesintingan suaminya.
Ketiga, tindakan super heroik Narcissa –walau hanya ditulis beberapa paragraf- telah meluluhkan hati saya yang dasarnya sumellow ini. 🙂

Entah antagonis, protagonis atau sekedar ‘wrong person in wrong place’, Narcissa Malfoy sudah jadi salah satu tokoh favorit saya. Karena lepas dari karakter apapun yang dimainkan seseorang dalam hidup, saya percaya nature yang satu itu tidak akan pernah berubah — abadi, tak lekang oleh usia dan semakin bersinar dari waktu ke waktu.

Keajaiban yang ditanamkan Sang Pencipta saat Ia mendesain makhluk bernama Perempuan itu adalah
Cinta Seorang Ibu.

*Entri ini dipersembahkan untuk seorang wanita yang melahirkan saya 23 tahun silam – yang selalu saya cintai, meski beliau tidak lagi berada di sisi saya. I love you, Mom. 🙂


Tangan halus dan suci
T’lah mengangkat tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan.


(Bunda – Melly Goeslaw)

pictures taken from www.fotosearch.com