Mendidik Alex (Cara Mencinta – 2)

Menyayangi dan mendidik seorang bocah ternyata 2 hal yang berbeda. Baru kemarin saya menyadari itu.

Alex bukan anak yang sulit diajar. Justru kebalikannya. Di usia 1,5 tahun, dia sudah lancar berhitung 1 sampai 20 dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (FYI, belajarnya bukan dari playgroup, melainkan dari kami – para Auntie dan Uncle yang tiap hari wara-wiri ke rumahnya untuk mengajak bermain dan menjadi ‘guru’ dadakan). Di usia segitu pula, ia sudah bisa menyebutkan nama-nama binatang dalam bahasa Inggris dalam setiap buku yang dijumpainya (termasuk karakter-karakter Sesame Street favoritnya: Elmo, Ernie, Bert, Oscar The Grouch, dll). Dia menggilai segala jenis bacaan, mulai dari buku cerita anak-anak, katalog supermarket, brosur, label, sampai komposisi yang terdapat pada kemasan sambal sachet.

Mengajari Alex tidaklah sulit, karena dia bocah yang cerdas. Mendidiknya, itu soal lain. Bukan karena dia nakal atau susah diatur, tapi karena saya sama sekali tidak punya pengalaman dalam mendidik anak-anak. Awalnya saya pikir, menyayangi thok sudah cukup. Karena saya menyayanginya, otomatis saya juga sanggup mendidiknya. Ternyata oh ternyata, saya salah besar.

Kalau Alex menginginkan sesuatu yang tidak bisa ia dapatkan, biasanya yang saya lakukan adalah mendekatinya dan berkata dengan jelas dan tenang, “Alex, jangan yang ini, ya…” dan saya akan mencoba mengalihkan perhatiannya dengan benda lain (yang seringnya gagal, karena bocah ini adalah anak berusia 1,5 tahun dengan strong will terkuat yang pernah saya temui. Sekali perhatiannya terfokus pada sesuatu, dia akan mengejarnya sampai dapat.)

Kalau Alex melakukan sesuatu yang tidak boleh ia lakukan, saya akan menggoyang-goyangkan telunjuk sambil berkata, “Alex, no…” atau berjongkok di sisinya, merengkuh punggungnya dan berbisik, “Sini Auntie bilangin… Alex jangan bla, bla, bla…”. Dan Alex selalu menjawab “Ya” dengan patuhnya, karena sejak ia mulai belajar bicara, orangtuanya mengajarkan untuk selalu menjawab “Ya” bila namanya dipanggil ataupun diberitahu sesuatu.

Kalau Alex mencoba melarikan diri dari kursinya saat ‘sesi’ makan yang membosankan, saya akan memutarkan DVD Sesame Street kesukaannya dan menemaninya bermain, sementara sang Ncus menyuapinya.

Kalau Alex merengek karena emoh didekati orang yang asing baginya, saya akan memeluknya dan berbisik di telinganya, “Eh nggak apa-apa, itu kan Oma, Oma baik, sayang sama Alex…”

Seperti itu. Dan saya mengira telah berhasil mendidiknya (dalam beberapa hal).

Sampai kemarin, ketika saya bertindak ceroboh (I’m queen of silly things, remember?) dengan meletakkan gunting besar di atas meja setelah memperbaiki buku-buku Alex yang sobek, dan lupa menyimpannya kembali.

Saya sama sekali lupa benda tajam sepanjang 30 senti itu tergeletak di sana, sampai saya melihatnya berada dalam genggaman si kecil. Spontan saya panik.

Saya mengambil gunting itu dari tangannya dan menyembunyikannya di tempat yang cukup tinggi sambil berdoa supaya Mommy dan Daddy (yang sedang ngendon di kamar) segera keluar, karena pasti sebentar lagi si bocah merengek.

Harapan saya tidak terkabul. Mommy dan Daddy tidak keluar ketika Alex mulai merajuk. Tapi setidaknya, gunting itu kini berada di tempat yang aman (baca: tidak terjangkau dan tidak terlihat). Ncus memutarkan Sesame Street, dan saya bernafas lega saat Elmo mulai beraksi dan perhatian Alex teralihkan.

Tapi kelegaan itu tidak bertahan lama. Ketika saya lengah dan berpikir bahwa Alex sudah tidak menginginkan si gunting, kok ya bisa-bisanya dia berjingkat-jingkat menuju tempat persembunyian itu dan (dengan cara yang hanya dia dan Tuhan yang tahu) berhasil mengambilnya! Ealaaah.

Dan kali ini, dia cukup cerdas untuk tidak membiarkan saya mengambilnya lagi.

Alex tertawa-tawa, memainkan gunting besar yang hampir sepanjang lengannya dengan riang.

Di matanya, benda itu tidak lebih dari mainan baru yang mengasyikkan.

Di mata saya, benda itu adalah alat berbahaya yang dalam sekejap bisa membuat lengan kecilnya berdarah-darah, jemarinya terpotong, tergores, tertusuk.

Saya tidak punya waktu untuk menghampirinya, berbisik lembut di telinganya, menggoyang-goyangkan telunjuk sambil bilang “No” atau membujuknya.

Saya meminta gunting itu dengan tegas.

Alex menolaknya.

Matanya tertuju pada Elmo, tapi tangannya terus menggerakkan gunting tanpa arah. Dan Mommy maupun Daddy tak kunjung keluar kamar.

Tidak ada pilihan. Saya mendekatinya, berjongkok di sisinya dan merebut gunting itu secepat kilat.

Tangis Alex pecah ketika saya melarikan gunting itu ke dapur. Saat saya kembali, ia sedang menjerit dan menangis dalam gendongan Ncus. Airmata dan ingus berlelehan di wajahnya yang memerah.

Jujur, saya tidak tega. Seandainya yang ia inginkan bukan gunting. Seandainya ia menginginkan buku, mainan, kertas atau benda-benda lain, tentu saya akan memberikannya dengan senang hati.

Tapi di sisi lain, saya mulai berpikir. Lepas dari gunting itu benda berbahaya atau tidak, seorang anak tetap harus dididik, bahwa tidak semua hal yang ia inginkan dapat diperoleh begitu saja. Tidak semua yang ia kehendaki dapat terwujud — entah sekarang, entah nanti, atau tidak sama sekali.

Setelah tenang, saya mencoba mengajak Alex bermain. Ia tidak mau. Ia menolak saya dekati. Ia meraih pensil saya yang tergeletak di atas meja dan melemparnya jauh-jauh; aksi protes atas perbuatan nista saya merebut mainan barunya.

Sebersit rasa ngilu singgah di hati saya. Tapi saya tidak akan menyesali tindakan saya, bahkan jika ia tidak pernah mau lagi bermain dengan saya.

Saya lebih memilih menerima kemarahannya, daripada melihatnya berdarah-darah tertusuk gunting. Saya lebih memilih dimusuhi olehnya, daripada melihatnya terluka. Saya lebih memilih ditolak olehnya, daripada melihatnya menangis kesakitan.

Sekarang Alex sudah melupakan kejadian itu. Ia sudah bermanja-manja lagi, mengajak saya bermain dan meminta saya membacakan buku ‘What Zebra Likes’ favoritnya. Tapi kejadian siang hari itu tidak akan saya lupakan, dan ingin saya simpan selamanya.

Itulah saat di mana saya menyadari, betapa tidak mudah mendidik seorang anak.

Itulah saat di mana saya menyadari, saya rela mengorbankan apa saja –termasuk perasaan dan kepentingan saya sendiri- demi bocah yang saya sayangi.

Itulah saat di mana saya merasakan –walau hanya sekilas- perjuangan orangtua dalam merawat dan membesarkan anak, yang sering kali dibalas dengan gerutuan dan ketidakpuasan si anak.

Itulah saat di mana saya betul-betul mensyukuri (dan mengagumi) segala jerih-lelah yang dialami orangtua saya bertahun-tahun silam; saat mereka mendidik saya dengan penuh cinta dan saya membalas dengan bertingkah seenaknya dan tidak mempedulikan perasaan mereka.

Saya tidak akan melupakan peristiwa sederhana di siang hari itu.
Itulah saat di mana –untuk pertama kalinya- saya sungguh-sungguh menghargai mereka yang berkata, “Saya hanya menginginkan yang terbaik untuk dia.”

The Pursuit of Happiness

Setelah sekian lama mendengar cerita tentang film ‘The Pursuit of Happyness’ dan tergiur menyaksikan akting Will Smith yang konon katanya ‘the best ever’, akhirnya saya berhasil nonton film ini. *deuuu, bangga..* 🙂

Pendapat saya tentang ‘The Pursuit of Happyness’?

Sejujurnya, tidak banyak. Dan saya juga memilih untuk tidak terburu-buru mencantumkannya dalam daftar film favorit di Friendster *wink*.

Alasannya?

Well.. mungkin pandangan saya tentang arti kebahagiaan sedikit berbeda. Entah benar entah salah, namun bagi saya kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dikejar seperti Will Smith (atau Chris Gardner) memperjuangkannya.

Entah hidup dengan harta berlimpah atau melarat setengah mati, sehat walafiat atau terbaring di rumah sakit, bisa makan di restoran mewah atau makan nasi-kerupuk, tinggal di rumah jutaan dolar atau di penginapan sederhana yang bayarnya pakai ngutang, menikah dengan eksmud super-tampan lagi baik budi dan tidak sombong atau masih single di usia ‘kepala dua lari-lari’; menurut saya, kebahagiaan tidak ditentukan oleh itu semua.

Saya menonton film tersebut sampai habis, dan mendadak teringat pada sebaris kalimat yang dituliskan seorang teman beberapa waktu lalu. Kalimat yang sangat sederhana, namun lebih dari cukup untuk merangkum makna kebahagiaan secara utuh (dan menohok hati saya).

“Kebahagiaan tidak perlu dikejar, karena kebahagiaan timbul dari hati dan pikiran yang senantiasa bersyukur.”

Teman saya bukan ahli filsafat, seniman besar, sastrawan terkenal, pun pembuat film kondang.

Tapi bagi saya, ia telah berhasil menyampaikan arti kebahagiaan melebihi yang dapat diuraikan oleh siapa pun. 🙂

I Am Different, and I Am Proud Of It.

Beberapa waktu lalu saya sempat menyinggung sekilas keinginan saya untuk menjadi relawan di daerah konflik pada seorang teman. Sambil cengar-cengir, saya berkata, “Seru lho, mau ikutan gak?”

Ia menatap saya lekat-lekat, dengan pandangan aneh dan kening berkerut, lalu bertanya “Ngapain?!” dengan intonasi meninggi. Padahal sumpah, itu ajakan biasa yang saya lontarkan dengan ringan.

Bagi saya, tidak ada yang aneh dengan keinginan itu. Saya sendiri mendengar tentang hal ini dari seorang kawan yang sudah melakukannya lebih dulu. Kawan saya kecanduan dengan pengalaman dan pencerahan yang didapatnya saat menjadi relawan. Cerita-ceritanya sangat menggugah, dan menurut saya, sama sekali tidak ada yang salah dengan keputusan untuk mengabdikan diri sesuai panggilan hati – entah itu menjadi relawan, misionaris, biarawati, atau apapun.

Tidak ada yang salah dengan itu, karena setiap orang terlahir dengan tujuan berbeda. Passion yang dimiliki tiap orang pun berbeda-beda, dan saya menghormati keragaman dalam hidup –apapun bentuknya- sebagai sesuatu yang menjadikan dunia ini kaya warna. Hidup ini indah karena berbagai rasa dan warnanya, saya selalu percaya itu.

Sejujurnya, saya sering merasa ‘berbeda’. Saya senang mempertanyakan hal-hal yang jarang dipikirkan (bahkan dilirik) orang lain. Saya mempertanyakan ‘konsep ideal’ yang berlaku di masyarakat. Saya mempertanyakan siklus kehidupan. Saya mempertanyakan implikasi banyak hal, dalam banyak hal (opo toh ‘ki? ^_^). Saya senang dengan segala sesuatu yang membangkitkan rasa penasaran, menggugah nalar dan membedah nurani. Saya tertarik pada hal-hal yang dapat menawarkan alternatif baru dalam menilik makna kehidupan. Saya suka menggali arti tersembunyi dari segala sesuatu; dari yang jelas sampai tidak jelas, penting sampai tidak penting.

Tapi seiring bertambahnya waktu, pelan tapi pasti, saya mulai merasa diri ini ‘aneh’. Kenapa? Karena saya ‘lain sendiri’. Saya berbeda, dan terasing dalam perbedaan itu.

Berkali-kali saya menerima respon tidak enak -bahkan dari orang-orang terdekat saya- semata karena pemikiran saya tidak bisa mereka terima.

Saya tidak menyalahkan siapapun atas hal ini. Sebagaimana saya melihat keragaman sebagai sesuatu yang indah, saya pun menghargai setiap perspektif yang dimiliki masing-masing individu – termasuk usaha mereka untuk mempertahankan ‘keyakinan’ tersebut. Mungkin tatapan aneh, kernyitan dan komentar menusuk yang saya terima hanya salah satu usaha untuk menjaga apa yang mereka yakini sebagai kebenaran.

Tapi, di sisi lain, batin saya mulai ‘terusik’. Jadi berbeda ternyata tidak sepenuhnya enak.

Saya harus siap menghadapi tentangan dari lingkungan yang tidak sepaham. Satu-satunya cara untuk meminimalkannya adalah dengan bicara sesedikit mungkin, agar tidak perlu memancing perdebatan maupun respon bernada aneh. Dan memang itulah yang saya lakukan. Namun akibatnya, saya merasa ‘terpenjara’; bahkan untuk sekedar membuka mulut pun harus dipikir seribu kali dulu. Kebebasan mengutarakan pendapat mulai menjadi sesuatu yang istimewa, karena kesempatan seperti itu jarang saya dapatkan.

Tapi, efeknya adalah, saya jadi mulai meragukan ‘keyakinan’ saya sendiri. Dulu saya tahu saya berbeda, dan tidak ambil pusing dengan fakta itu. Saya merasa nyaman dengan keberadaan dan pemikiran-pemikiran saya, yang seringkali tidak sejalan dengan kebanyakan orang. Saya percaya diri, dan saya bangga. Sekarang kepercayaan diri itu mulai goyah, dan kebanggaan menjadi mahal.

Rasa frustrasi itu perlahan merambat naik. Memberitahu bahwa ‘ada yang tidak beres’ dengan diri saya. Menyadarkan bahwa tentangan-tentangan yang saya alami disebabkan oleh ‘kekeraskepalaan’ saya untuk bertahan menjadi berbeda. Menantang nalar saya dengan pertanyaan, ‘Mau sampai kapan seperti ini?’.

Sungguh, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Menyerah dan berkompromi? Ikut menganut paham yang diyakini orang-orang lain? Turut mengamini konsep ideal yang berlaku di masyarakat? Menyerah pada tuntutan lingkungan dan mengubah jalan berpikir saya? … menjadi sama seperti kebanyakan orang?

Konflik batin itu berhenti hari ini, ketika saya menerima jawaban atas pertanyaan yang saya ajukan pada seorang kawan melalui pesan pendek, “Menurut lo, gue ini aneh gak sih?”

Jawabannya datang dalam sebuah kalimat simpel.

“Kalo lo mikir lo aneh, maka aneh lah elo. :)”

Kesederhanaan itu membuat saya terdiam. Iya, rasanya seperti ditampar.

Selama ini, saya merasa diri saya ‘aneh’ karena tidak bisa memenuhi tuntutan lingkungan sosial untuk bertransformasi –menjadi sama- seperti mereka.

Ternyata saya salah.

Saya merasa aneh, karena saya mengizinkan pikiran saya berkata “Kamu aneh.”

Saya merasa abnormal, karena saya membiarkan benak saya teracuni dengan intimidasi.

Saya merasa tertekan, karena secara tidak langsung saya membiarkan tekanan itu menghimpit diri saya.

Padahal, sebenarnya semua berada dalam ‘kendali’ saya.

Orang boleh memiliki persepsi berbeda, bertindak sesuka hati dan mengatakan apapun yang mereka mau tentang saya, tapi pembentukan citra diri saya yang sesungguhnya tidak bergantung pada semua itu.

Saya adalah sebagaimana yang saya pikirkan.

Pesan pendek itu masih terasa menampar hingga detik saya menuliskan kalimat ini. Namun bedanya, kini saya terbebas dari himpitan konflik batin.

Saya unik.

Saya berbeda, dan saya bangga dengan perbedaan itu.

*Dipersembahkan bagi semua orang yang ‘terasing’ karena berbeda. Tidak ada yang
salah dengan itu, karena setiap perbedaan menciptakan warna yang memperkaya
keindahan dunia. Jadi, mari berbagi pencerahan ini. Kita unik karena kita
berbeda
. 🙂

E-mail di Penghujung Hari

E-mail itu bertengger di baris teratas inbox, dengan subject yang -sejujurnya- tidak terlalu menarik perhatian saya (maab… saya memang termasuk spesies yang selalu mendahulukan e-mail dengan subject menarik :)).

Saya tidak langsung membacanya, melainkan memusatkan perhatian pada timbunan spam yang memadati inbox. Setelah itu saya beralih pada beberapa situs yang sedang saya buka. Setelah semuanya selesai, barulah saya kembali ke e-mail tadi.

Ia seorang Ibu dengan 3 anak. Suaminya berulangkali ditahan karena narkoba, dan belum keluar dari penjara setelah penangkapan terakhir. Orangtuanya memaksanya meninggalkan sang suami, tapi ia memilih bertahan karena tidak ingin bercerai. Tekanan semakin kuat. Sang suami hanya bisa memberi janji belaka, tanpa pernah sungguh-sungguh berubah. Hidupnya semakin sulit. Komunitas tempat ia berada tidak memberikan dukungan yang dibutuhkannya, bahkan sekedar untuk menguatkan dan menghiburnya. Si pemimpin komunitas pun bersikap cuek, acuh tak acuh. Seakan pergumulan yang dialami anggota komunitasnya itu tidak berarti dan tak layak dilirik sebelah mata.

Saya tidak mau bercerai, karena saya tahu cerai itu dilarang,” tulisnya. “Tapi saya hampir tidak tahan lagi. Saya tidak tahu apakah saya sanggup menjalani kehidupan seperti ini…”

Mata saya menelusuri baris-baris terakhir e-mail itu. Hati saya mencelos membaca rangkaian kata yang sederhana, namun jelas penuh rasa sakit itu.

Mendadak saya malu, karena selama ini saya begitu mudah terdistraksi dan patah semangat hanya karena masalah-masalah kecil, yang sama sekali tidak sebanding dengan kesulitan yang dialami Ibu muda ini. Mendadak saya malu karena sering mengkhawatirkan hal-hal remeh, yang sebenarnya tidak perlu dipusingkan mengingat banyaknya hal lain yang patut mendapat perhatian lebih. Mendadak saya malu karena terlalu sering memikirkan diri sendiri, sementara di luar sana banyak orang bergumul dengan keringat dan airmata demi terus menjelang hidup.

E-mail itu berakhir dengan sebuah pertanyaan sederhana: “Apa yang harus saya lakukan?”

Saya termangu. Lama.

Berdoa? Jawaban standar yang klise – tanpa bermaksud mengecilkan makna doa sedikitpun.
Bersabar? Lebih basi lagi.
Berbesar hati?
Berserah diri?

… … apa…???!!

Saya memutuskan sambungan internet dan mematikan komputer. E-mail itu masih bertengger di sana, di baris teratas inbox.

Saya tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.

Iseng-iseng, Tentang Komitmen

Tergelitik dan terpesona *alah* oleh novel TESTPACK karangan Ninit Yunita (yang bercerita tentang kekuatan sebuah komitmen, dan sumpah Keren banget!), saya lantas berandai-andai dan mencoba menyimpulkan arti komitmen — versi saya sendiri, tentunya.

Setelah berhari-hari merenung (bo’ong benerrr) sambil mengintip halaman terakhir TESTPACK *haha!*, saya berhasil menggali beberapa makna komitmen. Kalau ada yang punya definisi lain tentang komitmen, monggo lho, ditunggu pendapatnya… 🙂

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang suami menerima istrinya dengan segala kekurangan dan kelemahannya tanpa menghakimi. Bersyukur ketika istrinya tampil menawan, dan sama bersyukurnya ketika sang istri mengenakan daster dengan wajah berminyak tanpa make-up. Bersyukur ketika bentuk tubuh sang istri berubah setelah melahirkan, dan tetap mengecupnya sayang sambil bilang, “Kamu cantik.”

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang suami tidak membongkar kelemahan istrinya pada orang lain. Sebaliknya, menutupi rapat-rapat setiap kekurangan itu dan dengan bangga bertutur bahwa sang istri adalah anugerah terindah yang pernah hadir dalam hidupnya.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang istri menunggui suaminya pulang hingga larut malam, membuatkan teh hangat dan makanan panas, dan tetap terbangun untuk menemani sang suami bersantap serta mendengarkan cerita-ceritanya yang membosankan di kantor.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang istri bertahan ketika suaminya jatuh sakit, dan dengan sukacita merawatnya setiap hari. Menghiburnya, menemaninya, menyuapinya, memandikannya, membersihkan kotorannya.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang istri terus mendampingi suaminya tanpa mengeluh atau mengomel. Sebaliknya, dengan setia tetap mendukung dan menyemangati meski sang suami pulang ke rumah dengan tangan kosong, tanpa sepeser uang pun.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat sepasang suami istri memutuskan untuk terus mengikatkan diri dalam pernikahan, dengan tulus dan sukacita, meskipun salah satu dari mereka tidak bisa memberikan anak.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat putra pelaku kriminal berkata kepada Ayahnya, “Saya percaya pada Papa. Papa tetap yang terbaik.”

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang yang bergelar S3 dengan jabatan direktur perusahaan multinasional pulang ke rumah orangtuanya, mencium mereka dengan hormat, serta memanggil mereka ‘Ayah’ dan ‘Ibu’.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang Ayah menerima kembali anaknya yang telah menyakiti dan meninggalkannya begitu rupa dengan tangan terbuka, memeluknya dan melupakan semua kesalahan yang pernah dilakukan si anak terhadapnya.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang Ibu mengelus sayang anak yang pernah mencacinya, dan tetap mencintainya tanpa syarat.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang mengulurkan tangan kepada sahabatnya yang terjerembab, menariknya berdiri dan membantunya berjalan tanpa mengatakan, “Tuh, apa kubilang! Makanya…”

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang pekerja menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik, sekalipun tugas itu amat berat dan upah yang diperoleh tidak sepadan.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang membulatkan hati dan tekad demi mencapai sebuah tujuan, sekalipun ia belum dapat mengetahui hasil akhir dari tujuan tersebut. Berjerih payah dan berkorban demi menyelesaikan tujuannya, sekalipun semua orang meninggalkannya.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang rela meninggalkan segala sesuatu yang berharga demi memenuhi panggilan hidupnya, walau harga yang harus dibayar tidak sedikit dan medan yang ditempuh tidak ringan.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang memikul resiko dan konsekuensi dari keputusannya tanpa mengeluh, dan menjalaninya dengan penuh rasa syukur sebagai bagian dari kehidupan yang terus berproses.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang berani setia dan percaya, meski harapannya tidak kunjung terpenuhi dan tidak ada yang dapat dijadikan jaminan olehnya.

Komitmen adalah sesuatu yang melampaui segala bentuk perbedaan, perselisihan dan pertengkaran. Ia tidak dapat dihancurkan oleh kekurangan, kelemahan maupun keterbatasan lahiriah… karena ketika kita berani mengikatkan diri dalam sebuah komitmen, kita telah ‘mati’ terhadap kepentingan diri sendiri.

Izinkan saya menyimpulkan tulisan ini dengan kalimat seorang perempuan bijak yang saya temukan beberapa waktu lalu:

“In the final analysis, commitment means: ‘Here I am. You can count on me. I won’t fail you.’”