Menoleh Sekilas.

Saya tidak akan melupakan malam itu. Sembilan tahun yang lalu, ketika saya terduduk di atas tempat tidur dengan tatapan kosong dan sisa airmata yang sudah mengering di pipi.

Saya tidak lagi sanggup mengalirkan airmata. Tangis saya sudah kering. Telinga saya tersumpal oleh earphone yang terus melantunkan lagu-lagu rohani, namun saya tak lagi mendengar sepatah kata pun.

Yang ada di benak saya hanya satu: Saya ingin mati. Dengan mudah dan cepat.

Saya pecinta produk instan, mulai dari mie, junk food, makanan ringan, sampai kematian. Saya tidak ingin merasa sakit hanya untuk meninggalkan dunia ini, tapi saya betul-betul siap untuk pergi. Apapun akan saya lakukan, asal saya tidak perlu berurusan dengan segala hal yang menyakitkan. Menyakitkan tubuh, maupun jiwa saya.

Kehampaan itu menyelimuti saya, sama pekatnya seperti kegelapan yang menaungi kamar saat lampu dimatikan. Segala sesuatu seakan sirna dengan perlahan, memudar dari jarak pandang dan pendengaran saya. Semuanya menjadi kabur. Saya siap untuk pergi.

Sampai lagu itu terdengar.

Lagu dari earphone yang tadinya tidak sanggup menembus telinga saya yang tuli oleh rasa sakit. Sebaris kata yang sejak tadi berputar tanpa henti dalam walkman, namun tak mampu singgah di benak saya yang terfokus pada cara mengakhiri nyawa. Melodi sederhana yang tiba-tiba meledak bagai bom di pikiran saya, entah oleh apa, dan mengapa.

Dan bersamaan dengan tergugahnya sel-sel otak saya, kalimat berikutnya singgah di telinga saya.

Kenapa mau mengakhirinya dengan cara seperti ini?
Kenapa semua yang sudah kamu lakukan harus menjadi sia-sia?
Untuk apa jerih payahmu, jika semua berakhir sampai di sini?

Saya mengingat malam itu seperti baru kemarin.
Peristiwa sembilan tahun lalu, ketika saya terduduk di atas tempat tidur dengan tatapan kosong dan tidak lagi sanggup mengalirkan airmata.

Semua berubah ketika suara itu bergema di benak saya. Semua berubah ketika pertanyaan-pertanyaan sederhana itu mengguncang kesadaran saya dengan cara yang tak terpahami. Semua berubah ketika airmata saya, yang sudah kering akibat terlalu banyak menangis, kembali mengalir. Satu-satu.

Malam itu, Ia menyelamatkan bukan hanya nyawa saya, namun juga jiwa saya.

The Calling – 3 (Analogi Lantai 20).

Sebuah percakapan tentang Panggilan Hidup –antara saya dan seorang sahabat—beberapa jam lalu, sambil menikmati bakpia kacang hijau. 🙂

Sahabat: Kita harusnya belajar dari mereka yang udah melangkah duluan. Ibarat tangga, mereka udah naik sampai lantai 20, kita masih di lantai 2. Ya terang aja kita belom bisa ngeliat apa-apa. Tapi mereka yang udah di lantai 20 itu, bisa melihat segala keindahan dari sana. Pemandangan yang jauh lebih luas, yang gak akan bisa dilihat oleh kita yang masih di bawah.

Saya: Iya. Tapi untuk bisa begitu, kita harus percaya dulu, bahwa keindahan itu memang ada. Gimana bisa ngikutin, kalau kita nggak punya keyakinan bahwa sesulit apapun lahan yang kita lalui, seberat apapun medan yang kita tempuh, kita pasti akan menemukan keindahan itu? Bukankah itu yang bisa bikin kita terfokus pada sebuah tujuan, dan nggak berpaling dari prosesnya? Perjalanan dari lantai 2 ke lantai 20 itu gak enteng, lho.

Sahabat: Ya, yang pertama diperlukan emang fondasi yang kuat dulu. Kepercayaan. Baru habis itu mulai melangkah. Kalau fondasi udah terbangun, bisa dipastikan bahwa kita nggak bakal berhenti di tengah jalan. Bahwa apapun yang terjadi, sesukar apapun kondisinya, kita akan terus melangkah sampai tujuan itu tergenapi.

Saya: Apalagi untuk ke lantai 20 itu, nggak ada eskalator. Kudu naik pake kaki sendiri… hehehe.

Ya, saya tahu ini sudah entri ketiga. Semoga tidak membosankan… karena saya masih punya emotional push untuk menulis hal serupa. 🙂 🙂

The Calling – 2.

Teman saya –seorang traveller— baru saja kembali dari misi sosial, menjadi relawan di daerah konflik.

Ia membawa ‘oleh-oleh’ berupa pencerahan bagi saya.

“Gue belajar banyak, terutama soal keberanian meninggalkan comfort-zone. Setelah sekian lama gue berada ditengah2 lingkungan sosial yang selalu mencap bahwa kegiatan sosial yang mblesek-mblesek dan melarat-larat itu kurang lebih konyol/merupakan aksi bunuh diri, eh gue ketemu dong dengan orang-orang yang punya pemikiran beda. Panggilan hidup mereka emang turun ke jalan dan hidup melarat-larat. Mereka harus menghadapi tantangan lingkungan sosial. Tapi berhubung itu panggilan hidup, mereka jalan terus – mengalami luka karena keputusan mereka.

Memang ada yang harus bergerak, supaya doa ga percuma. Supaya kasih itu bukan cuma di mulut.”

Pernyataan itu membuat saya tergelitik. Saya meraih buku besar tebal di sudut kamar, dan mulai membukanya.

Cari, cari, cari…

Itu dia.

Pandangan saya tertumbuk pada sebaris kalimat. Saya membacanya berulang-ulang, dan tidak bisa berhenti.

Teman saya betul. Doa saja tidak cukup. Bicara saja tidak cukup.

Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?” Maka sahutku: “Ini aku, utuslah aku!” (Yesaya 6: 8)

The Calling.

“Gue gak ngerti,” ucap seorang kawan saat kami berkendaraan menyusuri jalanan yang terik di siang bolong, “kok ada, ya, orang yang bisa hidup tanpa passion sedikitpun?”

“Ngejalanin hidup begitu aja, kerja tinggal kerja, kawin tinggal kawin, habis itu punya anak, tua, meninggal… that’s it.” Tambahnya. “Sedangkan gue, gue gak bisa hidup tanpa passion.” Ia menyelesaikan kalimatnya sambil melajukan mobil ke sebuah restoran cepat saji, tempat kami menikmati santap siang.

Saya langsung menyetujui perkataannya itu bulat-bulat. Jujur saja, saya sering tidak habis pikir dengan ‘doktrin’ takdir yang dianut kebanyakan orang. Bahwa setiap manusia diciptakan dengan lingkaran hidup yang mutlak hukumnya: lahir, sekolah, kerja, menikah, punya anak, menjadi tua, meninggal dan masuk surga. (Maka dari itu, jangan banyak cingcong. Jalani saja apa yang sudah digariskan dari ‘sononya’, dan Anda akan bahagia. Titik.)

Please don’t get me wrong. Saya tidak bilang hidup dalam lingkaran itu salah. Saya sendiri ingin, kok, suatu saat nanti menikah, punya anak, punya cucu, dan bahagia sampai tua. Hanya saja, saya tidak bisa membayangkan menjalani siklus itu tanpa mengetahui tujuan saya berada di dunia ini.

Apa maksud Sang Pencipta membentuk tubuh ini, mengisinya dengan nafas hidup dan melahirkannya ke dunia?
Apa esensi kehidupan yang perlu saya pahami?
Apa yang harus saya kerjakan selama di dunia ini?

Saya percaya Sang Mahapintar menciptakan saya dengan tujuan tersendiri.
Saya tidak percaya Ia membiarkan saya lahir ke dunia hanya untuk menambah populasi penduduk Bumi yang sudah semrawut. Saya yakin Ia mendesain kehidupan ini untuk suatu maksud, dan bukan semata untuk menjalani siklus dalam lingkaran (yang oleh beberapa orang disebut) takdir.

Kawan saya betul. Saya tidak bisa membayangkan hidup tanpa pernah mengetahui panggilan saya; tanpa sempat mencicipi kegairahan dari tujuan tersebut. Dan saya tidak ingin mati sebelum mengecap kebahagiaan itu. Menjalani hidup yang penuh passion itu nikmat, Jendral.

Passion yang sama, yang membuat seorang teman saya meninggalkan pekerjaan dan kehidupan mapannya di Amerika untuk kembali ke Indonesia dan memulai segala sesuatunya dari nol, demi menggenapi tujuan awal yang telah ditetapkan Sang Khalik baginya.

Passion yang sama, yang membuat seorang sobat mengambil komitmen untuk menyerahkan hidupnya ke dalam pelayanan pada usia 16 tahun, di saat anak-anak seusianya menenggelamkan diri dalam eforia masa remaja.

Passion yang sama, yang membuat seorang kawan lain membulatkan tekad untuk berkutat dengan tabung ukur dan obat-obatan di laboratorium belasan jam sehari; berjuang melawan rasa bosan dan penat demi sebuah keyakinan bahwa suatu saat industri farmasi di negeri tercinta ini akan bangkit dari keterpurukan.

Passion yang sama, yang membuat sahabat saya meninggalkan pekerjaannya yang menyenangkan demi menjadi relawan di daerah konflik Aceh dan Timor Leste; mengabaikan komentar apatis yang menyebutnya ‘aneh’ dan ‘melawan takdir’ untuk mengabdikan hidup di tempat yang tidak semua orang mau mendatangi.

Saya ingin hidup dalam passion yang sama. Saya tidak ingin mati tanpa pernah tahu bagaimana rasanya hidup dalam panggilanNya, dan menggenapi tujuan yang telah Ia tetapkan atas diri saya sejak detik pertama saya melihat dunia.

Maka saya mulai bertanya.
MendatangiNya untuk menanyakan rancanganNya atas hidup ini.
Membuka telinga dan hati untuk menerima jawabanNya, serta mempersiapkan diri untuk hidup dalam jawaban itu.

Dan Ia mulai bicara, dengan caraNya sendiri.
Menunjukkan garis besar dari tujuan penciptaan saya.
Menyingkapkan kepada saya makna sejati dari sebuah panggilan – bahwa sebuah panggilan tidak diukur dari apa yang tampak secara lahiriah, namun dari esensi tujuan itu sendiri.
Mengajarkan saya bagaimana hidup dalam panggilan itu.
Membimbing saya dalam ketidaktahuan saya.
Memperlihatkan langkah demi langkah yang harus saya tempuh.
… Menuntun saya untuk menaiki anak tangga pertama.

Gairah itu meletup dalam hati saya bagai senapan laras panjang yang ditembakkan tanpa ampun. Kebahagiaan saya nyaris tidak terbendung.

Ia benar-benar memiliki rencana khusus bagi saya. Ia menetapkannya untuk saya. Ia mempercayai saya.
Dan saya ingin Ia tahu, saya bersungguh-sungguh dengan panggilan tersebut. Saya tidak akan menyia-nyiakannya.

“Ya.” Jawab saya. “Ya, ya, ya.”

Kehidupan akan terus berlanjut, dengan lingkarannya yang tak pernah putus: lahir, sekolah, kerja, menikah, punya anak, menjadi tua, mati dengan bahagia dan masuk surga.

Siklus yang sama akan terus berputar, saya tahu itu.

Namun, kini saya memilih untuk menjalaninya dengan cara yang berbeda.

Untuk Sahabat:
We’ve found it, Sis! Let the passion burns in our hearts forever! :))

Untuk Para ‘Pendidik’ Saya.

They can say anything they want to say
Try to bring me down
But I will not allow
Anyone to succeed hanging clouds over me

And they can try
Hard to make me feel that I
Don’t matter at all
But I refuse to falter in what I believe
Or loose faith in my dreams

Cause there’s
There’s a light in me
That shines brightly
They can try
But they can’t take that away from me

They can do anything they want to you
If you let them in
But they won’t ever win
If you cling to your pride and just push them aside

See I, I have learned
There’s an inner peace I own
Something in my soul, that they cannot possess
So I won’t be afraid, and the darkness will fade

No, they can’t take this
Precious love I’ll always have inside me
Certainly the Lord will guide me
where I need to go

They can say anything they want to say
Try to bring me down
But I won’t face the ground
I will rise steadily, sailing out of their reach

(Can’t Take That Away – Mariah Carey)

Tanpa pernah merasakan sakitnya tidak dihargai karena berbeda, mungkin saya takkan pernah mengerti bagaimana seharusnya menghargai sesama dan memahami makna toleransi.

Tanpa pernah merasakan perihnya dipandang sebelah mata, mungkin saya takkan pernah belajar menerima orang lain apa adanya.

Tanpa pernah merasakan tidak enaknya disalahpahami oleh orang-orang yang saya sayangi, mungkin saya takkan pernah bisa menyatakan dukungan melalui pelukan hangat.

Saya bersyukur untuk setiap orang, setiap perkataan dan perlakuan yang ditujukan kepada saya, yang membimbing saya untuk mengenal kebenaran hakiki yang selama ini tidak pernah saya ketahui…

Terima kasih karena melalui tindakan kalian, kalian telah mengajarkan makna kehidupan pada saya.
Bahwa kesempurnaan bukanlah esensi hidup yang sejati.
Bahwa keindahan sebuah tujuan terletak pada proses yang diperlukan untuk mencapainya.
Bahwa saling menghargai, menghormati dan menerima adalah substansi yang tidak terelakkan, sekaligus parameter kedewasaan yang sesungguhnya… karena ketika kita membuka hati untuk melihat perbedaan tanpa menghakimi, kita betul-betul telah mengerti arti kehidupan.

Terima kasih karena telah menolong saya tumbuh dewasa.

Sungguh, terima kasih banyak. 🙂