Badai Pasti Berlalu

Kalimat itulah yang saya ketikkan di SMS untuk menguatkan seorang sahabat yang sedang gundah.
Setelah berkali-kali disakiti oleh orang yang disayanginya, akhirnya ia mengambil keputusan tegas untuk berpisah. Bukan hal yang mudah bagi sahabat saya. Walau tidak banyak bicara, saya tahu ia terluka.

Kalimat itu juga yang diucapkan seorang teman kala saya meneleponnya sambil menangis, akhir Oktober lalu. Saya masih ingat betul apa yang ia katakan: “Badai pasti berlalu, enggak mungkin selamanya. Setelah ini akan ada kesenangan, juga badai-badai lain…

Saya mengingatnya seperti baru kemarin, karena kalimat itu selalu terngiang di benak saya saat menghadapi berbagai masalah yang sulit diatasi; yang sering kali membuat sedih, kesal, kecewa, bahkan frustrasi (hayyyahh…).

Sahabat saya terpaksa melepaskan orang yang disayanginya karena ada terlampau banyak luka dan masalah yang tidak terselesaikan di antara mereka berdua. Saya yakin, sangat menyakitkan berpisah dengan orang yang sekian waktu lamanya ia sayangi dan percayai dengan segenap hati. Namun, seandainya sahabat saya tetap berpegang pada rasa ‘sayang’nya, badai itu (mungkin) tidak akan berlalu dari hidupnya.

Kadang ada badai yang tidak bisa kita hindari, betapapun kita mencoba menangkisnya.
Kadang ada airmata yang tetap luruh, betapapun kita mencoba menahannya.
Kadang ada peristiwa tidak enak yang terjadi, betapapun kita mencoba menghindarinya.
Dan kenyataan tetaplah kenyataan, betapapun kita mencoba mengingkarinya.

Dalam kasus sahabat saya, keputusannya untuk berpisah-lah yang akan menyelamatkannya dari badai yang lebih besar. Dalam kasus Anda maupun saya, mungkin dibutuhkan cara penanganan dan perspektif yang berbeda.

Apapun itu, tetap dibutuhkan sebuah pengambilan keputusan.

Saya tidak mengatakan pengambilan keputusan Anda akan membebaskan Anda dari badai tersebut sepenuhnya; namun setidaknya, Anda akan terhindar dari badai-badai lain yang lebih besar. Itu kalau Anda mengambil keputusan dengan benar.

Sahabat saya memilih untuk mengesampingkan perasaan emosionalnya, menilik dengan bijak dan mengambil keputusan yang tepat.
Hal yang sama bisa kita lakukan.
Anda dan saya.
Pertanyaannya, maukah kita?

Saya membaca penggalan kalimat itu sekali lagi, dan sambil nyengir menambahkan kalimat berikutnya:
‘at least, bersyukur bahwa pembawa badai itu sudah tersingkir‘.

Saya membaca SMS tersebut untuk terakhir kali, tersenyum dan menekan tombol ‘send’.

Tuhan tidak pernah berjanji langit akan selalu cerah.
Namun justru saat langit tidak cerah, kita bisa melihat pelangi.

Semalam Bersama Sahabat

Mau nangis.
Itu yang saya rasakan beberapa hari ini. Entah karena PMS yang mulai menggila, entah karena banyaknya pressure (halah, pressure!) yang akhir-akhir ini rasanya tidak pernah berhenti menghantui (bo, ada apa sih dengan bahasa gue?)

Pagi ini, seorang teman menemui saya dengan pesan dari atasan:
“Nanti sore, kita semua ke rumah duka rame-rame.” (ada rekan yang ayahnya meninggal, dan malam ini diadakan ibadah penghiburan terakhir)

Oh, no. OH, NO.

Saya paling anti dengan 2 tempat itu: rumah sakit dan rumah duka.
Entah kenapa. Mungkin sebagian disebabkan ‘trauma’ yang saya alami saat Ibu tercinta sakit (dan akhirnya meninggal) karena kanker.
Mungkin sebagian karena saya memang nggak suka aja dengan ‘hawa’ kedua tempat itu — yang selalu penuh kesedihan dan rasa takut.
Pokoknya, saya ogah ke rumah sakit, apalagi ke rumah duka.
Mendingan saya diajak ke mall, pantai, atau luar negeri, daripada harus ke 2 tempat itu! *eh, salah ya?!*

Saya mencoba bernego dengan atasan.
Mulai dari alasan ‘kemaleman’, sampai jurus paling mutakhir yang (saya sangka) ampuh: Salah Kostum!!! (hari ini saya memakai kemeja warna merah ngejreng. Cari gara-gara aja kan, ngelayat pakai kostum begituan)

Usaha saya gagal. Saya tetap harus ikut.
Dan jadilah, kami sekantor beramai-ramai ke rumah duka.

Entah sugesti atau bukan, trauma saya langsung kambuh begitu melihat ruangan yang didekor putih itu. Semua kenangan muncul ke permukaan, dan saya mencoba meredamnya begitu rupa demi tidak kelihatan ’aneh’. Tidak mudah melakukannya, apalagi saat duduk di deretan kursi untuk mengikuti kebaktian. Mengingatkan saya betapa dulu saya harus duduk di tempat serupa setiap hari, selama Ibu disemayamkan. Berjabat tangan dengan para pelayat dan berusaha tetap tegar di depan semua orang. Menabahkan diri untuk tidak menangisi kepergian beliau, padahal saya sama hancurnya dengan Ayah dan adik saya. Saya tidak menangis. Saya berhasil tersenyum pada semua orang. Saya bahkan bisa tertawa. Saya hanya menangis di kamar, saat sendirian dan semua lampu sudah dimatikan. Tidak ada yang tahu, hanya saya dan Sahabat saya.

Hari ini, ketika saya duduk di sana dengan peti jenazah hanya beberapa meter di depan saya, semua kenangan itu muncul lagi. Saya merasa tersiksa.

Selama khotbah disampaikan, saya hanya mendengarkan tanpa sekalipun memandang wajah si pembicara. Saya bergumul dengan diri saya sendiri: trauma saya, kesedihan saya, ketakutan saya.
Begitu khotbah selesai, saya meraih tas dan pulang. Saya tidak sanggup tinggal lebih lama.

Selang beberapa jam, setelah merasa nyaman di kamar sendiri, saya menyalakan komputer. Ada deadline yang harus saya selesaikan, dan ada beberapa email yang belum sempat saya baca. Saya mengconnect ke internet, dan sambil menunggu inbox Yahoo! terbuka, saya iseng masuk ke blog djeng ini.

Ada entry baru di sana. Judulnya ‘Jatuh Cinta Pada Sahabat’.
Saya membaca, terus membaca, dan tidak bisa berhenti sampai kalimat terakhir.

Saya terdiam lama. Dan menangis.

Selama beberapa menit saya tidak bisa melakukan apa-apa kecuali memelototi entry tersebut. Saya kembali ke Yahoo!, namun otak saya blank. Saya tidak tahu harus membuka email yang mana, membaca yang mana, membalas yang mana. Asli, blank. Akhirnya saya kembali ke halaman tadi, dan terus membacanya. Menikmati setiap kalimatnya, menghayati keteduhannya, dan (lagi-lagi) menangis.

Alangkah mellownya saya malam ini.
Tapi, mellow yang ini berbeda dari mellow-mellow kemarin.
Saya merasa hangat sekaligus sejuk pada saat yang sama.

‘Jatuh Cinta Pada Sahabat’ telah membuat saya jatuh cinta lagi.

Akhirnya, saya memutuskan untuk melupakan sejenak semua beban (dan deadline) yang menghimpit.
Itu bisa menunggu.
Malam ini, saya ingin bersama Sahabat tercinta.

Draw me close to You
Never let me go
I lay it all down again
To hear You say that I’m Your friend

You are my desire
No one else will do
Cause nothing else could take Your place
To feel the warmth of Your embrace

Help me find the way
Bring me back to You

You’re all I want
You’re all I’ve ever needed
You’re all I want
Help me know You are near

Makasih ya djeng Okke, buat inspirasinya… :))

Song lyrics by: Kelly Carpenter

Nothing Beats the Warmth of A Happy Family


Sepupu-sepupu heboh yang selalu saya kangenin…


Ponakan tersayang yang sumpah cakep banget!


Kakak-kakak sepupu & Nenek tercinta. I love you forever.. 🙂

JENUH. Mungkin itu kata yang paling pas untuk menggambarkan perasaan saya 2 minggu terakhir ini. Setelah berbulan-bulan begadang (hampir) setiap hari hingga lewat tengah malam demi memenuhi deadline, berusaha menyaring ide walau otak sedang butek dan mengumpulkan inspirasi meski pikiran sedang penat, saya sampai pada 1 titik: SAYA BUTUH REFRESHING.

Kebebasan sejenak dari deadline yang menumpuk.
Penyegaran setelah sekian bulan begadang demi mengumpulkan ide segar dan menyatukan mood — yang terkadang malah bikin saya lebih penat dari sebelumnya.

Hal pertama yang singgah di otak saya: LIBURAN.
Yang kedua: PANTAI.
Pantai yang bersih, hangat dan sepi, dengan pasir putih lembut dan laut biru tenang, seluas mata memandang.

Saya membayangkan suara debur ombaknya.
Saya membayangkan senangnya berjalan di atas butiran pasir halus.
Saya membayangkan nikmatnya ‘terisolasi’ sejenak dari segala rutinitas yang menjemukan.
Saya membayangkan bahagianya terbebas (sementara) dari lingkungan yang (kadang kala) begitu penuh basa-basi, tawa dibuat-buat, dan image yang dijaga selangit.
Saya tidak anti dengan itu semua. Saya menghormati mereka yang melakukannya. Tapi kali ini saya bosan dan penat. Saya ingin memisahkan diri, sebentar saja. Saya ingin bisa merasa nyaman tanpa perlu ‘terusik’ dengan polah di sekitar saya. Saya ingin sendiri. Cuma saya, dan diri saya.

Ketika seorang sahabat menceritakan niatnya liburan ke Bandung saat long weekend, langsung saja saya minta ikut. Lumayan, pikir saya. Biarpun bukan pantai, at least saya tetap bisa menghirup segarnya udara luar kota, tidak perlu terus-terusan mengisap hawa Jakarta yang penuh polusi, dan bisa menyegarkan pikiran bersama soulmate tersayang ini. Jadilah kami membuat perencanaan dengan semangat: mau berangkat hari apa? Naik apa? Jam berapa? Nginap di mana? Mau ke mana aja? Ngapain aja selama di sana? … dan banyak lagi.

Semalam, Nenek saya tercinta berulangtahun ke-75, dan dirayakan di restoran sederhana di Jakarta Pusat. Saya ikut hadir, walau sebagian pikiran masih terfokus pada deadline dan lebih banyak ‘pongo’ selama perjalanan. Begitu sampai di tempat, kami tidak bisa langsung menikmati hidangan (jangan tanya kenapa, ‘rusuh’ lah pokoknya ;p), dan walau sempat ngomel-ngomel karena kelaparan, akhirnya saya dan para sepupu memutuskan untuk menerima dengan lapang dada…
*halaah tuh bahasa*
Yang ada, kami jadi ngobrol seru sambil bercanda-canda gila, saling nyela, ketawa heboh tanpa ujung pangkal. Lupa umur, lupa diri. Kegilaan terus berlanjut ketika makanan datang dan kami mulai bersantap. Suasananya agak kacau untuk ukuran pesta makan-meja yang (seharusnya) formil, tapi sangat menyenangkan.

Nenek, yang semalam tampil jauh lebih muda -baru nyemir rambut bo..- tampak bahagia. Wajahnya berbinar-binar. Katanya, senang melihat cucu-cucunya sudah besar dan dewasa (lah…? Nggak tau aja kerusuhan di meja pojok…). Juga tidak lupa menyelipkan wejangan yang selalu diwanti-wanti pada setiap cucu perempuan: “Cepet dapet jodoh, laki-laki yang baik, yang sayang sama kalian. Popo (sebutan kami untuknya) pengen lihat kalian pada kawin…”

Acara berakhir dengan tiuplilin-potongkue-fotopakeHP-salingtransferviabluetooth yang heboh.
Waktu bergulir sangat cepat dalam derai tawa dan kehangatan (kok gue berasa kayak Ebiet sih nulis beginian).
Saat itu, barulah saya sadar, betapa saya merindukan kenyamanan seperti ini…

Rasa nyaman yang tidak bisa ditukar dengan banyaknya senyum basa-basi. Rasa nyaman yang tidak bisa diciptakan dengan image yang dijunjung tinggi. Tidak juga dengan uang sebanyak apapun, dan liburan kemanapun.

Malam itu, saya pulang dengan secercah kehangatan.
Ternyata yang saya butuhkan bukanlah pantai.
Bukan juga udara sejuk luar kota.
Penyegaran itu datang dari kehangatan sebuah keluarga.
Kebahagiaan itu muncul dari cinta tulus yang tidak mengenal syarat.

Tentang Nurani, Untuk Semua.


Nurani itu…
Sesuatu yang nggak bakal bisa kita tutup-tutupin
Walau kecil, dia akan tetap berbisik
Cuma kadang-kadang, kita-nya aja yang nggak denger
Atau pura-pura budek.

Nurani itu…
Nggak akan bisa ditipu
Nggak peduli kita pake cara apa, gimana, kapan, dan sama siapa.
Karena dia murni
Dan dia nggak palsu.

Nurani akan selalu berusaha ngomong sama kita
Negur kalo kita salah
Ngingetin kita
Ngasih peringatan ke kita
Dan bikin kita nyaman saat kita ngelakuin sesuatu yang bener.

Tapi inget,
Nurani nggak bisa dibo’ongin
Karena dia adalah bagian terdalam dan tersejati dari kita
Nurani kita, ya diri kita sendiri.

Nurani nggak akan bisa dikibulin
Dengan perbuatan baik dan kata-kata manis
Karena dia selalu menyuarakan isi hati kita yang terdalam.
Motivasi kita, keinginan kita, alasan-alasan kita.

Kalo kita bersikap manis dengan sikap hati yang salah,
Itu namanya ngejilat.
Kalo kita berbuat baik dengan motivasi yang nggak bener,
Itu namanya nyogok.
Kalo kita ngomong yang bagus-bagus dengan ‘agenda’ terselubung,
Itu namanya muna.
Kalo kita berubah jadi ‘lebih baik’ tanpa disertai keinginan tulus dari hati, itu namanya palsu…

Tanya deh sama nurani elo,
Hari ini, berapa kali elo nggak dengerin dia?
Berapa kali elo nyuekin dia?
Berapa kali elo bilang ke dia, “ah tapi kan yang gue lakuin ini baik!”,
justru di saat dia ngomong, “tapi kan, … (sebut nama elo), walaupun baik, motivasinya salah…”

Berapa kali elo ngebungkam suara nurani elo
Untuk ngedapetin yang elo mau?
Berapa kali elo nyuruh dia diem
Supaya dia gak ganggu-ganggu elo lagi?
Berapa kali elo ngebantah bisikannya
Demi mencapai keinginan elo?

Kalo seandainya nurani bisa ngomong,
Mungkin dia bakal teriak:
“Plis dong dengerin gue.
Gue cuma pengen yang terbaik buat elo.
Nggak lebih…”

Nurani adalah suara kecil yang berbisik
mengingatkan saat kita lupa,
menegur saat kita salah,
menenteramkan saat kita taat,
menguatkan saat kita ikuti,
dan diam saat kita membungkamnya…

There’s A Kid In Every Grown-Up. Now and Then.


Hari ini, usia saya tambah 1 lagi. Gosh, I couldn’t believe I’m already 23!
Kayaknya baru kemarin saya berangan-angan dalam seragam sekolah, pengen cepat gede! It seemed so fun to be a grown-up. Sampai seorang teman (yang usianya sudah lebih dari kepala 2 kala itu) nyeletuk, “kamu mau cepet-cepet gede? Liat aja nanti, masuk 20 juga kamu pengen balik lagi ke masa kecil!”

Well, kalau ditanya sekarang, pilih mana?
Tentu saya akan mengakui, lebih enak jadi anak belasan tahun dalam seragam putih-abu. Segala sesuatu tampak lebih mudah, dan sederhana. Enggak perlu ribet mikir cari penghasilan, karena setiap bulan ada jatah khusus dari orangtua. Enggak perlu kerja, karena tugas kita hanya sekolah (dan dapat nilai bagus, tentunya, hehe…) Masalah yang dialami, ya paling berkutat di seputar wilayah seragam putih-abu itu. Nilai jeblok, putus pacar, berantem sama teman, diomeli ortu, dan titik. Hidup jauh lebih simpel.

Tapi, kalau kembali ke pertanyaan awal – mau pilih mana? Saya akan memilih kehidupan saya yang sekarang.
Dulu saya naif, sekarang saya lebih bijaksana. Dulu saya kekanak-kanakan, sekarang saya lebih dewasa. Dulu saya cengeng, sekarang saya lebih tough. Dulu saya bertindak sesuka hati, sekarang saya belajar merespon dengan sepatutnya. Dulu saya rapuh, sekarang saya lebih kuat. Dulu saya berada dalam cangkang kayu, kini saya siap menghadapi dunia. Semakin bertambah usia, saya belajar artinya melihat dengan mata yang bijak dan memiliki hati yang besar.

Melalui interaksi dengan berbagai jenis orang dan situasi yang berbeda, saya belajar arti kehidupan. Melalui keberhasilan, saya belajar tetap membumi. Melalui kegagalan dan rasa sakit, saya belajar arti konsistensi dan ketekunan, yang akhirnya menjadikan saya pribadi yang tidak mudah menyerah. Melalui harum bunga dan hangat mentari, saya belajar makna kebahagiaan sejati. Melalui awan gelap, saya belajar bersabar menanti pelangi. Dan hidup itu sendiri –terlepas dari apapun yang saya alami– tetaplah indah, karena hidup adalah hadiah terbesar dari Sang Pencipta.

Sekarang saya sudah 23, dan lebih dewasa. Tapi 1 doa saya, semoga usia yang terus bertambah ini tidak membuat saya kehilangan kesederhanaan untuk menilik hidup dari mata seorang anak kecil. Mata yang penuh ketulusan dan terus berharap. Mata yang selalu murni dan penuh cinta. Mata yang tidak terkontaminasi oleh kerasnya hidup, melainkan sungguh-sungguh percaya. Mata yang tidak memandang badai sebagai sesuatu yang menakutkan, namun justru melihat asyiknya bermain hujan.


There’s a kid in every grown-up.
Semoga sisi kanak-kanak ini tidak akan pernah hilang dari diri saya.