Entry ini saya tulis pukul dua pagi, sambil merebus air yang akan saya pakai untuk mandi. Hari ini, duabelas jam saya habiskan di sebuah stasiun televisi yang belakangan ini menjadi tempat saya mencari penghasilan tambahan demi menyokong kehidupan di pusat kota.
Dalam keheningan yang menyertai limabelas menit perjalanan saya kembali ke kos-kosan, saya memejamkan mata dan membiarkan tubuh beristirahat. Di luar dugaan, pikiran yang seharian terus berceloteh dan berlompatan ke sana kemari, mendadak ikut meresapi kesunyian.
Alangkah banyak yang ingin saya tuliskan di halaman ini. Berkali-kali saya menerima pertanyaan, “Kapan diisi lagi blog-nya?”, “Kok sekarang jarang posting?”, dan sebagainya. Berkali-kali berbagai pemikiran singgah di otak. Berkali-kali pula saya meniatkan hati untuk menulis barang sehalaman-dua. Toh akhirnya semua niat cuma mengendap.
September nyaris berakhir. Bulan kesepuluh akan segera saya jelang. Rasanya baru kemarin tahun 2009 berlalu. Kadang benak tergoda untuk melontarkan pertanyaan, apa saja yang sudah saya raih selama sembilan bulan? Apa saja pengalaman yang berhasil saya kumpulkan? Pembelajaran apa yang sudah saya petik? Berapa banyak teman yang saya punya? Pencapaian materiil apa yang bisa saya banggakan?
Ada kalanya pertanyaan-pertanyaan ini hadir dan menganggu, tidak peduli sekeras apa pun saya berusaha mengabaikannya. Kadang saya berpikir, jangan-jangan sindrom krisis seperempat abad itu bukan mitos. Tidak jarang pula saya membandingkan diri dengan orang-orang lain dan merasa kecewa—bahkan putus asa—karena sepertinya saya tidak pernah bisa menjadi lebih baik dari mereka.
Namun ada kalanya—ada kalanya—benak yang selalu ribut mengoceh ini menemukan jalan buntu, berulangkali membentur garis pembatas, berputar-putar kebingungan, hingga akhirnya terdiam kelelahan.
Ketika ia terdiam—dalam waktu yang kadang tak lebih dari sekian menit—batin saya mengambil alih. Dengan ketenangan yang tak pernah saya duga ada. Dalam kesunyian yang mendamaikan. Dalam keheningan yang menyejukkan. Ia hadir dan berbisik, “Tidak apa-apa…”
“Tidak apa-apa.”
Dan sepotong kalimat pendek itulah yang membuat saya kembali berdiri.
Malam ini, kesunyian itu hadir lagi. Dalam limabelas menit perjalanan pulang saya. Kesunyian yang sama, yang akhirnya menggerakkan saya untuk menyalakan komputer dan menuliskan ini.
Bukan sebuah artikel. Bukan tulisan penuh kalimat indah. Hanya sepotong curhat singkat disertai sebuah doa. Beberapa orang menyebutnya harapan.
Apa pun yang terjadi selama tiga bulan ke depan, sebelum akhirnya kita bersama-sama melepaskan tahun 2010 ini, saya berdoa agar kita semua senantiasa diingatkan—melalui peristiwa sehari-hari, keajaiban-keajaiban kecil yang kita alami dan siapa pun yang kita temui—bahwa sesungguhnya hidup tidak pernah berhenti menawarkan hadiah. Bahkan tanpa kita perlu berusaha menggapainya.
Bahwa sesungguhnya segala pedih akan berlalu pada waktunya. Kesedihan akan sirna jika sudah saatnya, dan getir tidak akan tinggal tetap. Pun kebahagiaan, kegembiraan dan sukacita.
Bahwa cinta adalah sesuatu yang nyata, ada dan layak dipercayai. Tanpa perlu diwadahi. Tanpa perlu dipaksakan. Tanpa perlu diundang, atau diusir.
Bahwa sesungguhnya, di mana pun kita semua berada, dan kapan pun, Anda dan saya tidak butuh banyak untuk bisa bahagia.
Itu saja.
—–