Hidup = Bulet?

Kata orang, hidup itu kayak bola. Terus bergulir. Ada juga yang bilang, hidup itu mirip roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Yang saya bingung ya, kenapa hidup selalu identik dengan BULET? Mau roda, mau bola, dua-duanya bulet. Menggelinding, tanpa akhir.
Kalo kata saya mah, hidup itu kayak tangga. Di ujung atas ada tujuan yang bisa diraih, dan untuk mencapainya cuma butuh keputusan dan tindakan. Seberapa cepet sampai di atas, tergantung pilihan kita. Dan saya juga percaya, Yang Di Atas pengen kita punya kehidupan seperti itu: naik, dan terus naik.
Maka, berusahalah. Jangan pernah menyerah. Jangan pernah berhenti bermimpi. Jangan pernah lelah untuk percaya. Biarpun keliatannya sukar dan lambat, kalau kita terus mendaki tanpa kenal lelah, kita PASTI bisa sampai di atas (lagian dimana-mana juga, yang namanya naik tangga itu pasti bikin capek – kecuali kamu naik elevator. Percayalah, saya juga ingin punya elevator. Tapi dalam hidup ini, bukan begitu aturan mainnya.

Selamat mendaki. Satu pesan saya, kalau udah sampai di atas, jangan lupa sama yang masih di bawah, ya 🙂

– 6 November 2006, kala merenung dalam sunyi –

Untuknya Yang Telah Pergi…

Ini bukan karangan indah. Hanya secuplik kisah nyata, disertai permohonan maaf untuk seseorang yang pernah begitu berjasa – yang tak pernah sempat saya ucapkan kepadanya.

8 atau 9 tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di bangku SMP, kami diajar oleh guru matematika bernama Pak Harefa. Usianya masih terbilang muda, 28 tahun. Pak Harefa amat sabar dalam mendidik murid-muridnya. Beliau senantiasa mengajar dengan detail, bersedia mengulang penjelasan tanpa mengkritik, selalu memberi tambahan waktu ketika ulangan, dan tidak pernah marah/menghukum. Namun di mata kami, semua itu bukanlah wujud kemuliaan hati, melainkan sikap lembek dan ‘tidak berdaya’ yang menyebabkan kami tidak segan-segan berlaku tidak hormat kepadanya. Kami mengobrol dan bercanda dengan bebas ketika beliau mengajar. Kami bersikap sesuka hati. Kami bahkan makan di dalam kelas. Salah satu perbuatan favorit kami (termasuk SAYA) adalah mengajukan pertanyaan kepada beliau dengan mulut mengunyah makanan secara terang-terangan. Dan Pak Harefa selalu bersedia menjelaskan!
Kalau dipikir sekarang, rasanya tindakan kami itu betul-betul sudah di luar batas. Tetapi ketika melakukannya 9 tahun yang lalu, yang ada hanyalah rasa bangga. Bangga karena berani ‘melawan’ seorang guru. Senang karena berhasil melampiaskan rasa sebal akibat ‘penindasan’ guru-guru killer yang lain. Dan saya pun, dengan tega melibas hati nurani demi melakukan hal yang sama.
Siang itu, Pak Harefa tidak hadir. Bukannya bertanya-tanya, kami sekelas malah bersuka ria menikmati jam kosong. Sampai Kepala Sekolah masuk, dan memberi pengumuman. Pak Harefa telah meninggal dunia.
Beliau mengalami serangan jantung dalam angkutan umum yang ditumpanginya pada perjalanan menuju sekolah, dan meninggal di tempat yang sama. Tanpa penolong, tanpa ada yang menemani. Bahkan dompetnya raib dicuri orang.
Saya terhenyak. Seluruh murid membisu. Hari itu, kami menangis dan tercenung.
Sampai hari ini, saya masih tercenung.
Seandainya dulu saya bicara dengan sopan kepada Pak Harefa.
Seandainya dulu saya tidak bersenda gurau dengan suara keras saat beliau mengajar.
Seandainya dulu saya tidak bertanya sambil mengunyah permen di depannya.
Seandainya dulu saya bersedia menilik nurani dengan kebijakan dan rasa hormat… tentunya saya tidak perlu melukai hati mulia seorang guru yang telah begitu telaten mendidik murid-muridnya.

Maafkan kami, Pak Harefa.