Mengalami Secercah Non-Dualitas

Beberapa hari sebelum artikel ini ditulis, saya dan seorang sahabat berselisih –untuk kesekian kalinya— dan sejauh yang saya ingat, perselisihan tersebut adalah yang terhebat sepanjang sejarah pertemanan kami. Sahabat saya bukan orang yang mudah marah, namun kali ini saya tahu ia sungguh-sungguh kecewa. Dan saya pun tak kalah mendidihnya.

Setelah beberapa kali berkirim pesan pendek, sahabat saya menutup pesan terakhirnya dengan sebuah kalimat, “People change, live with it.”

Saya membaca pesan itu dua kali, kemudian menutup ponsel.

Anehnya, kali ini tak ada rasa marah atau kecewa yang menggelayuti saya. Awalnya saya mengira akan merasa jengkel. Namun yang ada hanya lelah –hanya sesaat— yang kemudian menguap dan berganti dengan pemahaman, dia benar.

Segala sesuatu di dunia ini berubah. Energi berubah. Situasi berubah. Lingkungan berubah. Manusia berubah. Kebenaran pun tidak tinggal stagnan. Lalu apa hak saya untuk menghendakinya agar tetap menjadi sosok yang selama ini saya kenal? Kenapa saya harus menginginkannya tetap menjadi sahabat nan baik hati yang selalu mendatangkan rasa nyaman untuk saya? Apa hak saya untuk menaruh pengharapan terhadap seseorang yang terus berevolusi dalam hidupnya – sementara saya sendiri senantiasa mengalami perubahan?

Bus yang saya tunggu datang. Saya menyimpan ponsel di dalam tas dan naik. Sambil mengamati jalan dari balik jendela, saya termenung.

Entah sudah berapa kali saya menulis dan mengulang, the most certain thing in the world is change. Satu-satunya hal yang pasti dalam hidup adalah perubahan. Saya mengira saya telah memahaminya. Namun baru kali ini pemahaman itu datang secara menyeluruh, mengutuh, dengan cara yang tak pernah saya duga. Dan hal pertama yang terlintas di pikiran saya adalah: “Betapa menderitanya hidup di dunia jika satu-satunya hal yang pasti hanya perubahan.

Manusia terdiri dari ego. Ego membuat kita sanggup mempertahankan kelangsungan hidup di dunia. Dan apa salah satu hal yang paling disukai ego? Kepastian. Itu sebabnya kita amat sulit menolak perubahan. Itu sebabnya kita mati-matian menentang segala sesuatu yang berpotensi menimbulkan kekacauan; entah perubahan, perpisahan, kematian, dan sebagainya. Ego tidak menyukai chaos. Ia menyukai tatanan yang rapi dan stabil. Ia menyukai asuransi dan garansi.

Ego telah membuat kita bertahan. Lantas, apa yang terjadi jika semuanya diguncang dan dikacaukan?

Barangkali, itulah pentingnya memahami ketidakmelekatan, duga saya. Barangkali itulah yang melatari ajaran para guru besar. Bahwa kita seharusnya meniadakan kemelekatan. Bahwa kemelekatan terhadap apa pun di dunia –bahkan hal-hal yang baik dan disukai seperti kebahagiaan, pengalaman manis dan pencerahan— dapat berubah menjadi selumbar yang menghalangi pandangan, dan menjadi batu sandungan yang menghambat perjalanan kita.

Penyadaran kedua menyerbu batin saya seperti angin ribut. Jika segala sesuatu memang berubah… jika satu-satunya yang permanen di dunia memang hanya ketidakkekalan… jika memang demikian adanya, maka segala keburukan yang ada dalam diri manusia pun takkan tinggal tetap. Sifat buruk, limitasi, kelemahan, kekurangan, dan kebiasaan negatif bukan sesuatu yang mustahil diatasi – dalam arti sebenar-benarnya, bukan sekadar mengubahnya di permukaan sementara alam bawah sadar terus menimbunnya.

Kesusahan tidak abadi. Kesengsaraan tidak selamanya bercokol. Dan, ya, kebahagiaan dan kegembiraan pun takkan tinggal permanen. Ini bisa menjadi berita buruk atau berita baik bagi siapa saja, tergantung bagaimana kita meniliknya. Sebagaimana kebahagiaan berubah dan berganti, segala sesuatu yang selama ini kita labeli ‘buruk’, ‘salah’ dan tak diinginkan pun akan bergulir dan berlalu.

Penyadaran itu membuat saya terhenyak. Konsep impermanensi bukan hal asing bagi saya, namun mengalaminya secara utuh telah meninggalkan jejak yang jauh lebih dalam dari sebatas memahami belaka. Pada saat yang sama, kelegaan membanjiri hati saya.

Saya akan mengatakan ini dengan jujur, sebenar-benarnya. Lepas dari apa pun yang pernah Anda temukan di sini, lepas dari apa pun yang Anda peroleh atau rasakan setelah membaca tulisan-tulisan saya, dan lepas dari apa pun yang pernah (beberapa dari) Anda sampaikan kepada saya sebagai penghargaan, saya memiliki begitu banyak kekurangan dan kelemahan. Anda tidak mengetahuinya, karena Anda hanya membaca tulisan-tulisan saya. Namun saya tahu. Saya telah bergumul dengan kekurangan dan kelemahan nyaris sepanjang hidup saya, dan sering kali saya merasa tidak ada lagi harapan, karena tidak peduli berapa banyak kelas penyembuhan-mandiri yang saya ikuti, tidak peduli seberapa rajin saya menerapkan apa yang saya ketahui, kesembuhan total tidak kunjung terjadi. Bagaikan musim yang silih berganti, kekurangan dan kelemahan terus datang dan pergi.

Hari itu, saya tersadar. Saya telah berfokus pada fakta bahwa saya memiliki begitu banyak kelemahan, namun saya melupakan saat-saat dimana saya menjadi kuat. Saya begitu ingin menyingkirkan keterbatasan, namun saya lupa bahwa untuk itu saya perlu menyadari segala keterbatasan tersebut dan tidak semata berkubang di dalamnya. Saya demikian ingin mengatasi kekurangan-kekurangan saya, sehingga saya melupakan prinsip emas yang berkali-kali saya ucapkan sendiri: what you resist, persists.

Hari itu, saya menyadari dengan penuh kelegaan, bahwa tiada sesuatu dalam hidup yang abadi. Tidak peduli apa pun keterbatasan yang menghantui saya saat ini, semuanya dapat berubah. Dan setelah perubahan terjadi, perubahan berikutnya akan menyusul. Entah baik entah buruk. Hidup boleh membawa saya mengalir. Hidup boleh menghantarkan apa pun yang menjadi bagian saya. Saya akan menerimanya. Saya tidak perlu memaksanya berubah menjadi seperti yang saya inginkan. Saya tidak perlu lagi bergumul. Yang perlu saya lakukan hanya menyadari dan mengamati.

Tubuh saya masih duduk di kursi belakang bus, mata saya masih memandangi deretan kendaraan yang menyemut di balik jendela, pikiran saya masih bekerja, namun kesadaran saya melayang mengatasi segalanya.

Saya masih bisa mendengarkan suara pikiran yang bertanya-tanya, “Apa ini? Apa yang terjadi?”, namun suara itu bagai timbul tenggelam dalam kesadaran yang kian menebal seperti kabut.

Lalu, seperti pelita yang dinyalakan dalam gelap, suara berikutnya muncul dalam pikiran saya, “Inilah yang kamu minta.” Saya pun teringat, beberapa hari sebelumnya, saya pernah memohon dengan sangat kepada Tuhan (atau siapa pun yang bersedia mendengarkan), agar saya diberi kesempatan untuk memahami makna non-dualitas dan mengalaminya secara utuh.

Non-dualitas adalah sesuatu yang sudah lama saya (coba) pelajari. Entah mengapa, saya tidak kunjung memahaminya. Otak saya mampu mencerna informasi yang saya dapatkan, namun batin saya seolah menolak secara aktif untuk menyerapnya. Rasanya bagaikan menggenggam air dengan tangan telanjang. Air yang saya tampung hanya sanggup bertahan sebentar sebelum mengalir melalui lekukan telapak tangan, dan jika saya mencoba menggenggamnya, semakin cepat pula ia habis.

Batin saya tidak pernah sanggup menampung pemahaman tentang non-dualitas. Sejujurnya, kendati hal ini tidak terlalu mempengaruhi kehidupan saya, jauh dalam hati saya mulai merasa frustrasi. Saya mulai bertanya-tanya, akankah saya mengalami non-dualitas, atau memang bukan jatah saya untuk bersentuhan dengan konsep ini. Bagaimana pun, saya merasa non-dualitas bagaikan potongan gambar yang hilang dari puzzle raksasa perjalanan spiritual saya. Saya tidak tahu apakah saya memang memerlukannya, namun tanpa potongan gambar itu, puzzle saya tidak lengkap. Kepingan itu seharusnya ada di sana. Doa yang saya panjatkan beberapa hari sebelum peristiwa itu adalah upaya terakhir saya untuk menggapai kepingan tersebut.

Kini, dalam kesadaran yang kian ‘membengkak’ dan membuat suara pikiran saya semakin kecil terdengar –nun jauh di bawah sana— saya bertanya-tanya, apakah akhirnya saya akan diberi kesempatan untuk mengintip sekilas ranah non-dualitas. Di sisi lain, saya merasa tidak dapat memahami hubungan antara perubahan, ketidakmelekatan, dan non-dualitas, jika ketiganya memang saling berkaitan. Jadi, yang saya lakukan hanya duduk di sana dan ‘menonton’.

Saya akan berusaha menguraikan pemahaman yang saya peroleh dengan sebuah ilustrasi, dan saya akan mencoba menggambarkannya sebaik yang saya bisa. Mohon maaf jika kata-kata yang saya miliki amat terbatas.

Apabila baik dan buruk bagaikan dua substansi yang berada dalam sebuah neraca –sebelah di kiri dan sebelah di kanan, dalam porsinya sendiri-sendiri– maka substansi yang selama ini terpisah itu kini terangkat dari wadah masing-masing, melayang mengatasi neraca tempatnya dipilah dan ditimbang, terus mengambang di udara, saling mendekati, bersisian, kemudian melebur menjadi satu. Dua substansi yang tadinya terpisah dan saling melengkapi keberadaan satu sama lain dalam pemahaman dualitas kini menyatu dan meniadakan segala perbedaan di antara mereka.

Dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak lagi ada pemisahan antara baik dan buruk dalam ranah non-dualitas. Tidak ada lagi pemisahan antara benar dan salah. Suci dan najis. Yin dan yang. Dua sisi yang terpisah dan saling melengkapi itu tidak lagi ada. Semua lebur menjadi satu dalam kesempurnaan. Kesempurnaan total, tanpa cacat. Kesempurnaan dimana yang ada menjadi tiada, dan yang tiada menjadi nyata. Tatanan tanpa cela yang sepenuhnya murni dan utuh. Tiada lagi pembatasan. Tiada lagi pemisahan. Tiada lagi perbedaan. Tiada yang salah. Tiada yang berada di luar jalur. Tiada yang perlu diperbaiki, diubah, dibetulkan. Semua adalah satu, dan satu berada dalam semua.

Masih terpukau dengan itu semua, saya menoleh keluar jendela, ke pinggir jalan yang dipenuhi pepohonan dan orang yang lalu-lalang di trotoar. Saya mengamati dengan takjub ketika penyadaran berikutnya muncul: saya menemukan sebagian diri saya dalam setiap mereka. Secara harafiah, SETIAP orang dan makhluk hidup yang berada di pinggir jalan itu.

Pohon berdaun jarang yang baru saja ditinggalkan seekor burung adalah saya. Burung gereja yang terbang dari sebuah cabang adalah saya. Kakek berkulit gelap yang duduk di trotoar sambil mengunyah-entah-apa adalah saya. Pemuda berbaju lusuh dan berwajah kusam yang melintas di samping bus adalah saya. Wanita berbadan gempal dengan kaus pink yang baru saja meninggalkan kios tempatnya berjualan adalah saya. Supir bus yang duduk jauh di depan adalah saya. Laki-laki bertopi yang duduk di sampingnya adalah saya. Bapak separuh baya yang menduduki kursi di depan saya, adalah saya. Ibu muda yang sibuk berbicara dengan logat Mandarin kental juga saya. Tidak ada satu pun kata yang sanggup menggambarkan apa yang saya rasakan. Tidak akan ada kalimat yang cukup pas untuk mendeskripsikan rasanya memandang dunia dan menemukan sebagian diri saya dalam SETIAP hal yang saya jumpai.

Dalam kesadaran yang terus bergulung, seperti selimut tebal yang menaungi pikiran, perlahan benak saya memunculkan ingatan tentang seseorang bernama Khrisnamurti. Saya pernah membaca tulisan-tulisannya, dan tidak banyak yang saya ingat dari sana. Namun ada sesuatu yang kini terbangkitkan dengan amat jelas: pengalaman yang dialami oleh Khrisnamurti ketika berusia muda yang membalikkan perjalanan hidupnya secara total.

Pada tahun 1922, dalam usia 27 tahun, ia mengalami proses Pencerahan yang berlangsung selama 3 hari, di mana ia mengalami kesadaran yang berubah: “… Ada seseorang tengah memperbaiki jalan, orang itu adalah aku; beliung yang dipegangnya adalah aku; batu yang tengah dipecahnya adalah bagian dariku; helai rumput yang rapuh adalah aku; dan pohon di samping orang itu adalah aku.”
(‘Duduk Diam dengan Batin yang Hening’ – J. Khrisnamurti)

Kedamaian yang sukar dijelaskan dengan kata-kata melingkupi saya. Pencerahan atau bukan, saya tidak lagi peduli. Semua mendadak tidak lagi penting. Konflik dengan sahabat saya, yang selama berhari-hari menggelayuti pikiran seperti awan mendung, mendadak tidak lagi penting – bahkan, segala hal yang saya alami sebelum peristiwa ini tidak lagi penting. Semua yang saya ketahui selama ini juga tidak lagi penting. Saya menaiki mesin waktu yang menghantarkan saya memasuki dimensi baru dimana 24 jam tidak lagi berlaku, dan tidak ada esok maupun kemarin. Dimensi itu bernama Masa Kini.

Tidak ada air mata. Tidak ada perasaan spektakuler yang menyertai penyadaran ini. Tidak ada gejolak emosi yang mengharu-biru. Pengalaman ini hanya terasa begitu nyata, tepat, sederhana, dan segala sesuatu di luar itu tidak lagi penting.

Doa saya telah terjawab, namun bahkan doa tersebut tidak lagi penting. Belum pernah saya merasa, seumur hidup, bahwa segala hal yang terjadi pada diri saya saat ini, detik ini, apa pun itu (enak atau tidak, disukai atau tidak), adalah sesuatu yang amat tepat, benar, dan sempurna. Pikiran manusia selalu bertindak untuk mengevaluasi, menilai dan merencana. Bahkan ketika hidup berada di titik paling prima, dimana segala sesuatu yang bisa dibayangkan seseorang telah berada dalam genggaman, pikiran terus bekerja secara mekanis memompa berbagai penilaian, membandingkan, dan mengingatkan untuk terus mencapai lebih, sehingga nyaris tidak ada sesuatu pun yang bisa dijadikan parameter kesempurnaan. Hari itu, di tengah segala ketidaksempurnaan yang saya dapati dalam hidup, saya menyadari semuanya sempurna. Dan inilah surga.

Dari pengalaman sore itu, barangkali inilah hadiah kecil yang bisa saya bagi dengan Anda semua: penyadaran sederhana bahwa di tengah segala ketidaksempurnaan, hidup sesungguhnya selalu sempurna. Di tengah segala kelemahan dan keterbatasan diri, Anda dan saya sesungguhnya adalah makhluk-makhluk tanpa cela. Anda dicintai sebagaimana adanya, dan tidak ada yang salah dari diri Anda. Anda diterima sebagaimana adanya, dan tidak ada yang kurang sempurna dari diri Anda.

Anda dicintai dan diterima, karena Anda adalah Anda. Cukupkah itu untuk menciptakan surga dalam ruang kecil yang tersembunyi di sudut batin Anda? Semoga.

Izinkan saya menyelesaikan tulisan ini dengan mengutip ucapan salah satu ‘guru’ saya, serta memberikan sebuah pesan: ketika kalimat terakhir usai Anda tuntaskan, lupakan semua yang Anda baca mengenai non-dualitas. Anda tidak perlu mempercayai penjelasan saya. Anda tidak perlu mencoba memahami tulisan ini, karena penguraian saya hanya sebentuk usaha yang bisa menjadi sia-sia, bagaikan jaring menangkap angin. Non-dualitas melampaui segala pengertian dan definisi yang bisa dihasilkan pikiran, namun yakinlah bahwa tidak ada sesuatu yang mustahil. Jika kesempatan itu datang, jika kelak mesin waktu yang telah membawa saya singgah di depan Anda, barangkali kita bisa bersama-sama menjejakkan kaki ke dalamnya dan mengintip sejenak surga kecil yang memungkinkan tulisan ini tercipta.

Till then, may all beings be happy. 🙂

There is a level of mind, a conscious being, which is not dualistic, which is not conceptual, which is by its very definition, is beyond thought. It cannot be thought about and it cannot be conceptualized, but it can be realized.” (Tenzin Palmo)

—–

Tentang Dia yang Saya Panggil ‘Ayah’

Ayah saya adalah seorang jagoan. Disimpannya rapat-rapat airmatanya dan hanya menangis ia jika sendirian. Bukan karena tak mau membagi rasa, namun karena ia tak ingin saya bersusah hati. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Orang tua harus tahu kapan anaknya susah, tapi anak tidak perlu tahu kalau orang tuanya susah.”

Ayah saya adalah seorang pencinta. Masih lekat dalam ingatan sebuah pigura berbingkai gelap berisi foto almarhumah Ibu yang selalu dipeluknya erat sebelum tidur. Ia sanggup tidur tanpa kasur dan selimut, namun tak pernah sedetik pun dilepasnya foto itu. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Kalau lagi kangen Mama kamu, jadi nggak bisa tidur.”

Ayah saya adalah seorang pahlawan. Tak pernah ragu menolong yang kesusahan dan tak sedetik pun menunda membantu yang lemah. Meski tindakannya ini kerap membuat saya dan adik mengomel, karena kebaikannya sering disalahgunakan oleh orang lain. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Biarin lah, kasihan…”

Ayah saya adalah seorang dokter. Dan ia menyembuhkan bukan dengan obat-obatan. Ia menyembuhkan dengan dering telepon yang rutin di malam hari dan sapaan yang menghangatkan seperti selimut tebal. Mendengar suaranya, saya selalu yakin, semua akan baik-baik saja. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Jangan banyak pikiran, jangan kecape’an kerjanya. Udah makan belum? Udah mandi?”

Ayah saya adalah seorang penyair. Dua kalimat favoritnya adalah ‘I love you’ dan ‘take care’ yang kami pertukarkan nyaris setiap hari. Meski kalimat-kalimat itu tak dibubuhi embel-embel puitis lain, di telinga saya mereka laksana syair pujangga ulung.

Saya sangat beruntung.

Bukan karena memiliki seorang jagoan, pencinta, pahlawan, dokter, sekaligus penyair sebagai ayah, namun karena mengetahui, bahwa di dunia yang bisa gelap, keras dan menyakitkan ini, cintanya selalu ada.

Selamat ulang tahun, Papa. Saya sayang Papa. Sangat.

—–

Di Pihak Siapa?

Mari maju, maju, maju
Ke medan peperangan
Tiada waktu untuk santai

Mari maju, maju, maju
Ke tanah perjanjian
Puji nama-Nya dan rebut kemenangan

S’bab Tuhan ada di pihak kita
Kuasa-Nya selalu menolong kita
Maju, kemenangan bagi kita

Biarlah dunia ‘kan melihat
Biarlah dunia ‘kan mendengar
Biarlah dunia akan tahu
Bahwa Allah kita gagah perkasa

Gagah perkasa
Gagah perkasa

Lagu di atas pernah menjadi favorit saya beberapa tahun silam. Lagu yang selalu diiringi hentakan drum itu senantiasa berhasil memicu adrenalin dan membuat saya bersemangat. Saya meloncat-loncat tanpa jeda sepanjang lagu dinyanyikan (yang bisa diulang berkali-kali dari awal sampai akhir), berteriak sampai suara parau dan leher sakit, bertepuk tangan sekeras-kerasnya sampai telapak dan pergelangan saya memerah, dan berjingkrakan sampai tubuh terasa panas.

Hingga pada satu titik, saya tersadar.

Jika ada ‘kita’, berarti ada ‘mereka’.

Jika ada ‘Allah kita’, berarti ada ‘Allah mereka’.

Siapa yang dimaksud dengan ‘mereka’? Apakah Tuhan lebih dari satu?

Jika Tuhan lebih dari satu dan mereka berperang, lantas siapa yang akan menang? Adakah Tuhan yang satu lebih kuat dari Tuhan lainnya?

Jika Tuhan hanya ada satu, lalu ‘kita’ dan ‘mereka’ berperang, lantas kepada siapa Ia berpihak?

Lantas, adakah gunanya dunia tahu Tuhan siapa lebih berkuasa atas Tuhan siapa? Adakah gunanya dunia sadar mana yang lebih kuat mana yang lebih lemah?

Dan apa yang dimaksud dengan kemenangan? Pihak yang satu menduduki pihak lainnya? Pihak yang satu berkuasa atas pihak lainnya? Lantas, apa yang akan dilakukan kepada pihak yang kalah?

Lagu itu pernah menjadi kesukaan saya, sampai saya mulai bertanya.

—–

*Hhh. Susah emang kalau punya bakat cari gara-gara. Berserah sih berserah, penasaran teteub, nanya-nanya jalan terusss.

**Cuma sebuah pemikiran iseng di Jum’at sore. Nggak usah ditanggap serius, tapi kalau ada yang berminat ngasih jawaban, monggo lho.

***Maaf nggak mencantumkan nama pencipta lagunya, karena saya nggak tahu siapa.

Bersatu dengan Cinta

Seumur hidup, entah sudah berapa ratus kali saya menyanyikan lagu Indonesia Raya. Minimal setiap Senin pagi di lapangan sekolah, sambil mendongakkan kepala tinggi-tinggi dan menghormat bendera. Tidak jarang, saya menyanyikannya dengan tergesa-gesa karena berharap upacara cepat selesai. Karena pengibaran bendera selalu dilakukan di akhir upacara, sering pula saya berharap bapak pembina mendadak sakit perut, supaya saya tidak perlu berlama-lama berdiri dan terjemur matahari.

Seperti itulah saya memandang Indonesia Raya.

Sebagai manusia yang mendahulukan Twitter daripada sarapan (I know, agak sakit memang :-D), hal pertama yang saya lakukan begitu mata membuka adalah menyambar ponsel untuk mengecek update status terbaru teman-teman. Seperti ketabrak gajah rasanya ketika pagi itu saya membaca sejumlah entri di halaman Twitter saya yang mengumumkan ledakan bom di Ritz Carlton dan J.W. Marriott.

Saya menyalakan televisi. Semua saluran seakan adu balap menayangkan berita terbaru dari lokasi kejadian, disertai rekaman video amatiran yang diambil sesaat setelah ledakan terjadi. Amatiran dalam arti sebenar-benarnya. Tidak jelas dan lebih menunjukkan indikasi gempa bumi daripada sisa ledakan. Cukup lama saya menonton. Setelah beranjak dari televisi, saya menghabiskan sisa hari itu di depan komputer. Kendati otak sudah luber oleh berita yang menyesakkan, tak urung saya tetap menjelajah jagat maya untuk mengumpulkan serpihan-serpihan informasi.

Reaksi emosi yang pertama kali timbul adalah amarah. Saya merasakan kebencian teramat-sangat pada sekelompok orang dungu yang berada di balik peristiwa pengeboman. Mereka yang cukup biadab untuk meledakkan bom di tempat umum dan menghilangkan nyawa orang-orang tidak berdosa. Mereka yang cukup keji untuk merancangkan semua rencana itu dan melaksanakannya. Saya mengutuk dan memaki. Melampiaskannya dengan kata-kata paling kasar yang saya ketahui.

What you resist, persists. Itu prinsip emas yang selalu saya amini. Karenanya, saya tidak menahan diri untuk meluapkan emosi. Puas memaki-maki melalui status Facebook dan Twitter, saya mengambil waktu sejenak untuk menarik nafas dan menyegarkan diri dengan air putih. Tidak lama berselang, muncullah lapisan perasaan berikutnya. Perasaan itu bernama takut.

Saya begitu mencemaskan keselamatan orang-orang yang saya sayangi, meski kecil kemungkinan mereka menjadi korban ledakan. Saya tidak bisa menerima rasa takut yang mendadak membuncah, rasa aman yang tiba-tiba lenyap, dan kekhawatiran yang tahu-tahu mendera. Tubuh-tubuh berlumuran darah yang saya saksikan akan mengisi benak saya dalam waktu lama. Ledakan bom telah memberi peringatan yang tak terelakkan akan bahaya dan maut yang bisa menjemput sewaktu-waktu. Tempat-tempat umum tidak lagi nyaman untuk didatangi sambil berlenggang-kangkung tanpa sedikit terbersit rasa was-was atau khawatir.

Beberapa saat setelah takut dan cemas mereda, muncul perasaan berikutnya. Sedih. Saya terpaku di depan komputer dengan mata berkaca. Keinginan untuk memaki tidak lagi ada. Rasa gentar perlahan sirna. Yang tersisa hanya luka yang mendalam. Sesuatu seperti terenggut dari jiwa saya, meninggalkan lubang hitam yang menganga.

Merasa tidak lagi kuat dijejali tambahan informasi, menjelang petang saya mematikan komputer dan menjauhkan diri dari televisi. Kawan-kawan saya berkumpul di ruang tamu untuk mendengarkan siaran berita, namun saya mengurung diri di kamar. Sesaat, saya merasa lega dan aman dalam kandang kecil saya.

Tidak lama kemudian, muncul lapisan rasa berikutnya yang tidak saya sangka-sangka. Lapisan itu bernama cinta. Dan saya terkejut sendiri karena setelah melalui berbagai spektrum emosi yang tidak menyenangkan, perasaan ini begitu murni, hangat, dan menenteramkan. Barangkali sebagian orang akan mencap saya berlebihan, namun ketika perasaan ini hadir, saya bahkan tidak mampu lagi merasa benci kepada para pelaku pengeboman. Seakan-akan semua kemarahan yang mencengkeram saya siang itu luntur begitu saja. Seakan-akan segala takut dan sedih terhapus begitu saja – hanya menyisakan kasih yang menghangatkan hati.

Seumur hidup, entah sudah berapa kali saya menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mengulang lirik yang sudah terhafal mati di kepala dan bernyanyi tanpa merasa perlu menelaah maknanya – semua demi kewajiban rutin setiap Senin pagi di lapangan sekolah. Malam itu, sendirian di atas tempat tidur, saya kembali menyenandungkan Indonesia Raya. Tanpa iringan musik. Tanpa menghormat bendera. Tanpa peduli tempo.

Hiduplah tanahku
Hiduplah negeriku
Bangsaku
Rakyatku semuanya

Perlahan, mata saya membasah.

Saat itulah saya tahu, betapa saya mencintai negeri ini. Bumi di mana kedua kaki saya berpijak. Udara yang melewati paru-paru saya setiap hari. Tanah yang menghidupi saya sejak lahir hingga detik ini. Tanah Indonesia. Namun saya telah begitu terbiasa, hingga ingatan akannya tak pernah lagi mampir di benak. Atau hati.

17 Juli 2009 adalah momen dimana saya menyadari, cinta itu ada.

Paragraf berikut saya ambil dari artikel yang ditulis Goenawan Mohamad, tiga hari setelah peristiwa ledakan.

Kematian dan luka-luka itu mengerikan, tapi saya dengarkan percakapan, saya baca pesan di HP, dan saya mungkin bisa mengatakan bahwa kita marah, sedih, dan menangis karena tiba-tiba kita menyadari, betapa terkait kita dengan sebuah tanah air: sebuah negeri yang selama ini seakan-akan bisa diabaikan, atau hanya disebut dalam paspor—sebuah Indonesia yang seakan-akan selamanya akan di sana dan utuh tapi kini terancam—Indonesia yang dulu mungkin hanya menempel direkatkan ke kepala karena pelajaran kewarganegaraan di sekolah, karena pidato di televisi.

Beliau benar.

Peristiwa ini telah merenggut nyawa orang-orang yang tidak berdosa dan meluluhlantakkan begitu banyak jiwa. Namun peristiwa yang sama juga menyadarkan kita akan satu hal: betapa kita mencintai sesuatu yang telah begitu lama terabaikan. Betapa hati kita sesungguhnya terpaut pada sesuatu yang bahkan tak sempat kita ingat-ingat. Kita mencintainya namun tak lagi menghargainya, karena kita menganggapnya akan selalu ada. Dan ketika ia terguncang, dunia kecil kita ikut tergempa.

Hanya dalam tempo beberapa jam, #indonesiaunite menduduki peringkat teratas Trending Topics di situs pertemanan Twitter. Headline berita di seluruh dunia –mulai dari CNN hingga Al Jazeera— menyajikan topik yang sama. Simpati dan belasungkawa berdatangan dari segala penjuru dunia. Beberapa orang bahkan berinisiatif mengibarkan sang Saka di rumah dan kendaraan masing-masing.

Bom tersebut telah mengakibatkan kehancuran besar, dan pada saat yang sama meledakkan hati jutaan orang di Bumi Pertiwi untuk menyatukan kekuatan dan merangsek bangkit – menolak terkapar kalah. Sekali lagi mata dunia tertuju kepada kita; kali ini bukan karena tragedi kemanusiaan atau bencana alam, melainkan karena persatuan yang digalang bersama.

Malam itu, di tengah rasa bangga yang berkecamuk ketika menyaksikan #indonesiaunite merambati Trending Topics hingga berhasil bertengger di puncak, saya berdoa, yang memotori kita untuk bergandeng tangan dan menggalang persatuan adalah cinta. Bukan kemarahan. Bukan kebencian. Bukan dendam. Bukan sesuatu yang akan melahirkan kekerasan berikutnya. Saya berdoa, rantai kekerasan itu berhenti sampai di sini. Saya berdoa, bangsa ini akan sekali lagi bangkit dan bergerak bersama, kali ini dengan cinta.

Tidak ada sesuatu di dunia ini yang permanen. Teror takkan tinggal tetap, kedamaian pun bisa diguncang. Mungkin ini saat yang tepat untuk merenung dan menyadari bahwa segala sesuatu yang kita genggam saat ini bisa terlepas. Apa yang pernah kita miliki suatu saat bisa diambil. Mungkin ini waktu yang tepat untuk mulai belajar bersyukur dan menghargai sebentuk anugerah yang masih dipercayakan kepada kita hingga detik ini: tanah air dan bangsa bernama Indonesia.

Dalam dunia yang kian sesak dan pengap, di tengah perputaran roda kehidupan yang memaksa kita untuk terus bergerak secepat-cepatnya, cinta bisa menjadi sesuatu yang terlampau absurd untuk digaungkan. Sekalipun ada, dengan cepat ia terlibas oleh ambisi dan egoisme. Kita tak pernah jemu menyuarakan cinta, namun hati kecil kita tahu, pada esensinya yang paling sejati, cinta telah lama terhimpit dan tertindas. Kita punya begitu banyak ‘baju’ berlabel cinta yang setiap hari kita pakai dan tunjukkan kepada dunia, namun cinta itu sendiri nyaris tak pernah tersentuh.

Malam ini, sebelum mempublikasikan #indonesiaunite untuk kesekian kalinya di halaman Twitter, saya menyempatkan diri untuk berkaca dan bertanya: apa yang sesungguhnya mendorong saya untuk mengetikkan sebaris kata itu? #indonesiaunite bisa datang dan berlalu, apa yang saya tulis bisa tergusur, namun yang melatari lahirnya sebaris kata itu dalam hati saya akan tinggal jauh lebih lama dari kalimat-kalimat yang pernah saya ciptakan.

Malam ini, sepenuh hati saya berdoa, dunia akan melihat bangkitnya sebuah bangsa yang bersatu karena cinta.

Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

—–

Pada Duabelas

Mereka bilang, perpisahan adalah sebuah titik
Bagiku, perpisahan adalah sebuah koma
Yang mengajarku menggurat tanda-tanda lain di kanvas ini

Mereka bilang, perpisahan adalah duka
Bagiku, perpisahan adalah lahirnya jiwa
Ketika sayap yang merapuh kembali menemukan daya

Mereka bilang, perpisahan adalah derita
Bagiku, perpisahan adalah menerima dan memaafkan
Dan dari sana aku belajar mengenal cinta

Mereka bilang, perpisahan adalah akhir
Bagiku, perpisahan merupakan awal
Karena perpisahan mempertemukanku denganmu

Hari ini, genap duabelas bulan sudah
Kita masih menari, dan kita masih tak tahu
Kemana hidup akan bergulir, kemana hati mengalir

Namun satu hal hatiku tahu
Apa pun yang dihadiahkan hidup pada kita kelak
Perjumpaan denganmu adalah sesuatu yang akan kusyukuri selamanya.

Mauliate godang, Kakak. Holong rohakku tu ho. It’s been a wonderful year. 🙂

~ Banten, 18 Juli 2008 – 18 Juli 2009 ~

*Gambar dipinjam dari gettyimages.com