So What?

So what if your favorite actor drinks alcohol?
So what if your favorite actress smokes cigs?
So what if your favorite musician lives together with his partner without marriage?
So what if your favorite singer changes her religion?
So what if your favorite soap opera star no longer wears hijab?
So what if your favorite infotainment host marries someone of different religion?
So what if your favorite public figure divorces his wife?
So what if your favorite celebrity has a baby out of wedlock?*

Seriously, so what?

*and the list goes on.

‘cuz y’know…

28005_10151223472951489_245083074_n

A year almost passes since I was interviewed by a magazine on the subject of my personal (and of course, love) life. Months later, I locked up all memories and shoved them into caskets. 10 minutes ago, I got a call from the very same magazine.

Moral of the story?

~ You can’t run from your past. No matter how hard you try. Might as well face it. The sooner, the better. Cuz y’know, YOLO.

~ Never regret something that once made you smile.

~ Happiness and sadness come and go, but printed papers stay for a helluva long time. You’d better look good when things get screwed up, so, give your best smile. 🙂

Jadi Freelancer? Boleh Aja Sih… Tapi Yakin?

Juli kemarin, resmi satu tahun saya menjalani hidup nekat sebagai seorang freelancer. Kenekatan yang, alhamdullilah, berhasil membuat saya survive setahun penuh, walau kadang bikin nggak bisa tidur juga dan beberapa kali terpaksa ngutang. Jadi freelancer memang penuh tantangan, makanya mbok yaooo jangan menyelepekan freelancer. (KOK CURCOL, JEN?)

Kendati menjanjikan petualangan dan hidup bebas tanpa jadwal (baca: nggak perlu bangun pagi, nggak perlu mondok di kantor, bisa jalan-jalan kapan saja), jadi freelancer bukan hal sepele. Jalan-jalan-kapan-aja-nya sih enak, tapi kalo nggak ada duitnya sama juga bohong, atuh! Beli tiket pake daun?

Pengalaman selama setahun inilah yang akhirnya menggerakkan saya untuk berbagi. Dibanding teman-teman freelancer lain yang jam terbangnya sudah jauh lebih tinggi, saya hanyalah setitik debu di semesta luas *apa sih*, tapi mudah-mudahan apa yang saya tuliskan ini bisa bermanfaat.

  • Satu hal yang menurut saya mutlak jika kamu berniat menjalani hidup rock ‘n roll sebagai freelancer yang hidup mandiri (tidak tinggal bersama orang tua): Dana darurat. Usahakan di rekening selalu ada tabungan untuk biaya hidup minimal 2 bulan. Biaya hidup ini bukan uang makan dan transpor thok, tapi juga biaya kos, bayar-bayar tagihan, beli pulsa HP, internet, dan sebagainya. Ini juga yang membuat estimasi dan kalkulasi sebelum betul-betul ‘terjun’ menjadi sesuatu yang amat penting. Terus, gimana kalau pengin jadi freelancer, tapi di rekening belum ada tabungan sama sekali? Ya silakan aja asal jantungnya kuat.
  • Rezeki tidak kenal waktu dan tempat, dan inilah salah satu petualangan terbesar para freelancer. Bulan ini, bisa saja kamu sepi proyek dan cuma menghabiskan waktu untuk tweeting dan main DrawSomething (udah pada bosen main itu belum, sih? ANYWAY). Bulan depan, bisa jadi kamu ketiban proyek besar yang bikin kamu begadang tujuh hari tujuh malam. Di saat-saat seperti ini, ketika kesibukan menggila dan kamu dituntut untuk sangat produktif, utamakan kesehatan. Pakai waktu yang tersisa di luar jam kerja untuk istirahat. Nongkrong di kafe anyar atau nonton midnight show di bioskop memang menggoda, tapi percayalah, gaul bisa ditunda. Health should always comes first. Ada amin? Amiiin.
  • Buat anggaran keuangan. Akan tiba saatnya kamu cuma sanggup makan di warteg (bukannya nyumpahin, sih), dan akan tiba juga saatnya kamu bisa makan di hotel bintang lima tanpa harus tunggu traktiran klien. Tapi rezeki nomplok sebaiknya jangan langsung dihamburkan, karena…. ya namanya juga freelancer, ya. Ada proyek saja nggak menjamin transferan lancar. Apalagi nggak ada proyek. Pakai kelebihan uang untuk memenuhi kebutuhan yang perlu diprioritaskan. Misalnya, sebelum gesek kartu debit untuk HP Android baru, coba ingat-ingat, sudah ada uang untuk bayar kos 3 bulan ke depan? Ingat juga bahwa pemasukan yang tidak menentu membuat perwujudan rencana kita jadi tidak terprediksi. Gimana mau nyicil mobil kalau bulan depan belum tentu bisa bayar cicilannya? Mau bayar KPR pake kolor tetangga? Dengan anggaran keuangan yang matang sakinah mawardah warohmah, niscaya kamu bisa mewujudkan impian satu demi satu.
  • Rajin-rajinlah membangun network, dan pastikan reputasi kamu bersih. Salah satu cara membangun jaringan yang paling efisien saat ini adalah lewat social media. Kalau kamu freelancer yang mengharapkan remahan maupun bongkahan rezeki dari jaringan yang terbentuk lewat social media, sebaiknya jangan pasang avatar setengah telanjang, apalagi livetwit kegiatan mesum yang bisa bikin kening calon klien berkerut. *uhuk*
  • Biasakan puasa Senin-Kamis. Selain bermanfaat untuk menahan lapar saat dana menipis, puasa bermanfaat untuk …. melatih kesabaran. Akan ada saatnya kamu berurusan dengan klien yang sangat gencar mengejar, namun tidak lancar dalam membayar. Alias lelet. Ketika saat itu tiba, tarik napas dalam-dalam dan tunggulah invoice cair dengan sabar. Haleluya!
  • Last but not least: belajar masak. Minimal ceplok telur dan goreng nasi. Percayalah. Percayalah.

Jadi… masih yakin pengin jadi freelancer? 😀

Pesan Secarik Batik

Saya bukan penggemar batik. Sehari sebelum artikel ini ditulis, saya hanya memiliki dua helai pakaian batik: sebuah kemeja yang mulai kekecilan dan entah terselip di mana, serta sehelai gaun berwarna hijau yang baru dipakai sekali.

Satu-satunya batik yang pernah saya kenakan secara rutin adalah seragam berwarna coklat keruh yang dijadikan kostum wajib setiap hari Jumat di sekolah, belasan tahun silam, yang saya lungsurkan segera setelah lulus. Saya mengenakan seragam batik setiap minggu selama tiga tahun, namun saya tidak paham apa pun tentang batik, sampai beberapa minggu lalu, ketika seorang kawan bercerita dengan antusias tentang batik tulis yang dilihatnya di sebuah pameran. Berikut harganya yang selangit.

Kuah sup panas yang sedang saya hirup nyaris tersasar ke hidung saat kawan saya menyebutkan harga batik yang dilihatnya. Ternyata, batik sama sekali tidak bisa dianggap remeh. Harganya mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Konon, selembar batik tulis bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Saya tercengang. Orang sinting mana yang mau menghabiskan puluhan juta demi selembar kain sekian meter kali sekian meter, yang bisa robek dengan mudah, yang tidak populer, yang harus melalui berbagai proses–dan tentunya pakai uang lagi!–hanya untuk menjadikannya sehelai pakaian?

Sesampainya di rumah, saya menyalakan komputer dan mengakses internet seperti orang kebakaran jenggot. Saya melahap informasi tentang batik dari Wikipedia, laman Facebook Bangga Batik Indonesia, dan banyak situs lain yang disediakan Google. Sekali seminggu mengenakan batik selama tiga tahun penuh, duapuluhtujuh tahun bernapas dan menjejakkan kaki di negeri asalnya batik, baru kali ini saya tahu apa itu batik.

Baru kali ini saya tahu, ternyata batik punya banyak ragam dan berasal dari berbagai daerah. (Selama ini, saya pikir batik hanya berasal dari Jogja dan Pekalongan!)

Baru kali ini saya tahu perbedaan antara batik tulis dan batik cap.

Baru kali ini saya tahu proses pembuatan batik.

Baru kali ini saya tahu, kenapa selembar batik bisa dihargai begitu tinggi.

 

Lampu indikator di telepon genggam saya berkedip. Nama kawan saya muncul di layar.

“Gue beliin elo batik, nih!” Begitu bunyi pesan yang masuk.

 

Beberapa hari kemudian, saya duduk di kamar sambil menimang sehelai batik yang terlipat rapi.

Batik tulis pertama saya.

Saya memerhatikan bunga-bunga yang tergambar cantik dengan latar belakang kuning dan merah bercorak. Ada gelenyar yang terasa janggal.

Benda yang saya pegang bukan buatan pabrik. Kain yang saya bentangkan penuh dengan corak dan gambar yang dibuat tangan manusia.

Di suatu tempat, di suatu waktu, seseorang menggerakkan canting di atas selembar kain yang saya pegang dengan hati-hati. Barangkali matanya yang awas mulai menua. Barangkali tangannya mulai dihiasi keriput. Entah berapa menit, jam, bahkan hari yang ia habiskan untuk menghasilkan selembar batik sekian kali sekian meter.

Mendadak, saya merasa bersentuhan dengan kehidupan.

Mendadak, saya paham mengapa mereka menyebutnya seni.

Secarik batik oleh-oleh kawan mengingatkan saya bahwa masih ada begitu banyak hal yang bisa dibanggakan dari bumi pertiwi yang kian lama kian uzur ini.

Mendadak, saya mengerti kenapa sehelai batik bisa berharga puluhan juta rupiah. Seni yang tersimpan dalam serat-serat kain itu memang selangit nilainya, namun pesan yang dibawanya tak terukur harganya.

 

Pesan yang dititipkannya sederhana saja. Cintai persembahan alam yang diberikannya dengan cuma-cuma. Resapi biru, hijau, merah, kuning, dan serat-serat yang bukan hasil olahan produk sintetis, dan kembalilah pada bumi yang telah menyediakan segala sesuatu untuk menopang eksistensi manusia.

Rasanya pesan itu tidak terlalu tinggi. Rasanya belum terlambat untuk jatuh cinta pada kekayaan nusantara yang satu ini.

—–

Tulisan ini menjadi salah satu pemenang dalam kontes “Tulis Batik Tulis” yang diadakan oleh Bangga Batik Indonesia.