Mendadak Pengen Nyanyi ;-)

Siang-siang gini biasanya bawaannya ngantuk. Tapi hari ini (tumben-tumbennya) saya nggak ngantuk. Mungkin efek white coffee yang saya minum tadi pagi — pemberian seorang teman yang tiap hari nanya: “ Udah dicobain belum kopinya?” 😉

Atau, mungkin juga efek dari lagu indah yang mendadak bikin saya kangen. Bukan sama siapa-siapa, tapi sama seorang Sahabat yang beberapa hari ini jarang saya ajak ngobrol saking konsennya menyelesaikan pekerjaan kantor & daily chores *halah, alasaaan!*.

Seriously, seandainya aja saya bisa main gitar, mungkin saya udah gejembrengan dari tadi sambil nyanyi-nyanyi ini:

Kau begitu sempurna
Di mataku Kau begitu indah
Kau membuat diriku akan s’lalu memujaMu

Di setiap langkahku
Ku kan s’lalu memikirkan diriMu
Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa cintaMu

Janganlah Kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamaMu ‘ku akan bisa

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku, lengkapi diriku
Oh Sayangku, Kau begitu
Sempurna

Kau genggam tanganku
Saat diriku lemah dan terjatuh
Kau bisikkan kata dan hapus semua sesalku

Janganlah Kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamaMu ‘ku akan bisa

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku, lengkapi diriku
Oh Sayangku, Kau begitu
Sempurna

😉

Konversasi Akhir Minggu Lalu…

Umur yang mendekati (atau sudah melewati) seperempat abad memang bukan alasan seseorang bisa disebut DEWASA. Bukti yang tak terbantahkan untuk kasus ini ditemukan minggu lalu, dalam konversasi-konversasi tolol di sebuah restoran.

Waktu bebek panggang disajikan (dengan kepala bebek utuh):
+ Ih bebeknya ngeliatin gue! (mengambil daun selada untuk …menutup mata si bebek)
– Ngapain sih lo?
+ Abisnya gue gak enak makan diliatin!

;-D

+ Mbak, ini menu terakhir, ya?
Pramusaji: Iya, abis ini buah.
– Yah, gue masih laper nih (berpandang-pandangan dengan kecewa).
+ Ah tenang aja. Bentar lagi kan tiup lilin, trus potong kue.

;-D

Waktu melihat kondisi meja yang naas dengan piring kosong berserakan — melukiskan rasa lapar yang teramat sangat:
+ Kenapa kita makannya ganas-ganas bener ya?
– He eh. Makanan udah abis masih laper aja. Padahal dulu kita kalo ke sini, baru beberapa menu aja udah kenyang ya.
+ Mungkin itu.. pertanda kita mulai tuir?
– Hah?
+ Iya. Dulu kan kita masih kecil. Makannya dikit…

;-D

Datanglah sepupu dari meja seberang, membawa sepiring udang:
+ Nih, buat kalian.
– Wuaaaa, ASIIIK! (lupa diri, lupa umur, lupa sikon)
+ Tapi burung daranya gue ambil ya. (sambil mengangkut beberapa potong daging burung)
– Yah… (jadi agak menyesal)

Hehehe.

*Just in case ada salah satu ‘anggota pembuat kerusuhan’ yang baca entri ini: I had great time, guys! ;-D

Warna-warni Februari

Lupakan banjir yang merendam rumah sampai sepinggang. Lupakan mengungsi di kantor berminggu-minggu dan memakai kemeja yang itu-itu saja (eh, tapi tetep dicuci lho! Sumpah! ;-D). Lupakan perasaan dag-dig-dug yang selalu muncul ketika hujan lebat turun. Lupakan reruntuhan tembok di depan rumah. Lupakan cat dinding yang mengelupas, pintu-pintu yang rusak dan tidak bisa ditutup, juga aroma banjir yang menyengat.

Meski sempat senewen waktu banjir kemarin, banyak hal menggembirakan terjadi di Februari ini – terutama menjelang akhir bulan, saat situasi sudah kembali kondusif. *tsah!*

Salah satunya, formulir pendaftaran yang sudah saya tunggu-tunggu sejak 2007 akhirnya datang juga. Pendaftaran apa? Ada deh. Bukannya pelit, cuma agak males cerita karena orang-orang yang sempat saya beritahu –alih-alih mendukung—malah jadi tergila-gila dengan saya (“GILA LO! Ngapain sih begitu-begituan?!” – I know, garing. Hehehe). Yang jelas, I’m so excited about it.

Selanjutnya, proyek kantor yang saya tangani 2 bulan ini akhirnya selesai juga. Beberapa rekan sempat mempertanyakan hal ini, karena di tengah-tengah pengerjaan sempat muncul beberapa masalah yang menyebabkan saya terpaksa menunda untuk waktu yang cukup lama. Deadline akhir Februari, dan ketika masalah-masalah itu datang saya sempat sangsi, bisa kelar nggak ya? Ya sudah, akhirnya modal nekat. Setiap ditanya, dengan (sok) yakin saya selalu menjawab, ”Nggak mundur kok. Tetap selesai akhir Februari.” Tanggal 22, jam 4 sore, proyek yang melelahkan jiwa raga *maap, hiperbola* itu selesai. Fiuuuuuuh.

Lalu, setelah khawatir berlebihan akibat kebanyakan nonton berita tentang situasi di Timor Leste pasca tertembaknya Ramos Horta, akhirnya saya mendapat kabar yang melegakan: Jeung ini baik-baik saja. (Ya maaf, saya memang suka paranoid teu puguh.) Abis gimana yaaa… berita tentang status darurat di daerah rawan konflik –di mana sahabat saya berada—yang berpotensi dilanda kerusuhan massal sampai tentara bersenjata dengan tank baja bersiaga di seluruh penjuru kota mungkin memang bisa menimbulkan efek berupa khawatir berlebihan. Hihihi. Belum lagi minimnya sarana yang menyebabkan komunikasi jadi terhambat. Sumpah, saya lega setelah tahu bahwa dia baik-baik saja. 😉

Setelah cukup lama mengungsi (baca: pindah-pindah tidur sampai berasa jadi tunawisma), akhirnya saya bisa pulang ke rumah, meski aroma banjir masih setia menyapa hidung dan perabot masih berantakan – belum bisa ditata karena separuh rumah masih dalam perbaikan. Nggak apa lah, yang penting tidur di rumah sendiri, di kamar sendiri! ;-D

Setelah radang tenggorokan dan pilek yang menyiksa, akhirnya si kecil Alex kembali ceria dan bisa bermain lagi. Lari sana-sini, main sepeda pagi-siang-sore, lompat-lompatan sambil menonton Elmo, berseru-seru minta dibacakan buku, bercanda sampai tergelak-gelak… aduduh… senangnyaaa…

Tanggal 23 kemarin, di acara launching novel terbaru Sitta Karina, saya bertemu dengan teman-teman adik-adik milis yang super-heboh. Walau tidak ikut bergabung dengan kerumunan, saya cukup menikmati jalannya acara. Tidak disangka, Farida Susanty –pemenang Khatulistiwa Award 2007 kategori Penulis Muda Berbakat—juga hadir di situ. Saya sempat menyapa penulis berusia 17 tahun ini, dan salut dengan sikapnya yang sangat rendah hati. (Four thumbs up for you, Dear. Terima kasih atas konversasi singkatnya, yang membuat saya banyak berpikir tentang tujuan hidup dan arti pencapaian. Thanks sudah berbagi. Terus bercahaya ya, sebarkan rasa syukur, inspirasi dan kebahagiaan pada sebanyak mungkin orang 😉 )

Last but not least… novel dari penulis favorit saya –yang sudah ditunggu-tunggu sejak tahun lalu—akhirnya terbit! Saya selalu termehe-mehe membaca karya-karya Sitta Karina yang smart, witty dan ‘beda dari yang lain’. Yang paling saya tunggu-tunggu adalah saga keluarga Hanafiah yang nggak ada matinya. Sembilan novel, bow. Kapan kita bisa kayak gitu ya, Qi? ;-D

‘Seluas Langit Biru’ adalah novel favorit saya setelah ‘Pesan Dari Bintang’ dan ‘Lukisan Hujan’ (masing-masing karya penulis yang sama). Relationship Bianca dan Sora –tokoh-tokoh sentral—diceritakan dengan intens dan touchy. Bianca adalah perempuan tomboi, cuek dan saklek yang ‘unik sendiri’ di keluarga besar Hanafiah. Ketika sepupu-sepupunya menikmati kehidupan social butterflies yang serba gemerlap, Bianca memilih mendalami martial art dan menggemari segala sesuatu yang berbau ninja. Hidupnya berbalik 180 derajat ketika ia dijodohkan dengan Sultan yang gila kerja, kaku dan sedingin es, atas nama kelancaran bisnis keluarga. Belum sempat menata hati dari shock dan sindrom ‘ini-tidak-adil’, Bianca harus menghadapi kenyataan bahwa Sora –ksatria penyelamat yang dimuntahi dan diciumnya saat mabuk—adalah adik tiri Sultan.

Ending-nya tidak terlalu sulit untuk ditebak, namun alur cerita novel ini sama sekali tidak klise (walau saya sempat mempertanyakan sikap pasrah Bianca yang mengikuti perjodohan tersebut tanpa ‘perlawanan’ berarti. Menurut saya, Bianca terlalu ‘manut’ untuk ukuran cewek ninja sableng yang pernah menerobos masuk ke mansion pada malam buta ;-D). Fluktuasi hubungan Bianca-Sultan-Sora dipaparkan dengan menggelitik — seru untuk disimak sampai halaman terakhir. Selain plot yang intens, dalam novel ini Sitta Karina memberikan banyak informasi yang memperkaya wawasan, di samping pesan moral yang diselipkan di sana-sini. Tidak sedikit penggalan cerita yang merupakan refleksi dari idealisme penulis dan sukses bikin saya ketawa-ketawa bego tengah malam, saking ‘nampol’nya. ;-D Kerennya, itu semua disampaikan dengan wajar dan tanpa berkesan menggurui.

Congratulations, Mbak. Setelah Diaz, Chris, Inez dan Bianca, ditunggu kisah Nara & Reno-nya. 😉 Eh, tapi mungkin ‘Magical Seira 3’ dulu yang bakal terbit, ya?

—–

By the way… kok tahu-tahu sudah Maret lagi, ya? Time is running so fast, kadang-kadang saya merasa ‘hilang’ dalam cepatnya perputaran waktu. Banyak yang ingin dilakukan. Ingin diselesaikan (salah satunya novel, yang tertunda entah sejak kapan). Ingin pergi ke banyak tempat, tapi padatnya aktivitas seperti memerangkap keinginan demi keinginan dalam sebuah kandang kecil.

Ya sudahlah. Mungkin nanti. Sekarang saya masih menikmati zona nyaman yang bebas resiko. Ha! ;-D

For now, selamat bulan Maret, semuanya. 😉

Pengungsi ;-)

(+) “Bo, elo salah sebut..”
(-) “Apanya?”
(+) “Itu.. ‘Gong Xi’ itu mestinya dibaca ‘Kung Si’, bukannya ‘Kiong Hi’.”
(-) “Ha? Masa sih?”
(+) “Serius. Katanya itu yang betul.”
(-) “Ohh…”
(+) “…”
(-) “Kita emang bener-bener pengungsi, ya?”
(+) “…”

Yup, Imlek tahun ini, saya dan sepupu betul-betul menjadi pengungsi – secara pelafalan aksara Cina maupun harafiah ;-D

Sejak Jum’at lalu saya belum pulang ke rumah, karena banjir setinggi pinggang (sekarang air sudah mulai surut, tapi saya dan keluarga masih mengungsi). Tapi itu masih belum apa-apa –or at least I think so—karena kami masih sempat menyelamatkan barang-barang berharga ke lantai dua. Rumah sepupu saya yang berlantai satu digenangi air setinggi dada dan hampir semua barang berharganya tidak bisa diselamatkan.

Moral of the story?

Nggak ada.

Saya cuma mau titip pesan untuk bapak berkumis baplang yang pernah menggembar-gemborkan janji akan ‘Jakarta yang lebih baik’: Bangsa kita memang kuat, Pak, dan soal ketahanan mental boleh lah diadu dengan bangsa-bangsa lain yang tidak pernah ngerasain banjir setinggi dada sampai kehilangan rumah dan barang berharga, tapi mbok yaaa ooo…

Dan satu lagi, Pak, konon nih yaaa, katanya bakal segera dibangun pusat perbelanjaan (lagi) di salah satu area resapan air di Jakarta Utara. Apa betul?

Mudah-mudahan itu cuma rumor ya, Pak 🙂 Tapi kalau sampai kejadian, sepertinya Perda yang mewajibkan SETIAP rumah di daerah rawan banjir Ibukota memiliki MINIMAL SATU PERAHU KARET sungguh layak dipertimbangkan… 🙂