Oleh-oleh Perjalanan

“Si Anu tuh baik ya. Orangnya nggak pelit, kalo pergi-pergi suka bawa oleh-oleh banyak banget.”

Saya tersenyum kecut mendengar komentar itu, karena sama seperti si Anu, saya juga baru saja kembali dari perjalanan, tapi tanpa membawa oleh-oleh (kecuali t-shirt untuk si kecil Alex). Si Anu, walau hanya mengunjungi 1 kota, membawa oleh-oleh cukup banyak untuk seluruh anggota keluarganya. Saya, yang wara-wiri ke 3 kota, pulang dengan tangan kosong dan baju kotor. *wink*

Rasa bersalah sempat berkelebat di hati, karena tiba-tiba saya merasa ‘pelit’. Lha, buktinya, pergi 5 hari, ke 3 tempat pula, masa nggak ada buah tangan yang dibawa?

Tapi, setelah dipikir-pikir, nggak ah, bukannya pelit kok. Alasan kenapa saya nggak membawa buah tangan untuk teman dan keluarga adalah… …ya karena males aja berburu oleh-oleh.

Hehehe.

Jadi ingat konversasi dengan seorang sahabat pertengahan tahun lalu, ketika saya main ke kotanya dan menginap di rumahnya.

Waktu itu dia bertanya, “Mau beli baju gak? Kalo mau ntar gue temenin ke factory outlet.”

“Nggak.”

“Yakin?”

“Beneran kok.”

“Kalo belanja?”

Yang ada saya malah balik nanya, “Belanja apa?”

“Apa kek, siapa tau lo mau beli apa gitu.”

“Nggak, ah.”

“Beli makanan buat oleh-oleh?”

Lagi-lagi saya menggeleng.

Saya baru bergerak ketika adik saya SMS minta dibawakan makanan khas kota itu.

Sumpah, alasannya bukan karena nggak mau keluar uang. Simply karena saya kurang suka merambah sudut-sudut kota hanya untuk berbelanja. Saya lebih senang menghabiskan waktu untuk menikmati udara segar, sambil leyeh-leyeh dan ngobrol panjang-lebar bersama sahabat (karena tinggal berbeda kota tentunya membuat komunikasi jadi terbatas, kan? Makanya kalau ketemu dipuas-puasin.. :-)). Atau makan di luar, mencicipi makanan khas daerah setempat. Itu thok. Kalau ada kesempatan, saya juga suka mengunjungi tempat-tempat menarik di kota yang saya singgahi, dengan catatan BUKAN factory outlet, pusat perbelanjaan atau tempat beli oleh-oleh.

Makanya, adik dan anggota keluarga saya yang lain hampir tidak pernah menanyakan oleh-oleh setiap kali saya pulang dari bepergian. Kalau mereka ingin sesuatu, mereka tinggal memesan lewat telepon/SMS, dan saya akan berusaha untuk mendapatkannya. Itu juga dengan embel-embel, “Kalau nemu, ya. Nggak janji pasti dapet.”

Hehehe.

Jadi, apa dong yang bisa dibagi dari perjalanan-perjalanan saya?

Cerita. Pengalaman.

Dua hal itu nggak bisa dibeli di tempat oleh-oleh mana pun, bos. Dan berbagi cerita setelah kembali dari perjalanan adalah hal yang paling saya sukai, ketimbang memberikan kantung plastik berisi oleh-oleh.

Cerita-cerita dan pengalaman yang saya dapatkan selama perjalanan bukan sesuatu yang ‘wah’ atau luar biasa. Kebanyakan sangat sederhana, namun selalu berkesan dan memberikan nutrisi untuk hati saya, serta bisa membuat saya cengar-cengir sinting mengingatnya.

Seperti ketika saya malas menenteng tas pakaian yang berat-gila sembari menunggu teman, dan dengan nekat menitipkannya di sebuah factory outlet dengan modal senyum manis kepada karyawan toko *halah* (dan kembali setengah jam kemudian untuk… numpang nge-charge handphone. Hahaha!).

Atau ketika saya mengetes keberanian dengan menjalani Fear Factor a la sendiri: sok beramah-tamah pada anjing-anjing setinggi paha dan akhirnya histeris ketika diterjang sampai jatuh. Bo, kayaknya dulu ngebayangin digigit anjing itu serem banget. Sekarang, gampang aja lho tangan saya masuk ke mulut anjing… dan digigit!

Atau ketika saya ketinggalan travel dan terpaksa naik bis umum, yang awalnya bikin jengkel karena udara yang gerah dan bis yang penuh sesak menguarkan aroma yang membelai hidung dengan aduhainya selama 4 jam. Tapi kekesalan itu hanya sementara, karena saya bertemu dengan seorang anak yang sangat manis, dan duduk dekat anak itu selama beberapa jam cukup membuka mata saya atas berbagai hal dalam hidup yang selama ini saya abaikan (that’s another story).

Atau ketika saya bertemu pengamen-pengamen cilik (yang sepertinya) adik-kakak dalam bis antarkota dan tersentuh dengan tingkah polah mereka.

Atau ketika saya dengan songongnya merasa ‘kuat’ setelah berhasil menenggak wine tanpa mabuk (sementara yang lain sebaliknya) dan dengan PD mencoba Bailey yang (sialnya) kadar alkoholnya jauh lebih tinggi dan akhirnya… kleyengan juga 😀

Atau ketika saya berjumpa dan berkenalan dengan orang-orang baru yang seru-seru, kreatif, gila dan super-fun.

Atau ketika menginap beramai-ramai di rumah seorang kenalan baru, dadakan, tanpa membawa apa pun dan tidur di lantai tanpa ganti baju (iya, jorok, tapi seru!).

Atau ketika duduk di pinggir jalan saat hujan gerimis -tanpa menghiraukan kendaraan yang lalu-lalang- sambil memuaskan hasrat banci kamera.

Atau ketika menggigil kedinginan sambil menikmati harum jagung rebus, sementara di luar hujan lebat disertai kabut.

Atau ketika makan jagung bakar -dengan mentega dan susu kental manis yang banyak- di pinggir pantai sambil bercengkerama, dan setelahnya menyusuri kota sambil minum es kelapa muda.

Atau sekedar duduk bersama sahabat-sahabat saya, ngobrol segala sesuatu yang tidak penting, membahas hal-hal tak berguna sambil terbahak-bahak gila sampai sakit perut, obral curhat dan bertukar cerita hingga pagi menjelang.

Itu semua adalah hal-hal berharga yang tidak ingin saya tukar dengan belanja di factory outlet atau berburu oleh-oleh – walau resikonya saya dicap pelit dan ‘nggak-inget-orang’. *wink*

Itu semua, buat saya, adalah oleh-oleh perjalanan yang tidak ternilai dan tidak bisa dibeli.

Dan, meski kedengarannya egois, saya senang karena sifat ogah-belanja saya ini lumayan menekan pengeluaran selama di luar kota, sehingga saya bisa menabung untuk perjalanan berikutnya. Hahaha!

PR Liburan

16 hari. Cukup panjang untuk liburan akhir tahun. Saya dan beberapa rekan sekantor langsung membayangkan, enaknya liburan ini diisi dengan apa, mau apa, dan kemana.

17 Desember. Hari terakhir masuk kerja di tahun 2007. Kami semua dipanggil — rapat akhir tahun, sekaligus pembagian hadiah natal. Kado-kado dalam bungkus cantik dibagikan, dengan nama setiap orang di atasnya. Semua hadiah itu berbentuk persegi panjang. Isinya buku.

“Baca di rumah, jadikan PR, dan buat ringkasannya. Dikumpul pada hari pertama kerja, awal tahun depan.” Itulah kalimat penutup rapat akhir tahun yang diucapkan atasan kami.

Yang pertama terlintas di otak saya adalah, “PR? Nggak salah?” Berasa balik ke jaman SD. ;D

Kami kembali ke ruangan masing-masing. Kertas kado disobek. Buku dikeluarkan. Hal pertama yang dilihat? Tentu tebal bukunya.

“Punya gue tebal banget,” cetus seorang rekan.

“Punya gue juga lumayan, nih,” cetus yang lain. “Lo, Jen?”

“Lumayan,” sahut saya, setengah nggak konsen.

Saya membolak-balik buku saya, mengamati isinya sejenak sebelum menutupnya kembali. Pikiran saya masih terfokus pada stok opnam yang harus saya lakukan, first thing in the morning. Dan laporan-laporan yang menunggu untuk dikerjakan. Belum lagi komputer yang mendadak ngadat dan berpotensi menyebabkan gangguan jiwa. Seandainya bisa, saya ingin berteriak pada komputer itu, “TOLONG JANGAN RUSAK SEKARANG. GUE MAU LIBURAN!!!”

Minggu berikutnya, saya berkutat dengan kartu stok dan timbunan barang di gudang, sementara kantor sudah sepi. Sejujurnya, saya malah senang, karena suasana sepi membuat saya lebih mudah berkonsentrasi. Tak lupa, demi menghibur diri karena masih masuk saat yang lain sudah libur, saya meluangkan waktu untuk nonton di mal yang tak jauh dari kantor.

Pikiran saya terus beradu. Pada komputer pengacau yang tak berbelaskasihan. Pada laporan yang tak kunjung selesai. Pada stok opnam yang melelahkan. Pada pernikahan seorang saudara yang tinggal menjelang hari, di mana saya bertugas sebagai penerima tamu (dan meskipun judulnya ‘cuma’ menerima tamu, minimal saya harus menyiapkan tenaga untuk stand by seharian penuh, dengan high heels dan kebaya). Belum lagi ringkasan buku ini.

Ah, sudahlah. Makin dipikir, makin numpuk rasanya. Tak usahlah dipusingkan. Kerjakan saja.

Stok opnam selesai. Laporan selesai. Komputer saya crash (aaaarrrghhhh!). Saya hanya punya waktu sehari untuk pulang (yup, selama lembur saya menginap di kantor) dan beristirahat, untuk kembali menggeber tenaga esok harinya di pernikahan saudara.

Saya meriang. Mungkin karena pergantian cuaca. Mungkin juga karena kecapekan. Apa pun penyebabnya, saya tak mungkin minta dikeroki, seperti kebiasaan saya jika masuk angin. Kebaya yang sudah dimodifikasi itu akan menampilkan sebagian punggung atas saya. Tak mungkin saya memperlihatkan loreng-loreng merah dalam resepsi pernikahan.

Sehari setelah pesta usai, saya pergi ke gereja. Bertemu dengan beberapa rekan kantor (yup, kami beribadah di tempat yang sama). Pertanyaan pertama yang saya dengar bukan “Apa kabar?”, melainkan “Bukunya sudah sampai mana?”

Saya cuma cengar-cengir dan menjawab seadanya. Buku saya baru tersentuh seperempatnya.

Esok paginya, saya berangkat ke Puncak untuk liburan selama 5 hari. Tanpa buku. Tanpa ingat bahwa saya punya PR yang harus dikumpulkan pada hari pertama masuk kantor. Saya ingin menikmati liburan dan tak ingin terdistraksi oleh apa pun.

Begitu bis yang saya tumpangi –sekembalinya dari perjalanan- berhenti di terminal, saya jelalatan mencari ojek. Di benak saya hanya ada 1 kalimat: Pulang, mandi air hangat, baca buku. Buku PR, tentunya.

Ternyata, buku PR tidak se’rumit’ yang saya bayangkan. Awalnya saya ketar-ketir membandingkan tebalnya dengan sisa waktu yang saya punyai sebelum masuk kerja. Keburu nggak, ya?

Namun kekhawatiran itu tidak terjadi. Ternyata saya bisa menikmati buku itu, jauh melebihi yang saya bayangkan. Isinya bagus dan sangat cocok untuk saya, sampai saya berpikir jangan-jangan atasan saya punya indra keenam. Sekejap saja saya sudah tenggelam dalam keasyikan membaca. Saya lupa bahwa buku itu adalah PR. Yang saya tahu, saya menyukainya. Buku ini sangat bermanfaat dan akan banyak gunanya di kemudian hari.

Lalu saya mulai menulis.

Tulis, tulis, tulis. Ketik, ketik, ketik.

Saya menikmatinya, dan bertekad menjadikan PR ini bukan sekedar ‘tugas’ maupun ‘ringkasan’ belaka. Saya akan membaca ulang hasil pekerjaan saya di kemudian hari, dan saya akan menjadikannya berguna untuk kemajuan diri saya sendiri. Performa dan kinerja saya akan mengalami peningkatan drastis setelah ini, itulah yang saya pikirkan. Dan pemikiran itu menyuntikkan semangat baru bagi saya — setiap waktu, setiap saat.

Tiba-tiba saya sadar: untuk itulah pemimpin saya memberikan buku sebagai hadiah sekaligus pekerjaan rumah.

Buku itu bukan sekadar tugas. Ringkasan itu bukan sekadar PR untuk mengisi liburan. Buku itu berisi prinsip-prinsip dan ‘bekal’ yang besar faedahnya bagi kami semua. Kenapa harus dijadikan PR? Ya iyalah. Kalau saya diberi buku semacam itu ‘hanya sambil lalu’, yang akan saya lakukan paling banter hanya membacanya sebagian, setelah itu bosan dan membiarkannya tertumpuk bersalut debu. Karena ada deadline di penghujung hari, saya jadi terpacu menyelesaikannya dan berhasil memetik manfaatnya.

Saya salah. Atasan saya tidak punya indra keenam. Yang mereka punyai adalah hati yang peduli.

🙂

Hari Minggu tiba lagi. Saya kembali bertemu dengan rekan-rekan sekantor. Pertanyaan yang diajukan masih sama.

“Bukunya sudah sampai mana?”
“Sudah bab berapa?”
“Udah mulai ngeringkas, atau masih baca-baca?”

Saya menjawab sekenanya, dengan cengar-cengir yang sama. Entah kenapa, mendadak saya tak lagi menganggapnya sebagai tugas. Sisa liburan yang sedianya akan saya manfaatkan untuk facial dan potong rambut memang jadi terpakai untuk menyelesaikan dan meringkas buku, tapi rasanya saya tak keberatan. Saya sedang berinvestasi.

Ringkasan tersebut selesai tepat sehari sebelum saya kembali bekerja. Saya sangat bangga. Saya’ menang’ terhadap diri sendiri, walau dalam skala yang kecil.

Lagi-lagi, pertanyaan senada memenuhi udara pagi yang segar di awal Januari, ketika rekan-rekan saya saling bertukar ‘informasi’: sudah sampai bab berapa, sudah meringkas atau belum, bagaimana cara menulisnya, harus sepanjang apa, dan sebagainya.

Pimpinan saya masuk ke ruang meeting. Pertanyaan pertamanya adalah, “Bagaimana PR-nya, sudah dikerjakan atau belum?”.

Selesai rapat, semua segera berhamburan ke meja masing-masing. Berkutat dengan buku dan komputer sampai jelang makan siang, bahkan ada yang lembur sampai malam, lantaran bukunya nyaris belum tersentuh sama sekali.
Atasan saya geleng-geleng kepala. Saya sempat mendengar beliau bergumam, “Gimana sih.. itu buku kan dikasih buat dikerjain di rumah.”
Saya tersenyum lebar.

Ringkasan saya, sepanjang 6 halaman dengan font 11 dan spasi 1,5, sudah tergeletak manis di atas meja.

🙂

Bener-Bener Bosen

Pernah nggak merasa bosen BERAT pada pekerjaan rutin yang sudah dijalani selama kurun waktu tertentu?

Saya pernah. Dan nyebelinnya, sekarang juga sedang.

Saya ingat banget, waktu awal-awal bekerja, saya sangat bersemangat karena merasa menemukan tantangan baru (di samping mendapat aktivitas yang membebaskan saya dari perasaan sumpek akibat kelamaan jadi pengangguran). Saking semangatnya, saya nggak keberatan nginep berhari-hari di kantor demi menyelesaikan pekerjaan, malah saya sempat, lho, mikir, “Ini office hour-nya kok cepet amat, ya? Mestinya dipanjangin nih.”

*Tsah* 🙂

Setelah 3 bulan, perasaan ‘terbiasa’ itu mulai datang, tapi saya cuek dan tetap menjalani pekerjaan seperti seharusnya. Masuk bulan ketujuh, saya mulai gelisah mirip cacing dituangin garam (belum pernah liat? Coba deh, tapi dikit aja, kasian cacingnya, hehehe). Semua yang awalnya begitu menyenangkan dan penuh tantangan sekarang tidak lebih dari rutinitas yang harus diselesaikan tepat waktu. Bulan kedelapan sampai keduabelas, saya mulai gampang uring-uringan di kantor. Bosen kuadrat pangkat tiga dikali lima.

… sampai akhirnya atasan saya mempercayakan sebuah proyek yang cukup besar untuk saya tangani.

JRENG–JRENGGG…

Semangat yang tadinya redup –kayak bohlam 5 watt yang udah mau putus- lantaran kurang pasokan listrik mendadak berkobar-kobar lagi. Saking semangatnya dengan proyek baru ini, saya sampai nggak tidur berhari-hari, memikirkan segala macam hal dan merancang semua detil, sampai sekecil-kecilnya.

Proyek itu memakan waktu sekitar 1,5 bulan. Setelah selesai, beberapa teman melontarkan pujian, karena konon proyek serupa pernah dipercayakan kepada seorang (mantan) staff dan butuh setahun (!) untuk menyelesaikannya. Setelah larut dalam euforia selama beberapa minggu, perasaan familiar durjana itu lagi-lagi menyerang, dan saya kembali dilanda kejenuhan akut.

Akhirnya saya memberanikan diri mengajukan ide kepada atasan untuk melakukan inovasi pada job description, yang –edannya- disetujui. Sambil mikir, “Giling ih, ternyata gue mantep juga,” saya keluar dari ruangan beliau dengan cengiran lebar. Semuanya kembali terasa menyenangkan dan menggairahkan. Saya bekerja seperti kelinci kebelet beranak selama beberapa bulan…

…dan bosan lagi (!!!).

Buseeeeeet.

Dengan memasrahkan diri pada kehendak Yang Di Atas, saya pun kembali nekat mengetuk kantor pimpinan.

Usul diterima, dan saya bergembira ria.

Itu terjadi beberapa minggu lalu, ketika saya keluar dari ruangan atasan sambil siul-siul senang.

Sekarang?!

Udah jenuh LAGI…!

Alamaaak… TOBATTT!!!

MAYDAY, MAYDAY… Help me please!

*suntuk mode: on (kali ini nggak bisa di-off-in, tombolnya lagi rusak)*

*sigh*

By the way, kalau ada yang ngerasa inisial judul entri ini mirip nama grup musik atau film tertentu, emang sengaja, kok *wink wink*.

Hei… Kamu.

Hei, kamu yang di sana…

Lagi ngapain?

🙂

I know this is ridiculous. Baru 1 jam lalu kita pisahan, tapi saya sudah ngerasa kangen sama kamu.

Kamu yang selalu mengisi hati saya dengan cara-cara yang unik, dari dulu sampai sekarang. Anehnya, saya sering, lho, nggak sadar bahwa kamu ada di situ — di sudut terpencil itu. Saya sangat jarang berpikir tentang kamu, tapi setiap habis bertemu kamu, otak saya pasti dipenuhi khayalan-khayalan menggelikan. Tentang kamu. Tentang kita.

Kamu adalah pahlawan masa kecil saya. Kamu selalu jadi ksatria buat saya, walau tidak ada naga yang harus dikalahkan atau musuh jahat yang harus ditumpas. Kamu ada di sana, dan itu cukup untuk membuat saya merasa seperti putri yang dijagai ksatria. Aneh sebetulnya. Kalau saya bertengkar dengan anak lain, kamu tidak terlalu membela saya. Malah, kamu lebih banyak diam. Tapi kamu ada di sana, dan kehadiran kamu selalu lebih dari cukup.

Kamu ingat nggak, waktu saya SMP (eh, atau SD tingkat akhir ya?), mereka mengolok-olok saya waktu saya bilang saya suka kamu. Mereka ngetawain saya habis-habisan, sampai saya ogah ketemu mereka selama berhari-hari. Malu! Saya sempat sebal pada mereka, tapi saya nggak bisa berbuat apa-apa karena saya tahu mereka punya alasan untuk berbuat seperti itu. Dan sialnya, alasan mereka benar.

Konyolnya, gosip bahwa saya suka kamu sempat tersebar luas, dan saya kembali jadi bulan-bulanan. Saya cemas banget, kuatir kalau kamu mendengarnya. Bukan, saya bukan takut kamu akan marah atau menjauhi saya. Saya hanya tidak mau kamu mendengar itu dari orang lain.

Mereka bilang itu cuma cinta monyet, dan saya percaya. Saya yakin perasaan itu hanya bagian dari sebuah fase hidup yang akan hilang dengan sendirinya ketika saya menapak ke fase berikutnya. Dan memang itu yang terjadi. Seiring bertambahnya usia, kamu mulai tenggelam dalam dunia kecilmu, begitu juga saya. Kita tak lagi sering bertemu. Kita tak lagi bermain bersama, karena kita telah tumbuh besar. Hidup tidak sesederhana dunia kanak-kanak di mana segalanya tampak begitu mudah. Hidup tidak sesimpel masa-masa di mana kita tak perlu bersusah-susah memikirkan karir, cinta dan tetek-bengek kehidupan yang menyebalkan (heran, kenapa dulu kita pengen banget cepat-cepat tumbuh dewasa, ya?).

Kita makin jarang bertemu, sampai akhirnya tidak pernah sama sekali. Saya hanya mendengar berita tentang kamu dari adik-adikmu. Kamu lulus kuliah. Kamu diterima di sebuah perusahaan jasa. Kamu menjalin hubungan dengan seorang perempuan berkacamata minus (pssst, mereka bilang, perempuan itu mirip saya!). Kamu putus dengan dia (yaaay!). Karirmu terus menanjak. Kamu mendapat promosi yang cukup besar dengan jabatan dan fasilitas yang membuat saya terkagum-kagum. Saya sangat bangga mendengarnya. Kamu hebat.

Ketika akhirnya saya bertemu lagi denganmu, sumpah, saya kaget melihat ‘penampakan’mu. Kamu, yang dulu bermain bersama saya dengan kaus oblong dan celana pendek, sekarang mengenakan kemeja lengan panjang dan dasi. Raut lugu dan cupu (maaaaap!) yang dulu selalu menghiasi wajah kamu, sekarang digantikan aura maskulin dan kematangan pria dewasa. Hanya satu yang tidak berubah dari kamu: ketulusan yang selalu terpancar dari mata jernih kamu. Kebaikan hati yang selalu membuat saya leleh sama kamu.

Saya tersentak.

Mereka bilang itu cuma cinta monyet. Tapi kenapa hati saya jadi deg-deg-serrr nggak jelas begini? Kenapa pipi saya jadi panas? Dan kenapa juga saya jadi tergoda memasang foto kamu sebagai wallpaper HP saya?!

O-H M-Y G-O-D.

Nggak. Nggak boleh. Pokoknya NGGAK.

Saya terus menggaungkan kata-kata itu pada diri sendiri — berkali-kali, demi mengusir imaji yang terus menyelinap usil di otak saya. Imaji tentang kamu. Tentang KITA. Konyol.

Saya merasa sangat bodoh. Memelihara cinta monyet sampai setuir ini, padahal jelas-jelas itu mustahil terwujud.

Jadi, saya kembali berusaha menguasai diri, sekuat tenaga. Saya mencoba segala cara untuk melenyapkan pikiran tentang kamu dari sel-sel otak ini.

Saya cukup berhasil. Selama berbulan-bulan, kamu hanya singgah sesekali di benak saya, dan itu tidak mengganggu saya. Saya lumayan repot dengan berbagai hal sehingga tidak punya banyak waktu untuk memanjakan diri dengan bayangan kamu.

Sampai saya ketemu kamu lagi, hari ini.

DAMN.

Semua usaha saya jadi mentah begitu saja, karena dengan bodohnya saya kembali termehe-mehe dengan kehadiran kamu. Saya kembali deg-deg-serrr nggak penting ketika berada di dekat kamu. Saya kembali salting seperti anak SMP baru pacaran.

Ah, sungguh tolol.

Sekarang saya harus berusaha ekstra keras (lagi) untuk melupakan kamu; kali ini untuk seterusnya.

(Eh, atau sebaiknya nggak usah berusaha terlalu keras aja, ya? Soalnya ada yang bilang, semakin diusahakan, malah makin susah lupanya.)

Kamu tahu, saya sering berkhayal nakal: alangkah enaknya kalau kita tidak pernah tumbuh dewasa. Kita bisa terus bermain-main. Saya jadi putri, dan kamu adalah ksatria; meski tidak ada naga yang harus dikalahkan dan musuh jahat yang harus ditumpas.

Sayangnya, itu nggak mungkin.

Kita tetap tumbuh dewasa, dan kita tetap tidak bisa bersama-sama.

Kenapa?

Karena kamu sepupu saya.

🙂

Desperate Housewives Season 3

Baru menamatkan Desperate Housewives Season 3, dan agak kecewa dengan endingnya. Tapi, biar gimana juga, serial ini akan selalu jadi favorit saya dan tidak akan membosankan untuk ditonton berulang-ulang. Kalau Ibu ini menyamakan diri dengan Bree Van de Kamp (eh, sekarang Bree Hodge ya?) yang living the life of Lynette Scavo, maka figur yang paling pas buat saya adalah Susan Mayer (when you meet me in person, you will know why. Hahaha!).

Life sucks and they deal with it.

Itulah yang paling saya suka dari serial ini. Selain plot yang selalu sukses membuat saya mehe-mehe dan sok mikir keras untuk nebak ‘ini pasti nyambungnya ke sini, ntar pasti jadinya kayak gini, de-es-te’ (yang ternyata salah ;-D), saya sangat suka dengan karakter-karakternya yang kuat dan kutipan-kutipan dalam dialog maupun narasi yang nggak pernah ada matinya. Dalem, bok!

Banyak scene dalam season 3 ini yang menjadi favorit saya, di antaranya ketika para housewives ini berusaha melakukan yang terbaik untuk diri mereka dan malah mengakhirinya dengan kesalahan besar — seperti Susan yang memutuskan untuk kencan dengan pria lain setelah sia-sia menunggui Mike yang koma selama 6 bulan dan mendapati bahwa Mike siuman justru ketika ia pergi berlibur dan Edie Britt telah menggantikan tempatnya saat ia kembali; atau seperti Bree, yang berusaha melakukan yang terbaik untuk orang-orang yang ia cintai, dan justru mendapati hasil berkebalikan.

Bree: I’m so tired of feeling like the worst mother who ever lived. I’ve tried so hard to set a good example. I’ve done the best to teach you kids right from wrong. Why isn’t it taking?
Andrew: It took. I mean, we know the difference between right and wrong. We just chose wrong.
Bree: Why?
Andrew: Sometimes when you push a kid really hard to go one way, the other way starts to look more entertaining.

Somehow, saya menemukan korelasi antara para desperate housewives ini dengan percakapan saya dan seorang teman, beberapa minggu lalu, ketika lagi-lagi membahas tentang pilihan hidup.

+ “Terus, kalo pilihan yang kita buat ternyata salah, gimana? Shouldn’t we regret it?”
– “Ngapain nyesel? Berguna? Nggak kali. Hidup itu untuk jalan maju terus, keputusan adalah awalnya. Kalo gak seneng sama apa yang dijalanin, ya bikin keputusan lain aja. Ganti arah.”

Entah korelasi beneran atau saya aja yang nyambung-nyambungin, tapi kok ya sepertinya tidak ada yang lebih tepat untuk merefleksikan kalimat nyebelin-tapi-bener teman saya itu, selain dialog Lynette dengan Caroline Bigsby saat ia disandera di supermarket.

Lynette: What is the matter with you?

Caroline: Have you not been paying attention? My husband cheated on me!
Lynette: Who cares? We all have pain, but we deal with it! We swallow it and get going with our lives! What we don’t do is go around shooting strangers!
Okay, ini nggak penting, tapi saya sampai memutar episode yang sama 3 kali cuma untuk nonton scene ini, bow. 🙂
Moral of the story?
1. ‘Desperate Housewives’ ROCKS.
2. Do your best. When life sucks, hang on. Deal with it, swallow it and get going. 🙂
*Eh, eh, gue udah punya Fesbuk! YAY! :-D*
Gambar diambil dari http://www.starpulse.com/