Tentang Pergi dan Memilih Diri Sendiri

“Pa, sekarang aku tinggal di Bali.”

Itu kalimat kedua yang saya ucapkan pada Ayah usai “apa kabar?”, empat setengah tahun yang lalu. Hari itu adalah kali pertama kami berkomunikasi setelah satu bulan. Saya berkemas dan pindah ke Pulau Dewata tanpa sepengetahuan keluarga dan hanya memberitahu segelintir teman. Saya tahu Ayah tidak akan memaksa saya tinggal di Jakarta, namun keputusan tersebut juga tidak akan menggembirakan beliau. Maka, saya menunggu.

Enam tahun sebelumnya, saya angkat kaki dari rumah orang tua di Jakarta dan menyewa sebuah kamar mungil di Tangerang Selatan. Dua keputusan ini bertentangan dengan prinsip yang dianut keluarga besar saya: tinggal bersama orang tua sampai menikah, kalau perlu sampai beranak pinak, karena tidak ada alasan untuk pergi. Para sepupu yang sempat mencicipi hidup di luar negeri pun kembali tinggal bersama orang tua mereka setelah kuliah selesai.

Cetak biru itu sudah digambar sejak kami masih berupa janin dalam kandungan. Seumur hidup kami diharuskan—setidaknya diharapkan—mengikuti rancangan yang sudah ditetapkan orang tua, sanak saudara, keluarga besar. Tidak ada yang salah dengan mengikuti keinginan orang tua jika hal tersebut membahagiakanmu, namun saya adalah jenis individu yang tidak puas hidup sekadar mengikuti kehendak orang lain, meski itu orang-orang yang saya cintai.

Hubungan saya dan keluarga kerap diwarnai ketegangan karena pilihan yang saya tempuh seringnya tak sesuai dengan yang mereka inginkan. Saya sengaja melewatkan kesempatan untuk kuliah meski orang tua sudah menyiapkan biaya. Saya memilih hidup di sepetak kamar sempit dengan kipas angin usang dan ranjang berderit, mencuci pakaian di ember plastik sambil jongkok sampai kaki keram ketimbang menempati kamar dingin full AC di rumah bertingkat di mana semua kebutuhan saya terpenuhi tanpa harus mengangkat jempol. Saya memilih jadi penulis lepasan ketimbang pekerja kantoran dengan gaji stabil dan karir mapan. Saya bahagia menjalani hubungan tanpa pernikahan, tidak pernah (belum?) berkeinginan memiliki keturunan meski usia sudah menginjak kepala tiga, dan banyak lagi.

Saya sadar betul, semua pilihan datang dengan konsekuensi dan saya menjalani semuanya dengan rela, termasuk ketika adik saya nyeletuk, “You know you’re the black sheep in our family, right?”

I do.

Did it hurt? It did.

Was it worth it? It sure was.

Berpisah dengan keluarga dan hidup mandiri adalah salah satu keputusan terbaik dalam hidup saya, karena itulah saat pertama saya merasakan kebebasan sesungguhnya, sepenuh-penuhnya. Saya keluar dari rumah karena memang sudah saatnya untuk pergi. Saya melepaskan diri karena sayap-sayap ini perlu ruang yang lebih luas untuk mengepak. Alasan lainnya tak lagi penting.

I left because I chose myself.

“Kamu di sana sendiri?” Itu pertanyaan pertama yang diajukan Ayah setelah terdiam cukup lama. Saya mengiyakan.

“Ya sudah. Yang penting jaga diri baik-baik.”

Kita tidak bisa memilih masa depan dan perputaran roda nasib, namun kita selalu bisa memilih diri sendiri.

27

Saya tidak pernah berusaha memaafkan.

Saya percaya, berusaha memaafkan hanya akan menghasilkan pemaafan yang prematur. Pemaafan tidak perlu diupayakan. Ia akan hadir dengan sendirinya ketika hati sudah siap memaafkan, dan saya percaya hati punya waktunya sendiri.

Saat saya belum bisa memaafkan, yang saya lakukan adalah mengizinkan diri sendiri untuk merasakan apa pun yang muncul dalam hati saya sepenuhnya. Amarah. Kesedihan. Kekecewaan. Dendam. Dan yang paling sering saya lakukan adalah menulis. Menyampaikan apa yang saya rasakan kepada orang yang bersangkutan lewat berlembar-lembar tulisan, sekalipun tulisan itu hanya tersimpan di komputer saya.

Saat saya belum bisa memaafkan, saya mengizinkan diri saya menangis. Mengutuk. Memaki. Menyesali diri. Saya memberikan tempat dan ruang khusus agar emosi-emosi ini bisa hadir, seperti di malam hari sebelum tidur, satu jam setelah saya terbangun, atau setelah pekerjaan saya selesai. Dan pemaafan selalu hadir pada waktunya—setelah PR batin (meminjam istilah seorang teman) saya usai.

Hari ini saya berusia 27 tahun. Saat terbangun di pagi hari, saya memikirkan apa yang akan saya tuliskan di sini. Banyak pemikiran berlintasan, namun tak satu pun terasa pas. Setelah lama berusaha mengumpulkan kata, saya pun menyerah dan kembali tertidur.

Ketika saya membuka mata di siang hari, hal pertama yang melintas di benak saya adalah dia.

Tahun lalu kami melewatkan 30 Januari bersama. Dia memeluk pinggang saya dan mengucapkan selamat ulang tahun. Dia yang menjadi topik banyak tulisan di blog ini setahun terakhir. Dia yang—meminjam istilah banyak orang—adalah sosok pertama yang saya sebut cinta.

Perpisahan itu meninggalkan bekas yang mendalam. Begitu dalam hingga saya tak punya nyali untuk menjajaki hubungan dengan orang lain. Saya bersikap defensif dan kendati saya tak berusaha menghindari pria lain, saya akan jadi pihak pertama yang kabur ketika hati mulai bereaksi. Saya demikian takut terluka dan setiap ingatan tentangnya memicu luka baru.

Siang ini, ketika saya membuka mata, hal pertama yang melintas di benak saya adalah dia. Apa yang seharusnya kami lakukan. Janji-janji yang tak terpenuhi. Namun anehnya, kali ini ingatan itu tak lagi memunculkan rasa sakit—pedih, marah, kecewa… apa pun.

Saya mengingatnya dan riak-riak itu tak lagi ada. Hati saya terasa… netral.

Dan tahulah saya, saya sudah siap memaafkan.

Saat saya duduk dalam hening—meditasi pertama saya di tahun 2011—air mata yang mengalir di wajah saya tak lagi disertai rasa sakit. Pemaafan muncul dengan sendirinya tanpa perlu saya usahakan. Dan ia hadir dengan indah.

Hari ini saya meninggalkan 26, dan inilah ‘bekal’ yang saya bawa untuk menjalani 27: penyadaran bahwa hati tidak butuh alasan untuk memaafkan.

Untuk itu, terima kasih, Hidup.

—-

Tuhanku

Kau datang padaku dan bertanya,
Apakah kau percaya Tuhan?

Tentu.
Sudah terlalu banyak kualami untuk berkata tak ada tuhan
Ia bagiku senyata embusan napas dan senyaring suaramu.

Tuhanku tak punya nabi dan rasul untuk menyampaikan pesan
Ia tak butuh sekelompok orang untuk membelanya
Dan tak merasa perlu mendirikan kerajaan di muka Bumi.

Tuhanku mencintai tanpa syarat dan tak pandang rupa
Ia tak mengenal benci dan umatnya tak perlu berjuang menyatukan perbedaan
Karena perbedaan diciptakannya untuk memberi warna dunia.

Tuhanku kutemui di mana-mana, setiap hari
Tanpa perlu kuinjak tempat ibadah, tanpa kubuka kitab suci.

Tuhanku tak minta kau percaya padanya dan tak mesti disanjung
Ia hanya ada dan cuma itu yang perlu kutahu.

Kau tanya padaku,
Apakah kau percaya Tuhan?

Tentu.
Namun barangkali
Kita tak sedang membicarakan Tuhan yang sama.

Jakarta, Januari 2011. Diiringi sebuah doa, agar tak perlu lagi darah tumpah karena Tuhanku dan Tuhanmu tak sama.

Bertanya (tentang) Cinta

Kau tanya padaku apa itu cinta.

Aku termenung
Tak sepatah pun keluar dari bibirku.

Cinta itu apa?”

Pertanyaan yang sama sudah kuulang entah berapa ribu kali kepada diriku sendiri, dan aku masih tak paham.

Adakah ia desir-desir aneh yang merambati hatimu saat kau lihat pujaanmu berdiri tak jauh darimu?

Adakah ia getar-getar geli yang membuat harimu jadi indah ketika mendengarnya menyebut namamu?

Adakah ia bahagia yang mengusikmu dan memunculkan senyum di wajahmu yang biasa kelabu?

Adakah ia air mata yang menyusuri lekuk pipimu saat rindu menyerang, pertengkaran melahirkan gundah dan perpisahan terucap?

Adakah ia semburat panas di dadamu ketika melihatnya bersama orang lain dan bahagia tanpamu?

Adakah ia amarah yang tak bisa kau jelaskan, seribu perasaan yang tak bisa kau gambarkan dan jutaan cahaya dalam matamu saat kalian bertatapan?

Adakah ia hitam, putih, warna-warni?

Kenalkah ia pada dosa, pahamkah ia akan tabu, pedulikah ia akan benar-salah?

Entahlah.

Kau jelas bertanya pada orang yang salah, karena bahkan sufi dan pujangga gagal merangkum maknanya.

Yang kutahu cuma, ia hadir sewajar hembusan udara pagi, lenyap seperti embun di siang hari, mengalir ke mana pun ia suka. Tanpa bisa diperintah. Tanpa bisa dicangkangi. Dan kita terhanyut-hanyut di dalamnya tanpa pernah berhasil merumuskan artinya.

Yang kutahu cuma, cinta tak membiarkanmu memilih jiwa. Namun kau bisa memutuskan untuk memberangusnya atau membiarkannya tumbuh, menjaganya dengan hatimu.

Dan aku tahu ia tak pernah berjanji. Bahagia, gembira, gelisah, getir, sedih, amarah, semua bisa hadir tanpa sanggup kau pilah.

Jadi, apa itu cinta?” desakmu.

Diam adalah jawabanku.
Bukan karena angkuh namun sungguh tak paham
Puluhan tahun usiaku dan aku masih gagap mendefinisikan cinta.

Namun inilah yang bisa kukatakan kepadamu:
Barangkali cinta tak perlu ditanyakan
Alamilah sendiri. Biarkan ia menjemputmu dan kau akan tahu.

Sebuah persembahan untuk sahabat yang tengah jatuh cinta—perempuan beruntung yang saya sayangi. Semoga diberkahi kebahagiaan. 🙂

—–

Gambar dipinjam dari sini.

Sebuah Maaf untuk Suatu Masa

Kaset-kaset itu saya temukan di pojok kotak plastik besar, tempat saya menyimpan buku dan berkas-berkas yang tidak pernah lagi dibaca. Entah sudah berapa lama mereka ada di sana. Saya mengeluarkan semuanya satu-persatu sambil mengamati tahun-tahun yang tertera di label.

Kaset-kaset itu berisi rekaman khotbah saya dari tahun 2003 hingga 2005. Jumlahnya tidak banyak. Hampir semuanya direkam menggunakan walkman pinjaman dengan kualitas suara yang jauh dari memuaskan. Waktu itu, tidak banyak tempat ibadah yang memiliki alat perekam.

Saya memilih sebuah kaset yang hasil rekamannya cukup jernih dan memasangnya. Khotbah saya di sebuah gereja di bilangan Kelapa Gading lima tahun silam. Semenit pertama, saya tertawa-tawa mendengar suara saya sendiri; betapa lantangnya saya berkhotbah, betapa cepatnya saya bicara, betapa gugupnya saya.

Menit-menit berikutnya, senyum saya lenyap, berganti kegelisahan. Saya nyaris tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Saya sulit mempercayai apa yang terlontar dari mulut saya sendiri. Bukan hanya saya. Seorang anggota keluarga yang turut mendengarkan rekaman itu berkomentar polos, “Itu kayak bukan kamu.”

Tidak. Pasti ada yang salah. Tidak mungkin itu saya.

Saya tidak ingin mempercayai telinga saya sendiri. Kebaktian itu dihadiri lebih dari seratus remaja, namun tidak ada humor di dalamnya. Si pengkhotbah berbicara bagaikan mobil yang gasnya diinjak dalam-dalam. Kalimat-kalimat yang terlontar keras, tajam menusuk.

Saya mematikan player kurang dari limabelas menit. Saya tidak tahan mendengarkan suara saya sendiri. Saya tidak sanggup mendengarkan begitu banyak tuntutan bernada memaksa yang keluar dari mulut saya sendiri.

Saya meninggalkan tumpukan kaset dan duduk di depan televisi tanpa menyimak acara yang sedang disiarkan. Saya tercenung. Lama. Yang muncul berikutnya adalah air mata.

Saya telah meninggalkan mimbar lima tahun yang lalu. Hari ini saya sadar, meninggalkan tidak sama dengan menyelesaikan. Fase itu sudah lama berlalu dan hidup menghantarkan saya ke titik yang sama sekali baru, namun ada banyak hal yang belum selesai—setidaknya dalam batin saya sendiri.

Permohonan maaf adalah salah satu di antaranya.

* * *

Kepada semua orang yang pernah duduk di depan mimbar dan mendengarkan saya berkhotbah,

Maafkan saya atas segala tekanan yang saya berikan melalui pengajaran-pengajaran saya.

Maafkan saya atas penghakiman yang saya lontarkan tanpa mendengar dan menilai dengan bijak.

Maafkan saya atas ‘harus ini dan itu’, ‘lakukan ini dan itu’, ‘tidak boleh begini dan begitu’, dan segala tuntutan lain yang saya paksakan tanpa benar-benar mengenal satu orang pun di antara kalian.

Maafkan saya karena telah bersikap seolah-olah tahu yang terbaik tanpa memberi kesempatan kepada kalian untuk mencari kebenaran kalian sendiri.

Maafkan saya karena telah meminta kalian mengikuti kehendak saya dan melakukan apa yang saya inginkan.

Maafkan saya atas segala ketidakpuasan, kekecewaan terhadap diri sendiri, dan kemarahan yang saya lampiaskan dalam ceramah-ceramah saya. Maaf karena telah menjadikan kalian sasaran dari masalah batin saya sendiri.

Dan untukmu, Jenny,

Maafkan saya karena telah menuntut begitu banyak darimu.

Maafkan saya karena menginginkanmu menjadi yang paling sempurna. Menghendakimu menjadi teladan dan panutan bagi orang lain. Menetapkan standar yang terlampau tinggi hingga kamu kelelahan dan kehabisan daya. Menghakimimu sedemikian rupa hingga kamu tak mampu lagi percaya pada diri sendiri.

I am truly sorry.

* * *

Tulisan ini saya persembahkan kepada diri saya sendiri, sebagai salam pamit sekaligus penutup sebuah fase hidup yang telah berlalu. Juga kepada semua orang yang pernah bersilangan jalan dengan saya di masa itu—mereka yang pernah mendengarkan saya berkhotbah.

Terima kasih banyak. Kalian semua adalah guru saya, meski yang tampak di luar adalah sebaliknya. Kalian telah mengajar saya jauh lebih banyak dari yang kalian ketahui.

Thank you for being a part of this grand journey. Each one of you.

—–