Utuh

Melihat dan menjumpaimu begitu sering terkadang membuat lupa
Bahwa sesuatu yang patut kusyukuri telah hadir di depan mata
Nyata, teraih, ada.

Kendati mata tak lepas dari keindahanmu
Mendung yang bergayut di pelupuk terkadang membuat lupa
Bahwa logika memang tak mampu menjelaskan rasa.

Sekalipun menggapaimu semudah menjangkau ujung baju
Penat hati terkadang membuat lupa
Bahwa terbiasa mestinya tak membuat jadi terlena.

Membencimu sebesar menyayangimu
Mengutukmu sebesar membanggakanmu
Iri padamu sebesar mengagumimu
Ingin jauh darimu sebesar rindu ada di dekatmu

Muak kuberjuang mencari tahu
Lupa bahwa jawaban tak seharusnya kutemukan di luar
Karena diri ini menyimpan segala rahasia semesta
Dan semesta selalu punya cara.

Kemarin kau memintaku menyebutkan
Apa saja yang kusyukuri selama hidup di dunia
Tahukah kau, kalimatku tertinggal satu:

Terima kasih untuk bersabar sampai aku sadar
Bahwa kau memang bukan dia yang dulu kucinta.

Dan kini, melihatmu sebagaimana adanya
Mendapatimu tanpa terselubung beragam rupa
Dirimu yang utuh, dan bukan yang lain
Sungguh… syukur itu layak ada.

—–

Yes, I Can! ;-)

Gila.”


Edan!”


Ih, nekat amat.”


A
lah, kayak berani aja lo.”


Bahaya, tauuu.”

Itu reaksi mayoritas yang saya terima ketika saya mengutarakan rencana kepergian ke Salatiga (Jawa Tengah) kepada beberapa orang, akhir Desember lalu. Saya tidak tahu kenapa komentar-komentar semacam itu muncul. Barangkali karena saya belum pernah berpergian ke tempat yang cukup jauh sebelumnya. Barangkali karena satu-satunya kota yang pernah saya sambangi hanya Bandung (Cirebon dan Semarang juga pernah, tapi berangkatnya serombongan, untuk menghadiri pernikahan. Jadi nggak dihitung ;-D). Barangkali karena saya hanya berbekal backpack pinjaman dan uang seadanya. Atau, barangkali, karena dalam perjalanan ini, tidak ada seorang pun yang menemani saya.

Saya akan pergi sendirian. Seorang sepupu yang berbaik hati meminjamkan backpack dan kamera hanya bisa geleng-geleng sambil berkomentar, “What you’re doing is pretty dangerous. But knowing you, there’s no way stopping you.” Saya hanya mesam-mesem.

Sama siapa perginya?”

Ada saudara di sana?”

Kenapa Salatiga?”

Nanti tinggal di mana?”

Di sana rencananya mau kemana dan ngapain?”

Itu top five questions dari beberapa teman yang sempat saya beritahu beberapa hari menjelang keberangkatan. Saya sengaja tidak mengabari semua orang, karena malas mendapat reaksi seperti di atas.

“Sendiri.” Itu jawaban untuk pertanyaan nomor satu. “Nggak,” untuk jawaban nomor dua, dan “Nggak tahu” untuk pertanyaan ketiga dan seterusnya. Saya tidak mempersiapkan apa-apa secara khusus. Secarik kertas berisi alamat penginapan murah dan beberapa tempat wisata yang saya dapatkan dari internet pun akhirnya hanya terlipat di dalam buku catatan yang sengaja saya bawa sebagai pengganti laptop.

Apa yang saya cari di sana? Apa yang ingin saya dapatkan dari perjalanan ini? Apa yang ingin saya capai?

Tidak tahu.

Sore itu, saya menaiki bis jurusan Jakarta-Solo dengan sebuah backpack. Tanpa ekspektasi. Tanpa tahu apa yang harus saya harapkan. Tanpa gambaran sedikit pun tentang apa yang akan saya temui, hadapi, dan lakukan setibanya di sana. Hanya saya dan backpack, yang terpaksa dipeluk erat-erat selama sebelas jam lantaran rak-rak di bagian atas bis sudah terisi penuh.

Ketika akhirnya menginjakkan kaki di Perempatan Jetis, Salatiga, pukul setengah empat esok paginya, hal pertama yang terlintas di benak saya adalah, “Ih gila, nyampe juga!” Sekilas, terbersit rasa bangga, yang cuma bertahan sebentar.

Okay, sudah sampai. Lalu, apa?

Tidak tahu.

Selama empat hari berikutnya, saya tinggal di sebuah wisma di Jalan Adisucipto. Saya bergaul dengan tamu-tamu yang menginap di sana, dan memperoleh informasi mengenai tempat-tempat yang layak dikunjungi di sekitar Salatiga. Saya mendapat keterangan dari petugas wisma berupa petunjuk jalan, nomor kendaraan umum, dan waktu yang diperlukan untuk mencapai sebuah lokasi. Berbekal itu semua, saya memberanikan diri memanggul backpack kemana-mana, menjajal berbagai jenis angkutan, dari andong, ojek, angkot, bis besar, minibis, sampai becak.

Suatu malam, saya mengobrol dengan seorang petugas wisma tentang rencana mengunjungi Ambarawa dan Kopeng, daerah sejuk yang berjarak sekitar duapuluh kilometer dari Salatiga, terkenal dengan pemandangan indahnya, dan dapat dicapai dalam tigapuluh menit. Seorang tamu yang kebetulan berada di situ ikut menimpali pembicaraan, dan tak lama kemudian ia mengubah pikiran saya dengan suksesnya.

Saya tidak jadi mengunjungi Ambarawa. Saya akan pergi ke Borobudur, yang berjarak tiga jam perjalanan dari Salatiga. Si petugas wisma hanya bengong ketika saya memantapkan niat itu sambil cengar-cengir.

Esok paginya, saya bangun pukul setengah empat, bersiap-siap sekadarnya tanpa sempat sarapan, dan langsung menuju pangkalan bis dengan angkot. Saya memakai baju tiga lapis, dan memang udara saat itu luar biasa dingin. Selama perjalanan, tidak henti-hentinya saya merapatkan tangan di dada dan berulang kali menarik backpack untuk melindungi tubuh dari hawa dingin. Asap rokok dari beberapa penumpang yang ngebul seperti kereta dan asap knalpot –yang entah bagaimana terus tercium sepanjang perjalanan- tidak membuat suasana bertambah baik.

Setelah turun di terminal Magelang, saya dua kali berganti kendaraan sebelum akhirnya berhasil sampai di kawasan wisata Borobudur. Matahari bersinar terik. Menyengat. Entah kenapa bisa begitu, padahal satu jam sebelumnya saya baru menggigil di atas bis.

Tidak ada kalimat yang bisa mewakili apa yang saya rasakan tatkala melihat puncak Borobudur di kejauhan, sementara kaki saya terus melangkah, mendekatkan saya kepada monumen menakjubkan yang (pernah) menjadi salah satu keajaiban dunia.

The feeling was indescribable. Perempuan berjilbab yang berjalan di depan saya melafalkan nama Tuhan dengan lirih. Saya ingin meneriakkan hal serupa, tapi tak ada satu pun kata yang terucap. Pegal-pegal di tubuh, keringat yang terus bercucuran, lapar yang mulai mendera, haus yang belum terpuaskan sejak pagi, teriknya matahari yang membakar kulit… mendadak semua luntur. Luruh begitu saja. Digantikan senyuman yang tak henti-hentinya terkembang dan semangat untuk berjalan semakin cepat.

Pemandangan dari puncak Borobudur adalah hadiah tak ternilai yang membayar lunas segala pencarian, pertanyaan, kebimbangan, dan kelelahan saya selama enam bulan terakhir. Ketika menatap awan yang berarak menutupi pegunungan dan pucuk-pucuk pohon, tidak ada yang bisa saya lafalkan selain terima kasih dari hati yang terdalam kepada Sang Pemberi Hidup, Pencipta Semesta, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk hadir di sana.

Semua terasa bagaikan oase. Melihat Borobudur dengan mata kepala sendiri. Merasakan suasana sakral yang meneduhkan hati, meski saya menyayangkan banyaknya pedagang yang hilir-mudik dan wisatawan yang bertingkah sesukanya (seperti memanjati stupa dan membuang sampah sembarangan) – plis deh. Mengagumi pemandangan indah yang terhampar bagai foto di kartu pos dan kalender. Memuaskan imajinasi dengan berkhayal bermain di lembutnya awan.

Tanggal lima Januari, pukul lima sore, saya kembali ke Jakarta dengan berat hati. Susah rasanya berpisah dengan kota yang telah memberi begitu banyak kesan, kendati saya hanya tinggal selama empat hari. Kota yang telah saya anggap rumah sejak hari pertama. Kota yang telah membuat saya jatuh hati dengan udara sejuknya, suasana hangatnya, dan penduduknya yang ramah. Kota yang tenang, sunyi, dan damai, yang memberi ruang pada benak untuk bernafas lega. Amat berbeda dengan kehidupan di kota besar yang terus-menerus membombardir pikiran dan acapkali menghimpit hati, sehingga kesempatan untuk berdiam dalam hening dan melongok ke dalam diri sendiri menjadi sesuatu yang langka, bahkan mewah. Kemewahan seperti itu, lucunya, saya dapatkan dengan mudah di kota kecil nan sederhana bernama Salatiga, yang begitu kontras dengan gemerlapnya Jakarta – dimana segala sesuatu tersedia dan bisa diperoleh dengan gampang asalkan punya uang *cough*.

Sepanjang perjalanan pulang -dan beberapa hari sesudahnya- berulang kali saya merenung. Mencoba mencerna apa saja yang telah saya lalui empat hari terakhir. Enam bulan belakangan. Meski tahun baru sudah lewat seminggu, rasanya belum terlambat untuk sekali lagi berkaca pada diri sendiri. Pada berbagai pengalaman dan kejadian yang turut membentuk saya hingga mencapai tahap ini.

Saya tercenung tatkala menyadari sesuatu. Bertahun-tahun hidup dalam pengkondisian yang diciptakan oleh lingkungan sekitar, ternyata telah membentuk saya menjadi sosok yang bergantung kepada orang lain. Bukan dalam arti tidak bisa mengerjakan apa-apa sendiri (bekerja dan hidup mandiri di kos-kosan sudah cukup membuktikan, toh? *wink*), melainkan dalam hubungan personal dan ‘hubungan’ dengan diri sendiri.

Atas nama privasi dan etika, tidak banyak yang bisa saya ceritakan tanpa menghambur-hamburkan isi perut. Yang jelas, pengkondisian yang saya terima (dan patuhi) bulat-bulat lambat laun menjadikan saya orang yang sangat dependen. Saya sering merasa ‘kehilangan’ separuh diri saya dan membutuhkan kehadiran orang lain untuk melengkapinya. Orang yang saya sayangi. Yang saya puja, bahkan idolakan. Yang saya ikuti suri tauladannya *halah, tauladan*. Yang bisa saya jadikan contoh dan panutan. Yang dapat menunjukkan kepada saya, seperti apa hidup yang seharusnya. Yang dapat melengkapi saya. Tanpa kehadiran sosok tersebut, saya merasa hampa. Merasa serbakurang. Merasa tidak percaya diri. Merasa tidak dapat melakukan hal-hal ‘besar’, apalagi yang membutuhkan keberanian. Tidak sanggup mengapresiasi diri sendiri sebagaimana layaknya, betapa pun seringnya saya menerima pujian dari orang-orang.

Saya tidak tahu apa yang mendorong saya untuk mengemasi pakaian dan memesan tiket bis antarkota. Saya tidak tahu apa yang membuat saya melangkahkan kaki ke sebuah kota kecil yang sama sekali asing. Saya tidak tahu apa yang membuat saya begitu kekeuh ingin pergi seorang diri. Saya tidak tahu apa yang menyebabkan saya nekat bangun pagi-pagi, menenteng ransel, dan pergi ke Borobudur. Saya bahkan tidak tahu apa yang saya tuju, apa yang ingin saya raih. Namun, satu hal kini menjadi jelas: pelan namun pasti, sebuah kesadaran mulai muncul. Tentang siapa saya. Tentang apa yang bisa saya lakukan. Tentang mendengarkan suara hati. Tentang tekad. Tentang keberanian. Tentang perubahan. Tentang hidup itu sendiri.

Malam ini, ketika menuliskan entri ini dengan gambar pegunungan dan arak-arakan awan yang menghiasi layar komputer, saya kembali diingatkan pada satu-satunya hal yang paling saya inginkan. Permohonan sederhana yang saya panjatkan menjelang pergantian tahun. Untuk hidup, seutuhnya.

Malam ini, ketika memandangi foto-foto hasil ‘buruan’ di tanah Jawa, kenangan itu kembali berhamburan. Menyerbu ruang-ruang kosong di benak, menghadirkan kembali segala rasa yang singgah selama perjalanan. Rasa nyaman itu. Kehangatan itu. Senyuman itu. Wajah-wajah berbinar itu. Oase itu. Saat-saat itu.

Dari sekian banyak kenangan yang tersisa, ada satu yang ingin saya kristalkan lebih dari yang lain: kenangan akan Candi Borobudur yang menjulang tinggi ketika saya berjalan menghampirinya dengan senyum terentang. Bukan karena ia salah satu monumen paling menakjubkan di dunia. Bukan karena saya bangga berhasil menapakinya sampai ke puncak tertinggi. Bukan pula karena saya telah bermimpi untuk bisa pergi ke sana sejak lama.

Kenangan itu menjadi harta paling berharga dalam laci memori saya, karena ketika saya menginjakkan kaki di anak tangga Borobudur, untuk pertama kalinya dalam hidup, saya benar-benar yakin: saya bisa.

You have brains in your head. You have feet in your shoes. You can steer yourself any direction you choose. You’re on your own, and you know what you know. And you’re the one who’ll decide where you’ll go. Oh the places you’ll go.” (Dr. Seuss)

Farewell, 2008

Salah satu aktivitas favorit saya di kos-kosan tercinta adalah naik ke lantai dua selepas tengah malam, menghabiskan waktu di sana, sekadar menikmati keheningan dan udara sejuk. Kadang ditemani suara kipas dari kamar tetangga yang berdengung seperti nyamuk, atau gemersik daun yang diterpa angin.

Saya selalu suka menumpukan siku di pagar teras, hanya diam, tanpa melakukan apa-apa. Berserah pada irama alam. Merasakan udara malam membelai wajah, leher, dan lengan, yang terkadang berhembus keras, membuat kedinginan sampai ke dalam-dalam.

Biasanya, saya akan memejamkan mata. Membiarkan angin menerpa sekujur badan, terus-menerus. Saat-saat seperti ini selalu saya lewatkan tanpa banyak berpikir, karena inilah waktu dimana saya membiarkan otak beristirahat dan berdiam – menikmati kesunyian yang panjang. Anehnya, saat tubuh menggigil inilah, saya merasa begitu dekat dengan Sang Pencipta. Ia hadir, dan sangat nyata. Lebih nyata dari dengung baling-baling kipas. Lebih nyata dari daun-daun yang bergoyang ribut. Lebih nyata dari alam realitas dimana kedua kaki saya berpijak.

Hembusan angin yang menerpa tubuh selalu membuat saya merasa dipeluk. Hangat, meski ia dingin. Nyaman, meski ia menggigit sampai ke tulang. Semua adalah isyarat alam yang tak pernah alpa mengingatkan bahwa Ia ada.

Beberapa minggu lalu, ketika sedang menjalankan ritual nongkrong di loteng, bunyi guruh dari kejauhan mengejutkan saya. Saya mendongak, mencari-cari. Tidak berapa lama, muncul kerlip kecil di bentangan hitam langit. Rupanya sebuah pesawat.

Menyaksikannya bergerak jauh di atas, entah bagaimana mengingatkan saya pada bintang jatuh. Yang konon bisa mengabulkan permohonan apabila diucapkan tepat sebelum ia membentur bumi.

Bisakah saya berpura-pura, menganggap pesawat itu bintang jatuh, dan menyebutkan sebuah permohonan? Kali-kali saja bisa. Barangkali akan dianggap sama sah oleh Sang Penguasa Semesta. Poin lain yang patut diperhitungkan, tidak seperti bintang jatuh yang berkelebat cepat, pesawat terbang bergerak lambat, sehingga kita punya cukup waktu untuk memilih impian terbaik yang ingin diwujudkan.

Sambil mengamati cahaya yang terus bergerak, pikiran saya berkejaran dengan waktu.

Permohonan apa? Apa yang paling saya inginkan? Apa yang ingin saya minta? Cepat, cepat, sebentar lagi ia menghilang di balik atap.

Pemikiran pertama segera singgah di benak: saya ingin bahagia.

Saya tersenyum. Sepintas.

Tentu saja. Siapa yang tidak mau bahagia?

Saya menggigit bibir, antara menahan dingin akibat angin yang tiba-tiba bertiup kencang, dan menimbang-nimbang (calon) permohonan, yang tiba-tiba terasa tidak pas.

Benarkah itu yang paling saya inginkan saat ini? Bahagia?

Bunyi guruh semakin samar. Sebentar lagi kerlip lampu itu akan hilang ditelan atap rumah tetangga dan pucuk-pucuk daun.

Saya masih mendongak, keras kepala menumpukan harapan atas pesawat terbang entah tujuan mana, dari maskapai mana, dan apa namanya; menyamakannya dengan bintang jatuh yang barangkali cuma lelucon alam paling menggelikan abad ini.

Senyum saya kembali terkembang. Kali ini sebabnya jelas.

Permohonan itu tak rumit. Sederhana saja.

Saya ingin hidup. Seutuhnya.

*****

Hal pertama yang terlintas di benak ketika saya menoleh ke belakang untuk menelusuri apa yang telah saya lalui dan alami selama setahun terakhir, dapat diwakili oleh satu kata: perpisahan.

Pertengahan tahun ini saya lalui nyaris dengan menghabiskan setumpuk tisu setiap hari. Perpisahan tidak pernah menjadi hal yang lazim dalam kamus saya, dan kini saya dipaksa berhadapan dengan sesuatu yang paling saya hindari.

Tujuh tahun bukan waktu yang singkat untuk diakhiri dengan perpisahan. Ada banyak luka yang mengiringi bulan-bulan terakhir kebersamaan kami, sebelum kami betul-betul berpisah. Kata orang, kebanyakan hal yang kita takuti tidak pernah betul-betul menjadi kenyataan. Namun, saya berhadapan dengan ketakutan yang akhirnya memang menjadi kenyataan.

Saya masih ingat percakapan tigapuluh detik yang kami lakukan –salah satu percakapan terpanjang via telepon dalam enam bulan terakhir— dimana setelah tombol ‘end’ ditekan, saya duduk di lantai dan menangis sejadi-jadinya. Saat itu, saya merasa rela memberikan apa saja yang saya miliki –literally, everything—untuk bisa bersamanya lagi. Saya tidak peduli dengan masa depan. Saya tidak peduli dengan sejuta kesempatan yang terbentang di hadapan. Saya tidak peduli dengan orang-orang baru yang bisa saya temui. Saya tidak peduli dengan kehidupan yang bisa saya jelang selama hayat masih dikandung badan. Apa pun… asalkan bisa kembali bersama. Sayangnya, waktu untuk berpisah memang sudah tiba. Dan segala upaya saya untuk mengulurnya menjadi percuma.

Saya ingat, beberapa minggu sebelum perpisahan itu benar-benar terjadi, mendadak saya menangis sesenggukan tanpa tahu sebabnya. Apa, dan kenapa. Saya hanya duduk dan airmata terus mengalir. Pikiran saya berkata, “Kenapa? Ada apa?” dan menyerukan beratus pertanyaan lain. Hati saya, sebaliknya, berbisik lirih: “Ini saatnya.” Kendati saya berulang kali menangguhkan keputusan dan mengabaikan suara kecil itu, saya tahu, hati saya tahu.

Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Ada masa-masa dimana saya begitu putus asa dan ingin menghilang dari dunia. Ada waktu-waktu dimana saya ingin mengubur diri di bawah selimut dan tidak bangun lagi. Ada saat-saat dimana saya hanya bisa duduk meringkuk, memeluk lutut sementara airmata tidak berhenti bergulir. Menyedihkan, tapi itulah yang terjadi. Dan, ya, ada masa-masa dimana saya begitu ingin berteriak keras-keras, menggugat-Nya atas segala hal yang tidak bisa saya terima.

Namun, lambat laun, saya tersadar. Bukan perpisahan yang tidak bisa saya terima, melainkan kenyataan bahwa inilah yang menjadi porsi saya dalam hidup. Inilah jatah yang digariskan untuk saya. Inilah pil pahit yang menjadi bagian saya, dan di atas segalanya, sayalah yang harus menelannya. Saya, yang mengagungkan kesatuan dan mendewakan ikatan janji, kini menghadapi kenyataan dimana waktu untuk berpisah telah tiba. Dan sekuat apa pun saya memberontak –satu setengah tahun hidup dalam penyangkalan bukan hal yang mudah— selama apa pun saya mencoba bertahan, toh waktu juga yang akhirnya menentukan tanggal dan hari perpisahan itu. Sekeras apa pun saya mencoba menawar.

Saya bahkan tidak tahu kapan persisnya titik penyadaran itu tiba. Yang saya tahu hanya, saya berusaha untuk tetap bertahan, hari demi hari, dengan segala kekuatan yang ada. Dengan semangat yang tinggal sisa-sisa. Dengan harapan yang cuma sekelumit, karena saya tidak lagi tahu apa yang harus saya genggam. Saya hanya mencoba melangkah, setapak demi setapak. Tanpa tahu apa yang akan saya temui di depan.

Kini, berbulan-bulan setelahnya, saya memberanikan diri untuk menengok ke belakang, dan tercengang mendapati luka itu berangsur sembuh. Bekasnya tentu saja masih ada, dan tidak sedap untuk dipandang, namun ia berangsur sembuh. Dan saya larut dalam haru ketika menyadari bahwa semua proses yang saya lalui –segala rasa yang mengiringi saya dalam perjalanan ini: pahit, manis, kegagalan, keberhasilan, kekecewaan, kebanggaan, kesedihan, kebahagiaan, tawa, dan tangis— telah membuahkan begitu banyak pelajaran berharga yang membawa saya ke tempat dimana saya berada sekarang. Di sini. Di masa ini.

Tahun 2008 adalah semester ke-24 saya di Universitas Kehidupan. Di semester ini, saya belajar banyak. Saya belajar berpisah. Saya belajar menerima. Saya belajar memaafkan. Saya belajar melepaskan. Saya belajar beradaptasi dengan perubahan. Saya belajar berproses. Saya belajar mengalir. Dan saya belajar hidup.

Hari ini, ketika melakukan kilas balik tahun 2008, rasanya tidak berlebihan kalau saya berkata, kesan yang paling membekas bagi saya bukan lagi seberapa besar pencapaian yang saya raih maupun prestasi yang saya ukir. Bukan berapa banyak hal yang bisa saya kumpulkan, genggam erat, dan labeli ‘Kesuksesan’. Bukan juga berapa hubungan yang berhasil saya pertahankan, berapa orang yang sanggup saya senangkan, berapa orang yang menjadi sahabat saya, dan sebagainya.

Hari ini, yang paling berarti bagi saya bukan apa yang saya dapatkan, melainkan apa yang saya lepaskan. Karena dari apa yang saya lepaskan itulah, saya belajar hidup.

🙂

Sebelum menjelang hari baru di detik-detik terakhir penghujung tahun, ijinkan saya berdoa bagi kita semua, dan seluruh makhluk di muka bumi. Kiranya kebahagiaan menjelma menjadi bunga yang tertabur di sepanjang jalan ketika kita sama-sama melangkah dalam lingkaran tak berujung ini. Kiranya kebahagiaan bukan hanya menjadi milik segelintir orang, melainkan setiap makhluk, karena, mengutip perkataan seorang sastrawan, tidak ada yang tidak ingin bahagia.

Kendati begitu, karena hidup yang senantiasa berubah ini selalu terdiri dari dua sisi, dan sekeras apa pun kita berupaya mengkristalkan kebahagiaan tak pelak kita tetap akan menjumpai sisi sebaliknya, doa saya yang terakhir adalah: semoga kita akan selalu hidup. Seutuhnya.

Untuk kalian semua yang telah menyertai saya dalam perjalanan ini, terutama kepada Sang Pemberi Hidup yang tak pernah meluputkan tangan-Nya dan senantiasa hadir, saya ucapkan terima kasih dari hati yang terdalam. Terima kasih untuk segalanya. Terima kasih telah ada.

hadirmu

kau pernah hadir sebagai penebus
kau juga hadir sebagai penyembuh
lalu kau hadir sebagai penolong

kau pernah datang sebagai yang adil
kau juga datang sebagai yang menjawab doa
lalu kau datang sebagai yang mencukupkan

kau tunjukkan dirimu sebagai raja
kau juga tunjukkan dirimu sebagai bapa
lalu kau tunjukkan dirimu sebagai sahabat

kini aku menyambutmu sebagai engkau
dan di antara jajaran nama
kini aku menemukanmu sebagai yang tak bernama
namun nyata. lebih dari yang kutahu.

: selamat datang.

Bagi yang merayakan, saya ucapkan Selamat Natal, dan untuk kita semua, saya ucapkan Selamat Tahun Baru.

May your days be merry. 🙂

*Gambar dipinjam dari fotosearch.com.

Jatah

Seorang sahabat belum lama ini menumpahkan kekecewaan mengenai boss-nya di kantor (dimana ia sudah bekerja selama empat tahun) yang menolak meminjaminya uang ketika ibunya sakit dan sangat membutuhkan dana pengobatan. Padahal, menurutnya, selama ini ia belum pernah sekali pun meminjam uang dari perusahaan. Sementara itu, atasan yang sama dengan murah hati memberikan pinjaman kepada rekan kerja sahabat saya untuk membeli mobil baru -yang jumlahnya sama sekali tidak sedikit- dan membebaskannya untuk mengembalikan kapan saja.

Sepanjang hari, sahabat saya cuma bisa menangis di cubicle-nya. Kecewa, jengkel, sedih, marah. Ketika ia bercerita, saya mendengarkan dalam diam. Bukan karena tidak mau berkomentar, tapi saya memilih berhati-hati dalam berucap supaya tidak menambah kekeruhan pikirannya.

Selama berhari-hari, saya berusaha menjadi pendengar yang baik, dan ternyata itu sama sekali tidak mudah. Berkali-kali saya ikut jengkel, sedih, bahkan sebal terhadap seorang atasan yang sama sekali tidak saya kenal, semata-mata karena saya bersimpati terhadap apa yang dialami sahabat saya. Sungguh tidak mudah duduk diam, memasang telinga, dan mendengarkan, tanpa membiarkan hati ini turut memberi penilaian, yang ujung-ujungnya ‘mengharuskan’ saya untuk berpihak. ‘Memilih’ salah satu: sahabat saya, atau sang atasan, yang sekali lagi, tidak saya kenal.

Setelah beberapa minggu, persoalan itu mereda, dan sahabat saya melunak. Tidak terlalu sering lagi meluapkan kekesalan, meski sekali-dua ia masih mengeluh, kerap merasa diperlakukan tidak adil. Saya pun menyadari satu hal: ketika ia mulai berhenti bercerita, hati saya ikut melunak. Iba yang saya rasakan ketika bertemu dengannya mulai memudar. Bukan karena saya tidak bersimpati lagi padanya, namun karena penilaian saya turut melambat seiring berkurangnya frekuensi curhat. Rasa kesal yang sering muncul setiap mendengar cerita-ceritanya juga luntur karena topik itu mulai jarang disebut-sebut lagi.

Dan saya berpikir, betapa tidak mudah menjadi pendengar yang baik –hanya mendengar, tanpa menilai— dan tidak terkontaminasi oleh berbagai persepsi dan pemikiran yang ribut simpang-siur di dalam benak. Betapa tidak mudah menempatkan hati pada posisi netral ketika kita berhadapan dengan situasi yang melibatkan orang-orang terdekat yang disayangi tanpa terpancing untuk ikut menilai dan menjatuhkan penghakiman.

Betapa tidak mudah menerima sebuah kasus sebagai kasus, sebuah situasi sebagai situasi, dan sebuah kondisi sebagai kondisi, apa adanya, tanpa terjebak untuk menjadikannya masalah dengan berbagai penilaian dan observasi yang secara otomatis dirancang oleh segumpal benda bernama otak ini.

Sungguh, sama sekali tidak mudah. Padahal, itu hanya sebatas perkara ‘meladeni-teman-curhat’, dimana kasus yang dicurhatkan sendiri sering kali tidak ada sangkut-pautnya dengan kita sebagai teman atau pendengar. Boro-boro melibatkan kita, lha wong kenal dengan objek curhatnya aja nggak.

Itu baru satu.

Masih ada yang jauh lebih sulit, seperti menerima berbagai hal tidak enak yang terjadi dalam hidup apa adanya, sebagai ‘jatah’ yang memang harus kita jalani, tanpa berusaha keras mengubahnya. Melapangkan hati untuk menyambutnya dengan ikhlas, tatkala ia bertentangan dengan ekspektasi dan konsep ideal yang selama ini kita genggam erat.

Saya, termasuk yang masih sering (sekali) bergumul dengan hal satu ini. Saya sulit menerima keadaan yang berseberangan dengan ekspektasi, keinginan dan persepsi ideal saya. Saya tidak mudah menerima berbagai kejadian tidak enak (yang sebetulnya hanya sebuah kondisi, yang bertransformasi menjadi masalah karena saya tidak menyukainya) sebagai sesuatu yang ‘memang sudah jatah saya’, atau bahasa religiusnya: takdir.

Saya tidak mudah merangkul berbagai perasaan tidak nyaman yang berkecamuk tatkala situasi berubah pelik, dan acap kali saya berusaha menyingkirkan perasaan-perasaan tersebut, atau menempuh jalan pintas dengan mengambil sikap cuek, semata-mata karena saya tidak ingin terganggu dengan kerikil-kerikil itu.

Persoalan selesai? Boro-boro.

Yang ada, batu-batu yang awalnya saya anggap kerikil kecil, berubah menjadi timbunan yang terus menggunduk dan membesar. Menjadi bukit, bahkan gunung masalah. Dan akhirnya, setelah babak belur berusaha menghancurkan gunung, saya menyerah, lalu mendesah, “Mungkin memang sudah jatah saya” – yang sering kali sudah terlambat. Bukan karena masalahnya tidak bisa lagi dibereskan, namun karena sudah terlalu banyak luka di tubuh saya sehingga perlu waktu dan energi yang tidak sedikit untuk memulihkannya.

Ikhlas. Betapa sering saya mendengarnya. Betapa sering saya mengira telah memahaminya. Betapa sering saya harus kembali ke titik nol dan mengangkat tangan. Melakukan gencatan senjata dan mengaku kalah. Pasrah. Bahwa saya memang tidak paham apa-apa. Bahwa semua pengetahuan yang tersembunyi di balik tempurung kepala ini tidak cukup untuk membuat saya menjadi manusia yang ikhlas.

Jatah. Betapa sering saya mendengarnya, membacanya, bahkan menuliskannya. Kenyataannya, ketika ia hadir tanpa bisa dielakkan, saya tetap kelimpungan dan bergulat untuk sekadar ‘lari’ darinya. Berusaha mati-matian mengubahnya, tanpa mau tahu bahwa seperti cuaca, ada hal-hal dalam hidup yang tercipta hanya untuk diterima dan dipetik pelajarannya. Bukan digeluti, bukan digumuli.

Lalu, untuk apa saya menuliskan ini? Buat apa saya ‘membuka isi perut’ di wadah yang bisa dibaca semua orang seperti ini?

Alasan pertama, karena menulis, bagi saya, adalah terapi. Dan mengungkapkan isi hati melalui tulisan adalah upaya saya untuk jujur terhadap diri sendiri – untuk mengenal diri dengan lebih mendalam.

Meski terkadang kejujuran bisa menyakitkan, saya percaya tidak ada yang lebih penting dari kejujuran. Seorang sahabat pernah berkata, ada hal-hal yang tidak dapat diingkari dalam hidup, namun kita selalu bisa memilih untuk jujur. Dan rasa sakit yang timbul dari kejujuran tidak akan lebih fatal dari luka yang disebabkan ketidakjujuran.

Alasan kedua, karena melalui tulisan ini, saya ingin berkata kepada seseorang –seandainya ia mampir ke sini dan menemukan entri ini— bahwa kini saya mengerti apa yang ia maksud dengan ‘jatah’. Kini saya paham. Dan kendati saya tetap ingin memelihara kejujuran dengan berkata terus terang bahwa ini bukan hal mudah, saya ingin dia tahu, saya bisa menerima.

Jatah, sebagai jatah. Sebuah momen dalam hidup yang hadir untuk diambil maknanya; bukan untuk disesali, bukan untuk dihindari.

Dan untuk itu, dari hati yang terdalam, saya berterimakasih.

🙂