Pelita Hati

Teman-teman tersayang,

Terima kasih untuk semalam, ketika kita duduk mengelilingi meja bundar dengan kursi-kursi kayu keras, mengerjakan segala aktivitas biasa –mengecek HP, menyelesaikan sisa pekerjaan yang terpaksa dibawa pulang, sampai mengecat kuku- sambil berceloteh panjang lebar. Tentang segala hal dalam hidup. Tentang rencana menikah tahun depan. Tentang pacar yang menjengkelkan. Tentang rekan kerja yang menyebalkan. Tentang kejadian-kejadian yang membuat naik darah.

Lalu, setelah puas mengutuk orang-orang yang kita salahkan membuat hidup jadi lebih sulit, kita berkhayal, alangkah asyiknya kalau tahun depan bisa berlibur bersama ke sebuah tempat indah nan eksotis. Pokoknya harus yang ada pantainya. Kemudian kita mulai menghitung-hitung, membuat perencanaan, dan membahas segala sesuatu.

Kita sepakat, tidak akan pergi naik pesawat. Mahal, Jendral. Kita akan menyewa kendaraan. Lalu, kita akan melakukan segala macam trik untuk menyiasati bawaaan yang segudang. Kenapa segudang? Karena kita akan membawa bahan makanan dan memasak sendiri selama liburan, supaya hemat. Dan kita tertawa-tawa membayangkan orang yang dipercaya membawa segala makanan itu kabur meninggalkan kita, menghilang, atau nyasar entah dimana, dan kita termangu kelaparan.

Ketika nominal disebutkan, kita beramai-ramai sepakat bahwa kita akan rajin menabung, mulai dari sekarang. Angka itu sama sekali tidak kecil, meski kita memilih liburan ala backpacker miskin. Jadi, tidak ada alternatif lain kecuali menabung dan mengencangkan ikat pinggang. Mulai detik ini. Demi sebuah liburan yang menyenangkan, tahun depan.

Kita menyimpan harapan itu dalam hati, rapi-rapi, serta berjanji pada diri sendiri untuk tak alpa menyisihkan uang setiap bulan. Kemudian kita kembali pada aktivitas masing-masing. Mengecek HP. Menyelesaikan sisa pekerjaan yang terpaksa dibawa pulang. Mengecat kuku. Sambil mengobrol panjang lebar tentang segala macam hal dalam hidup.

Saya tahu, seperti kalian pun (mungkin) tahu. Liburan itu tidak akan terwujud. Meski kita lebih suka membungkam mulut rapat-rapat dan tidak membicarakannya. Hidup memang tidak pernah menutup peluang terhadap berbagai mujizat dan keajaiban, namun, jika menilik realitas, kita semua sadar, kita takkan menjejakkan kaki ke pantai impian itu. Setidaknya, tidak tahun depan.

Saya memilih realistis dengan merangkul kenyataan bahwa serajin apa pun saya menabung dan berhemat dalam setahun, tabungan saya tidak akan cukup untuk membawa saya ke sana. Teman kita yang satu lagi, juga tidak akan mampu membiayai perjalanannya karena ia bahkan tidak punya tabungan sama sekali. Tidak bisa menabung, tepatnya. Setiap bulan, seluruh gajinya habis untuk hidup sehari-hari, menyekolahkan dua keponakan, dan diberikan kepada orang tuanya yang sudah berusia lanjut dan sakit-sakitan. Lalu, teman kita yang satu lagi, yang wajahnya selalu berhasil membuat tertawa meski batin sedang gundah, tahun depan akan menikah. Kita semua tahu, biaya pernikahan tidak sedikit. Dan adik kita tersayang, Batak Tembak Langsung yang jagoan membuat orang terpingkal-pingkal itu, berniat melanjutkan kuliah, mengambil S2. Itu juga butuh biaya yang tidak sedikit.

Lantas, kenapa kita repot-repot merencanakan sebuah perjalanan yang tidak akan terwujud?

Karena kita masih ingin punya mimpi. Karena impian memberi semangat pada diri yang mulai jenuh menghadapi dunia. Karena impian memberi bahan bakar untuk menyalakan api di hati. Untuk terus melangkah. Untuk terus berjalan. Meski kaki-kaki kita sudah penat dan lelah. Meski tubuh ini sudah menjerit-jerit minta time-out.

Teman-teman tersayang,

Terima kasih banyak untuk semalam, ketika untuk kesekian kalinya kita duduk bersama. Mengelilingi meja bundar dengan kursi-kursi kayu keras, ditemani sebungkus keripik dan air mineral. Mengobrolkan segala macam hal. Menertawakan hidup, karena cuma itu yang kita bisa. Karena terkadang hidup tidak menyisakan pilihan selain tertawa, meski itu tawa getir. Sepat.

Terima kasih untuk senantiasa berbagi. Tawa, tangis, amarah, bahagia, kecewa, takut, dan segala rasa lain yang silih berganti hadir dalam perjalanan panjang ini. Dan, kendati liburan impian kita nanti betul-betul tidak terwujud (kenapa ‘betul-betul’? Ya karena saya masih ingin menyimpan harapan akan datangnya mujizat :-D), saya ingin berterima kasih karena kalian telah menemani saya dalam perjalanan yang sesungguhnya. Perjalanan panjang bernama Kehidupan.

Terima kasih untuk setiap bungkus keripik singkong, snack keju, wafer cokelat, permen jeli, mie instan, bakwan sayur, sirup jeruk, dan teh manis dingin yang kita bagi bersama. Terima kasih untuk kedamaian yang selalu singgah setiap pandangan saya bertemu dengan wajah-wajah kalian, yang seringnya tampak kusut dan jemu, meski kalian –seperti juga saya— selalu berusaha menyamarkannya dengan senyuman. Betapa saya tahu, sesungguhnya saya tak pernah sendiri.

Terima kasih untuk kegembiraan yang timbul kala kita beriringan menyusuri pinggiran jalan yang berdebu, berpayung berdua-dua, menyetop angkot dan urunan seorang dua ribu, lalu berjalan ke mall terdekat di bawah siraman rintik gerimis dan hawa dingin sambil tak henti-hentinya bercanda dan terpingkal-pingkal.

Terima kasih untuk setiap curhat yang meyakinkan bahwa saya memang tidak perlu kesepian. Terima kasih untuk setiap kegilaan yang mengocok perut, yang selalu berhasil menghadirkan kehangatan dan cahaya ketika hidup sedang suram-suramnya. Meski kita tidak pernah tahu sampai kapan kita bisa bersama (sebelum salah satu dari kita akhirnya resign dari kantor dan pindah ke kos-kosan lain, misalnya, atau menikah dan tinggal bersama suami), saya ingin berterima kasih karena kalian selalu ada.

Meski saya tidak akan pernah mengucapkan ini secara langsung (karena kalian pasti akan terbahak-bahak dan meledek saya habis-habisan, huh!), saya ingin kalian tahu, kalian adalah pelita hati. Each one of you. Dan ketika memandang wajah kalian, satu persatu, saya tahu, kita tidak butuh banyak untuk bisa bahagia.

🙂

Ta’ Sobek-Sobek!

–pluk–

Saya meraba telinga kanan, lalu memungut kabel hitam tipis yang tergeletak di pangkuan. Kembali memasang earphone yang sudah berkali-kali jatuh sambil menghela napas panjang. Sejak tadi, hanya itu yang saya lakukan. Berulang-ulang menarik napas. Bukan karena earphone yang sudah uzur dan minta di-lem biru (lempar, beli baru), namun karena topik program radio yang sedang saya dengarkan sangat menguji kesabaran mental.

Penyesalan mulai merambat naik. SMS yang dikirimkan sahabat saya –narasumber tetap siaran radio gila (atau narasumber gila siaran radio tetap? Au ah. *wink-wink*)— tepat sebelum siaran dimulai sudah cukup memicu kecurigaan bahwa topik pagi ini akan mengusik kesejahteraan jiwa. Still, saya memasang earphone dan mencari-cari gelombang yang tak pernah berhasil saya hafal frekuensinya.

Topik yang menjadi objek pembahasan kali ini adalah tema yang sudah berkali-kali kami (saya dan sahabat) obrolkan dan selalu berhasil membuat saya cengar-cengir sebal, yakni mengenai penilaian yang tidak seimbang tentang uang, mentalitas ‘punya tapi miskin’, perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari (gila diskon, refleks menawar sampai ke satuan terkecil, penerapan ‘hemat pangkal kaya’ nan hiperbolis, perhitungan yang akurasinya sangat terjamin –kalau soal uang, ya. Soal lain mah belum cenchu– irit-pahit-medit, de-el-el. Yang belum tinggal bikin berhala dari duit aja)… sampai dampaknya terhadap ketenteraman batin.

Setiap kali pembahasan itu muncul, saya hanya mesam-mesem konyol dan membela diri sebisanya, atau balas nyeplos sekenanya. Tak pernah menganggapnya serius. Sampai sahabat saya nyeletuk bahwa ia berniat mengadakan seminar dimana pesertanya diharuskan membakar uang dan menggunting kartu diskon demi mengikis mentalitas ‘berduit tapi miskin’ yang meracuni pikiran seperti asap hitam knalpot bis kota –mengaburkan kejernihan pandang dan membuat sesak napas— saya masih mengira bahwa ia cuma bercanda. Main-main. Tidak sungguhan. Orang gila mana yang nekat membakar uang yang diperoleh dengan kerja keras? Emangnya duit turun dari langit?

Untung tak dapat diraih, malang tak da *…ah, sudahlah*. Ternyata, sahabat saya tidak bergurau. Bedanya, ia tidak benar-benar membuat seminar, melainkan mengangkat topik tersebut dalam pembahasan radio hari ini. Lengkap dengan latihan bakar-membakar, yang demi keamanan lingkungan, diganti dengan sobek-menyobek. Iya, uang. Bukan kertas bekas, bukan bungkus pisang goreng. Dan saya merasa ‘terjebak’.

Separuh otak saya langsung ribut menyuruh mematikan radio, namun untuk alasan yang tak pasti, saya malah terus mendengarkan. Setiap jeda iklan dan lagu, saya berulang kali tergoda menekan ‘switch off’ dan melanjutkan tidur, tapi sinkronisasi tidak berlaku pagi ini.

Dan terjadilah momen sialan bersejarah itu. Sahabat saya mengeluarkan selembar limapuluh ribuan (iya, uang. Bukan daun singkong) dan mendekatkannya pada microphone (eh, dideketin nggak sih? Pokoknya gitu lah). Bunyi sobekan yang terdengar –lambat dan jelas— nyaris mengubah saya menjadi psikopat.

Limapuluh ribu. D i s o b e k.

Dan masih banyak orang di luar sana yang nggak bisa makan.

Yang nggak mampu beli baju.

Yang nggak sanggup bayar uang sekolah.

Yang banting tulang jadi kuli demi mengais rupiah dan bisa mati setiap saat ketimpa beton.

Yang jualan koran di lampu merah saat panas terik cuma supaya bisa dapet sepuluh-duapuluh ribu.

Yang ngesot-ngesot mengemis di pinggir jalan.

Yang naik-turun ngamen di angkutan umum dengan resiko kelindes kontainer.

Limapuluh ribu. D i s o b e k.

Dan ia masih berani mengajukan ‘saran’ kepada pendengar untuk melakukan hal serupa. Tidak harus sama jumlahnya, boleh mencoba dengan nilai satu persen dari total gaji.

Tidak banyak, memang. Katakanlah gaji yang didapat satu juta, maka yang disobek ‘hanya’ sepuluh ribu rupiah.

Tapi kan, bok… TETEP AJA DUIT!!!

Siaran selesai tak lama kemudian, dan saya sungguh penasaran ingin melihat tampang para host yang agaknya tidak kalah shocked dengan latihan berbasis terapi itu. Saya meraih dompet dan melangkahkan kaki ke warung nasi untuk membeli sarapan. Tapi, sepanjang jalan, benak saya tak henti-hentinya bergemuruh. Entah kenapa. Saya kehilangan konsentrasi dan hanya berjalan menyeret kaki seperti orang bodoh. Untung nggak ketabrak truk.

Sekembalinya ke kosan, saya duduk di ruang tamu dan menyantap sarapan sambil terbengong-bengong. Seperti orang ‘hilang’. Pikiran saya menolak diajak berfokus, namun saya juga tak mampu mencermati kemana ia mengembara.

Mendadak, entah darimana datangnya, saya merasakan sesuatu ‘bergolak’ di dalam diri. Saya bahkan tidak sempat menelusuri sumbernya, karena ia muncul begitu saja tanpa terbendung. Campuran antara sengit, kesal, dan tidak rela. Ingatan tentang suara uang yang disobek semakin memicu refleks untuk mengambil pisau dapur dan memutilasi orang. Semakin mengingatnya, semakin saya membenci ‘adegan’ itu. Semakin saya bersumpah TIDAK AKAN PERNAH melakukan ketololan kegilaan serupa. No freaking way, orang Sunda bilang.

Namun, sebagaimana sinkronisasi tidak berlaku pagi ini, tangan saya justru memunculkan respon berkebalikan.

Cepat, tanpa berpikir, saya mengeluarkan dua lembar sepuluh ribuan dari dalam dompet. Kemudian merobeknya sekuat tenaga persis seperti perempuan yang baru patah hati menyerpih koleksi surat cintanya sampai potongan terkecil. Setelah sobekan-sobekan itu teronggok di atas meja –sekumpulan kertas yang kini tak lagi punya makna—barulah saya merasakan sensasi lain: dada saya sesak oleh luapan emosi. Bahkan tanpa saya tahu kenapa.

Amarah itu menggelegak. Seperti air mendidih yang siap meluber. Saya merasa perlu masuk ke dalam gua demi menetralisir emosi, atau saya akan mencekik makhluk hidup pertama yang saya temui. Saya merasakan kemarahan yang amat-sangat, entah pada siapa. Tanpa alasan spesifik.

Ketika wajah sahabat saya hadir dalam benak, percikan api itu seperti bertemu bensin. Stimulus yang cukup fatal. Saya betul-betul marah. I seriously wanted to murder him. Dan berhubung sahabat saya akan menjalani trip ke luar negeri dalam waktu dekat, saya sempat berpikir, “Bagus deh, sebaiknya emang gak ketemu-ketemu dulu… demi mencegah pertumpahan darah.”

Saya memandangi sobekan uang yang tertumpuk di meja, dan lagi-lagi menghela napas. Panjang dan lama itulah Coki-Coki .

Bo, d-u-a-p-u-l-u-h r-i-b-u. Kebuang begitu aja. Disobek-sobek pula. Ampunilah saya, Gusti nu Agung. Semoga nggak sampai kualat.

Singkat cerita, tak lama setelah saya kekenyangan memamah ransum, handphone berdering. Sumpah mati saya malas mengangkatnya begitu melihat nama si penelepon.

Entah berapa puluh menit saya habiskan untuk mencaci-maki marah-marah, nggerundel nggak jelas, bahkan berkata keras-keras: “KETERLALUAN, IH!”

Saya tahu, tidak adil berkata seperti itu kepada sahabat saya, karena toh tindakan menyobek-nyobek uang adalah keputusan saya sendiri. Tanggung jawab saya sepenuhnya. Lha, nggak ada yang nyuruh dan nggak ada yang maksa, kok. Tapiii… tetap saja, saya perlu menyalahkan orang lain supaya bisa merasa lebih baik.

*Sounds familiar? ;-D*

Ia tidak marah, malah tertawa-tawa. Dan membuat saya semakin jengkel. Menit-menit berikutnya saya habiskan dengan berulangkali menarik napas dan mengomel. Sampai akhirnya saya capek sendiri. Sempat muncul perasaan ngilu yang awalnya saya kira akan tumpah keluar. Saya pikir saya akan menangis. Dan ia bilang, tidak apa-apa. Saya boleh menangis. Tapi, ternyata nyeri itu hanya sesaat. Luapan energi yang terasa mencengkeram tiba-tiba melonggar, dan saya kembali termangu-mangu. Masih sambil mengoceh, tapi tidak seintens tadi. Pegel, bok.

Why should I listen to you?”

Meski terdengar kasar, dalam kondisi seperti ini saya benar-benar tidak ingin menahan apa pun. Saya membiarkan diri saya berceloteh sepuasnya, mengeluarkan apa saja yang bergolak di dalam tanpa merasa perlu menyensornya.

You don’t have to. Just experience it,” ia menjawab kalem.

Perlahan, emosi saya menyurut. Yang tertinggal kini hanya lelah. Seperti orang habis berolahraga… atau dehidrasi? Orang yang baru selesai berolahraga seharusnya merasa segar. Saya hanya merasa letih. Seperti ada tenaga yang hilang dari diri saya. Namun gejolak itu, angkara murka *halah* yang meletup-letup sejak mendengarkan siaran, mulai kehilangan daya genggamnya. Mengendur. Hanya menyisakan penat, yang entah kenapa, terasa… benar. Nyebelin, nyakitin, tapi benar. Seakan-akan memang itulah ‘jatah’ saya. Pengalaman yang harus saya lalui dan reguk esensinya, meski rasanya jauh dari enak.

Dan kemarahan itu… yang bahkan tak saya mengerti karena timbul begitu saja tanpa analisa logis… yang menyembul dan ‘membakar’ saya… rasanya kini mulai saya pahami.

Perasaan itu muncul karena saya merasa keyakinan saya terenggut. Diambil secara paksa oleh tangan yang tak terlihat. Apa yang saya anggap benar dari hasil observasi, studi kasus dan pengalaman hidup bertahun-tahun –okay, okaaay, sebagai hasil pembenaran diri— seperti terampas begitu saja dan saya tak kuasa mencegahnya. Kebenaran semu yang saya rengkuh erat-erat itu direnggut oleh siaran sembilanpuluh menit dan dua lembar sepuluh ribuan yang kini teronggok dalam serpihan-serpihan kecil. Tak peduli berapa nominalnya, yang saya tahu hanya, rasa ‘sakit’ itu benar-benar nyata. Dan saya terkesima sendiri. Tidak menyangka emosi saya bisa bergolak sedahsyat itu hanya karena uang duapuluh ribu.

Sebelum mengecam saya sebagai makhluk pelit nan medit, mari saya jelaskan sesuatu. Saya bukan orang yang anti mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak memberi timbal balik kepada saya. Dalam kondisi-kondisi tertentu, saya sama sekali tidak keberatan mengeluarkan uang yang nominalnya bahkan jauh lebih besar dari yang baru saya sobek, untuk sesuatu yang tidak mendatangkan keuntungan apa pun. Sebagai umat Kristiani yang baik, saya tidak pernah lupa menyisihkan sepersepuluh (sepuluh persen lho, bukan satu persen) dari penghasilan saya untuk diberikan kepada Gereja. Bukan sekali-dua juga saya mentraktir office boy (ketika masih jadi pekerja kantoran dulu), memberi sembako, membelikan makanan untuk anak-anak jalanan, menyumbang untuk berbagai kegiatan sosial, dan sebagainya.

*Stop sebentar. Sebelum saya melanjutkan, tolong pahami bahwa saya menulis hal-hal di atas bukan untuk pamer budi. Saya hanya menjelaskan apa yang saya rasa perlu. Don’t get me wrong, K?*

Saya tidak punya masalah dengan itu semua. Bahkan, ketika saya terpaksa ‘kehilangan’ sejumlah uang karena kebodohan dan kecerobohan saya sendiri –seperti dikibulin supir taksi, termakan rayuan investasi berbasis agama yang ternyata penipuan, ikut-ikutan main saham dan rugi banyak, atau kalap belanja sampai uang ludes untuk hal-hal nggak penting— saya tidak pernah berlarut dalam penyesalan. Bagi saya, selalu ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari setiap peristiwa. Kebodohan dan kecerobohan akan menjadikan saya lebih mawas diri dan berhati-hati dalam mengelola uang. Mempersembahkan sejumlah uang ke tempat ibadah adalah sesuatu yang sudah seyogianya dilakukan, karena itu tertulis dalam buku panduan sejuta umat kitab suci. Berderma kepada mereka yang membutuhkan senantiasa membuat hidup terasa lebih berguna mendatangkan kepuasan batin yang tak terukur nilainya. Setidaknya, saya tahu apa yang saya keluarkan bermanfaat bagi orang lain.

Tapi… menyobek-nyobek uang… meski nilainya ‘hanya’ duapuluh ribu…

…seperti mengobok-ngobok kakus dengan tangan telanjang.

Pergumulan batin saya *tsah!* tidak berhenti sampai di situ. Prinsip ideal tentang uang yang sudah terkonstruksi di benak ini -dan entah sudah berapa lapis karatnya akibat dibiarkan berkerak bertahun-tahun- telah menjelma menjadi sesuatu yang saya rangkul sebagai kebenaran. Setidaknya, untuk diri saya sendiri. Saya demikian percaya diri dan selalu memandang prinsip itu sebagai pilar kokoh penopang kelangsungan hidup, yang tanpanya, separuh diri saya tiada. Dan kini, pilar itu luluh sudah. Bangunan kecil saya terguncang, siap runtuh.

Lama setelah percakapan kami berakhir, saya masih termenung. Saya meraih serpihan-serpihan uang itu. Sahabat saya berpesan agar sobekan itu tidak dibuang, supaya saya bisa melihatnya sesekali dan mengingat pelajaran berharga di balik ‘latihan’ itu. Bahwa apa yang saya anggap sebagai barang berharga sesungguhnya tak lebih dari selembar kertas. Benda itu tidak memenjarakan saya. Penilaian atasnyalah yang menjadikan saya terpenjara. Harapan dan ketakutan yang tersimpan di balik pemahaman yang keliru telah menciptakan begitu banyak konflik dan stres di dalam batin.

Saya meletakkan sobekan-sobekan itu di atas tempat tidur dan terpekur menatapinya. Lama. Kemudian, saya mengeluarkan handphone dan memotretnya.

Lalu, bagaikan disiram air dingin di siang bolong (atau kesamber petir di tengah lapangan – kira-kira efeknya sama, lah), saya terperangah. Kesadaran itu menyerbu benak saya bagai sekumpulan prajurit yang mengendap-endap; menyelinap dan menunggu aba-aba untuk menyerang. Untuk memancingnya keluar hanya dibutuhkan sepenggal isyarat… atau seberkas sinar dari handphone berkamera yang saya genggam.

Kesadaran itu muncul berupa pencerahan. Melalui duapuluh ribu yang hancur tersobek-sobek, saya berjumpa dengan sisi lain dalam diri saya. Bagian dari Jenny yang nyata, ada, meski tak pernah saya sadari keberadaannya. Saya menemukan berlapis-lapis lensa yang membatasi jarak pandang dan cara saya melihat hidup. Saya menemukan keraguan, kekhawatiran, ketakutan, dan harapan yang terwujud dalam kerja keras, dengan label mengejar impian. Berbarengan dengan padamnya lampu kamera; bersamaan dengan munculnya gambar pada layar handphone, saya sadar… saya adalah sebatang bonsai yang mengira dirinya pohon raksasa. Saya adalah burung kecil yang terlalu takut terbang ke angkasa dan mematuk orang yang membukakan pintu kandangnya.

Masih ‘shocked’ dengan perubahan emosi dan reaksi hati yang bagaikan rollercoaster, saya memilih untuk duduk diam. Mengamati apa yang timbul ke permukaan. Hanya merasakan, sepenuhnya. Tanpa menilai.

Lalu, datanglah rasa terakhir, yang tak saya sangka akan muncul. Tipis, namun perlahan menguat seiring ‘pulih’nya kesadaran saya. Memenuhi ruang pikiran yang masih terlampau peka untuk mencerna apa yang terjadi.

Rasa itu bernama Bangga dan Lega.

Bukan karena merasa hebat. Bukan karena merasa lebih. Namun karena saya merasa ‘menang’. Bukan atas siapa-siapa, melainkan atas berbagai konflik yang telah lama membelenggu batin tanpa saya sadari.

Dalam serpihan-serpihan kertas itu, saya bersua dengan separuh diri saya yang lain. Jenny yang berani. Bukan berani merobek uang, namun berani menghadapi monster yang bersemayam di dalam diri, menerimanya apa adanya, dan –akhirnya- berdamai dengannya. Menyongsong langit biru yang selama ini hanya mampu saya pandangi dari balik sangkar meski pintunya telah lama terbuka. Menjelang kebebasan yang terhampar di depan mata sepenuh hati; tanpa mempertanyakannya, tanpa bergumul. Memandang hidup bukan lagi sebagai arena gulat dimana saya bertempur dengan harapan, keinginan dan ketakutan, melainkan taman bermain dengan aneka wahana yang terkadang menguji nyali, membuat tertawa gembira, merengut sebal, berdebar-debar, dan banyak lagi. Di tengah rasa yang silih berganti hadir –entah itu mencekam, menghanyutkan, menyenangkan, membuat ketagihan— saya sadar bahwa saya hanya sedang bermain.

Dan akhirnya, saya tersadar. Keberanian sejati mungkin bukanlah keberanian untuk membela apa yang kita pandang benar, menjunjungnya tinggi-tinggi dan melindas apa pun yang menghalangi jalan kita. Bukan juga keberanian untuk berhadapan dengan rasa takut tanpa tergoda mundur. Bukan pula keberanian untuk berdiri gagah menentang kelaliman dan menyongsong maut di medan perang.

Keberanian sejati, mungkin, adalah keberanian untuk menyadari penjara yang mengungkung kita selama ini; melihat jeruji-jerujinya sebagaimana adanya -bukan kamar emas beranjang empuk tempat sepiring makanan disuguhkan setiap hari, melainkan pasung yang membelenggu kemerdekaan batin-… lalu mengambil keputusan dan bertindak membebaskan diri – apa pun wujud kebebasan itu. Meski dunia mencela kita sebagai idiot separuh gila.

🙂

*Entri ini saya dedikasikan untuk Pawang Sobek tercanggih sepanjang masa. Selamat, Anda berhasil! Tapi, ingatlaaah… selama Partai Kaypang belum resmi dibubarkan, mawas diri biar nggak ketularan hendaknya perlu. ;-D

Rahasia

Siang tadi, Nak, aku tersenyum. Mengintip wajah lelapmu di balik selimut. Menyimak bibir mungilmu yang membentuk sebuah lengkungan lembut. Menebak-nebak, mimpi apa yang membuatmu tampak begitu damai.

Lalu, aku teringat sesuatu. Tepatnya, seseorang. Tidak, banyak orang.

Ingatanku melayang pada mereka, yang menganggapmu makhluk malang karena harus membagi cinta pada ayah dan ibu yang telah berseberangan jalan selagi kau masih terlalu muda untuk mengerti makna perpisahan. Mereka yang menyangka kau telah kehilangan begitu banyak kesenangan saat kanak-kanak seusiamu sedang rakus-rakusnya mereguk kegembiraan. Mereka yang mengira hidupmu tak lagi lengkap karena kau tidak seperti anak-anak mereka yang orangtuanya tinggal di bawah atap yang sama dan tidur dalam kamar yang sama, meski kita tak tahu apa yang terjadi di balik ruangan berdinding empat itu. Mereka yang menatapmu dengan sorot iba dan menggeleng prihatin akan masa depanmu yang (katanya) menggantung suram seperti langit mendung pukul enam.

Mereka yang mengira… ah, sulit aku mengatakannya, Nak… mereka yang mengira engkau terluka, sengsara, pahit, dan tidak bahagia.

Beramai-ramai mereka berdoa untuk kebahagiaanmu. Mungkin karena mereka sungguh peduli. Mungkin juga karena ego mereka terusik tatkala melihatmu duduk dengan senyum terentang. Dan mereka tak putus-putusnya berceloteh tentang cinta, Tuhan, perpisahan, dan kebenaran. Yang belum mereka ocehkan mungkin cuma akhirat, karena mereka belum pernah mati, meski kalau kutilik dari cara mereka berbicara, separuh dari mereka barangkali sudah hidup di neraka.

Mari kubisikkan sesuatu padamu, Nak.

Kebahagiaan bukan substansi tanpa wujud yang melayang-layang di udara -menunggu diraih- sementara jutaan orang beriak-riak di bawahnya seperti cacing kena garam, menggapai putus asa sekadar untuk mencicipinya barang sekelumit. Kebahagiaan, Nak, adalah apa yang kutemukan di wajahmu ketika kau berlarian tak tentu arah sambil menari-nari dan berlompatan. Kebahagiaan adalah binar yang kutangkap di matamu saat kau berceloteh panjang lebar dalam bahasa yang hanya kau mengerti sendiri. Dan kebahagiaan itu, Nak, didamba begitu banyak orang, bahkan oleh mereka yang menyangka dirinya tahu arti bahagia.

Kebahagiaan, Nak, adalah sesuatu yang membuat banyak orang rela kehilangan jam-jam tidur berharga, memperlakukan tubuh bak mesin yang dinamonya bisa diputar hingga melampaui limit dan mati-matian memeras segumpal sel di balik jidat demi menghasilkan lebih banyak daya untuk bekerja lebih keras, lebih giat, lebih rajin, yang dikiranya akan mendatangkan lebih banyak uang, lebih banyak stempel sukses, dan lebih banyak kesenangan. Lalu mereka duduk, menghela napas panjang, kecapaian, dan menyangka telah mencapai. Tersenyum hanya untuk sesaat, karena tak ada cukup ruang untuk jeda di sini. Terlalu banyak yang harus diraih. Terlalu banyak yang harus dikejar. Dan mereka mengira, semakin banyak mendapat, semakin mereka bahagia.

Mari kubisikkan sesuatu padamu, Nak. Kebahagiaan adalah pemandangan indah yang kulihat kemarin sore, saat kita berbaring malas di sofa -engkau di sampingku sambil memamah keripik- menonton kartun di televisi dan membiarkan angin menidurkan kita perlahan. Senyap dan lama.

Kebenaran, Nak, adalah sesuatu yang dibela habis-habisan oleh begitu banyak orang; tak peduli ia otentik atau bekas pakai, absolut atau usang belaka. Mereka mengusungnya dengan jumawa, membawanya bertempur dengan semangat patriotik, menyerang ranah pribadi orang lain demi menjejalkan sepotong kebenaran versi sendiri yang sudah berjamur, lalu menyebut diri pemberani – tanpa sadar bahwa kebenaran hakiki tak pernah membutuhkan pembela. Barangkali, dalam hati mereka menganggap diri titisan orang suci atau martir, meski era Muhammad dan Yesus sudah lama berlalu.

Sini kuberitahu, Nak. Kebenaran versiku –dan mungkin versimu juga, kelak— tidak perlu pembela. Karena apa yang benar bagiku belum tentu benar bagi yang lain. Dan yang otentik bagimu nanti, juga belum tentu sejalan dengan yang lain.

Mau tahu satu rahasia lagi?

Ini antara kita saja. Jangan bilang-bilang.

Surga bagiku, Nak, bukan kubah mahabesar dengan jalan-jalan emas yang akan kita masuki sesudah mangkat. Bukan juga taman penuh bunga tempat bermain kerub yang akan kita jumpai setelah perjalanan ini tiba di ujung waktunya. Surga adalah bercanda denganmu dan mendengarmu tertawa keras-keras. Surga adalah memandangimu menyuap roti cokelat ke mulut, mengunyahnya lahap-lahap, lalu berkata minta tambah. Surga adalah ketika kau memanjat ke pangkuanku dan bersandar di sana, sementara aku menciumi rambut ikal halusmu yang lembap dan bau wangi. Surga adalah melihatmu tertidur dan menyelimutimu rapat-rapat agar hangat hingga pagi menjelang.

Surga adalah matahari kecil yang bersinar benderang di wajahmu ketika kau menggandengku untuk minta dipakaikan celana pendek. Surga adalah jari-jarimu yang menggenggam tanganku saat kita menyusuri jalan setapak di samping rumah. Surga adalah larimu yang secepat angin ketika bermain di kolam pasir yang banyak semut. Surga adalah teriakan ributmu yang memanggilku untuk melihat cacing di selokan. Surga adalah kepalamu yang menyuruk perlahan di antara lenganku ketika kau berbaring sambil minta didekap.

Surga adalah senyummu, gelakmu, cahaya di matamu. Aku bahkan tak perlu mati untuk pergi ke sana.

*Sebuah persembahan untuk malaikat cilik yang matanya selalu tertawa, juga untuk kedua orang tuanya, yang dengan sepenuh hati ingin saya acungi dua jempol. Tabik! 🙂

Belajar dari Teletubbies

Satu senyuman. Satu sentuhan. Satu pelukan.

Pernah dengar bahwa pelukan adalah nutrisi bagi jiwa?

Belum pernah?

Sekarang saya bilang lagi: pelukan adalah nutrisi jiwa.

Iya, benar.

Tidak percaya? Coba saja.

Kamu pikir, apa sebabnya Tinky-Winky, Dipsy, Lala, dan Poo selalu tersenyum?

Karena meski terhalang perut gendut dan kepala sebesar baskom, mereka tak pernah alpa berpelukan.

Karena perbedaan warna tak membuat mereka absen menyayangi.

Karena ukuran tak menghalangi mereka untuk berbagi cinta, meski ditontoni orang sejagat raya.

Pelukan adalah nutrisi jiwa. Suplemen hati yang tak perlu dibeli di toko obat.

Tidak percaya?

Kamu pikir, apa sebabnya Teletubbies tak pernah menangis?

Ah, sekarang kamu bilang saya konyol. Teletubbies hanya tokoh fiksi anak-anak.

Tapi, toh mereka tersenyum.

🙂

Jadi, ayo, ayo, belajar dari Teletubbies.

Satu senyuman setiap hari. Satu sentuhan. Satu pelukan.

Cairkan penat di hati. Semaikan cinta. Dan rayakan kehidupan.