?

Seorang anak bertanya kepada Tuhan:

Engkau itu sebenarnya siapa?

Tuhan balas bertanya:

Menurutmu, siapa aku?

Anak itu terdiam, lama. Matanya mencari. Tapi yang ada hanya sosok familiar yang dijumpainya setiap hari sebelum ia berani menanyakan hal paling muskil di dunia.

Sosok itu menemuinya tiap malam saat ia duduk bersimpuh dengan tangan terkatup. Sosok itu mengabulkan doa-doanya dan mewujudkan mukjizat dengan cara yang tak terselami akal. Sosok itu berada di sana, mendengar semua keluhan dan ocehnya yang disampaikan dalam larik-larik kalimat bernama doa. Namun ia masih merasa asing. Hatinya kerap tak puas, sibuk mendamba, entah apa.

Mempertanyakan keberadaan Tuhan yang hakiki sama saja menyangkalnya. Ia tahu itu. Sejak kecil ia telah diajari untuk tidak mendebatkan Tuhan yang mahakuasa. Tuhan itu ada untuk disembah. Untuk diagungkan. Untuk menerima dan menjawab doa. Sejak belum fasih bicara ia telah mendengar itu. Sejak belum lancar berjalan ia telah duduk dalam kumpulan orang-orang suci; mendengarkan kidung yang tak dipahaminya, berdiri tertatih mencoba mencerna dengan akal secuil. Tahun-tahun berlalu, tak pernah sedikitpun ia sangsi dirinya akan masuk surga begitu habis masa kontraknya dengan dunia. Kavling itu telah dipatok atas namanya; orang saleh yang taat beribadah dan tak pernah melenceng dari ajaran agama. Tak sekejap pun ia meragu.

Namun, jiwanya tak pernah berhenti mencari. Sesuatu, entah apa. Ada sepotong rindu yang terus mengusik, mengingatkan bahwa pencarian itu belum selesai, meski ia tak tahu apa yang perlu ditemukan. Karena itu, malam ini diberanikannya dirinya. Mengangkat kepala yang selalu tertunduk. Melepaskan jemari yang selalu bertaut. Berdiri tegak bagai menantang. Menatap sosok dalam balutan putih yang bergeming dalam segala kemahakuasaannya:

Engkau itu sebenarnya siapa?

Sosok itu balas bertanya:

Menurutmu, siapa aku?

Lelah sudah ia. Murka, ditudingnya sosok itu. Sosok yang bertahun-tahun dipujanya. Disembahnya tanpa pertentangan. Diagungkannya tanpa penat dan bosan, meski hatinya tak pernah berhenti mendamba.

Apa susahnya bagimu untuk menjawab?!

Sang sosok tersenyum.

Kau tak memerlukan jawaban. Yang kau butuhkan hanya terus bertanya. Dan lebih banyak bertanya.

Kali ini, gantian si anak bergeming. Matanya menyala. Namun riak hatinya tak sedahsyat tadi. Setidaknya, sosok sialan di depannya sudah bicara lebih dari satu kalimat. Itu sebuah kemajuan.

Apa maksudmu? Jelaskan. Buat aku mengerti.

Belum lagi kalimatnya usai, sosok itu sudah menghilang. Lenyap tanpa bekas bagai ditelan kabut tak berwujud. Menyisakan kebingungan yang kian lama kian hampa.

Si anak menatap nanar. Tak sanggup terisak, apalagi terbahak. Hanya mampu diam, mencoba mencerna penjelasan sepotong dari sosok yang sejak kecil dipanggilnya Tuhan. Yang disembahnya tanpa syarat. Yang diagungkannya tanpa prasangka. Malam ini, seluruh keyakinannya terguncang. Tuhan yang sudah disapanya sejak lidahnya belum fasih berucap bahkan tak sudi diajak berkenalan.

Malam-malam berikutnya, ia langsung naik ke tempat tidur. Tanpa merasa perlu bersimpuh dan mengatupkan tangan. Selimut langsung ditarik menutupi dagu. Mata terpejam rapat. Tak ada lagi larik-larik kalimat bernama doa. Tak terdengar lagi lantunan kidung merdu bernafaskan ibadah. Lantainya terlalu dingin untuk dijadikan alas lutut telanjang. Malam terlalu singkat untuk dihabiskan dengan celoteh-celoteh panjang. Dan kebisuan itu terlalu menyakitkan untuk dilewati sendirian. Yang tersisa hanya kegelapan dan sunyi. Hingga pagi menjelang.

Ia tak menyesal.

Mungkin memang lebih baik begitu. Mungkin teka-teki itu memang tak butuh pemecah. Mungkin pertanyaannya memang tak berjodoh dengan jawaban.

Mungkin yang perlu dilakukannya hanya terus bertanya. Dan lebih banyak bertanya. Sampai tiba waktunya nanti.

Entah kapan.

Bukan Cuma Cinta

Sunyi ini merebak. Kita berhadapan dalam hening. Perlahan, kurasakan damai yang indah ketika tatapan kita bersua.

Keindahan ini tak tertakar bahasa dan tak terjabar kata, mungkin kau merasakan hal yang sama.

Saat aku mendengarmu bicara dan mendadak yang ada hanya kita, karena suara-suara lain tak mampu meredam percakapan jiwa ini.

Saat kita saling menyimak dan kusadar, lewat kamu, aku memperoleh hadiah terindah di dunia.

Saat aku merasa bahagia sekaligus takut kehilangan, sampai akhirnya aku memilih untuk tak menggenggam, hanya mengamati.

Saat kita berdekapan dan kutemukan diriku dalam detak jantungmu; kala pelukmu mencairkan taring-taring es di hati dan aku luluh bersamanya. Jiwa kita menari, dan seketika kutahu kamu dan aku adalah satu.

Dan meski akalku tak sanggup mencerna mengapa kau terbahak tanpa alasan, mengapa kau terjungkir tanpa sebab, mengapa kau terpaku menatapiku tanpa kedip, mengapa kau mengerang seolah kesakitan, mengapa kau bergaya bak Kung Fu Master (dan malah mengingatkanku pada film anak-anak dengan tokoh panda gendut tukang makan), mengapa kau membuat ekspresi lucu dan nyaris membunuhku karena kebanyakan tertawa, entah bagaimana, aku bisa memahamimu.

Kau tahu, separuh otakku memberi sinyal untuk kabur mendapatimu bertingkah aneh, melotot, bermuka lucu, bersenandung tanpa lirik, berkumur-kumur tanpa arti. Namun jiwaku ingin mendekapmu erat karena di sana kudapati kesempurnaan yang tak butuh skenario.

Aku begitu lelah mencari Tuhan, sampai kurela menyerahkan nyawa hanya untuk bertemu denganNya barang semenit-dua. Sekadar bersua dan menyapa, memberitahuNya aku kangen Dia, meski setelah itu aku mati. Akan kuberikan semua, tanpa batas, tanpa syarat, karena jiwaku telah penat mencari.

Aku tahu Dia selalu menjawab doa. Namun tak pernah kusangka Dia punya begitu banyak rupa. Tak pernah sekali pun terbersit, barangkali sebenarnya Dia tak sejauh yang kukira. Tak pernah aku tergoda berpikir, mungkin Dia begitu nyata, hanya aku yang tak menyadarinya, karena batin ini terlalu lama terkungkung dalam cangkang.

Aku tahu Dia selalu menjawab doa. Namun yang terpampang dalam benakku adalah Dia hadir bagaikan kembang api; semarak, penuh warna, meletup gegap-gempita.

Kau tahu, seperti apa rasanya ketika Dia betul-betul menjumpaiku?

Mercon yang meledak di jempol kaki mungkin lebih pas untuk menggambarkannya, ketimbang kembang api warna-warni nan meriah.

Tak perlu banyak suara. Cukup sekali letus, dan kau tahu telah mengalaminya, lebih dari apa pun yang dapat diungkap panca indera, melampaui apa yang sanggup diterangkan logika.

Kau tahu, mati-matian aku mencari kosakata untuk merangkai pengalaman ini, dan akhirnya aku menyerah. Kalimat panjang tak lagi banyak gunanya, dan otakku sudah kehabisan energi untuk memilah kata-kata berpuisi.

Aku berhenti mencoba. Yang ingin kulakukan kini hanya merengkuhnya erat, selama aku masih diijinkan. Mereguknya sepenuh jiwa, karena aku telah lama kehausan. Kata-kata tak lagi cukup, dan barangkali memang tak perlu.

Kau tahu apa yang paling ingin kusimpan dalam celengan memoriku?

Damai tak terperi yang meringkusku saat pandangan kita bertemu. Bahagia yang memberangus saat jiwa kita bercengkerama dan hatiku tak lagi tandus. Detak jantung dan irama nafasmu saat kita berdekapan dan semuanya menjadi sakral.

Selamanya aku tak ingin melupakan tatap matamu. Karena di dalamnya aku bersua dengan Diri. Karena di dalamnya kutahu aku adalah kamu, dan kamu adalah aku. Karena di dalamnya kudapati Aku yang sejati. Aku yang tak cuma nama. Aku yang tak hanya statistik. Aku yang tak terperangkap identitas.

Entah pengalaman ini datang atau pergi, tergenggam atau tergelincir, nyata saat ini atau basi esok pagi, entah ia menetap atau sekadar mampir, tiga puluh menit menyibak diri bersamamu adalah momen yang ingin kuawetkan selamanya.

Karena di sana aku menemukan Tuhan.

Dan kuyakin, ini bukan cuma cinta.

Ini surga.

*Inspired by Dyad experiencesebuah momen yang akan selalu terangkul sepenuh hati.

**Untuk semua partner Dyad saya, terima kasih atas keindahan dan kegilaan yang kita bagi dalam hening, ketika kehadiran kalian menolong saya untuk menyibak lapisan demi lapisan terdalam diri. Semoga tulisan ini dapat memberi arti pada momen ajaib yang kita alami bersama, meski ia tak terukur kata. 🙂

Untuk Kamu, Han :-)

Terima kasih banyak…

… untuk setiap momen, setiap detik, yang selalu membuat saya takjub dan tak habis-habisnya jatuh hati pada kehidupan.

… untuk setiap kesempatan (dan pilihan) untuk bertumbuh menjadi lebih baik setiap harinya.

… untuk peristiwa-peristiwa ajaib yang berulangkali membuat saya terbengong-bengong karena tak pernah menyangka akan bisa mengalaminya.

… untuk setiap manis dan pahit yang silih berganti hadir dalam hidup ini, dan membuatnya semakin kaya makna dan warna — meskipun ketika hal-hal tak enak terjadi, saya kerap merasa frustrasi dan menyumpah-nyumpah teu puguh. 😉

… untuk tidak pernah jemu mengingatkan bahwa ada begitu banyak hal dalam hidup yang patut disyukuri, jauh melebihi apa pun.

… untuk setiap tarikan nafas, udara segar pagi, sinar mentari, semburat langit senja, aroma tanah, air putih sejuk, binar mata kanak-kanak, humor garing yang sungguh tak penting, dan tertawa sampai sakit perut, yang menjadikan setiap hari layak dirayakan dengan penuh syukur.

… untuk menjadi Sahabat superkeren yang selalu bisa diandalkan setiap saat dan selalu bersedia dihubungi kapan pun. Terima kasih karena senantiasa bersabar, tidak pernah bosan menyediakan telinga, dan tidak pernah bete mendengarkan ocehan-ocehan saya.

… untuk selalu menjawab doa-doa saya, yang tergila dan ter-absurd sekalipun.

… untuk membuat saya jatuh cinta, lagi dan lagi. PadaMu. Pada hidup, yang tak henti-hentinya membuat saya terpukau sampai kata-kata kehilangan makna. Pada setiap momen, setiap milisekon, yang berulang kali membuat saya bersyukur bahwa saya terlahir ke dunia, sebagai saya. Apa adanya.

… untuk mengenalkan saya pada setapak panjang bernama Kehidupan, dan menuntun saya untuk berjalan di dalamnya, langkah demi langkah. Merunut jengkal demi jengkal tanpa pernah sekalipun melepaskan tangan saya.

… untuk tak putus mengajarkan kepada saya makna cinta, dan menjadi Cinta itu sendiri. Seutuhnya.

Dan yang terpenting dari semuanya… terima kasih karena selalu ada.

Sungguh, terima kasih banyak.

🙂

I’ve seen the tears and the heartache, and I felt the pain

I’ve seen the hatred in so many lives, and lost in vain

And yet through this darkness there’s always a light that shines through

And takes me back home

All of the promises broken

And all of the songs left unsung

Seems so far away as I make my way back to you

You gave me faith and you gave me a world to believe in

You gave me a love to believe in

And feeling this love I can rise up above

And be strong and be whole once again

I know that dreams we hold on to, can just fade away

And I know that words can be wasted with so much to say

And I when I feel helpless there’s always a hope that shines through

And makes me believe

And I see for one fleeting moment

A paradise under the sun

I drift away and I make my way back to you

Life goes on

Can leave us with sorrow and pain

And I hold on

To all that you are

To all that we’ll be

And I can go on once again

Cause your love heals my soul once again

I can live and I can dream once again

Cause you made me believe

(A World to Believe in – Celine Dion)

Sahabat Hati

Apa pendapatmu tentang orang-orang yang tak pernah kau jumpai samasekali, namun begitu matamu bertemu dengan paras mereka, jiwamu melonjak dan kau tahu entah di kehidupan mana, kalian pernah bersua dan hati kalian menyatu?

Apa pendapatmu tentang orang-orang yang dengannya engkau menjadi hangat, dan saat mendengar tawa dan suara mereka, engkau menemukan jalan pulang ke rumah?

Apa pendapatmu tentang mereka yang mampu membuatmu merasa nyaman, bukan oleh indahnya kata-kata maupun eloknya tingkah laku, melainkan tindakan sesederhana bertatap dalam hening dan bercakap ringan tanpa isi, namun jiwamu beriak menyambut gelombang yang ditangkap indera dengarmu?

Apa pendapatmu tentang mereka, yang entah dengan cara bagaimana, telah menciptakan percikan di hatimu sejak pertama bertemu, walau engkau berjumpa mereka dalam kondisi terburuk dimana jiwamu nyaris patah dan yang tersisa dari tampak luarmu hanya sebentuk kekacauan?

Apa pendapatmu tentang semua hal yang disebut jalinan jiwa, reaksi kimiawi, dan hati yang melebur harmonis, yang kau dapati ketika pandangan kalian bersua?

Apa pendapatmu tentang mereka yang sanggup merebut hatimu tanpa perlu berupaya, karena jiwa kalian telah mendahului menjemput dan memagut?

Apa pendapatmu tentang mereka yang kau tatap matanya, kau dengar suaranya, kau cermati lakunya, kau simak gelaknya, dan seketika menumbuhkan cinta di hatimu?

Apa pendapatmu tentang mereka yang selalu berhasil menabur sejuk di jiwamu, bahkan ketika engkau kerontang dan meranggas?

Apa pendapatmu tentang mereka yang dapat selalu kau percayai, bahkan ketika kau mengungkap rahasia-rahasia tergelap yang tak pernah berani kau bagi kepada dunia?

Apa pendapatmu tentang mereka yang tak ragu mengembangkan tangan untuk menyambutmu dalam pelukan tanpa banyak bertanya, karena mereka tak memerlukan penjelasan untuk bisa memahamimu?

Apa pendapatmu tentang mereka yang kau tahu akan selalu menyimpan cinta bagimu, dan tak pernah alpa menyediakan sebuah ruangan di hati khusus untukmu?

Apa pendapatmu tentang mereka yang tak membutuhkan kalimat-kalimat curhat untuk bisa memahami dan menerimamu tanpa syarat serta senantiasa siap mendukungmu, apapun jalan yang kau pilih?

Apa pendapatmu tentang mereka yang kehadirannya sanggup memunculkan permata dalam dirimu? Mereka cukup ada, tanpa banyak usaha, dan kau terpukau mendapati jiwamu mampu memancarkan cahaya lebih dari yang kau tahu.

Apa pendapatmu tentang mereka yang selalu membuatmu tersenyum damai tatkala mengingat wajah atau sekadar mendengar nama mereka disebut?

Mungkin… sahabat hati.

🙂

*Dipersembahkan untuk sahabat-sahabat tersayang, pelita yang selalu menerangi lubuk terdalam jiwa. Terima kasih telah menjadi mutiara pembingkai hati. Kalian tahu, kalian akan abadi. Dalam jiwa saya.

Kamar Hati

Hei, kamu. Iya, kamu.

Kamar ini untukmu, semoga kamu suka.

Ini kuncinya. Simpan baik-baik, ya.

Kamu boleh datang kapan saja. Tak perlu mengetuk, tak perlu pakai izin. Kamu tinggal memutar kenopnya, lalu masuk.

Belum sempat mandi? Jangan khawatir, aku pinjamkan handuk dan pakaian bersih. Lembut dan nyaman seperti piyama tua kesayangan.

Lapar? Jangan takut, kuambilkan nasi dan lauk kesukaanmu. Plus secangkir kopi susu. Racikan sendiri, dijamin lezat.

Tak enak badan? Air putih hangat dan obat selalu tersedia. Ada vitamin dan madu kalau mau. Kamu pasti enakan setelah meminumnya.

Lelah? Ingin tidur? Seprainya baru saja dicuci, harum wangi. Selimutnya hangat, tidurmu pasti nyenyak. Dan kamu akan bangun dengan tubuh segar.

Lalu, kita bisa ngobrol. Ceritakan apa saja sesuka hati. Bercengkerama sepuasnya. Lupakan waktu, karena waktu tak ada artinya lagi di sini.

Kamu boleh bilang apa pun yang kamu mau. Pundakku senantiasa ada. Lenganku tak pernah terkunci. Telingaku selalu sedia dipinjam.

Bebanmu tak perlu tinggal lama. Air matamu takkan membuatku pergi, karena aku di sini untukmu. Takkan beranjak kecuali jika kamu menginginkan.

Maka, istirahatlah. Banyak-banyak. Tak perlu lekas bangun. Nikmati hadiah ini, detik ini. Karena kemarin sudah lenyap dan esok belum datang, dan saat ini cuma hadir sekali.

Selalu ada “Selamat Datang” untukmu. Di sini, di ruangan ini.

Kamar ini milikmu. Kamu boleh datang kapan saja.

Pintunya tak pernah terkunci, dan aku tak punya serepnya. 🙂

*Hadiah kecil untuk Ayah dan adik tersayang, entitas mungil yang selalu memanggil jiwa saya untuk pulang ke rumah. Saya persembahkan kamar hati ini untuk kalian. Selalu. Selamanya.

**Inspired byBack to Heaven’s Light’ karya Dewi ‘Dee’ Lestari. Tak pernah membosankan untuk didengar berulang-ulang. 🙂

Gambar dipinjam dari Gettyimages.com.