Mengenang dengan Senyuman

Rabu sore.

Jakarta Selatan entah-bagian-mana.

Lampu lalu-lintas berganti dengan lambat, menyebabkan kemacetan panjang yang melelahkan. Pengemudi taksi yang saya tumpangi (taksinya, bukan orangnya ;-D) menginjak pedal rem dengan hati-hati, sementara saya terbengong-bengong seperti orang dusun masuk kota melihat kepadatan yang berpotensi menimbulkan gangguan jiwa itu.

Menyadari perjalanan ini akan makan waktu lebih lama dari yang diperkirakan, saya mengeluarkan biskuit dan air mineral untuk mengganjal perut. Sambil mengunyah, saya berdoa supaya kemacetan ini tidak sampai membuat saya terlambat menghadiri sebuah pertemuan penting. Saya tidak ingin melampaui jam yang sudah ditentukan.

Ketika sedang konsentrasi membersihkan remah biskuit yang tercecer di jeans, saya terkejut karena si supir taksi mendadak tertawa heboh sambil bertepuk tangan.

Saya melongo.

Dugaan pertama, macet-edan-bego ini memang sungguhan berpotensi menimbulkan gangguan jiwa.

Sebelum sempat merumuskan asumsi kedua, saya mengetahui penyebab kegembiraan si supir.

Mengikuti arah pandangnya, saya menemukan seorang pengemudi bus patas AC yang sedang melambaikan tangan dengan bersemangat ke arah kami. Ia tersenyum lebar sambil menunjuk-nunjuk taksi yang saya naiki.

Si supir taksi mencondongkan tubuh, membuka jendela dan bertepuk tangan lagi, gantian menunjuk-nunjuk patas merah yang dikendarai si supir bus, kemudian mengacungkan jempol.

Saya memandangi mereka bergantian, geli karena keduanya bertingkah seperti anak kecil teman sepermainan yang sudah lama tidak bertemu.

Setelah jendela ditutup, saya bertanya spontan, “Memangnya kenal, Pak?”

*Dan langsung sadar: pertanyaan bodoh. Yyya iyyyalaaah, Jen. Hahaha!*

Si supir taksi mengiyakan. “Dulu dia yang bawa taksi ini, Mbak. Nggak lama habis saya diterima di sana, dia keluar, trus nggak pernah ketemu lagi. Eh, tau-tau sekarang udah nyupirin bis AC.”

“Oh…”

Lampu lalu-lintas berganti. Nggak ngefek sebetulnya, karena taksi saya hanya bisa maju beberapa milimeter *hiperbola* saking padat (dan leletnya) kendaraan-kendaraan di depan kami.

*By the way, saya mau titip pesan untuk para pengemudi kendaraan di Jakarta tercinta yang sering terjebak macet: kalau lampu sudah berganti hijau, mbok yaaao jangan santai jaya. Bolehlah ngapain aja selama lampu merah, tapi plis dong tetap alert terhadap pergantiannya. Dan coba ya, itu, jangan keasikan ngobrol dan baru maju setelah diklakson orang.*

Saya menoleh ke arah bus patas merah itu, ingin melihat pengemudinya lagi.

Dia masih ada di sana. Menumpangkan dagu di atas kedua tangannya yang terlipat di jendela. Tersenyum. Sepasang matanya tak lepas menatapi taksi saya. Senyum itu membuat wajahnya berbinar dengan ekspresi yang sulit diartikan, namun entah bagaimana, saya seperti melihat kedamaian di sana. Secercah hangat yang tiba-tiba membuat saya merasa nyaman.

Untuk sesaat, saya sangat ingin tahu apa yang ada dalam benaknya. Apa yang membuatnya tersenyum seperti itu. Apa yang menyebabkan wajahnya berbinar damai. Apa yang membuat lengkungan lembut itu betah tersungging di sana.

Kenangan akan masa lalu? Pengalaman manis? Kesedihan? Atau sesuatu yang lucu?

Saya memalingkan wajah, kembali menatap ke depan – ke deretan kendaraan yang menyemut seolah tak ada habisnya. Lalu mata saya tertumbuk pada sebuah billboard raksasa bernuansa merah-kuning yang berdiri angkuh di sisi jalan.

PERUBAHAN ITU PERLU.

Itulah satu-satunya kalimat yang tertera di sana.

Selama beberapa detik, saya hanya termangu menatapi tulisan itu. Lagi-lagi, dengan cara yang ajaib, Sang Pencipta menunjukkan kebesaran-Nya. Memberi satu lagi peneguhan dan kekuatan untuk hati kecil yang kerap meragu ini. Menciptakan sinkronisitas untuk meyakinkan saya bahwa jalan yang sedang saya tempuh adalah jalan yang benar – setidaknya untuk saat ini. Mengalihkan fokus saya dari berbagai hal yang menyita perhatian dan terkadang begitu menjemukan, untuk sekejap menyapa dan memberitahu bahwa saya tak pernah sendirian dalam menapaki perjalanan panjang ini.

Lampu lalu-lintas belum berganti. Mobil-mobil semakin menyemut, putus asa sekaligus pasrah terhadap kemacetan Rabu sore yang menguras kesabaran. Supir taksi saya tak kalah frustrasi. Ia menghela nafas panjang dan mengangkat kedua tangannya, melipatnya dan menyandarkan kepalanya di sana seolah ingin mengusir penat.

Saya merapatkan cardigan untuk mengusir hawa dingin. Sebelum ikut merebahkan kepala di sandaran jok taksi, sekali lagi saya menoleh, ingin mematri satu sinkronisitas lagi yang singgah di hadapan saya sore itu.

Pengemudi bus itu masih ada di sana, dalam posisi yang sama. Dan dia masih tersenyum.

Saya menatapnya, lama. Perlahan, saya membisikkan sebait doa dari hati yang terdalam.

Apapun yang terjadi di depan sana, apapun yang menunggu saya kelak, apapun yang akan saya alami dalam perjalanan dan evolusi kehidupan yang terus bergulir ini; sesal atau senang, gembira atau sedih, kebanggaan atau kekecewaan, hanya satu harapan saya: semoga saya bisa senantiasa mengenangnya dengan senyuman.

🙂

*Tulisan ini didedikasikan untuk dua orang kawan sekaligus guru yang telah memungkinkan perjalanan-Rabu-sore saya terwujud. Thanks for everything. Most importantly, thanks for being there. 😉

Sebuah Proses Bernama Evolusi

Saya punya dua benda favorit yang tidak boleh absen dari kamar, supaya kapanpun saya butuh bisa langsung disambar dan digunakan: jaket hitam yang enak dipakai dan botol minum plastik berwarna pink yang pasaran jaya.

Si jaket sudah menghuni lemari saya sejak lulus SMU (that was, like 7 years ago) dan sudah ngatung dengan canggihnya di seputar perut. Yang masih layak dilihat cuma bagian lengannya. 😉

Si Pinkie baru jadi teman setia saya selama setahun. Cuma, ya itu, karena saya termasuk spesies perempuan sradak-sruduk, botol minum itu sudah berkali-kali kebanting dan tutupnya mulai retak.

Beli baru?

Bukan itu soalnya. Masalahnya, saya terlanjur jatuh cinta dengan benda-benda itu. Sahabat-sahabat lama yang nyaman dipakai dan sudah terlalu akrab dengan saya, karena selalu dibawa kemana-mana. Kadang, saya merasa kurang lengkap kalau pergi tanpa jaket itu, atau tanpa menenteng si Pinkie. Padahal mah, dibawa juga belum tentu dipakai, dan yang lebih sering menghabiskan air di botol pink itu malah teman-teman saya.

Anyway, saya memutuskan untuk ‘bertahan’… sampai Jum’at kemarin, ketika saya menyempatkan diri untuk berkaca setelah mengenakan si jaket, dan mendadak sadar bahwa senyaman-nyamannya benda itu melekat di badan, penampilan saya jadi aneh dengan jaket yang ngatung seperut, terlalu pas-badan dan siku yang kesempitan.

Oh, well…

Saya melangkah dengan PD ke warung nasi dan memesan seporsi nasi rames. Ketika meletakkan botol minum di meja untuk membuka dompet, baru saya ngeh bahwa si Pinkie sudah basah. Air di dalamnya merembes gara-gara retakan yang makin panjang.

Saya hanya cengar-cengir. Ya sudahlah, benda-benda itu memang sudah waktunya masuk museum (atau dibuang? Hihihi). Bahasa kerennya mah: expired. Ngindonesianya: Kadaluarsa. Percuma dipertahankan, karena akhirnya malah akan merepotkan. Nyaman, tapi sudah tidak pas lagi untuk dipakai.

Sepanjang perjalanan ke kantor, saya merenung *tsah*. Meski menyimpan barang yang sudah terlalu tua itu tidak baik (dan cenderung menimbulkan kesan pelit, hahaha), entah kenapa saya masih tetap melestarikan kebiasaan itu. Adik saya malah sering mengomentari isi lemari saya yang sebagian terdiri dari baju-baju jaman penjajahan Belanda: “Baju kayak gitu dibuang aja kenapa sih?!”, yang selalu saya tangkis, “Enak aja. Nyaman dipake, tauuu.”

Yup, karena nyaman, saya mempertahankan barang-barang yang seharusnya sudah lama dibuang. Meskipun koleksi barang-barang baru terus bertambah, saya kekeuh melestarikan benda-benda usang, sampai lemari saya tidak cukup lagi untuk menampung semuanya, dan saya harus meluangkan waktu untuk membongkar dan memilah – mana yang masih layak disimpan, mana yang harus disalurkan kepada yang lebih membutuhkan… atau dibakar sekalian. ;-D

Kemarin, seorang teman yang tinggal di Amerika mengirim sebuah pesan pendek, “Handphone apa yang lagi ngetop di Indonesia?”

Saya menjawab, “Nggak tahu, sudah nggak pernah ngikutin.”

Beberapa tahun lalu, saya rajin mengupdate diri dengan informasi tentang handphone terbaru yang beredar di pasaran; mulai dari fitur, ukuran, harga, sampai dimana membelinya. Tidak jarang, karena terlanjur jatuh cinta dengan handphone tipe tertentu, saya meracuni teman-teman saya untuk membelinya juga, meski mereka tidak memerlukan fitur-fitur di dalamnya (memangnya saya butuh? Nggak juga, cuma suka aja ;-D). Tapi, seiring bertambahnya umur dan menyurutnya keinginan narsis untuk mengabadikan diri dalam foto berbagai gaya secara berlebihan dan mengoleksi lagu-lagu keren, saya jadi malas mengikuti perkembangan handphone. Saya memilih menabung untuk membeli laptop (dan setelah itu mengisinya dengan foto-foto narsis dalam berbagai gaya dan lagu-lagu keren, HAHAHA).

Namun, lepas dari berbagai alasan yang saya kemukakan, “Sudah nggak minat ngikutin tren HP”, “Pengen nabung untuk sesuatu yang lebih berguna”, “Bosan”, dan lainnya, penyebab sesungguhnya saya menyetop kebiasaan itu (dan membuang benda-benda kesayangan) cuma satu: memang sudah saatnya. Masa ‘kadaluarsa’ itu sudah tiba. Memaksakan diri untuk tetap bertahan malah akan membebani dan merepotkan saya.

Itu baru masalah barang kesayangan dan kebiasaan. Hal yang sama, sadar-tidak sadar ternyata sering juga terbawa selama saya meniti perjalanan panjang bernama Kehidupan. Entah berapa kali saya mencoba bertahan dengan berbagai prinsip, nilai, falsafah, atau apapun-itu-labelnya; mengadaptasinya dalam hidup sehari-hari tanpa sadar bahwa kehidupan itu sendiri adalah sebuah evolusi.

Saya menganggap prinsip, nilai dan falsafah tersebut sebagai ‘kebenaran mutlak’ karena itulah yang sudah saya genggam bertahun-tahun. Bahkan, tidak jarang saya menganggap mereka yang berseberangan dengan saya sebagai pihak yang ‘salah’ – semata-mata karena apa yang mereka percayai tidak sejalan dengan saya. Akhirnya, ketika saya menasehati/berusaha meyakinkan seseorang untuk menerima apa yang saya anggap benar (dengan mengatasnamakan kebaikan orang yang bersangkutan), sesungguhnya itu hanyalah upaya untuk mengonfirmasi apa yang bersarang di benak saya sekian waktu lamanya; bahwa saya masih benar, bahwa saya masih bisa menggenggam prinsip tersebut, bahwa saya masih dapat mempercayainya.

Dan, ya, saya pernah (berkali-kali, malah) berusaha mengotbahi orang lain dengan harapan orang yang bersangkutan akan sadar, berubah, mengikuti jejak saya, dan menjadi bahagia… hanya karena saya merasa bahagia dengan apa yang saya jalani saat itu.

😉

Padahal, kehidupan adalah sesuatu yang dinamis dan selalu mengalami perubahan. The most certain thing in this world is change. Apa yang dianggap mutlak, pasti dan absolut bertahun-tahun lalu barangkali kini sudah dianggap basi. Apa yang digilai, dianut mayoritas orang dan dijadikan konsep ideal massa saat ini, bisa tidak laku lagi 10 tahun mendatang. Apa yang dianggap tren terkini bisa menjadi usang dalam hitungan waktu, dan apa yang disebut ‘nggak banget’ sangat mungkin berubah menjadi ‘gue banget’.

Padahal, apa yang cocok buat saya belum tentu cocok untuk orang lain.

Padahal, apa yang membuat saya bahagia belum tentu bisa membuat orang lain bahagia.

Padahal, ‘kebenaran’ itu sendiri sangatlah relatif, ya nggak, sih? 😉

*Uhmmm… meskipun memang ada hal-hal yang sudah dijadikan ‘kebenaran’ atau ‘konsep ideal’ sebagai hasil konstruksi dari apa yang dianggap ‘sah’, ‘absolut’ dan ‘pasti’ oleh kebanyakan orang. ;-)*

Intinya, lepas dari apapun yang diyakini sebagai kebenaran mutlak, saya percaya bahwa kebenaran sejati hanya bisa diperoleh dari kehidupan yang terus berevolusi. Dari pengalaman-pengalaman otentik yang mendekatkan setiap orang pada realitas dirinya yang sejati. Kenapa relatif? Karena proses evolusi setiap orang tidak sama; layaknya proses tumbuh-kembang manusia secara fisik (ada anak yang umur setahun sudah bisa berlari, ada yang baru belajar berjalan. Ada yang sudah pandai cuap-cuap ketika berusia 2 tahun, ada yang baru belajar bicara, dan sebagainya), atau seperti faktor penyebab kebahagiaan yang sangat beragam. Nggak usah jauh-jauh ngomong bahagia, dari hal-hal terkecil yang biasa ditemui dalam hidup sehari-hari saja, banyak contoh kasus yang bisa dijadikan analogi.

Dulu saya tidak suka kopi, tapi sekarang ada saat-saat tertentu dimana saya sangat membutuhkan kopi (kheuseusnya ketika sedang begadang mengejar deadline, atau sedang ingin ngopi bergaya di kedai kapitalis *hai, Jeung*). Dulu, saya tergila-gila dengan kemeja-pas-badan dan celana panjang hitam, sekarang saya memilih untuk mengenakan t-shirt dan jeans kemana-mana. Waktu SD, saya selalu bertengkar dengan semua-anak-laki-laki-yang-cukup-apes-untuk-dipasangkan-semeja-dengan-saya, tapi sekarang saya menyukai pria-pria tampan bertubuh tinggi, berwajah indo, smart, berselera humor… *ini apaan sih?! Hahaha!*… dan selalu adu pendapat dengan teman saya yang menyukai cowok-cowok bertampang Asia nan eksotis dan berkepribadian lembut (LEMBUT, ya, bukan melambai). ;-D

Yang paling kentara secara fisik: dulu saya jerawatan parah, tidak sembuh-sembuh meski sudah mencoba berbagai produk, tapi sekarang yang tersisa hanya bekas-bekasnya – tanpa pengobatan. Menurut seorang teman yang juga ahli dermatologi, hal itu biasa terjadi. Penyebabnya adalah ketidakstabilan hormon yang akan reda dengan sendirinya seiring bertambahnya usia.

Dan masih banyak lagi perubahan yang bisa saya sebutkan sebagai contoh bahwa saya terus berproses bersama kehidupan.

Sederhana saja. Saya sedang berevolusi.

Perubahan. The most certain thing in the world.

Relativitas. Selama ada sesuatu yang disebut kebenaran sejati, akan ada relativitas dimana-mana.

Dan suka tidak suka, cepat atau lambat, kita akan berhadapan dengan momen dimana kita harus memilih: melepaskan apa yang selama ini kita genggam, atau terus menyimpannya sampai berkarat. Tidak mempertahankan apa yang sudah usang, atau memeluknya sampai mati. Meninggalkan sofa empuk untuk meneruskan perjalanan, atau bergelung dan menutupi wajah dengan selimut. Ikut berevolusi bersama kehidupan, atau tinggal dalam kondisi yang sama selamanya.

Siapkah kita, jika suatu saat kita berhadapan dengan realitas bahwa apa yang selama ini kita pegang erat-erat telah berubah menjadi ‘kebenaran usang’ yang tak lagi beriringan dengan proses evolusi kehidupan?

Siapkah kita, jika dihadapkan dengan momen dimana kita diharuskan untuk memilih, meski kita tak ingin menetapkan satu di antara dua (atau tiga, bahkan empat)?

Siapkah kita, jika ‘tanggal kadaluarsa’ itu tiba?

Apa yang akan kita lakukan?

Saya? Saya hanya punya satu harapan, sederhana saja: semoga hati ini bisa semakin diperluas untuk terus beradaptasi dengan setiap proses evolusi kehidupan, apapun wujud dan caranya.

Jika tiba saatnya saya harus melonggarkan jari untuk melepas, biarlah hal itu terjadi dengan natural, sebagaimana mestinya, karena memang sudah saatnya. Jika tiba waktunya untuk berubah, biarlah saya melepas semua yang selama ini saya jalani dengan lapang dada; nyaman tidak nyaman, suka tidak suka. Ketika tiba saatnya berhadapan dengan realitas dari kehidupan yang senantiasa bergerak dinamis ini, biarlah saya memiliki kebesaran jiwa untuk menerimanya… dan bergerak bersamanya.

Ya, semoga saya bisa. 🙂

Meant to be

Saya termangu di depan komputer. Saat itu jelang pukul 3 sore, dan sel-sel otak saya sudah tidak bisa diajak bekerjasama. Menolak untuk berfokus pada word processor di layar dan mengembara sesuka hati.

Saya meraih ponsel yang baterainya mulai menyusut dan membuka folder pesan. Membaca sebaris kalimat yang tertera di sana, mengulanginya dalam hati, padahal saya sudah hafal isinya – alamat singkat dari seseorang yang sudah lama ingin saya temui. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor saya, tapi saya samasekali belum pernah merambah daerah itu. Tidak tahu lokasinya dimana, dan semua teman yang saya tanyai sehari sebelumnya kompak menjawab “Tidak tahu”.

Lalu, saya ingat, saya masih menyimpan sebuah nomor telepon yang saya dapat secara ‘tidak sengaja’ ketika menghubungi layanan informasi 108 dalam rangka mencari agenda book fair yang diselenggarakan sebuah toko buku besar di daerah yang sama. Seperti biasa 108 memberikan nomor yang salah, tapi (untungnya) nomor itu masih tersimpan di daftar dialled numbers ponsel saya.

*Hai 108, meskipun kalian memberikan nomor telepon pengembang daerah instead of telepon toko buku, saya nggak marah koook. ;-D*

Telepon tersambung. Saya memperoleh informasi yang saya butuhkan: lokasi perumahan, petunjuk jalan, patokan-patokan, bahkan warna angkot yang harus saya naiki untuk pergi ke sana. Saya menyimpan informasi tersebut di otak, berharap sel-sel kelabu di sana sudi diajak bekerjasama, karena untuk sebab yang tidak jelas, belakangan ini saya terkena short-term memory syndrome. Tidak ada yang sanggup bertahan di otak saya lebih dari 2 menit.

Mencatat? Nah, itu juga nggak kepikiran. ;-D

Pukul 5 lewat, setelah mentransfer beberapa lagu ke ponsel baru milik asisten rumah tangga sahabat saya (yang tinggal tidak jauh dari kantor dan ujug-ujug mendatangi saya untuk minta lagu Mariah Carey dan Josh Groban – serius!), saya pergi ke alamat yang dituju.

Di dalam angkot, lagi-lagi pikiran saya mengembara. Mau ngapain ke sana? Setelah ketemu, mau bilang apa? Iya kalau ketemu, kalau nggak? Kalau rumahnya kosong? Jawabannya: tidak tahu.

Saya menepis pertanyaan-pertanyaan itu dan memilih untuk mengamati jalan, jangan sampai petunjuk yang diberikan si operator terlewat (meskipun kalau kelewat juga, kayaknya saya nggak bakal sadar, hahaha).

30 menit berlalu, saya mulai bingung, samasekali tidak tahu berada di mana. Semua daerah yang familiar bagi saya sudah terlewat. Saya hanya merapatkan tubuh ke pintu angkot, menatapi jalanan sambil sesekali memejamkan mata, menghindari debu dan angin.

“German Centre turun satu, Bang!” Ibu-ibu berbadan gemuk yang duduk di pojokan berseru keras. Saya tersentak, sejumlah informasi yang terselip entah di otak bagian mana mendadak berhamburan.

German Centre adalah patokan jalan yang sempat disebutkan si mbak operator. Spontan saya menengok ke luar. Ternyata saya tidak (belum?) nyasar. Kalau informasi si operator benar, seharusnya setelah ini angkot akan berjalan lurus, melewati flyover dan sampai ke perumahan yang saya tuju.

Saya bersandar di jok angkot, lega. Dan si supir membelokkan angkotnya ke kiri.

Hayah.

Belum sempat saya memprotes (lagian, emang ngefek gitu? ;-D), supir angkot berteriak, “TADI ADA YANG MAU KE LATINOS?”

“Iya, saya.”

“Nanti nerusin naik angkot biru aja, Mbak. Yang itu tuh.” Ia menunjuk angkot di seberang jalan yang datang dari arah berlawanan.

Baguuus.

Saya menatapnya dengan jengkel, menyangka akan diturunkan di pinggir jalan saat itu juga. Tapi, si supir malah membunyikan klakson keras-keras sampai angkot biru melambatkan jalan.

“Woi, tungguin! Ada yang mau ke Latinos nih!” lalu ia berpaling ke saya, “Naik mobil itu aja, Mbak. Udah deket kok, bentaran juga nyampe.”

Semenit kemudian saya sudah duduk di angkot biru, harap-harap cemas menempuh sisa perjalanan karena hari mulai gelap. Kali ini, saya tidak bisa mengamati jalan karena dipepet 4 orang. Tidak bisa menengok ke jendela, bahkan tidak bisa bergerak.

Sudahlah, batin saya. Kalau memang jatah saya, pasti sampai juga. Kalau nggak, ya sudah, anggap saja ini salah satu kegilaan yang sering saya lakukan.

Tahu-tahu, seorang ibu berjilbab mencolek lengan saya.

“Mau ke Latinos? Sebentar lagi sampai,” ucapnya pelan. Saya bengong sesaat, lalu mengangguk. Selang beberapa detik, angkot betul-betul berhenti. Saya terserang euforia begitu melihat pagar raksasa di depan perumahan.

Ah, sudah di depan mata. Saya cuma perlu menyeberang dua kali dan naik ojek ke dalam kompleks.

Tinggal masalah terakhir: saya takut nyebrang. Sumpah. Silakan bilang saya pengecut, dan saya akan menyalahkan peristiwa ketabrak-motor-pas-nyebrang-sampai-berdarahdarah beberapa tahun lalu.

Saya berdiri di pinggir jalan, kebingungan. Biasanya, kalau harus menyeberang, saya akan menunggu sampai ada orang lain yang akan menyeberang, mendekatinya dan mengambil posisi aman di sebelah orang itu dari arah berlawanan. Kalau mobil datang dari kiri, saya akan berdiri di sebelah kanan siapapun-orang-itu. Dan sebaliknya. Untuk apa? Jelas, ya. Kalau ada apa-apa, saya bisa menyelamatkan diri. ;-D

Tapi, kali ini skenarionya berbeda. Tidak ada siapa-siapa di sana. Saya berdiri diam, memperhatikan mobil-mobil yang melesat dari kanan. Mendadak, tidak tahu darimana datangnya, seorang laki-laki bermotor merah muncul di situ dan langsung berancang-ancang menyeberang. Tanpa pikir panjang (let’s say: darimana nongolnya? Kok tahu-tahu ada di sana? Bisa pas banget ya dia pengen nyebrang juga?), saya berlari ke sebelah kiri motor, ikut menyeberang sambil bernyanyi gembira *hiperbola*.

Sampai di depan kompleks, saya menawar ojek. Harga terakhir yang disebutkan si tukang ojek sama persis dengan sisa uang seribuan di kantong saya. Saya mulai percaya bahwa tidak ada yang kebetulan dalam perjalanan ini, walaupun yang saya jumpai nanti hanya sebuah rumah kosong. Setidaknya saya sudah sampai di sini, dan itu cukup. Tentang kegilaan temporer ini, toh dari dulu saya memang sering dicap aneh. 😉

Dan mobil itu ada di sana. Dan lampu rumah menyala terang. Dan asisten rumah tangga yang membukakan pintu menjawab dengan jelas: “Ada. Mari, masuk.” Dan orang yang sudah lama ingin saya temui itu sedang duduk di sana, menonton televisi. Dan, sekali lagi, saya mulai mempercayai bahwa perjalanan kali ini memang ‘sudah diatur’ oleh Seseorang yang jauh lebih berkuasa dari saya; entah untuk tujuan apa, dan bagaimana caranya.

Ia tampak terkejut melihat saya, dan saya lebih terkejut dengan fakta bahwa saya benar-benar bisa sampai di sana dan bertemu dengannya. Selama 2 jam berikutnya, kami duduk bersama. Membicarakan Tuhan. Saya dengan kekalutan hati saya, dengan jiwa yang tak pernah berhenti mencari, dengan kelelahan yang mulai memuncak, dan pertanyaan-pertanyaan saya. Ia dengan cerita-cerita menggugah dari perjalanan spiritualnya, serta pencerahan yang diperolehnya dalam pencarian akan sosok bernama Tuhan.

Mendengarkannya bertutur, mendadak saya berkaca-kaca.

Inilah yang telah lama saya cari. Rindukan, lebih tepatnya. Tuhan yang tidak dibatasi oleh sekat. Tuhan yang menunjukkan diri melalui cara yang ajaib sekaligus terselami akal. Tuhan yang hadir dan menjawab pertanyaan-pertanyaan rumit dalam hidup yang sebenarnya sederhana ini. Tuhan yang dari masa ke masa dipersepsikan dalam sebuah wadah. Tuhan yang merangkul hitam dan putih. Tuhan yang tidak bersembunyi di awan-awan. Tuhan yang tidak membawa gada dan pedang. Tuhan yang menampakkan diri dalam ‘wujud’ yang paling mudah dimengerti. Tuhan yang telah menyentuh titik paling sensitif dalam jiwa saya yang tak pernah berhenti bertanya dan mencari, sekalipun saya mulai merasa penat. Tuhan yang melampaui perspektif mayoritas dan konsep ideal yang berlaku di masyarakat, sekaligus amat mudah diterima akal.

Tiba-tiba, saya tahu maksud sesungguhnya dari perjalanan ini.

Tidak ada yang kebetulan. It was meant to be. Dan terima kasih, Tuhan, ternyata selama ini saya tidak ‘gila’. Ternyata rasa bersalah yang kerap hadir itu tidak perlu ada. Ternyata saya tidak sendiri.

Malam telah pekat ketika saya merebahkan kepala di jok taksi, menatap keluar jendela dan mencoba mencerna apa yang saya alami barusan. Perjalanan sepanjang sore, konversasi selama 2 jam, dan perjalanan pulang ini, yang bagai menyadarkan saya dari lamunan panjang dengan sebuah jentikan jari.

Saya terjaga dari mimpi yang amat panjang… dan perjalanan yang sesungguhnya baru dimulai sekarang.

Terima kasih, Tuhan.

*By the way, waktu sedang googling ke sini, saya menemukan tautan ke film ini. Jadi pengen nonton lagi. ;-D