Maaf, Sedang Jatuh Cinta

Matamu mata terindah
Senyummu senyum termanis
Parasmu paling rupawan
Dan aku cuma ingin kamu

Mereka bilang, orang yang sedang jatuh cinta itu menyebalkan
Karena dunia dianggap cuma milik berdua
Yang lain silakan menyingkir atau gigit jari
Karena kami takkan berhenti saling menggenggam, mencium, bercinta

Mereka bilang, orang yang sedang jatuh cinta itu menyebalkan
Diberitahunya seisi dunia segala bahagia dan gembira
Tak peduli orang lain mengernyit mual dan sebal
Karena cinta memang menutup mata terhadap semua

Aku jatuh cinta
Setiap hari, lagi dan lagi
Aku jatuh cinta
Dan tidak ingin berhenti

Mereka bilang, orang yang sedang jatuh cinta itu menyebalkan
Namun bagiku, tiada pemandangan lebih indah dari mereka yang mencinta
Meski gelap meski mendung meski kelabu
Dunia yang mencinta selalu punya matahari

Maaf, sekarang sayalah yang punya dunia ini
Maaf, saya sedang jatuh cinta
Setiap hari dan setengah mati
Kepada perempuan di cermin

Dan di sini, cahaya selalu ada.

~ September 2009. Because every day I fall in love with girl in the mirror ~

Gambar dipinjam dari gettyimages.com

—–

Cambuk

Dalam perjalanan, aku melihat seorang lelaki menyeret keluar sesosok makhluk dari dalam kandang. Keempat kakinya dirantai, sehingga pendek-pendek langkahnya. Makhluk itu besar dan tampak kuat, namun sekujur tubuhnya dipenuhi luka. Darah merembes dan mengering di bulu-bulunya, menciptakan duri-duri kecil yang lengket.

Aku tidak berani mendekat. Dia tampak menyedihkan. Luka-lukanya seperti tidak pernah diberi kesempatan untuk sembuh. Makhluk itu memandangku, menyadari kehadiranku. Aku mendapati diriku mundur selangkah dan mengambil ancang-ancang untuk lari. Namun ia hanya memandangiku sesaat, sebelum meraung keras.

Aku terkesiap. Belum lagi hilang kagetku, setitik darah jatuh di punggung tanganku. Lelaki itu baru saja menciptakan luka baru di tubuhnya. Cambuk itu kini bernoda darah.

Aku gemetar. Cambuk apa yang bisa melukai separah itu?

“Hentikan.” Susah payah aku bicara.

Lelaki itu bahkan tidak menoleh. “Dia harus dihukum. Dia telah gagal.”

Cambuk kembali mendarat dengan bunyi ‘plak’ keras. Bulu romaku bangkit ketika makhluk itu kembali meraung.

“Kau menyiksanya!” Aku memekik.

“Tidak,” lelaki itu menjawab tenang, “Aku melatihnya. Setiap cambukan mengajarinya sesuatu. Setiap cambukan membuatnya bertambah kuat. Setiap cambukan akan membuatnya berterima kasih padaku kelak.”

Ia pasti melihat kedua tanganku mengepal, karena ia memberiku isyarat untuk mendekat.
“Kemari dan lihatlah sendiri. Dia bertambah kuat.”

Aku menggerakkan kakiku yang gemetar. Menghampiri makhluk yang kini berdiri tidak bergerak. Mengamati darah yang menetes-netes dari luka barunya.

Si lelaki mengacungkan cambuknya, menunjuk garis merah tua di punggung makhluk itu. Bilur yang baru akan sembuh.

“Setiap luka menciptakan parut tebal yang melindungi dirinya dari serangan badai, cuaca dingin, sengatan matahari, dan cakar makhluk lain. Kau lihat, aku melakukan yang terbaik untuknya.”

“Kau gila.”

“Tidak,” lelaki itu tersenyum menatapku, “Aku tahu yang kulakukan. Mungkin kau harus belajar dariku, Anak Muda.”

Aku tidak mengindahkan kata-katanya. Kutelusuri bulu-bulu kasar makhluk itu dengan telapak tangan. Kusentuh darah lengket yang menyatukan bulu-bulunya, merasakan cairan hangat yang amis mengalir melalui jari-jariku.

Aku bergerak maju. Mendekati kepala makhluk itu. Ia bergeming. Hanya sepasang mata kuningnya menatapku lekat. Mata kami bertemu.

Aku terhenyak.

Aku menjerit.

Aku meraung.

Kesadaranku lumpuh. Tungkai kakiku kehilangan kemampuan menopang. Aku terbanting ke tanah. Debu beterbangan. Sakit yang hebat menderaku sampai ke sum-sum.

Aku mengerang.

Aku meronta.

Aku merintih.

Hewan itu bergeming.

Ia tidak melakukan apa pun. Hanya sepasang mata kuningnya menatapku lekat.

Ketika pandangan kami bertemu, ketika matanya menyambut mataku, aku tahu,

Akulah makhluk itu.

*****

Maafkan saya, Jenny, atas penderitaan yang saya timbulkan karena menuntutmu untuk

sempurna
cerdas
bijaksana
terstruktur
manis
berbakti
mendedikasikan hidup
tunduk
taat
patuh
normal
menjadi ‘baik-baik saja’
berpasangan di usia sekian
memiliki kondisi hidup tertentu
memiliki suasana hati tertentu
memiliki sekian rupiah
menyenangkan orang lain
bersimpati pada penderitaan orang
bersukacita atas kebahagiaan orang
bertahan pada satu titik spiritual
terus mengalami peningkatan
terus menulis
kreatif
eksis/dikenal
sehat
dicintai
diprioritaskan
diterima
dihargai
menjaga perasaan orang
setia pada norma sosial
jadi juara
meneladani orang lain
meredam emosi
bertindak hati-hati
meyakini sesuatu
setia
berperforma maksimal
bekerja keras
memiliki keluarga ‘normal’
menjadi sama dengan orang lain
meraih mimpi
menguasai konsep spiritual tertentu
berbuat baik
beramal
tersenyum
tertawa
berbasa-basi
merasa aman
percaya diri
teratur
bersih
rapi
mendapat pencerahan
merasa lega
merasa nyaman
berhemat
diperhatikan
diperlakukan istimewa
diberi
dipuji
diperlakukan baik
menolong
menyelamatkan
bertanggung jawab
berbuat sesuatu demi orang lain
tidak merepotkan orang lain
tidak mengatakan ‘tidak’
mencapai target
tidak melekat dengan apa pun
berwawasan luas
bersosialisasi
berdisiplin
bahagia
benar
dewasa
bersikap sopan
menjaga sikap
berlaku adil
berkorban
menyukai orang lain
melepas ekspektasi
menemukan jalan keluar
memecahkan masalah
sembuh
lebih banyak memberi
mencapai sesuatu
berhasil/sukses
kuat
tidak menangis
produktif
rajin
tekun
pantang menyerah
bebas konflik batin
bebas masalah
meringankan beban orang lain
menerima apa adanya
bertumbuh
mencari nafkah
memiliki status sosial tertentu
ikhlas
pasrah
menjadi anak yang dibanggakan
menjadi kakak teladan
menjadi teman yang baik
menjadi pekerja yang budiman
menjadi penulis yang menginspirasi
menemukan cinta
memiliki semangat
membalas budi
menjalani rutinitas
memprioritaskan orang lain
sependapat
stabil
bertenggang rasa
menepati janji
tidak berubah
konsisten
sembuh
waras
masuk akal

…dan banyak lagi.

Maaf atas segala luka yang saya timbulkan ketika saya mengharuskanmu menjadi seperti yang saya inginkan. Maafkan saya karena telah menderamu. Maafkan saya karena berpikir tahu yang terbaik bagimu, sedang kamu sudah begitu lama kesakitan.

Maafkan saya karena tidak menghapus airmatamu saat kamu mengaduh dan mengeluh. Maaf atas segala persyaratan yang saya tetapkan hanya untuk bisa menerimamu. Maaf karena telah mencintaimu dengan segudang harap dan pinta.

Beri saya kesempatan untuk mencintaimu lagi. Kali ini apa adanya.

Dengan penuh cinta,

Dirimu Sendiri

—–

Tak Pernah Kemana-mana

Dalam ilusi yang mereka sebut cinta
Kau kucari
Sebab kuyakin kau pasti

Dalam mimpi yang mereka sebut hidup
Kau kukejar
Sebab kutahu kau benar

Karena segenap diri percaya
Kau nyata untuk abadi
Ada untuk selalu.

Dalam ilusi yang mereka sebut cinta
Dan mimpi yang mereka sebut hidup
Aku menunggu untuk mengutuh

Hanya untuk menemukan
Sesungguhnya kau
Tak pernah kemana-mana

Aku hanya lupa
Pernah memilikimu
Di dalam sini.

Your task is not to seek for love, but merely to seek and find all the barriers within yourself that you have built against it.” (Rumi)

—–

Mengalami Secercah Non-Dualitas

Beberapa hari sebelum artikel ini ditulis, saya dan seorang sahabat berselisih –untuk kesekian kalinya— dan sejauh yang saya ingat, perselisihan tersebut adalah yang terhebat sepanjang sejarah pertemanan kami. Sahabat saya bukan orang yang mudah marah, namun kali ini saya tahu ia sungguh-sungguh kecewa. Dan saya pun tak kalah mendidihnya.

Setelah beberapa kali berkirim pesan pendek, sahabat saya menutup pesan terakhirnya dengan sebuah kalimat, “People change, live with it.”

Saya membaca pesan itu dua kali, kemudian menutup ponsel.

Anehnya, kali ini tak ada rasa marah atau kecewa yang menggelayuti saya. Awalnya saya mengira akan merasa jengkel. Namun yang ada hanya lelah –hanya sesaat— yang kemudian menguap dan berganti dengan pemahaman, dia benar.

Segala sesuatu di dunia ini berubah. Energi berubah. Situasi berubah. Lingkungan berubah. Manusia berubah. Kebenaran pun tidak tinggal stagnan. Lalu apa hak saya untuk menghendakinya agar tetap menjadi sosok yang selama ini saya kenal? Kenapa saya harus menginginkannya tetap menjadi sahabat nan baik hati yang selalu mendatangkan rasa nyaman untuk saya? Apa hak saya untuk menaruh pengharapan terhadap seseorang yang terus berevolusi dalam hidupnya – sementara saya sendiri senantiasa mengalami perubahan?

Bus yang saya tunggu datang. Saya menyimpan ponsel di dalam tas dan naik. Sambil mengamati jalan dari balik jendela, saya termenung.

Entah sudah berapa kali saya menulis dan mengulang, the most certain thing in the world is change. Satu-satunya hal yang pasti dalam hidup adalah perubahan. Saya mengira saya telah memahaminya. Namun baru kali ini pemahaman itu datang secara menyeluruh, mengutuh, dengan cara yang tak pernah saya duga. Dan hal pertama yang terlintas di pikiran saya adalah: “Betapa menderitanya hidup di dunia jika satu-satunya hal yang pasti hanya perubahan.

Manusia terdiri dari ego. Ego membuat kita sanggup mempertahankan kelangsungan hidup di dunia. Dan apa salah satu hal yang paling disukai ego? Kepastian. Itu sebabnya kita amat sulit menolak perubahan. Itu sebabnya kita mati-matian menentang segala sesuatu yang berpotensi menimbulkan kekacauan; entah perubahan, perpisahan, kematian, dan sebagainya. Ego tidak menyukai chaos. Ia menyukai tatanan yang rapi dan stabil. Ia menyukai asuransi dan garansi.

Ego telah membuat kita bertahan. Lantas, apa yang terjadi jika semuanya diguncang dan dikacaukan?

Barangkali, itulah pentingnya memahami ketidakmelekatan, duga saya. Barangkali itulah yang melatari ajaran para guru besar. Bahwa kita seharusnya meniadakan kemelekatan. Bahwa kemelekatan terhadap apa pun di dunia –bahkan hal-hal yang baik dan disukai seperti kebahagiaan, pengalaman manis dan pencerahan— dapat berubah menjadi selumbar yang menghalangi pandangan, dan menjadi batu sandungan yang menghambat perjalanan kita.

Penyadaran kedua menyerbu batin saya seperti angin ribut. Jika segala sesuatu memang berubah… jika satu-satunya yang permanen di dunia memang hanya ketidakkekalan… jika memang demikian adanya, maka segala keburukan yang ada dalam diri manusia pun takkan tinggal tetap. Sifat buruk, limitasi, kelemahan, kekurangan, dan kebiasaan negatif bukan sesuatu yang mustahil diatasi – dalam arti sebenar-benarnya, bukan sekadar mengubahnya di permukaan sementara alam bawah sadar terus menimbunnya.

Kesusahan tidak abadi. Kesengsaraan tidak selamanya bercokol. Dan, ya, kebahagiaan dan kegembiraan pun takkan tinggal permanen. Ini bisa menjadi berita buruk atau berita baik bagi siapa saja, tergantung bagaimana kita meniliknya. Sebagaimana kebahagiaan berubah dan berganti, segala sesuatu yang selama ini kita labeli ‘buruk’, ‘salah’ dan tak diinginkan pun akan bergulir dan berlalu.

Penyadaran itu membuat saya terhenyak. Konsep impermanensi bukan hal asing bagi saya, namun mengalaminya secara utuh telah meninggalkan jejak yang jauh lebih dalam dari sebatas memahami belaka. Pada saat yang sama, kelegaan membanjiri hati saya.

Saya akan mengatakan ini dengan jujur, sebenar-benarnya. Lepas dari apa pun yang pernah Anda temukan di sini, lepas dari apa pun yang Anda peroleh atau rasakan setelah membaca tulisan-tulisan saya, dan lepas dari apa pun yang pernah (beberapa dari) Anda sampaikan kepada saya sebagai penghargaan, saya memiliki begitu banyak kekurangan dan kelemahan. Anda tidak mengetahuinya, karena Anda hanya membaca tulisan-tulisan saya. Namun saya tahu. Saya telah bergumul dengan kekurangan dan kelemahan nyaris sepanjang hidup saya, dan sering kali saya merasa tidak ada lagi harapan, karena tidak peduli berapa banyak kelas penyembuhan-mandiri yang saya ikuti, tidak peduli seberapa rajin saya menerapkan apa yang saya ketahui, kesembuhan total tidak kunjung terjadi. Bagaikan musim yang silih berganti, kekurangan dan kelemahan terus datang dan pergi.

Hari itu, saya tersadar. Saya telah berfokus pada fakta bahwa saya memiliki begitu banyak kelemahan, namun saya melupakan saat-saat dimana saya menjadi kuat. Saya begitu ingin menyingkirkan keterbatasan, namun saya lupa bahwa untuk itu saya perlu menyadari segala keterbatasan tersebut dan tidak semata berkubang di dalamnya. Saya demikian ingin mengatasi kekurangan-kekurangan saya, sehingga saya melupakan prinsip emas yang berkali-kali saya ucapkan sendiri: what you resist, persists.

Hari itu, saya menyadari dengan penuh kelegaan, bahwa tiada sesuatu dalam hidup yang abadi. Tidak peduli apa pun keterbatasan yang menghantui saya saat ini, semuanya dapat berubah. Dan setelah perubahan terjadi, perubahan berikutnya akan menyusul. Entah baik entah buruk. Hidup boleh membawa saya mengalir. Hidup boleh menghantarkan apa pun yang menjadi bagian saya. Saya akan menerimanya. Saya tidak perlu memaksanya berubah menjadi seperti yang saya inginkan. Saya tidak perlu lagi bergumul. Yang perlu saya lakukan hanya menyadari dan mengamati.

Tubuh saya masih duduk di kursi belakang bus, mata saya masih memandangi deretan kendaraan yang menyemut di balik jendela, pikiran saya masih bekerja, namun kesadaran saya melayang mengatasi segalanya.

Saya masih bisa mendengarkan suara pikiran yang bertanya-tanya, “Apa ini? Apa yang terjadi?”, namun suara itu bagai timbul tenggelam dalam kesadaran yang kian menebal seperti kabut.

Lalu, seperti pelita yang dinyalakan dalam gelap, suara berikutnya muncul dalam pikiran saya, “Inilah yang kamu minta.” Saya pun teringat, beberapa hari sebelumnya, saya pernah memohon dengan sangat kepada Tuhan (atau siapa pun yang bersedia mendengarkan), agar saya diberi kesempatan untuk memahami makna non-dualitas dan mengalaminya secara utuh.

Non-dualitas adalah sesuatu yang sudah lama saya (coba) pelajari. Entah mengapa, saya tidak kunjung memahaminya. Otak saya mampu mencerna informasi yang saya dapatkan, namun batin saya seolah menolak secara aktif untuk menyerapnya. Rasanya bagaikan menggenggam air dengan tangan telanjang. Air yang saya tampung hanya sanggup bertahan sebentar sebelum mengalir melalui lekukan telapak tangan, dan jika saya mencoba menggenggamnya, semakin cepat pula ia habis.

Batin saya tidak pernah sanggup menampung pemahaman tentang non-dualitas. Sejujurnya, kendati hal ini tidak terlalu mempengaruhi kehidupan saya, jauh dalam hati saya mulai merasa frustrasi. Saya mulai bertanya-tanya, akankah saya mengalami non-dualitas, atau memang bukan jatah saya untuk bersentuhan dengan konsep ini. Bagaimana pun, saya merasa non-dualitas bagaikan potongan gambar yang hilang dari puzzle raksasa perjalanan spiritual saya. Saya tidak tahu apakah saya memang memerlukannya, namun tanpa potongan gambar itu, puzzle saya tidak lengkap. Kepingan itu seharusnya ada di sana. Doa yang saya panjatkan beberapa hari sebelum peristiwa itu adalah upaya terakhir saya untuk menggapai kepingan tersebut.

Kini, dalam kesadaran yang kian ‘membengkak’ dan membuat suara pikiran saya semakin kecil terdengar –nun jauh di bawah sana— saya bertanya-tanya, apakah akhirnya saya akan diberi kesempatan untuk mengintip sekilas ranah non-dualitas. Di sisi lain, saya merasa tidak dapat memahami hubungan antara perubahan, ketidakmelekatan, dan non-dualitas, jika ketiganya memang saling berkaitan. Jadi, yang saya lakukan hanya duduk di sana dan ‘menonton’.

Saya akan berusaha menguraikan pemahaman yang saya peroleh dengan sebuah ilustrasi, dan saya akan mencoba menggambarkannya sebaik yang saya bisa. Mohon maaf jika kata-kata yang saya miliki amat terbatas.

Apabila baik dan buruk bagaikan dua substansi yang berada dalam sebuah neraca –sebelah di kiri dan sebelah di kanan, dalam porsinya sendiri-sendiri– maka substansi yang selama ini terpisah itu kini terangkat dari wadah masing-masing, melayang mengatasi neraca tempatnya dipilah dan ditimbang, terus mengambang di udara, saling mendekati, bersisian, kemudian melebur menjadi satu. Dua substansi yang tadinya terpisah dan saling melengkapi keberadaan satu sama lain dalam pemahaman dualitas kini menyatu dan meniadakan segala perbedaan di antara mereka.

Dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak lagi ada pemisahan antara baik dan buruk dalam ranah non-dualitas. Tidak ada lagi pemisahan antara benar dan salah. Suci dan najis. Yin dan yang. Dua sisi yang terpisah dan saling melengkapi itu tidak lagi ada. Semua lebur menjadi satu dalam kesempurnaan. Kesempurnaan total, tanpa cacat. Kesempurnaan dimana yang ada menjadi tiada, dan yang tiada menjadi nyata. Tatanan tanpa cela yang sepenuhnya murni dan utuh. Tiada lagi pembatasan. Tiada lagi pemisahan. Tiada lagi perbedaan. Tiada yang salah. Tiada yang berada di luar jalur. Tiada yang perlu diperbaiki, diubah, dibetulkan. Semua adalah satu, dan satu berada dalam semua.

Masih terpukau dengan itu semua, saya menoleh keluar jendela, ke pinggir jalan yang dipenuhi pepohonan dan orang yang lalu-lalang di trotoar. Saya mengamati dengan takjub ketika penyadaran berikutnya muncul: saya menemukan sebagian diri saya dalam setiap mereka. Secara harafiah, SETIAP orang dan makhluk hidup yang berada di pinggir jalan itu.

Pohon berdaun jarang yang baru saja ditinggalkan seekor burung adalah saya. Burung gereja yang terbang dari sebuah cabang adalah saya. Kakek berkulit gelap yang duduk di trotoar sambil mengunyah-entah-apa adalah saya. Pemuda berbaju lusuh dan berwajah kusam yang melintas di samping bus adalah saya. Wanita berbadan gempal dengan kaus pink yang baru saja meninggalkan kios tempatnya berjualan adalah saya. Supir bus yang duduk jauh di depan adalah saya. Laki-laki bertopi yang duduk di sampingnya adalah saya. Bapak separuh baya yang menduduki kursi di depan saya, adalah saya. Ibu muda yang sibuk berbicara dengan logat Mandarin kental juga saya. Tidak ada satu pun kata yang sanggup menggambarkan apa yang saya rasakan. Tidak akan ada kalimat yang cukup pas untuk mendeskripsikan rasanya memandang dunia dan menemukan sebagian diri saya dalam SETIAP hal yang saya jumpai.

Dalam kesadaran yang terus bergulung, seperti selimut tebal yang menaungi pikiran, perlahan benak saya memunculkan ingatan tentang seseorang bernama Khrisnamurti. Saya pernah membaca tulisan-tulisannya, dan tidak banyak yang saya ingat dari sana. Namun ada sesuatu yang kini terbangkitkan dengan amat jelas: pengalaman yang dialami oleh Khrisnamurti ketika berusia muda yang membalikkan perjalanan hidupnya secara total.

Pada tahun 1922, dalam usia 27 tahun, ia mengalami proses Pencerahan yang berlangsung selama 3 hari, di mana ia mengalami kesadaran yang berubah: “… Ada seseorang tengah memperbaiki jalan, orang itu adalah aku; beliung yang dipegangnya adalah aku; batu yang tengah dipecahnya adalah bagian dariku; helai rumput yang rapuh adalah aku; dan pohon di samping orang itu adalah aku.”
(‘Duduk Diam dengan Batin yang Hening’ – J. Khrisnamurti)

Kedamaian yang sukar dijelaskan dengan kata-kata melingkupi saya. Pencerahan atau bukan, saya tidak lagi peduli. Semua mendadak tidak lagi penting. Konflik dengan sahabat saya, yang selama berhari-hari menggelayuti pikiran seperti awan mendung, mendadak tidak lagi penting – bahkan, segala hal yang saya alami sebelum peristiwa ini tidak lagi penting. Semua yang saya ketahui selama ini juga tidak lagi penting. Saya menaiki mesin waktu yang menghantarkan saya memasuki dimensi baru dimana 24 jam tidak lagi berlaku, dan tidak ada esok maupun kemarin. Dimensi itu bernama Masa Kini.

Tidak ada air mata. Tidak ada perasaan spektakuler yang menyertai penyadaran ini. Tidak ada gejolak emosi yang mengharu-biru. Pengalaman ini hanya terasa begitu nyata, tepat, sederhana, dan segala sesuatu di luar itu tidak lagi penting.

Doa saya telah terjawab, namun bahkan doa tersebut tidak lagi penting. Belum pernah saya merasa, seumur hidup, bahwa segala hal yang terjadi pada diri saya saat ini, detik ini, apa pun itu (enak atau tidak, disukai atau tidak), adalah sesuatu yang amat tepat, benar, dan sempurna. Pikiran manusia selalu bertindak untuk mengevaluasi, menilai dan merencana. Bahkan ketika hidup berada di titik paling prima, dimana segala sesuatu yang bisa dibayangkan seseorang telah berada dalam genggaman, pikiran terus bekerja secara mekanis memompa berbagai penilaian, membandingkan, dan mengingatkan untuk terus mencapai lebih, sehingga nyaris tidak ada sesuatu pun yang bisa dijadikan parameter kesempurnaan. Hari itu, di tengah segala ketidaksempurnaan yang saya dapati dalam hidup, saya menyadari semuanya sempurna. Dan inilah surga.

Dari pengalaman sore itu, barangkali inilah hadiah kecil yang bisa saya bagi dengan Anda semua: penyadaran sederhana bahwa di tengah segala ketidaksempurnaan, hidup sesungguhnya selalu sempurna. Di tengah segala kelemahan dan keterbatasan diri, Anda dan saya sesungguhnya adalah makhluk-makhluk tanpa cela. Anda dicintai sebagaimana adanya, dan tidak ada yang salah dari diri Anda. Anda diterima sebagaimana adanya, dan tidak ada yang kurang sempurna dari diri Anda.

Anda dicintai dan diterima, karena Anda adalah Anda. Cukupkah itu untuk menciptakan surga dalam ruang kecil yang tersembunyi di sudut batin Anda? Semoga.

Izinkan saya menyelesaikan tulisan ini dengan mengutip ucapan salah satu ‘guru’ saya, serta memberikan sebuah pesan: ketika kalimat terakhir usai Anda tuntaskan, lupakan semua yang Anda baca mengenai non-dualitas. Anda tidak perlu mempercayai penjelasan saya. Anda tidak perlu mencoba memahami tulisan ini, karena penguraian saya hanya sebentuk usaha yang bisa menjadi sia-sia, bagaikan jaring menangkap angin. Non-dualitas melampaui segala pengertian dan definisi yang bisa dihasilkan pikiran, namun yakinlah bahwa tidak ada sesuatu yang mustahil. Jika kesempatan itu datang, jika kelak mesin waktu yang telah membawa saya singgah di depan Anda, barangkali kita bisa bersama-sama menjejakkan kaki ke dalamnya dan mengintip sejenak surga kecil yang memungkinkan tulisan ini tercipta.

Till then, may all beings be happy. 🙂

There is a level of mind, a conscious being, which is not dualistic, which is not conceptual, which is by its very definition, is beyond thought. It cannot be thought about and it cannot be conceptualized, but it can be realized.” (Tenzin Palmo)

—–

Di Pihak Siapa?

Mari maju, maju, maju
Ke medan peperangan
Tiada waktu untuk santai

Mari maju, maju, maju
Ke tanah perjanjian
Puji nama-Nya dan rebut kemenangan

S’bab Tuhan ada di pihak kita
Kuasa-Nya selalu menolong kita
Maju, kemenangan bagi kita

Biarlah dunia ‘kan melihat
Biarlah dunia ‘kan mendengar
Biarlah dunia akan tahu
Bahwa Allah kita gagah perkasa

Gagah perkasa
Gagah perkasa

Lagu di atas pernah menjadi favorit saya beberapa tahun silam. Lagu yang selalu diiringi hentakan drum itu senantiasa berhasil memicu adrenalin dan membuat saya bersemangat. Saya meloncat-loncat tanpa jeda sepanjang lagu dinyanyikan (yang bisa diulang berkali-kali dari awal sampai akhir), berteriak sampai suara parau dan leher sakit, bertepuk tangan sekeras-kerasnya sampai telapak dan pergelangan saya memerah, dan berjingkrakan sampai tubuh terasa panas.

Hingga pada satu titik, saya tersadar.

Jika ada ‘kita’, berarti ada ‘mereka’.

Jika ada ‘Allah kita’, berarti ada ‘Allah mereka’.

Siapa yang dimaksud dengan ‘mereka’? Apakah Tuhan lebih dari satu?

Jika Tuhan lebih dari satu dan mereka berperang, lantas siapa yang akan menang? Adakah Tuhan yang satu lebih kuat dari Tuhan lainnya?

Jika Tuhan hanya ada satu, lalu ‘kita’ dan ‘mereka’ berperang, lantas kepada siapa Ia berpihak?

Lantas, adakah gunanya dunia tahu Tuhan siapa lebih berkuasa atas Tuhan siapa? Adakah gunanya dunia sadar mana yang lebih kuat mana yang lebih lemah?

Dan apa yang dimaksud dengan kemenangan? Pihak yang satu menduduki pihak lainnya? Pihak yang satu berkuasa atas pihak lainnya? Lantas, apa yang akan dilakukan kepada pihak yang kalah?

Lagu itu pernah menjadi kesukaan saya, sampai saya mulai bertanya.

—–

*Hhh. Susah emang kalau punya bakat cari gara-gara. Berserah sih berserah, penasaran teteub, nanya-nanya jalan terusss.

**Cuma sebuah pemikiran iseng di Jum’at sore. Nggak usah ditanggap serius, tapi kalau ada yang berminat ngasih jawaban, monggo lho.

***Maaf nggak mencantumkan nama pencipta lagunya, karena saya nggak tahu siapa.