Bersatu dengan Cinta

Seumur hidup, entah sudah berapa ratus kali saya menyanyikan lagu Indonesia Raya. Minimal setiap Senin pagi di lapangan sekolah, sambil mendongakkan kepala tinggi-tinggi dan menghormat bendera. Tidak jarang, saya menyanyikannya dengan tergesa-gesa karena berharap upacara cepat selesai. Karena pengibaran bendera selalu dilakukan di akhir upacara, sering pula saya berharap bapak pembina mendadak sakit perut, supaya saya tidak perlu berlama-lama berdiri dan terjemur matahari.

Seperti itulah saya memandang Indonesia Raya.

Sebagai manusia yang mendahulukan Twitter daripada sarapan (I know, agak sakit memang :-D), hal pertama yang saya lakukan begitu mata membuka adalah menyambar ponsel untuk mengecek update status terbaru teman-teman. Seperti ketabrak gajah rasanya ketika pagi itu saya membaca sejumlah entri di halaman Twitter saya yang mengumumkan ledakan bom di Ritz Carlton dan J.W. Marriott.

Saya menyalakan televisi. Semua saluran seakan adu balap menayangkan berita terbaru dari lokasi kejadian, disertai rekaman video amatiran yang diambil sesaat setelah ledakan terjadi. Amatiran dalam arti sebenar-benarnya. Tidak jelas dan lebih menunjukkan indikasi gempa bumi daripada sisa ledakan. Cukup lama saya menonton. Setelah beranjak dari televisi, saya menghabiskan sisa hari itu di depan komputer. Kendati otak sudah luber oleh berita yang menyesakkan, tak urung saya tetap menjelajah jagat maya untuk mengumpulkan serpihan-serpihan informasi.

Reaksi emosi yang pertama kali timbul adalah amarah. Saya merasakan kebencian teramat-sangat pada sekelompok orang dungu yang berada di balik peristiwa pengeboman. Mereka yang cukup biadab untuk meledakkan bom di tempat umum dan menghilangkan nyawa orang-orang tidak berdosa. Mereka yang cukup keji untuk merancangkan semua rencana itu dan melaksanakannya. Saya mengutuk dan memaki. Melampiaskannya dengan kata-kata paling kasar yang saya ketahui.

What you resist, persists. Itu prinsip emas yang selalu saya amini. Karenanya, saya tidak menahan diri untuk meluapkan emosi. Puas memaki-maki melalui status Facebook dan Twitter, saya mengambil waktu sejenak untuk menarik nafas dan menyegarkan diri dengan air putih. Tidak lama berselang, muncullah lapisan perasaan berikutnya. Perasaan itu bernama takut.

Saya begitu mencemaskan keselamatan orang-orang yang saya sayangi, meski kecil kemungkinan mereka menjadi korban ledakan. Saya tidak bisa menerima rasa takut yang mendadak membuncah, rasa aman yang tiba-tiba lenyap, dan kekhawatiran yang tahu-tahu mendera. Tubuh-tubuh berlumuran darah yang saya saksikan akan mengisi benak saya dalam waktu lama. Ledakan bom telah memberi peringatan yang tak terelakkan akan bahaya dan maut yang bisa menjemput sewaktu-waktu. Tempat-tempat umum tidak lagi nyaman untuk didatangi sambil berlenggang-kangkung tanpa sedikit terbersit rasa was-was atau khawatir.

Beberapa saat setelah takut dan cemas mereda, muncul perasaan berikutnya. Sedih. Saya terpaku di depan komputer dengan mata berkaca. Keinginan untuk memaki tidak lagi ada. Rasa gentar perlahan sirna. Yang tersisa hanya luka yang mendalam. Sesuatu seperti terenggut dari jiwa saya, meninggalkan lubang hitam yang menganga.

Merasa tidak lagi kuat dijejali tambahan informasi, menjelang petang saya mematikan komputer dan menjauhkan diri dari televisi. Kawan-kawan saya berkumpul di ruang tamu untuk mendengarkan siaran berita, namun saya mengurung diri di kamar. Sesaat, saya merasa lega dan aman dalam kandang kecil saya.

Tidak lama kemudian, muncul lapisan rasa berikutnya yang tidak saya sangka-sangka. Lapisan itu bernama cinta. Dan saya terkejut sendiri karena setelah melalui berbagai spektrum emosi yang tidak menyenangkan, perasaan ini begitu murni, hangat, dan menenteramkan. Barangkali sebagian orang akan mencap saya berlebihan, namun ketika perasaan ini hadir, saya bahkan tidak mampu lagi merasa benci kepada para pelaku pengeboman. Seakan-akan semua kemarahan yang mencengkeram saya siang itu luntur begitu saja. Seakan-akan segala takut dan sedih terhapus begitu saja – hanya menyisakan kasih yang menghangatkan hati.

Seumur hidup, entah sudah berapa kali saya menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mengulang lirik yang sudah terhafal mati di kepala dan bernyanyi tanpa merasa perlu menelaah maknanya – semua demi kewajiban rutin setiap Senin pagi di lapangan sekolah. Malam itu, sendirian di atas tempat tidur, saya kembali menyenandungkan Indonesia Raya. Tanpa iringan musik. Tanpa menghormat bendera. Tanpa peduli tempo.

Hiduplah tanahku
Hiduplah negeriku
Bangsaku
Rakyatku semuanya

Perlahan, mata saya membasah.

Saat itulah saya tahu, betapa saya mencintai negeri ini. Bumi di mana kedua kaki saya berpijak. Udara yang melewati paru-paru saya setiap hari. Tanah yang menghidupi saya sejak lahir hingga detik ini. Tanah Indonesia. Namun saya telah begitu terbiasa, hingga ingatan akannya tak pernah lagi mampir di benak. Atau hati.

17 Juli 2009 adalah momen dimana saya menyadari, cinta itu ada.

Paragraf berikut saya ambil dari artikel yang ditulis Goenawan Mohamad, tiga hari setelah peristiwa ledakan.

Kematian dan luka-luka itu mengerikan, tapi saya dengarkan percakapan, saya baca pesan di HP, dan saya mungkin bisa mengatakan bahwa kita marah, sedih, dan menangis karena tiba-tiba kita menyadari, betapa terkait kita dengan sebuah tanah air: sebuah negeri yang selama ini seakan-akan bisa diabaikan, atau hanya disebut dalam paspor—sebuah Indonesia yang seakan-akan selamanya akan di sana dan utuh tapi kini terancam—Indonesia yang dulu mungkin hanya menempel direkatkan ke kepala karena pelajaran kewarganegaraan di sekolah, karena pidato di televisi.

Beliau benar.

Peristiwa ini telah merenggut nyawa orang-orang yang tidak berdosa dan meluluhlantakkan begitu banyak jiwa. Namun peristiwa yang sama juga menyadarkan kita akan satu hal: betapa kita mencintai sesuatu yang telah begitu lama terabaikan. Betapa hati kita sesungguhnya terpaut pada sesuatu yang bahkan tak sempat kita ingat-ingat. Kita mencintainya namun tak lagi menghargainya, karena kita menganggapnya akan selalu ada. Dan ketika ia terguncang, dunia kecil kita ikut tergempa.

Hanya dalam tempo beberapa jam, #indonesiaunite menduduki peringkat teratas Trending Topics di situs pertemanan Twitter. Headline berita di seluruh dunia –mulai dari CNN hingga Al Jazeera— menyajikan topik yang sama. Simpati dan belasungkawa berdatangan dari segala penjuru dunia. Beberapa orang bahkan berinisiatif mengibarkan sang Saka di rumah dan kendaraan masing-masing.

Bom tersebut telah mengakibatkan kehancuran besar, dan pada saat yang sama meledakkan hati jutaan orang di Bumi Pertiwi untuk menyatukan kekuatan dan merangsek bangkit – menolak terkapar kalah. Sekali lagi mata dunia tertuju kepada kita; kali ini bukan karena tragedi kemanusiaan atau bencana alam, melainkan karena persatuan yang digalang bersama.

Malam itu, di tengah rasa bangga yang berkecamuk ketika menyaksikan #indonesiaunite merambati Trending Topics hingga berhasil bertengger di puncak, saya berdoa, yang memotori kita untuk bergandeng tangan dan menggalang persatuan adalah cinta. Bukan kemarahan. Bukan kebencian. Bukan dendam. Bukan sesuatu yang akan melahirkan kekerasan berikutnya. Saya berdoa, rantai kekerasan itu berhenti sampai di sini. Saya berdoa, bangsa ini akan sekali lagi bangkit dan bergerak bersama, kali ini dengan cinta.

Tidak ada sesuatu di dunia ini yang permanen. Teror takkan tinggal tetap, kedamaian pun bisa diguncang. Mungkin ini saat yang tepat untuk merenung dan menyadari bahwa segala sesuatu yang kita genggam saat ini bisa terlepas. Apa yang pernah kita miliki suatu saat bisa diambil. Mungkin ini waktu yang tepat untuk mulai belajar bersyukur dan menghargai sebentuk anugerah yang masih dipercayakan kepada kita hingga detik ini: tanah air dan bangsa bernama Indonesia.

Dalam dunia yang kian sesak dan pengap, di tengah perputaran roda kehidupan yang memaksa kita untuk terus bergerak secepat-cepatnya, cinta bisa menjadi sesuatu yang terlampau absurd untuk digaungkan. Sekalipun ada, dengan cepat ia terlibas oleh ambisi dan egoisme. Kita tak pernah jemu menyuarakan cinta, namun hati kecil kita tahu, pada esensinya yang paling sejati, cinta telah lama terhimpit dan tertindas. Kita punya begitu banyak ‘baju’ berlabel cinta yang setiap hari kita pakai dan tunjukkan kepada dunia, namun cinta itu sendiri nyaris tak pernah tersentuh.

Malam ini, sebelum mempublikasikan #indonesiaunite untuk kesekian kalinya di halaman Twitter, saya menyempatkan diri untuk berkaca dan bertanya: apa yang sesungguhnya mendorong saya untuk mengetikkan sebaris kata itu? #indonesiaunite bisa datang dan berlalu, apa yang saya tulis bisa tergusur, namun yang melatari lahirnya sebaris kata itu dalam hati saya akan tinggal jauh lebih lama dari kalimat-kalimat yang pernah saya ciptakan.

Malam ini, sepenuh hati saya berdoa, dunia akan melihat bangkitnya sebuah bangsa yang bersatu karena cinta.

Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

—–

Pada Duabelas

Mereka bilang, perpisahan adalah sebuah titik
Bagiku, perpisahan adalah sebuah koma
Yang mengajarku menggurat tanda-tanda lain di kanvas ini

Mereka bilang, perpisahan adalah duka
Bagiku, perpisahan adalah lahirnya jiwa
Ketika sayap yang merapuh kembali menemukan daya

Mereka bilang, perpisahan adalah derita
Bagiku, perpisahan adalah menerima dan memaafkan
Dan dari sana aku belajar mengenal cinta

Mereka bilang, perpisahan adalah akhir
Bagiku, perpisahan merupakan awal
Karena perpisahan mempertemukanku denganmu

Hari ini, genap duabelas bulan sudah
Kita masih menari, dan kita masih tak tahu
Kemana hidup akan bergulir, kemana hati mengalir

Namun satu hal hatiku tahu
Apa pun yang dihadiahkan hidup pada kita kelak
Perjumpaan denganmu adalah sesuatu yang akan kusyukuri selamanya.

Mauliate godang, Kakak. Holong rohakku tu ho. It’s been a wonderful year. 🙂

~ Banten, 18 Juli 2008 – 18 Juli 2009 ~

*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Terbang Tinggi

Aku punya segudang impian untuk kau jalani
Doa yang kupanjatkan dalam sunyi tanpa pernah kau dengar
Saat membelai dan merengkuhmu
Yang lelap sambil memeluk boneka kesayangan

Waktu berlari tanpa kita sadari
Tangan mungil yang menggenggam jariku erat
Telah berubah menjadi lengan kuat
Yang memelukku untuk menyampaikan perpisahan

Kau yang dulu terlalu takut kutinggal sendirian
Kini mengepak sendiri pakaian dalam tas besar
Kau yang dulu menangis melihatku pergi
Kini mengusap airmataku sambil berjanji pasti kembali

Terbanglah tinggi, Nak
Gapai semua mimpimu
Aku di sini, menunggu
Kapan pun kau ingin pulang

Saat engkau kembali kelak
Akan tersedia cokelat panas kesukaanmu
Dan telinga yang takkan lelah mendengar
Segala suka dan keluh yang menempati hatimu

Tuangkan seluruhnya, biar kutampung pedih dan tangismu
Ceritakan semuanya, agar aku dapat tertawa bersamamu
Karena engkau, Nak,
Segalanya bagiku

Terbanglah tinggi
Raih semua cita
Jangan bimbang dan gentar
Karena aku di sini, mengiringimu dengan doa

Aku punya berjuta mimpi untuk kau jalani
Asa yang kubisikkan ke telingamu
Sambil memandangimu lelap dalam buaian
Dalam malam-malam senyap saat yang ada cuma kita berdua

Impianku tersimpan rapi
Anganku tak jua padam
Dan harap itu masih terpelihara bagimu
Namun kini, aku terlalu mencintaimu untuk tak melepasmu

—–

*Dipersembahkan untuk seorang wanita yang rela melepas semua impiannya agar saya bisa menjalani impian saya. Hari ini, genap lima tahun sudah perpisahan itu. Saya sayang Mama.

**Terinspirasi oleh ‘Fly Away’ (Corrinne May), dan pernyataan dari seseorang: “Anak adalah pusaka yang harus dijaga karena merekalah yang akan meneruskan membawa tongkat estafet kita.” Saya sangat beruntung memiliki seorang Ibu yang tidak mengharuskan saya membawa tongkat estafetnya. 🙂

***Gambar, seperti biasa, dipinjam dari gettyimages.com

Ayah Terkeren Sejagat

Ayah saya, sebagaimana begitu banyak warga keturunan lain di negara ini, punya stereotipe tersendiri terhadap mereka yang ‘berbeda’ dengan kami. Beliau tentu memiliki alasan khusus, dan saya tidak menyalahkannya –atau siapapun— atas hal tersebut.

Sebagai anak tertua di keluarga, dan sebagai anggota dari keluarga besar, kami tumbuh besar dengan meyakini bahwa pasangan hidup kami nantinya haruslah orang-orang yang memiliki garis keturunan sama dengan kami. Bermata sipit dan berkulit kuning langsat. Lebih bagus lagi kalau punya nama Cina dan bisa berbahasa Mandarin. Meski ketentuan ini tidak tercantum di buku panduan mencari jodoh, pasangan sejenis (sukunya ya, bukan jenis kelaminnya) adalah sesuatu yang sudah terpatri di benak kami begitu kami menginjak usia yang cukup untuk paham arti kata ‘pacaran’.

Ada peraturan tak tertulis di keluarga kami bahwa setiap anggota keluarga yang sudah memiliki pasangan (baik berstatus pacar maupun calon suami/istri) harus membawa orang tersebut ke acara yang dihadiri seluruh keluarga besar (misalnya ketika Imlek, malam Tahun Baru, atau sesuatu sesederhana perayaan ulang tahun) untuk dikenalkan kepada semua anggota keluarga. Kesamaan suku tentu saja menjadi prioritas nomor satu, dan seingat saya, belum pernah ada satu pun sepupu saya yang cukup nekat membawa seseorang yang tidak sipit dan tidak berkulit kuning langsat.

Saya tidak tahu kenapa bisa begitu, tapi seingat saya, jangankan membawa ke acara keluarga, belum pernah ada anggota keluarga besar saya yang cukup nekat menjalin hubungan dengan orang yang berbeda suku. Pola screening itu sepertinya sudah mendarah daging dan dilakukan secara otomatis kepada siapa pun yang mendekati salah satu dari antara kami. Bahkan agama menempati urutan kesekian. Yang penting satu suku.

Ayah saya, sebagaimana begitu banyak warga keturunan lain di negeri ini, punya catatan yang kelam dengan mereka yang disebut pribumi, tanpa bermaksud menyudutkan pihak manapun. Meski ia jarang membicarakannya, saya tahu luka itu ada. Meski ia tidak pernah melarang saya berhubungan dengan teman-teman non-cina saya, saya tahu ia berdoa agar kelak saya mendapatkan pasangan yang sama dengan kami. Bukan sekali-dua ia menyiratkannya. Ia hanya terlalu lembut hati untuk menyampaikannya kepada saya dengan tegas dan blak-blakan. Maka, percakapan tentang pasangan hidup pun menjadi topik yang hampir tak pernah disinggung. Kami amat jarang membicarakannya.

Saya ingat, kali terakhir kami membahas topik yang satu itu adalah sekitar dua tahun lalu, di Minggu pagi saat ia mengantarkan saya ke gereja. Saya lupa bagaimana topik itu bisa tersangkut dalam percakapan ringan kami, yang saya ingat adalah ekspresi dan nada suara Ayah yang datar saat ia berucap pelan, “Kalau bisa, dapatnya yang Cina, lah…”.

Saya tahu, beliau ingin menyampaikan lebih dari sekadar ‘kalau bisa’. Saya sudah terlalu mengenalnya. Lelaki yang saya cintai itu tak pernah terang-terangan mengungkapkan keinginannya kepada anak-anaknya. ‘Kalau bisa’ sudah berbicara lebih banyak kepada saya dari yang mampu diutarakannya.

Setengah tahun belakangan, topik yang dulu jarang saya indahkan itu mulai sering singgah di pikiran. Tidak jarang saya bertanya-tanya sendiri, benarkah ini yang saya inginkan? Untuk kelak berpasangan dengan seseorang yang bermata sipit dan berkulit kuning langsat? Untuk menjalani hidup seperti yang telah digariskan untuk saya – bukan oleh takdir, namun oleh tradisi yang sudah mengakar turun-temurun? Apakah saya akan benar-benar bahagia hidup dalam kotak tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran tak henti-hentinya. Seorang sahabat berkomentar bahwa tak selamanya saya perlu hidup untuk memenuhi keinginan orang lain. Saya hanya menanggapinya dengan senyum tipis. Kamu enak bisa bilang begitu, batin saya, kamu bukan orang Cina, dan keluargamu tidak akan menjadikanmu bulan-bulanan hanya karena menggandeng seseorang yang garis matanya berbeda denganmu ke acara keluarga.

Saya hanya ingin hidup damai. Tapi toh saya tidak tahu, sampai kapan saya mampu bertahan menjaga kedamaian itu.

Dua tahun berlalu tanpa percakapan itu pernah disinggung lagi.

Beberapa hari lalu, seorang kawan menanyakan apakah saya bersedia diwawancarai untuk melengkapi materi risetnya. Ia seorang penulis skenario, dan tokoh utama dalam calon film terbarunya adalah peranakan Cina. Saya menyanggupi. Wawancara itu berlangsung ringan dan santai, namun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan membuat saya menilik kembali dan mengkaji ulang, apa saja nilai yang saya terima sebagai seorang warga keturunan yang dibesarkan di Bumi Pertiwi. Termasuk dalam hal berelasi dan menentukan pasangan hidup.

Semakin saya menjawab pertanyaan yang diajukan, semakin sering pula saya bertanya kepada diri sendiri, inikah yang kamu inginkan, Jen?

Saya bahkan tidak berani menjawabnya.

Setelah percakapan itu berakhir, saya termenung sendiri. Mendadak, pikiran saya dipenuhi begitu banyak hal yang simpang siur.

Merasa bukan waktunya menjejali otak dengan hal-hal rumit, saya memutuskan untuk mandi. Tepat sebelum saya meraih kotak berisi peralatan mandi, ponsel saya berdering untuk kedua kali.

Lelaki yang harumnya selalu saya rindukan itu menelepon.

“Sedang kangen Mama kamu,” katanya. Saya tersenyum dan memutuskan, mandi bisa menunggu.

Sejurus kemudian, meski telinga saya mendengarkan dan mulut saya mengobrol, saya sadar, otak saya tidak berhenti memproses percakapan terdahulu saya.

“Papa keberatan nggak, kalau saya nikah dengan yang bukan Chinese?”

Sama seperti begitu banyak pertanyaan-nggak-pakai-mikir lainnya, kalimat tersebut terlontar begitu saja.

“Ya nggak apa-apa, memang kenapa?” Beliau menjawab enteng.

Heh?

“Serius?” Saya bertanya dengan takjub campur kaget.

“Iya. Kamu mau nikah sama siapa aja, nggak apa-apa. Hidup, hidup kamu. Kamu bebas…” jawabnya, masih dengan nada ringan yang sama, seolah percakapan dua tahun silam tidak pernah ada.

Saya mencoba mencari ketidakrelaan di balik kalimat-kalimatnya, namun tidak berhasil menemukannya. Saya mencari lagi. Mungkin ada sebaris kecewa yang berusaha ia tutupi. Nihil.

Chinese atau bukan, nggak masalah. Yang penting, kamu harus ingat, laki-laki itu harus sayang sama kamu, perhatian, dan bukan anak Mami,” lanjutnya.

Saya mendengarkan dengan mulut terbuka, sementara benak saya tak henti-hentinya mencoba merangkum apa saja yang telah terjadi selama dua tahun ini. Apa yang membuatnya berubah pikiran? Apa yang membuatnya begitu mudah membebaskan saya untuk menempuh jalan hidup yang saya pilih sendiri?

“Itu hak kamu, siapa pun yang kamu pilih. Kamu bebas…” tuturnya lagi, menyiramkan air sejuk pada hati saya.

Setelah percakapan berakhir, saya menutup telepon dan membatalkan niat saya melangkah ke kamar mandi. Saya duduk di tempat tidur sambil menimang ponsel, dan perlahan, mata saya membasah.

Saya pikir, sebaris “I love you” dan “Take care” yang kami pertukarkan hampir setiap hari adalah hadiah paling berharga yang bisa kami berikan kepada satu sama lain. Saya salah. Ternyata beliau masih punya hadiah berharga lain.

Saya tak tahu apakah Ayah menyadarinya, namun malam itu, tidak hanya dilepaskannya seonggok beban dari pundak saya, ia juga memberi saya sepasang sayap.

Terima kasih Tuhan, untuk Ayah terkeren di dunia. I am so lucky.

—–

Dicari: Pendengar yang Baik

Tinggal beramai-ramai di kos-kosan selalu memberi kejutan dan tantangan tersendiri untuk saya, sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di rumah yang berisi delapan kamar ini – setahun yang lalu. Saya belajar, meski menyenangkan dan seperti memiliki keluarga baru, tinggal bersama di bawah satu atap bukanlah hal yang mudah. Seringkali dibutuhkan usus yang panjang, berton-ton toleransi, bergalon-galon kesabaran, dan banyak lagi.

Saya yang menyukai keheningan, misalnya, harus rela jika suatu pagi terbangun dengan kaget karena suara keras tetangga sebelah, atau bunyi air dari keran yang diputar sampai pol. Saya yang membutuhkan suasana tenang untuk bekerja kadang harus merelakan pekerjaan saya tertunda akibat suara-suara berisik yang tidak bisa ditolerir telinga dan otak. Saya yang terbiasa mandi tanpa menggunakan alas kaki terpaksa ikut bersandal-jepit ria ketika mengetahui teman-teman saya menggunakan sandal di kamar mandi (nggak apa-apa juga kalau saya ingin tetap bertelanjang kaki, tapi kan jijik membayangkan lantainya?). Saya juga belajar membiasakan diri ketika tubuh yang sedang sakit tidak bisa mendapatkan istirahat secara optimal karena teman-teman serumah sibuk dengan aktivitas dan obrolan masing-masing.

Itu hal-hal sederhana yang membutuhkan adaptasi secara personal. Ada pula hal-hal lain yang meminta perhatian lebih, di luar yang biasa terjadi setiap hari. Salah satunya jika ada kawan yang sedang bermasalah dan butuh teman curhat. Tidak jarang, kegiatan sesederhana berjalan kaki ke warung menjadi ajang bagi-rasa yang memerlukan kesiapan telinga dan hati. Waktu istirahat di malam hari pun bisa menjelma menjadi ajang curhat massal. Memang tidak selalu hal seperti ini terjadi, banyak juga malam-malam ceria nan hedon dimana kami berfoya-foya menghamburkan tawa, lelucon dan cerita-cerita konyol, terpingkal-pingkal sampai sakit perut, atau sekadar menghabiskan waktu untuk nongkrong bersama. Namun, ketika sesuatu yang serius terjadi pada salah satu di antara kami, diperlukan perhatian dan ‘penanganan’ yang lebih dari sekadar bercanda, tertawa, dan berkumpul. Di sinilah saya banyak belajar.

Sungguh, tidak mudah menjadi pendengar yang baik. Di awal perintisan karir untuk menjadi pendengar profesional *halah*, saya menemukan begitu banyak kendala. Mulai dari menahan lidah untuk tidak berkomentar, menunda opini, menjaga perhatian tetap tertuju pada lawan bicara (apalagi jika kisah yang sama sudah diulang puluhan kali), menyediakan diri untuk ‘hadir’ sepenuhnya bagi orang yang bersangkutan (karena keberadaan tak selalu sama dengan kehadiran – kita bisa bersama seseorang tanpa sepenuhnya hadir, dan sebaliknya, kita bisa hadir baginya tanpa perlu bersamanya), sampai mendengarkan tanpa merumuskan penilaian apa pun.

Awalnya, saya pikir saya bisa menjalaninya dengan mudah. Mendengarkan orang lain adalah salah satu keahlian saya sejak jaman baheula; saya sudah terbiasa menghadapi orang yang ujug-ujug datang untuk curhat. Mulai dari sahabat, saudara, kerabat, orang tua, orang asing, kawan baru, sampai asisten rumah tangga teman saya.

Mendengarkan memang bukan sesuatu yang sulit. Namun mendengarkan tanpa menilai –sekadar hadir sepenuhnya bagi orang yang bersangkutan— yang menjadi salah satu kriteria dari Nonviolent Communication (Komunikasi Tanpa Kekerasan) adalah sesuatu yang sama sekali berbeda.

Setelah beberapa kali mencoba mengaplikasikan Nonviolent Communication dalam kehidupan sehari-hari, saya menyadari sesuatu: kemampuan saya mendengarkan selama ini nyaris tidak ada gunanya. Cara saya menyampaikan perasaan dan kebutuhan pun masih terseret-seret, padahal saya menyangka telah cukup gape dalam bercuap-cuap karena terbiasa menangani klien. Saya mengira dapat menjadi pendengar dan komunikator yang baik dengan ‘jam terbang’ yang tinggi, namun nyatanya, cara saya berkomunikasi tetap butut. Berkomunikasi tanpa kekerasan itu nggak gampang, Jendral.

Sudah beberapa bulan saya mencoba mempraktekkan jenis komunikasi ini (mendengarkan dan menyampaikan isi hati tanpa kekerasan), dan kemampuan saya masih setara dengan anak balita yang sedang belajar jalan. Tertatih-tatih dan berulang kali terjerembab. Di awal masa belajar, saya bahkan sempat menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil dan ngomel-ngomel berat kepada seorang sahabat yang pertama kali memperkenalkan pola komunikasi ini. Satu-satunya hal yang membuat saya bertahan adalah karena saya tersentuh oleh tindakan sahabat saya yang kerap bertanya, “Ingin didengarkan saja, atau ingin diberi saran?” ketika saya menghubunginya untuk curhat.

Buat saya, itu keren. Sumpah.

Dialah orang pertama yang menanyakan hal seperti itu sepanjang sejarah percurhatan saya. Dia menyediakan telinganya untuk saya sampahi, dan pada saat yang sama memberikan saya ruang untuk memilih; apakah saya ingin mendengar opininya atau tidak. Saya selalu takjub dengan kemampuannya untuk tetap menjadi netral setelah sesi curhat panjang nan membosankan dengan masalah yang berkali-kali saya ulang seperti kaset rusak. Dia tidak ikut-ikutan marah dan menyumpahi orang yang saya kutuki, tidak terburu-buru mengungkapkan pendapat, dan tidak pernah menjatuhkan penilaian –apalagi penghakiman— atas kelebihan stok airmata yang dengan semena-mena saya tumpahkan kepadanya.

Hal-hal tersebut membuat saya bertahan. Bukan karena saya ingin mengikuti jejaknya, melainkan karena saya telah merasakan manfaat dari Komunikasi Tanpa Kekerasan. Saya tahu rasanya tidak didengarkan, karena itu, kini saya ingin mendengarkan. Saya ingin mendengarkan, karena saya telah didengarkan. Sesederhana itu.

Bukan sekali-dua saya mengalami kejadian yang tidak menyenangkan dalam sesi curhat-ke-teman-dekat. Setelah berkali-kali menceritakan isi hati kepada beberapa orang yang cukup karib, saya mendapati, sebagai komunikator, ada kalanya saya hanya ingin didengar. Mungkin ini terdengar tidak adil bagi orang yang saya curhati karena terkesan ‘egois’, ‘ingin nyampah doang’, ‘nggak mau diberi input balik’, dan sebagainya. Seandainya saja saya bisa bilang kepada semua orang yang pernah menjadi tong sampah saya: saya senang dengan saran, masukan dan komentar kalian. Seandainya saya bisa berkata seperti itu. Kenyataannya, tidak. Bahkan, berkali-kali setelah mendengarkan masukan dan saran dari orang yang saya curhati, saya merasa menyesal sudah bercerita. Bukan karena saya tidak suka dengan isi sarannya, namun karena bukan itu yang saya butuhkan.

Saya menghargai setiap masukan, saran, komentar, koreksi, dan apa pun yang diberikan orang kepada saya, dan saya berterimakasih atas perhatian dan waktu yang mereka luangkan, namun ada kalanya saya hanya butuh didengarkan. Ada kalanya saya tidak butuh opini atau solusi. Saya hanya memerlukan telinga yang bisa menampung unek-unek saya, dan barangkali, bahu untuk ditangisi.

Itu sebabnya, kini saya sangat membatasi diri untuk mencurahkan isi hati kepada orang lain. Sangat sedikit orang yang saya percayai untuk menampung sampah-sampah batin saya. Bukan karena saya tidak menghargai predikat ‘saudara’, ‘sahabat’, atau ‘kawan baik’ di belakang nama begitu banyak orang yang cukup akrab dengan saya, melainkan karena saya membutuhkan orang yang bisa mendengarkan.

Jika saya memerlukan saran, saya akan mendatangi orang yang bisa dimintai saran. Jika saya memerlukan pendapat, saya akan menemui orang yang kompeten untuk memberi pendapat. Tapi hanya orang-orang tertentu yang saya percayai untuk mendengarkan. Seringkali, mereka tidak memiliki petuah berharga atau wejangan bijak untuk disampaikan, namun telinga dan hati mereka telah menolong saya menemukan jawaban dan solusi jauh melampaui yang dapat diutarakan bahasa. Kepada merekalah saya berhutang begitu banyak terima kasih.

🙂

Saya percaya, kita terlahir di dunia sebagai bayi yang tidak mengenal baik-buruk benar-salah. Pengkondisianlah yang memperkenalkan kepada kita apa itu hitam, apa itu putih. Apa itu baik, apa itu buruk. Dalam proses pendewasaan, kita diajar bahwa mengekspresikan perasaan dan kebutuhan seutuhnya bukanlah sesuatu yang baik. Beberapa dari kita bahkan telah begitu terbiasa menekan perasaan dan mengabaikan kebutuhan diri sendiri. Tanpa disadari, perasaan dan kebutuhan yang tidak pernah diijinkan berekspresi itu menjelma menjadi penilaian dan penghakiman yang kita jatuhkan pada orang lain – entah melalui tutur kata, tindakan, maupun pemikiran.

Penilaian dan penghakiman tersebut akan memancing reaksi serupa dari orang-orang yang menerimanya dan memulai siklus yang terus berulang dalam hidup kita. Lingkaran setan yang tidak pernah ada ujungnya. Kita terus berputar di dalamnya, menjalani siklus yang sama sepanjang hayat, dan menyangka telah turut berpartisipasi dalam perdamaian dunia. Kita mengira, dengan menempatkan perasaan dan kebutuhan di urutan kesekian, kita telah memberikan sumbangsih untuk terciptanya kerukunan dan persatuan.

Bagi saya, perdamaian dunia tidak ditandai dengan berakhirnya peperangan. Perdamaian dunia tidak diawali dengan gencatan senjata dari kubu-kubu yang bertikai. Perdamaian dunia dapat dimulai dari diri kita sendiri, dengan menghentikan siklus kekerasan yang selama ini memerangkap kita dan begitu banyak orang yang terhubung dengan kita. Cara menghentikan siklus itu adalah dengan jujur kepada perasaan dan kebutuhan yang kita miliki. Cara memutuskan lingkaran setan itu adalah dengan berhenti menjatuhkan penilaian dan mulai berdiam diri. Sekadar bernafas dan memperhatikan bisa jadi hadiah paling berharga yang bisa kita berikan bagi seseorang. Sekadar hadir dan mendengarkan bisa menjadi sumbangan terbesar kita untuk terciptanya kerukunan dan persatuan yang bukan cuma slogan. Pertanyaannya, bersediakah kita?

Mungkin kedengarannya berlebihan, namun saat ini, rasanya saya akan lebih memilih duduk bersama orang-orang sederhana yang bersedia menyediakan hati dan telinga untuk semata hadir dan mendengarkan, daripada mereka yang kemampuan berpikirnya menyaingi kecepatan cahaya, sanggup merangkai sejuta makna dan merangkumnya dalam kalimat-kalimat bijak, serta sigap memberi berbagai petuah dan masukan tanpa diminta.

Kita sudah kelebihan stok orang pintar dan orang bijaksana. Kita butuh lebih banyak pendengar yang baik.

*Informasi selengkapnya mengenai Nonviolent Communication (Komunikasi Tanpa Kekerasan) dapat disimak di sini.

**Gambar dipinjam dari gettyimages.com, dengan pemotongan seperlunya. 🙂