Fan(s)atisme

I’ve lost the sparks.”

Itulah yang saya cetuskan ketika sedang duduk sambil ngobrol santai dengan Mbak ini di sebuah restoran Jepang. Waktu itu, kami sedang membahas Fan Page dan komentar-komentar di dalamnya.

Sebagai salah satu administrator Fan Page, saya membuka account tersebut minimal dua kali sehari. Lebih sering dari minum obat. Jika dibandingkan dengan total anggota yang sudah mencapai belasan ribu, jumlah komentar yang masuk ke Fan Page setiap hari memang tidak sampai satu persennya, namun bukan jumlah komentator juga yang membuat saya bengong jaya, melainkan isi komentarnya.

Tidak sedikit penggemar yang bisa dimasukkan dalam kategori hardcore dari caranya memuji-muji, keinginan menggebu untuk bertemu, apresiasi pribadi terhadap Mbak ini, dan sebagainya. Sedikit banyak, membaca komentar-komentar mereka membuat saya merenung dan berpikir, dulu saya kayak gitu nggak, ya? Bukan bermaksud membanding-bandingkan, hanya saja, saya pernah merasakan kekaguman yang serupa, jauh sebelum berkenalan dengannya.

Saya jatuh cinta dengan karya-karya beliau sejak Filosofi Kopi terbit. Kekaguman itu semakin bertambah ketika saya menemukan blog-nya, meski saya tidak paham isinya. Yang ada di pikiran saya waktu itu hanya, “Keren bener bisa merangkai kata kayak gini.” Jadilah saya penggemar setia yang tidak pernah melewatkan satu pun entrinya dan sesekali memberanikan diri berkomentar… supaya eksis di memorinya. Siapa tahu, dengan rajin berkomentar, lama kelamaan ia akan hafal nama saya. Gunanya? Nggak ada, sih – namanya juga ngefans, harap maklum. 🙂

Layaknya fans pada umumnya, saya sering sekali berkhayal, seandainya saja saya bisa bertemu langsung dengannya. Di luar kota pun akan saya bela-belain, demi bertatap muka dengan idola. Sayangnya, saat itu ia sedang vakum meluncurkan buku, sehingga acara-acara seperti bedah buku –yang memungkinkan penggemar berjumpa langsung dengan penulis—tidak ada sama sekali. Atau, kalaupun ada, informasinya tidak sampai ke telinga saya.

Ketika akhirnya kami bertemu langsung —di rumahnya pula— jangan ditanya bagaimana rasanya. Badan gemetar, telapak tangan berkeringat dingin, dan saya tidak bisa duduk rileks. Malam itu saya bergulingan di kasur tanpa bisa tidur, dan esok paginya terbangun dengan pertanyaan, yang kemarin itu mimpi bukan ya? Saya memeriksa ponsel untuk memastikan nomor beliau tersimpan di sana, sebagai bukti bahwa saya tidak bermimpi.

Beberapa hari kemudian, melampaui mimpi ketiban duren, kejatuhan bulan dan segala perlambang rezeki lainnya, saya mendapat kabar bahwa beliau berniat merekrut saya menjadi asisten pribadi. Lagi-lagi saya tidak bisa tidur saking senangnya. Saya menunda sekian hari untuk mengabarkannya kepada keluarga, for the sake of… jaga-jaga aja, siapa tahu kali ini beneran cuma mimpi. Ternyata saya tidak bermimpi, dan keluarga saya menyambut kabar bahagia tersebut dengan kendurian tujuh hari tujuh malam.

*You don’t seriously believe that, do you?*

Teman-teman saya yang mengetahui perekrutan tersebut mengulang pertanyaan yang sama dari waktu ke waktu: “Gimana caranya lo bisa kerja sama dia?”, “Ketemu di mana?”, “Sejak kapan kenalnya?” dan sebagainya, dengan nada kagum plus penasaran. Dan saya selalu memberi jawaban yang sama, diawali dengan kalimat, “Ceritanya, gue kan ngefans banget…”.

Yes, I considered myself a very lucky girl.

Sepuluh bulan sudah berlalu sejak perjumpaan pertama saya dengannya. Hari itu, dalam obrolan remeh mengenai Fan Page, ingatan demi ingatan kembali berkilasan di benak saya. Hanya saja, kali ini, saya merasa ada yang ‘kurang’.

Saya masih menggemari karya-karya beliau, namun kekaguman terhadap penulis sekaligus penyanyi favorit saya itu lenyap sudah. Saya mencoba menggali ingatan, sejak kapan, kok bisa, dan sebagainya, tapi saya tidak berhasil menemukan jawaban.

Saya pun menduga-duga: apakah karena kami terlalu sering bertemu? Perjumpaan fisik memang tidak setiap hari, bahkan kadang tidak seminggu sekali, tapi komunikasi melalui e-mail dan SMS kami lakukan setiap hari. Apakah itu yang membuat saya ‘mati rasa’?

Apakah percikan itu hilang karena akses yang ada memungkinkan saya untuk mengenal beliau dengan lebih mendalam, dan saya menemukan begitu banyak hal biasa dari sosok yang pernah saya anggap luar biasa?

Apakah kedekatan bisa memapas rasa kagum? Apakah percikan itu hilang karena saya mengetahui seorang Dewi Lestari ternyata begini dan begitu, atau tidak begini dan tidak begitu?

Apakah kekaguman itu hilang karena saya lebih sering numpang makan dan numpang mandi melihatnya di rumah, bersantai dengan pakaian seadanya dan wajah polos, ketimbang berdiri di atas panggung dengan make-up tebal dan gaun berkilauan?

Entahlah. Mungkin iya. Yang pasti, percikan itu lenyap entah kemana.

Di satu sisi, saya bersyukur. Somehow, saya justru merasa lebih jernih dalam berelasi dan bekerja ketika saya tidak lagi menganggap beliau sebagai sosok panutan. Pun ketika saya berada seruangan dengannya dimana ‘peran’ yang saya jalankan bukan lagi sebagai bawahan, melainkan ‘sesama’ – contohnya ketika kami sama-sama menjadi peserta meditasi mingguan.

Dulu, saya selalu ragu bersuara dalam sesi-sesi diskusi, karena saya berpikir, “Duh, kalo gue bilang gini, ntar apa pendapatnya, ya? Salah nggak, ya? Konyol nggak, ya?”.

Dulu, saya sering sekali sungkan menyampaikan pendapat, apalagi yang berseberangan dengan pendapatnya, karena saya berpikir, “Siapalah gue? Yang ada juga dia yang bener, gue yang salah” – bukan karena beliau atasan saya, namun karena saya merasa kecil bila dibandingkan dengan idola saya.

Dulu, saya selalu berhati-hati melontarkan lelucon, bukan karena takut menyinggung dirinya, melainkan karena saya tidak mau dianggap aneh olehnya.

Sekarang? Bablas rek. Jangankan beda pendapat, berselisih aja sudah lebih dari sekali. 🙂

Lepas dari itu semua, saya bersyukur bahwa pudarnya percikan itu justru membuat saya bisa melihat sosoknya dengan lebih natural. Seiring dengan lunturnya citra demi citra yang terkonstruksi di benak saya tentang ‘Dee sebagai penulis favorit’ dan ‘Dewi Lestari sebagai penyanyi idola’, saya menemukan banyak pelajaran, baik dari keberadaannya sebagai orang biasa maupun dari relasi kami sebagai atasan dan bawahan. Terkadang, saya melihat beliau bukan lagi sebagai atasan belaka, melainkan teman yang bisa diajak bercanda konyol dan bertukar cerita-cerita remeh. Ketika citra ‘idola-penggemar’ mulai tersingkir, yang tersisa adalah sebentuk relasi yang terasa nyata dan apa adanya. Bisa menyenangkan, bisa menjengkelkan, bisa membuat tertawa terpingkal-pingkal, bisa juga membuat sebal.

*Sebal? Emang pernah? Ya pernah, lah. Namanya juga berhubungan dengan sesama manusia.*

Seiring berjalannya waktu, saya mulai mampu mengintip berbagai ruang di hati dan menelusuri lebih jauh: mengapa saya merasa begitu membutuhkan kehadiran seseorang yang lebih tinggi, lebih hebat dan lebih segala-galanya untuk dijadikan panutan, daripada melihat ke dalam diri dan mempercayai kemampuan saya sendiri? Mengapa saya selalu merasa perlu ‘mengikuti’ seseorang daripada berjalan dengan tuntunan kaki sendiri? Mengapa saya merasa ada yang kurang jika saya tidak punya figur idola yang bisa saya puja-puji?

Everyone needs someone to look up to, kata Tante Whitney. Kalimat itu telah saya jadikan pembelaan, namun saya merasa ada yang kurang pas dengan justifikasi parsial itu. Benarkah saya selalu membutuhkan sosok panutan sebagai penerang jalan dalam hidup ini?

*HALAH*

Saya belajar banyak.

Tidak ada yang salah dengan menjadikan seseorang sebagai idola, apalagi jika yang bersangkutan memang punya seribu satu kualifikasi untuk menjunjung predikat tersebut. Tidak ada yang salah juga dengan mengagumi orang lain dan bertekad ingin menjadi seperti dia. Hanya saja, dalam proses tersebut, terkadang kita lupa, bahwa citra yang terbentuk di pikiran kita seringkali tidak sama dengan realita yang sesungguhnya.

Yang sering terjadi adalah, ketika kita mengidolakan seseorang, benak kita dengan kreatifnya menyusun begitu banyak persepsi –bahkan definisi— tentang sosok yang kita kagumi, berdasarkan informasi sepotong-sepotong yang kita kumpulkan dari mana-mana – majalah, televisi, cerita orang, pertemuan langsung yang hanya sekian menit, dan sebagainya. Faktanya, jangankan yang mengidolakan, orang yang tidak mengidolakan saja bisa punya begitu banyak persepsi yang belum tentu sejalan dengan kenyataan.

Kejernihan yang terdistorsi ini lantas membuat kita memiliki penilaian yang kurang akurat. Tidak heran kita begitu mudah ‘disesatkan’. Tidak heran kita begitu mudah menjatuhkan penghakiman atas orang yang tidak kita kenal secara pribadi, hanya dengan menontoninya di televisi atau membaca beritanya di tabloid. Tidak heran kita begitu mudah terpancing dengan berbagai pemberitaan dan isu seputar kehidupan si idola, yang sebenarnya bukan urusan kita. Yang lebih ekstrim lagi, tidak jarang kita merasa ‘memiliki hak’ atas idola yang bersangkutan, karena kita telah ‘menginvestasikan’ begitu banyak perhatian dan rasa kagum atas figurnya. Ingat kasus Aa’ Gym? 🙂

Tidak ada yang salah juga dengan berharap bisa bertemu idola, berdekatan dengannya, menjalin pertemanan, bahkan, kalau bisa, menyebutnya sahabat. Trust me, been there done that. Hanya saja, harapan-harapan ini dapat menyedot begitu banyak energi tanpa kita sadari, sekaligus menciptakan beragam ilusi dan mimpi yang tak kalah dahsyat dari Indonesia menang Piala Dunia. Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan itu semua, dan tidak ada yang salah dengan meyakini Persija bisa mengalahkan Manchester United, namun sungguhkah kita ingin hidup dalam ilusi?

Ada kalanya pula, kita mendapatkan rasa ‘aman’ dengan ‘berlindung’ di balik sosok yang dipuja, dan menganggap perspektif kita tentang dirinya adalah gambaran yang sudah pasti benar. Tanpa sadar, kita menabung begitu banyak ekspektasi dalam diri seseorang yang tidak kita kenal secara langsung. Orang-orang yang hanya kita lihat di televisi, kita dengar suaranya, kita baca tulisannya. Kita menerjemahkan kekaguman tersebut dengan pemahaman kita sendiri, ke dalam bahasa kita sendiri, dan menganggapnya sah. Tidak heran kita begitu mudah kecewa ketika mendapati sosok idola kita ternyata tidak sesuai dengan gambaran ideal itu, atau memunculkan reaksi berlebihan ketika sang idola berbuat sesuatu yang sebetulnya amat wajar dan biasa dilakukan semua orang.

Atau, pernah dengar yang seperti ini: bertengkar dengan orang lain karena tidak terima idola kita dijelek-jelekkan? Kekeuh jumekeuh berdebat sampai mulut berbusa demi membela idola? Menjadikan segala sesuatu yang diucapkan dan dilakukan idola sebagai patokan standar tingkah laku dan perkataan – bahkan menjadikannya prinsip hidup? Menghabiskan tabungan untuk memburu idola ke ujung dunia, lalu pingsan ketika melihatnya? Yang terakhir ini dialami oleh teman dari kenalan saya, yang bela-belain nonton konser Michael Jackson di luar negeri dan langsung pingsan begitu melihat MJ muncul (bahkan nggak sempat nonton!) . 😀

Itulah yang saya sebut fan(s)atisme.

Nggak bisa tidur setelah bertemu idola di mal, memaksa anak berfoto dengan idola padahal anaknya nggak mau, ngebet ingin berjumpa sampai kebawa mimpi tiga hari tiga malam, dan memuja-muji idola sesering mungkin dimana pun ada kesempatan juga berpotensi bagus untuk berkembang menjadi fan(s)atisme. Hehehe.

I’ve lost the sparks. Dan itu pula yang saya katakan dengan terus terang. Setelah mengucapkannya, saya menatapnya dengan deg-degan sambil membatin, kelar deh kerjaan gue abis ini.

Otak saya membantah, lo nggak bilang juga dia nggak tahu. Toh, nggak penting juga. Lo jujur atau nggak, nggak bakal ngaruh. Saya tidak tahu apakah saya melakukan hal yang benar, namun entah bagaimana, saya merasa dia berhak tahu.

Ternyata, reaksinya di luar dugaan.

“Baguslah,” ucapnya ringan, kemudian melanjutkan makan dengan santai.

Saya nyengir sendiri, lalu mereguk ocha yang mulai dingin. Belakangan saya tahu, ia sependapat bahwa tiadanya percikan justru menyehatkan relasi yang kami jalani, dengan segala dinamikanya.

🙂

Ada yang bilang, percikan adalah sesuatu yang harus terus dijaga, dipelihara, bahkan dikobarkan, karena ‘api’ membuat kita ‘menyala’ – hidup, bertenaga dan penuh semangat. Memiliki idola memang bisa memberi berbagai manfaat positif, seperti memacu kita untuk meraih impian, berusaha memiliki kehidupan yang lebih baik, dan banyak lagi. Namun, bagi saya, yang terpenting bukanlah berupaya mempertahankan percikan tersebut, karena seperti air, nafas, dan segala bentuk energi lain, api merupakan energi yang punya siklus masuk dan keluar. Bisa surut dan membuncah, bisa redup dan berkobar.

Mungkin –hanya mungkin— ada baiknya percikan itu sesekali padam. Barangkali, ada baiknya api itu tak senantiasa berpijar. Tanpa ‘pendar-pendar api’, kita akan mampu melihat dengan jelas sosok yang berada di baliknya, yang selama ini tertutup oleh sinar menyilaukan. Ketika kita dapat melihatnya, barangkali kita juga bisa memperoleh kesempatan untuk mengintip lebih jauh ke dalam kamar hati dan menyadari beragam isi yang tersimpan di sana.

*Dengan mempublikasikan tulisan ini, resmi sudah saya melanggar satu lagi pakem tak tertulis dalam dunia kerja: haram hukumnya ngomongin bos di internet! Semoga bulan depan masih bisa gajian… *crossing fingers* 😀

**Mudah-mudahan nggak ada pendukung Persija yang baca tulisan ini.

***Gambar dipinjam dari gettyimages.com.

Dalam Duapuluh Menit

Duapuluh menit sudah cangkir itu berada di depanmu
Isinya baru berkurang beberapa mili, meski uap panasnya sudah lama hilang.
Duapuluh menit sudah aku duduk di depanmu
Dan baru dua kali kau memandangku dengan senyum hambar.

Sejak tadi kau diam, termangu seperti orang bosan
Padahal ini kali pertama kita berjumpa setelah sekian minggu
Dan ini awal bulan
Dimana aku bisa menraktirmu kopi berharga puluhan ribu tanpa perlu memeriksa dompet.

“Kenapa?”
Hati-hati, aku bertanya.
Sepertinya suasana hatimu sedang tidak baik
Dan aku tidak ingin merusak momen yang harusnya manis ini.

Sambil mendesah, kau topangkan kedua tangan ke dagu.
“Seandainya bisa seperti mereka,” katamu.
Kuikuti arah pandangmu, kutemukan dua wanita menenteng BlackBerry seri terbaru
Kuku mereka dimanikur rapi, dan dalam sarung warna-warni benda itu bagaikan impian yang jauh dari genggaman.

Atau seperti dia,” tunjukmu.
Kembali kuikuti arah jarimu
Seorang laki-laki tengah menyodorkan kartu berwarna keperakan kepada pelayan
Benda macam itu takkan mampu mengisi dompetmu sampai kapan pun, kecuali mujizat turun dari langit dan menjadikanmu kaya-raya dalam semalam.

“Kayak dia juga boleh, deh,” desahmu dramatis.
Lagi-lagi kuputar tubuhku mencari objek pembicaraan
Seorang remaja duduk di pojokan sambil membaca majalah
Tas yang terletak di sampingnya jelas bukan barang murah, dan sandal yang dipakainya setara sepertiga gaji bulananmu.

Aku tersenyum.
Seandainya kau melihat apa yang kulihat, Dik.
Matamu tak mampu menangkap apa yang tersembunyi di balik peranti elektronik bersarung pelangi, kartu kredit platinum, dan benda-benda mewah
Namun mataku dapat.

Barangkali karena pandanganku cukup awas
Telingaku yang kelewat tajam
Meja-meja yang letaknya berdekatan
Atau café mungil yang sore ini tak terlalu ramai.

Wanita berkuku cantik yang menggenggam Blackberry itu tak hentinya mengeluhkan kelakuan suaminya kepada sang sahabat, yang mendengarkan sambil berkomentar bahwa nasib mereka tak jauh berbeda. Suami yang pergi keluar kota enam kali dalam sebulan. Pulang hanya untuk menyetorkan pakaian kotor, kemudian menghilang tak tentu rimbanya. Si Sulung yang pulang pagi dengan mulut bau alkohol dan membantingi barang-barang. Si Bungsu yang kerap dipanggil Kepala Sekolah karena gemar membolos. “Pusing gue, Rin. Kenapa hidup begini amat, ya?”

Pria dengan kartu kredit platinum itu baru saja ditinggalkan oleh seorang wanita berambut panjang. Setelah mengecupnya sekali, dengan setitik air di pipi ia berkata, “Kembalilah ke anak dan istrimu. Mereka lebih berhak atas dirimu.” Lelaki itu menatap sayu, namun punggung itu tetap menjauh.

Remaja belasan tahun itu sedari tadi tak membalik majalah yang dibacanya. Saat meraih cangkir, matanya berkaca. Dua menit lalu ponselnya baru saja ditutup dengan kalimat, “Aku tuh cuma pengen Mama pulang sekali-sekali, ngumpul lagi sama Papa dan aku kayak dulu. Mama udah nggak sayang aku, ya?”

Seandainya bisa seperti mereka, katamu.

Mungkin kita memang perlu berputar, Dik, untuk menjadi apa yang bukan kita
Demi menemukan diri yang sejati, kebenaran kita sendiri
Serta pemahaman sederhana, bahwa memiliki segala yang dapat dibeli uang
Tidak selalu menuntun kepada bahagia.

—–

*Gambar dipinjam dari sxc.hu.com

… .. . ?

Bagaimana kamu mengasihi Tuhan dengan segenap jiwa, jika kamu dikenalkan pada Tuhan yang menciptakan Neraka?

Bagaimana kamu mempercayai penerimaanNya yang tak bersyarat, jika kamu diajar bahwa Tuhan yang menyayangimu juga menghukum mereka yang menolakNya dengan api?

Bagaimana kamu menyembahNya dengan tulus murni, jika kamu percaya bahwa tempat bernama Surga itu diciptakan hanya untuk mereka yang lulus seleksi?

Bagaimana kamu bisa memastikan yang berpijar di dadamu itu cinta, bukan takut dan harap berjubah cinta?

Bagaimana kamu berkata semua makhluk sama di hadapanNya, sementara kamu bersikukuh dirimu yang paling benar?

Bagaimana kamu berkata Tuhan ada dimana-mana, sedang kamu membalikkan punggung kepada mereka yang berbeda?

Bagaimana kamu berkata Tuhan menganugerahimu kehendak bebas, sementara kamu dibekali sederet aturan dan larangan yang jika dilanggar berujung pada siksa?

Bagaimana kamu berkata cintaNya tidak membedakan, sementara kamu percaya Tuhan yang tak memandang rupa itu juga melarang ‘terang’ dan ‘gelap’ bersatu?

Jika kamu berkata kamu mengenal Dia, coba beritahu saya sekarang: siapa itu Tuhan?

..

.

?

Dan kamu bertanya, mengapa saya tidak ingin menjeratNya dalam sebuah kotak.

*Sebelum ada yang ngatain mengganggap saya sesat just in case: nggak, saya nggak sedang ‘mempelajari aliran baru’. Nggak murtad juga. Boleh dong nanya, mumpung masih gratis. ;-)*

T

wahai Tuhan,
sedang apa di sana?
apakah mataMu melihat ke bawah
atau setiap hari kita bertatapan?

wahai Tuhan,
apa kabarMu?
lama tak bersua
atau kita baru saja berjumpa?

wahai Tuhan,
mari bertemu
berjabat sekali lagi
biar kusebutkan namaku

aku
tak perlu mengenalMu
bagiku Kau ada
itu sudah cukup

—–

Menulis Jujur (Belum) Tentu Mujur

Akhir pekan lalu, saya memutuskan untuk hengkang sejenak dari kos-kosan dan pulang ke rumah. Di sana, saya menyempatkan diri membongkar koleksi novel yang sudah lama tidak tersentuh. Ini salah satu kegiatan favorit saya setiap pulang ke rumah: membaca tumpukan novel yang tersimpan di kamar, karena saya terlalu malas membawa buku-buku tersebut ke kos-kosan.

Saya memilih sebuah novel dan membaca sambil leyeh-leyeh di tempat tidur. Belum sampai setengahnya, saya berhenti. Saya merasa ada yang ‘aneh’ dengan novel tersebut, dan perasaan itu cukup mengganjal. Tapi saya tidak tahu apa.

Sejurus kemudian, baru saya sadar. Novel itu memuat begitu banyak pesan dan nilai moral. Saking ‘padat’nya, tidak jarang dalam sebuah adegan diselipkan beberapa paragraf berisi petuah bijak yang tidak ada hubungannya dengan cerita. Si penulis juga menyisipkan konsep idealnya di sana-sini, yang meski terbungkus rapi dalam kemasan fiksi, tetap saja (bagi saya) terkesan dipaksakan. Sejujurnya, saya merasa digurui. Dan itu cukup mengganggu, meski akhirnya saya tetap menamatkannya.

Itu kasus pertama.

Kasus kedua, beberapa waktu lalu saya membaca sebuah diskusi kecil-kecilan di Facebook yang membahas seorang penulis yang karya-karyanya pernah dijuluki ‘sastra selangkangan’ lantaran banyak memuat isu seks dan perempuan. Di forum mini tersebut, beberapa orang mengkritiknya dengan tajam. Salah satu pemicunya (barangkali) karena selain blak-blakan mengedepankan isu seputar ranjang dalam novelnya, penulis ini juga kerap tampil dengan minuman keras dalam acara-acara publik yang menggunakan jasanya.

Membaca kritik-kritik pedas itu, saya termenung. Lambat laun, saya merasa menemukan benang merah antara kedua peristiwa di atas dengan novel-novel saya yang tak kunjung selesai. FYI, beberapa hari sebelum menulis artikel ini, saya membongkar harddisk dan menemukan sepuluh draft (!). Sebagian sudah nganggur bertahun-tahun lamanya, sebagian sudah memiliki outline yang jelas dan lengkap, sebagian lagi sudah jadi, hanya membutuhkan revisi, dan tetap tidak selesai.

Berhari-hari saya merenung dan bertanya-tanya, sampai eneg sendiri. Akhirnya saya mendapati bahwa salah satu faktor yang menyebabkan saya tidak kunjung menyelesaikan novel saya adalah, karena setiap kali saya menulis, di kepala saya selalu muncul berbagai rambu yang mengingatkan saya akan banyaknya batasan yang harus ‘dipatuhi’ dan ‘tidak boleh dilanggar’ demi menciptakan suatu karya yang tidak hanya bermutu, namun juga mengandung pesan moral yang baik dan membangun bangsa. *Halah*

Setelah sekian tahun berkutat dengan draft yang tidak selesai, saya baru menyadari ada begitu banyak batasan yang menghalangi saya untuk menulis apa adanya, seutuh-utuhnya. Dan keterbatasan itu mendorong saya ke titik jenuh, bahkan sampai pada satu titik dimana saya berpikir untuk mengaborsi semua naskah fiksi saya dan memusatkan diri pada tulisan non-fiksi. Saya ‘mendengar’ begitu banyak suara di pikiran yang mengingatkan saya akan kewajiban dan tanggung jawab saya kepada pembaca. Ada semacam ‘kesadaran palsu’ yang akhirnya membuat saya lebih mendengarkan apa kata orang dan merasa khawatir berlebihan untuk ‘melanggar’ rambu-rambu tertentu yang berlaku di masyarakat.

Pertanyaan-pertanyaan berikutnya membombardir otak saya seperti senapan mesin: kenapa juga saya harus merasa bertanggung jawab kepada pembaca? Apakah saya sanggup mengubah pemikiran orang dengan tulisan-tulisan saya? Kalaupun ya, berapa persen tingkat keberhasilannya? Kalaupun ya, apakah benar orang tersebut berubah karena tulisan saya thok, dan bukan karena faktor-faktor lain seperti –katakanlah— memang dia sedang ingin berubah, habis dinasehati oleh orangtua, dikompori teman, dan sebagainya. Kalaupun tidak, apakah saya harus merasa bersalah jika tulisan saya tidak memberi dampak positif bagi orang lain? Apakah saya harus merasa berdosa jika tulisan saya dianggap tidak bermanfaat? Apa itu baik? Apa itu buruk? Apa itu benar? Apa itu salah? Mengapa sastra selangkangan dianggap nista sedangkan tulisan berpetuah bijak dipuji-puji? (RETORIS, by the way. ^_^)

Dan mengapa saya begitu sulit merampungkan naskah fiksi, sementara saya telah menyelesaikan ratusan artikel di blog ini? Apakah perbedaannya hanya terletak di ‘ngeblog nggak perlu pakai plot’ atau ‘ngeblog nggak butuh banyak imajinasi’? Mungkin iya. Tapi, setelah saya meluangkan waktu untuk ‘mengamati ke dalam’, saya mendapati, yang membuat saya bertahan dengan rumah maya ini dan bisa terus menulis adalah, karena di blog saya mampu jujur kepada diri sendiri.

Di blog, saya bisa menuangkan apa saja yang saya mau. Saya bisa nyolot sepuas hati dan tinggal melirik kepada orang yang mencela sambil bilang, “Blog, blog gue.” Saya menulis untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. Karenanya, saya tidak terlalu peduli pada mereka yang tidak menyukai tulisan saya, pun tidak terlalu ambil pusing ketika ada yang mengecam tulisan saya ‘sesat’ lantaran saya menceritakan berbagai pengalaman spiritual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut agama tertentu. Karena, sekali lagi, blog, blog gue. 😉

Beberapa bulan lalu, saya berbincang dengan seorang sahabat via telepon. Ia sempat melontarkan pertanyaan yang membuat saya merenung.

“Apa lo mau seterusnya nulis tentang meditasi kayak gini?”

Waktu itu, bulan Maret tepatnya, saya mendedikasikan lima entri untuk menuliskan pengalaman-pengalaman saya selama mengikuti retreat di Bali. Selama sebulan penuh, isi blog saya berkisar di topik meditasi, pengalaman spiritual, dan insight yang saya dapatkan dalam retreat.

Saya tertawa, “Nggak, lah. Ini lagi special edition aja. Blog gue bukan tentang meditasi…”

Saya terdiam sejenak. Apa yang sebenarnya ingin saya tulis di blog? Tidak sedikit yang berkomentar bahwa tulisan-tulisan saya menginspirasi. Tapi, apa memang itu tujuan utama saya? Untuk menginspirasi? Untuk menyebarkan pesan-pesan kebaikan? Untuk menanamkan nilai-nilai moral?

Jawaban saya berikutnya adalah, “Gue cuma nulis apa yang ingin gue tulis. Apa pun yang lagi nyangkut di pikiran dan hati. Nggak masalah apakah itu tentang pengalaman spiritual, meditasi, pemikiran, curhat, hal-hal remeh, bahkan kalau perlu, omelan-omelan gue.”

Dan saya ingat betul, kalimat terakhir yang saya ucapkan adalah, “Gue nulis bukan buat siapa-siapa, dan bukan untuk menginspirasi atau menanamkan nilai ke siapa pun. Gue nulis buat gue. Kalau ada yang merasa tulisan gue bermanfaat, syukur, kalau nggak ya nggak apa-apa.”

Lantas, apa yang membedakan ngeblog jujur dengan menulis (fiksi) jujur? Kenapa saya bisa membongkar-bongkar isi perut di blog, sedangkan di buku tidak? Kenapa saya mampu curhat di blog, namun sukar menulis apa adanya di buku? Kenapa saya sanggup ngebacot sesukanya di blog, namun kesulitan untuk menuangkan kejujuran dalam manuskrip fiksi saya, padahal kedua-duanya punya akses tak terbatas untuk dibaca orang? Saya tidak bisa mengontrol siapa yang mengunjungi blog saya, sama seperti saya tidak bisa mengontrol siapa yang membaca buku saya. Tidak banyak bedanya, sungguh. Tapi… kenapa?

Pertanyaan ini kembali membuat saya pusing. Dan lagi-lagi butuh waktu yang tidak sedikit untuk ‘menyelam’ dan menemukan jawabannya.

Jawabannya ternyata sederhana saja: untuk mengakses blog saya, para pengunjung tidak perlu mengeluarkan banyak uang. Untuk membeli buku saya, diperlukan puluhan ribu rupiah. Dan itu pula yang membuat saya begitu concern dengan draft-draft saya. Saya merasa bertanggungjawab kepada orang-orang yang (nantinya akan) mengeluarkan uang untuk membeli buku saya. Saya merasa berkewajiban untuk menulis sesuatu yang bermanfaat, agar setidaknya, ada nilai positif yang bisa dinikmati oleh pembaca. Syukur-syukur bisa membuat mereka punya kehidupan yang lebih baik. Blog? Hanya dibutuhkan lima ribu perak untuk mendapatkan akses internet berkecepatan tinggi di warnet. Itu pun sudah bonus Aqua gratis, dan bisa sambil buka Facebook, Friendster, Yahoo!, dan Google.

😉

Perlahan-lahan, sebuah kesadaran baru muncul di benak saya. Selama ini, selama bertahun-tahun, saya telah bersikap tidak adil. Kepada diri saya sendiri. Kepada Jenny yang menanti-nanti untuk bisa bersuara dengan bebas. Kepada berbagai ide kreatif yang terus-menerus diaborsi dan tidak pernah mendapat kesempatan untuk menjenguk dunia. Kepada dorongan hati yang begitu sering saya tekan setiap kali muncul ke permukaan.

Seseorang pernah berkata, “Sebuah pilihan akan menjadi benar apabila pilihan itu sesuai dengan isi hati dan mendatangkan manfaat bagi banyak orang.”

Sebuah pernyataan yang barangkali sangat layak diaminkan dan dijadikan quote of the day. Tidak bagi saya. Saya memilih untuk berhenti sebelum kata ‘dan’. Karena, pada kenyataannya, apa yang saya lakukan, apa yang saya pilih, apa yang saya putuskan, tidak pernah betul-betul bisa mengubah apa pun dalam hidup seseorang – entah itu mendatangkan manfaat, atau menghilangkan manfaat.

Jika ada enam juta orang di muka Bumi, maka ada enam juta ukuran kebaikan dan kebahagiaan. Sebaliknya, juga ada enam juta ukuran keburukan dan kesengsaraan, yang menjadikan semuanya amat relatif, tergantung dari kondisi hati dan persepsi tiap-tiap orang.

Kita bisa bilang, “Saya bahagia karena dia melakukan ini untuk saya,” namun sesungguhnya kita tidak berbahagia karena perlakuan dari orang yang bersangkutan. Kita bisa mengatakan “Saya berubah karena dia,” namun sesungguhnya kita tidak pernah berubah karena orang lain. Dan kita bisa menempelkan label ‘baik-buruk-benar-salah’ pada ribuan hal di dunia, dan pada saat yang sama, tidak pernah ada yang betul-betul ‘baik’ atau ‘buruk’, ‘benar’ atau salah’. Semua hanya dibatasi oleh lapisan persepsi dan konsep ideal yang kita bawa.

Itu sebabnya, saya berhenti sebelum kata ‘dan’. Karena saya tidak percaya bahwa pilihan yang benar HARUS mengandung azas-sosial-manfaat-bagi-banyak-orang. Mungkin kedengarannya egois, namun bagi saya, pilihan yang saya ambil menjadi benar karena itulah yang cocok untuk saya saat ini. Yang terbaik. Yang paling pas. Sejauh mana kecocokan tersebut, hanya saya yang tahu, sama halnya dengan enam juta orang lain di dunia – hanya diri mereka yang paling tahu. Bukan saya.

Kenapa saya harus berpikir bahwa apa yang saya tulis bermanfaat bagi pembaca, sedangkan saya tidak tahu apa yang terbaik bagi mereka? Kenapa saya harus berpikir bahwa tulisan saya punya pengaruh signifikan atas hidup pembaca, sedangkan saya tidak tahu apa yang bisa membuat mereka bahagia? Kenapa saya harus bertanggungjawab atas buah pikiran saya, sedangkan saya tidak pernah tahu isi pikiran pembaca?

Kejujuran kadang memiliki harga, dan harga itu tidak murah. But for once in my life, I want to be honest. To myself. Saya ingin bebas dari ‘kewajiban’ bertanggungjawab terhadap hasil persepsi orang lain, dan saya tidak ingin merasa bersalah hanya karena ‘gagal’ melunasi ‘tanggung jawab moral’ saya. Saya ingin merasa puas karena saya menulis apa yang saya inginkan. Menulis demi Jenny, bukan demi Anu, Inu, atau Uni.

Dan itulah yang terpenting buat saya, setidaknya untuk saat ini. Menulis bukan untuk siapa-siapa. Menulis untuk saya sendiri. Cuma itu.

Saya ingin memberi kesempatan pada Jenny Jusuf. Saya ingin membiarkannya bersuara. Saya ingin mengijinkannya menyampaikan apa pun yang ia mau katakan. Dalam wadah apa pun. Fiksi atau non-fiksi. Buku atau blog. Apa saja.

Saya, hanya ingin jujur.

——

Gambar dari sxc.hu.