Maaf

Tak pernah kuduga saat ini akan tiba
Tak pernah kubayangkan hari ini akhirnya datang
Saat aku berdiri tegak di sini
Memandangmu dengan syukur, tanpa sesal dan perih

Maaf itu akhirnya hadir tanpa kuusahakan
Maaf itu akhirnya ada tanpa kuupayakan

Dan barangkali, inilah maaf yang sejati
Kala aku tak perlu lagi bergumul untuk memaafkanmu
Barangkali, inilah pendamaian yang sesungguhnya
Kala aku tak perlu lagi mencoba melupakanmu

Terima kasih untuk semua.
Pelajaran hidup yang kupetik dari aku, kamu, kita.

Terima kasih telah ada, dan pernah ada.

Aku
Telah memaafkanmu.

—–

Gambar, seperti biasa, dari sxc.hu

Sehari di Situ Gintung

“Ada apa, Mas?”
“Nggak apa-apa. Tadi saya liat sesuatu. Saya pikir kaki. Taunya bukan.”
“Kaki?”
“Iya. Kalo bener, mau saya ambil.”
“Hah? Caranya?”
“Dibuntel.”
“Hah?! Pakai apa?”
“Ya pakai apa aja, yang ada di sini.”

Jawaban terakhir itu membuat saya mingkem dan memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Saya mempercepat langkah sambil terus merunduk, berhati-hati agar tidak menginjak paku atau benda tajam yang menyembul dari retakan lumpur. Di depan, relawan yang berbaik hati mengajak saya turun ke lokasi bencana paling parah di Situ Gintung terus berjalan dengan langkah-langkah mantap. Sesekali ia menoleh untuk memastikan saya tidak tertinggal, dan sekali-dua kali mengulurkan tangan untuk membantu saya berjalan di atas lumpur licin.

Sambil berjalan, ia terus bercerita. Tentang arwah-arwah yang mendatangi para relawan dan penduduk setempat untuk memberitahu dimana jasad mereka terkubur. Tentang satu keluarga yang tidak mampu menyelamatkan diri sehingga mereka semua meninggal di tempat. Tentang seorang laki-laki yang ditugaskan keluar kota dan kembali hanya untuk mendapatkan rumahnya telah berubah menjadi timbunan puing. Tentang seorang ayah yang anak-istrinya tewas mengenaskan. Tentang seorang ibu dan bayinya yang sampai sekarang belum ditemukan. Tentang seorang anak yang selamat gara-gara tersangkut di pohon nangka, sementara seluruh keluarganya tewas. Tentang seorang tukang bakso yang kehilangan istrinya yang sedang mengandung, lantaran pegangannya tak cukup kuat untuk menyelamatkan mereka berdua.

Saya mendengarkan sambil membisu. Mendadak saya tak tahu harus mensyukuri atau menyesali keputusan saya turun ke lokasi paling parah ini, ditambah lagi, kami hanya berdua. Relawan-relawan lain memilih untuk tetap tinggal di posko sambil menunggu beberapa rekan menyelesaikan tugasnya. Saya, yang sejak awal sudah penasaran ingin menyambangi lokasi, tidak menyia-nyiakan ajakan seorang relawan yang sudah khatam setiap inci daerah pusat bencana tersebut.

Media cetak dan elektronik telah membuat musibah Situ Gintung tampak lebih bombastis –kalau tidak bisa dibilang gigantis— dari kondisi sebenarnya, dan tidak sedikit pihak yang memanfaatkan peristiwa yang berdekatan dengan Pemilu ini untuk menangguk keuntungan pribadi; namun lepas dari apa pun yang saya amati, lepas dari derasnya informasi yang membombardir otak seperti senapan mesin, saya menyadari satu hal: luka itu nyata.

Beberapa saat sebelum terapi relaksasi ‘Tentram Ikhlas’ untuk para korban bencana dimulai, koordinator regu kami memberikan pengenalan singkat kepada puluhan warga yang berkumpul untuk menerima santunan di sebuah posko. Lima menit waktu yang diberikan. Baru semenit ia berbicara –bahkan belum sempat menuntaskan kalimatnya— seorang wanita paruh baya yang duduk di pojokan sudah berkali-kali menyusut mata dengan kain jarit yang dipakainya. Beberapa warga memandanginya dengan nanar. Ada pula yang membisu dengan sorot mata hampa. Luka itu ada, dan terlalu nyata untuk diabaikan.

Berjam-jam kemudian, saat terapi berbasis metode Tapas Acupressure Technique (TAT) diberikan kepada sekitar delapanpuluh warga, saya terpukau sendiri melihat perubahan rona wajah orang-orang yang silih berganti mendatangi posko tempat kami berpraktek. Kebanyakan dari mereka masuk dengan ekspresi sarat beban, mata sayu, langkah setengah diseret, dan sebagainya. Setelah terapi diberikan, mereka keluar dengan air muka yang sama sekali berbeda. Penderitaan itu belum hilang sepenuhnya, namun mata mereka tidak lagi hampa. Mereka mampu berjalan lebih tegak, dan harapan baru yang bersinar di sana menghangatkan hati saya.

Selama proses, berkali-kali saya merasakan haru yang besar. Terbersit pula keinginan untuk mendalami metode terapi sederhana ini. Siapa tahu kelak saya bisa menggunakannya untuk menolong orang lain, atau setidaknya, menolong diri saya sendiri, karena TAT tidak hanya diperuntukkan bagi korban bencana. Teknik yang masuk ke Indonesia pada tahun 2006 ini dapat digunakan untuk mengatasi berbagai jenis trauma, alergi, masalah batin, dan banyak lagi.

Selama proses itu pula, berkali-kali saya membayangkan, apa saja yang telah dialami orang-orang tersebut. Apakah mereka kehilangan anggota keluarga? Apakah mereka kehilangan rumah? Apakah mereka kehilangan seluruh harta benda? Apakah mereka menyaksikan kejadian mengerikan itu dengan mata kepala sendiri? Separah apa trauma yang mereka alami?

Salah satu relawan bercerita, seorang bocah mendadak lari terbirit-birit ketika melihat air mineral, dan seorang ibu berteriak-teriak ketakutan melihat air mengucur dari keran. Musibah itu telah memicu rasa takut yang demikian hebat pada air, dan trauma yang ditimbulkannya dapat menyebabkan ‘kerusakan’ yang lebih parah dari sekadar kerugian fisik dan materi.

Melihat dan mendengar itu semua membuat saya berkali-kali membisikkan terima kasih; bukan saja karena saya tidak mengalami bencana dan memiliki kehidupan yang jauh lebih baik, melainkan karena saya bisa menjadi bagian dari rombongan kecil ini. Sekumpulan orang yang tidak berasal dari organisasi mana pun, tidak dikomando siapa pun, dan tidak mewakili kepentingan pihak mana pun. Yang kami punya hanya niat dan tenaga, dan sepenuh hati saya bersyukur diberi kesempatan untuk berada di sana.

—–

Relawan yang memandu saya memperlihatkan lebih banyak lagi reruntuhan dan puing, lantas mengajak saya menyeberangi lahan luas. Di ujung lahan ini terdapat jalan setapak yang akan kami tempuh untuk kembali ke posko. Nyaris tidak ada bangunan utuh di atasnya. Lahan yang dulunya pemukiman padat penduduk telah menjadi tanah rata.

Ralat. Lumpur kering rata. Lahan itu tertutup lumpur kering yang meretak akibat panas matahari.

“Sekarang mah mendingan Mbak, udah bisa buat jalan. Dulu lumpurnya basah, kalo nggak pake sepatu bot, nggak boleh masuk ke sini,” ujar pemandu saya. Saya terdiam. Teringat pada ceritanya sebelum kami berdua sampai ke situ. Hingga hari ini, masih ada beberapa warga yang hilang dan diperkirakan tewas tertimbun lumpur.

“Ada kemungkinan warga yang belum ketemu itu ketimbun di bawah sini?” Mendadak tenggorokan saya seret.

Pemandu saya mengangguk. “Bisa jadi. Tapi udah susah dicari, sih…” ia berjalan mendahului saya. Perlahan, saya menjejakkan kaki di atas lumpur, berusaha mencerna kemungkinan bahwa tanah yang saya pijak masih menyimpan jasad-jasad yang belum sempat dievakuasi. Jasad yang dulunya punya nyawa. Hidup. Manusia. Seperti saya.

Di bawah sini mungkin ada orang.
Di sana pernah ada rumah.
Di situ dulunya kos-kosan tingkat dua…
…dan sebulan yang lalu, mereka semua masih ada.

Kaki saya terus melangkah, namun benak saya tidak henti-hentinya melisankan begitu banyak hal.

Sesampainya kami di posko, rekan-rekan relawan sudah menunggu untuk meninggalkan lokasi. Setelah berpamitan kepada warga setempat, kami berjalan beriringan ke tempat parkir.

“Seneng, udah berhasil lihat tempatnya?” Sahabat saya –penggagas kunjungan ini sekaligus koordinator regu kami— bertanya sambil nyengir.

“Puas, iya. Seneng, nggak,” sahut saya.

Keinginan saya memang kesampaian, namun rasa sakit itu terlalu pekat untuk ditanggung berlama-lama. Luka itu ada dimana-mana. Saya merasa ‘perih’ hanya dengan menjejakkan kaki di atas lumpur kering yang pernah mengubur begitu banyak orang. Saya bersyukur bisa menyaksikan semuanya dengan mata kepala sendiri, namun saya tidak yakin ingin kembali ke puing-puing itu.

Thanks ya, udah bantuin,” celetuk sahabat saya. Entah sudah berapa kali ia mengucapkan itu seharian ini. Saya mengiyakan. Namun suara kecil di sudut hati saya berbisik, sayalah yang seharusnya berterimakasih.

Waduk yang jebol, bangunan yang luluh lantak, rumah-rumah yang tinggal puing dan rangka, lahan berlumpur yang menyimpan begitu banyak duka dan cerita perih di bawahnya, para korban yang menanggung derita, sorot wajah redup, sinar mata sayu, dan kaki-kaki yang berjalan setengah terseret; kepada kalianlah saya berhutang terima kasih. Bukan karena kalian menyadarkan betapa beruntungnya saya, melainkan karena kalian telah mendekatkan saya kepada hidup.

Tak lama berselang, saya dan sahabat berkendara pulang. Hari semakin sore. Mobil melaju perlahan, bersaing mencapai gerbang tol dengan ratusan kendaraan lain yang menyemuti jalan. Badan saya mulai berteriak-teriak minta istirahat karena malam sebelumnya saya hanya tidur selama tiga jam, namun pikiran saya tidak sudi tenang.

Saya duduk tegak, menatap sahabat saya yang sibuk memindahkan persneling.

Can you imagine, losing everything in one night?”

Retoris. Saya tahu. Saya hanya harus mencetuskannya, agar benak saya kembali punya cukup ruang untuk memproses berbagai pemikiran yang menyerbu silih berganti. Pemikiran yang mengusik dan menantang saya untuk menilik kembali daftar prioritas yang selama ini tersusun rapi dalam sel-sel kelabu otak saya.

Situ Gintung telah meluluhlantakkan daerah sekitarnya dan menelan korban ratusan jiwa. Menyisakan timbunan lumpur setinggi dua meter, bocah-bocah yang menangis kehilangan orang tua, suami yang kehilangan istri, ibu yang kehilangan anak, dan entah berapa keluarga yang kehilangan tempat berteduh dan harta benda. Pada saat yang sama, ia mengajarkan saya untuk mengalir.

Bila umur memang tidak dapat ditebak, bila tidak ada yang bisa menggaransi berapa sisa waktu saya di dunia, bila saya tidak pernah tahu kapan perjalanan ini akan tiba di ujungnya, bila setiap detik yang berharga ini tidak akan bisa diulang kembali, dan bila perpisahan dengan hidup bisa menggedor pintu saya kapan saja, barangkali daftar prioritas saya memang layak ditata ulang. Dan kali ini, saya tidak menginginkannya tersusun rapi-matang-terencana.

I want a journey. A real one. A grand one. It doesn’t have to be beautiful, but I want it to be real.

Sore itu, saya menggeser beberapa hal yang selama ini bertengger di urutan pertama daftar prioritas saya. Bersamaan dengan itu, runtuh pula sebuah keyakinan yang selama ini saya genggam erat.

Yang terpenting bagi saya ternyata bukan mengisi hidup dengan hal berguna sebanyak-banyaknya. Bukan lagi berpacu dengan waktu untuk memenangkan apa yang disebut kesuksesan. Bukan pula menumpuk amal dan kebaikan. Bahkan, bukan mengisinya dengan jam-jam ibadah panjang demi selembar tiket emas ke Surga.

Yang terpenting bagi saya kini adalah mengalir bersama hidup. Sebaik-baiknya. Seutuhnya. Menjalani setiap momen sebagai sesuatu yang baru tanpa terus terlempar ke masa lalu dan terseret ke masa depan. Menjelang setiap detik sebagai anugerah.

Hidup sepenuh-penuhnya. Itu saja.

Sahabat saya menggeleng, “No.”

Perlahan, saya merebahkan kepala ke sandaran kursi yang dingin terpapar AC. Membiarkan pertanyaan itu tergusur oleh kemacetan Minggu sore dan mobil-mobil yang merayap padat. Membiarkannya tergerus tuntas, karena yang saya perlukan memang hanya melontarkannya agar hati ini kembali lapang.

I can’t, either.

But one thing I know for sure;

Life is precious. Go with the flow.

*Gambar dipinjam dari http://www.kamera-digital.com/forum/viewtopic.php?TopicID=22257&page=0

Catatan Kecil Buat Tuhan

Terima kasih untuk selalu menjadi tempat berpulang saat saya mendamba kehangatan rumah.

Terima kasih untuk senantiasa menjadi sauh saat kapal kecil ini kehilangan haluan.

Terima kasih untuk cinta tanpa syarat yang tidak pernah menuntut balasan.

Terima kasih karena selalu ada. Di dalam sini.

Dan yang terpenting, terima kasih untuk selalu mengingatkan, lagi dan lagi, mengapa saya jatuh cinta kepadaMu.

Ya. Sampai detik ini, saya masih jatuh cinta. 🙂

You feel that you are lonely
It doesn’t prove that you are alone
You feel that nobody wants you
It doesn’t mean that no one cares about you

Listen to the word I say
That I will always be by your side
You mean everything to Me
And I will never leave you
‘Cause I love you so

You think that you are nothing
But for Me you are something beautiful
You think that you can’t do anything
But you can do a lot of things with Me

Listen to the word I say
That I will always be by your side
You mean everything to Me
And I will never leave you
‘Cause I love you so

No more fear about the future
And blame for the past
I’ll give everything
W
hen I say that I love you

When I say that I love you
I really do.

(When I Say That I Love You – Franky Sihombing)

*Inspired by this song, and this.

**Thanks to Franky Sihombing, jenius pencipta lagu-lagu di atas. Lo emang juaranya, Bang! 🙂

***Gambar masih dari www.sxc.hu.

Bebas Merdeka

“Bingung kenapa hari gini masih ada orang yang jadi Golput! Heran kenapa sih udah punya hak, disuruh milih aja gak mau? Apa salahnya mempertahankan kemerdekaan? Belum juga disuruh perang!”

Omelan yang saya baca di sebuah situs pertemanan itu membuat saya cengar-cengir. Versi aslinya lebih puanjang dan galak, yang tentunya saya diskon untuk ditampilkan di sini in case kebaca sama yang nulis demi terjaganya perdamaian dunia.

Maaf kalau terkesan menyepelekan patriotisme, namun bagi saya, omelan itu menggelikan sekaligus mengundang niat usil. Tapi, berhubung koneksi internet sedang jelek, saya tidak jadi memberikan komentar.

Sejujurnya, saya tidak merasa ada yang salah dengan menjadi Golput. Tidak memilih adalah sebuah pilihan juga. Dan alasan di balik keputusan untuk ‘menjadi putih’ tentunya hanya diketahui oleh orang yang bersangkutan, toh?

Kelucuan kedua, somehow saya merasa, urusan pilih-memilih ini tidak ada hubungannya dengan mempertahankan kemerdekaan. Silakan protes, tapi sungguh, bagi saya, memilih atau tidak memilih tidak lantas menjadikan seseorang berjiwa patriotik ataupun anti-kemerdekaan. Lepas dari berbagai pemikiran yang melatari keputusan seseorang untuk ‘mutih’, ia hanya menggunakan hak pilihnya untuk tidak memilih. Itu saja.

Membaca omelan tersebut, saya jadi bertanya-tanya sendiri, memang apa sebenarnya arti kemerdekaan? Istilah itu sangat familiar, karena saya murid teladan yang sejak SD tidak pernah absen upacara bendera dan tidak pernah melewatkan 17 Agustus-an. Tapi, entah kenapa, kata ‘merdeka’ sering sekali membuat telinga saya gatal. Mengganjal di pikiran. Kalau menurut ilustrasi teman saya, seperti upil yang ngegantung di dalam hidung. Kecil tapi ganggu. ;-D

Merdeka?

Memangnya sudah?

Saya ingat, bertahun-tahun yang lalu, saya begitu sibuk ‘bertempur’. Betapa sering saya merasa kurang, harus mencapai lebih, selalu membanding-bandingkan diri dengan orang lain, dan berusaha mati-matian untuk berubah demi menyenangkan orang yang saya sayangi. Tidak pernah ada yang cukup dari diri saya, dan saya selalu bergumul untuk memaafkan diri sendiri atas kesalahan-kesalahan yang saya buat.

Entah berapa lama ini berlangsung. Seingat saya, pergumulan itu sudah ada sebelum saya menginjak usia remaja, dan stadiumnya semakin menanjak seiring bergulirnya waktu. Terus, dan terus. Sampai akhirnya saya terkapar.

Suatu malam, setelah menjalani hari yang panjang dan melelahkan dengan rasa frustrasi yang kian menumpuk, saya mengurung diri di kamar dan menangis sejadi-jadinya.

Saya lelah bergulat dengan diri sendiri. Saya lelah lari. Saya lelah ‘berperang’, bahkan untuk sekadar membela apa yang saya anggap benar. Bukan karena saya tidak lagi percaya, bukan pula karena tidak ingin bertahan, melainkan karena ‘kebenaran’ yang dijejalkan terus menerus membuat saya penat.

Saya sampai pada satu titik dimana saya tidak lagi memiliki energi untuk melangkah; saya mengkerut di pojokan, bersimbah peluh, terengah-engah, dan di sanalah, untuk pertama kalinya, saya bertanya: “Buat apa?”.

Di sana, untuk pertama kalinya, saya tersadar, bahkan seandainya saya meraih segala hal yang saya perjuangkan, ketidakmampuan untuk berdamai dengan diri sendiri tidak akan membuat saya bahagia. Tidak akan membuat saya berhenti. Saya hanya akan menagih untuk mendapatkan lebih dan lebih, karena saya terus merasa kurang dan kurang. Dan apa gunanya semua yang saya capai, jika saya bahkan tidak bisa beristirahat untuk menikmatinya?

Di sanalah, untuk pertama kalinya, saya bertanya kepada diri sendiri, “Apa yang sebenarnya kamu inginkan?”

Jawaban itu sederhana saja.

Saya ingin bebas.

Dan jawaban yang sama telah memutar hidup saya 180 derajat, hingga detik ini.

🙂

Bagi saya, bebas (atau merdeka, mumpung masih anget Pemilu ;-D) adalah ketika saya dapat jujur sepenuhnya kepada diri sendiri dan orang lain mengenai apa yang saya rasakan. Merdeka adalah ketika saya sanggup menyampaikan isi hati saya dengan tuntas, jelas, dan lengkap tanpa menuntut untuk dipahami.

Merdeka adalah ketika saya mampu mengalir dan berserah sepenuhnya kepada Hidup. Mengijinkan setiap rasa hadir tanpa berusaha menolak atau mencengkeram. Menerima jatah yang telah digariskan bagi saya sesuai dengan jalan yang saya pilih sebelum menandatangani kontrak dengan dunia.

Merdeka adalah ketika saya menatap diri saya di cermin dan mencintai sosok yang terpantul di sana, apa adanya, seutuhnya. Meski ia tidak serupa dengan gambaran mengenai kecantikan atau postur tubuh ideal.

Merdeka adalah ketika saya mampu berkata, “Saya bahagia, dan tidak ada yang ingin saya ubah dari hidup saya”, dan pada saat yang sama membuka tangan dan hati lebar-lebar untuk mengijinkan kebahagiaan pergi jika sudah waktunya.

Merdeka adalah ketika saya sanggup berkata kepada orang-orang yang saya cintai, “Saya sayang kamu, apa adanya”, dan menyediakan telinga bagi mereka tanpa menilai, tanpa menghakimi, karena tempat mereka bukan di otak, melainkan di hati.

Merdeka adalah ketika saya melongok ke dalam batin, menjumpai apa pun yang ada di sana dan mampu menerimanya sebagai bagian dari kehidupan yang terus bertumbuh dan berproses. ‘Jenny’ tidak harus selalu baik. ‘Jenny’ tidak harus manis. ‘Jenny’ tidak harus senantiasa berwarna-warni cerah. Label itu tidak perlu ada.

Merdeka adalah ketika saya berkumpul dengan sahabat-sahabat saya dan merasakan kehangatan yang nyaman ketika saya sadar bahwa saya tidak perlu menjadi orang lain untuk bisa bersama mereka.

Merdeka adalah ketika saya mengalami secara langsung apa yang saya sebut sebagai ‘kebenaran’, tanpa melalui tangan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, dan mampu hidup di dalamnya tanpa berniat menjejalkan kebenaran yang sama kepada orang lain.

Saya paham jika kemudian timbul protes: “Jen, ‘merdeka’ versi lo dengan kemerdekaan bangsa lain kaleee konteksnya.” Memang. Namun, bagi saya, kemerdekaan sejati hanya bisa dimulai dari diri sendiri. Dan kemerdekaan bangsa pun tidak semata ditentukan oleh status ‘bebas-mandiri’ yang disahkan melalui teks proklamasi. Selama peperangan di dalam diri belum berhenti, barangkali makna ‘kemerdekaan’ yang kita ketahui patut dikaji ulang. Dan mungkin ini saat yang tepat untuk mulai mempertanyakan, sudahkah kita merdeka? 🙂

Semua orang berhak menentukan yang terbaik bagi dirinya sendiri, dan tulisan ini tidak dibuat untuk menetapkan ‘standar’ bagi siapa pun. Tulisan ini hanya proyeksi dari konsep personal yang saya miliki tentang kebebasan dan kebahagiaan, dan setiap orang bebas memiliki serta menyuarakan konsep masing-masing.

Salah satu hal yang paling saya syukuri dari hidup saya adalah kesempatan untuk menulis yang terus ada. Bagi saya, menulis adalah sarana pencarian jati diri, dan pada saat yang sama ia memberi saya peluang untuk menguras apa saja yang tersangkut dalam batin, membersihkan sumbat pikiran, dan melapangkan hati. Setiap kali saya membuka komputer untuk menulis, selalu ada lapisan-lapisan baru yang tersingkap. Selalu ada permata yang berhasil saya gali, dan salah satunya baru saja saya temui.

Malam ini, selagi benak dan jemari saya berlomba merangkum dan menuliskan kata demi kata, saya semakin tahu mengapa saya mencintai meditasi.

*”Meditasyi lagi, meditasyi lagiii… mbok yaaaaaa.” Come on, say it! Hehehe.*

Meditasi mempertemukan saya dengan diri sendiri. Meditasi mempertemukan saya dengan ‘Jenny’ yang bukan hasil pengkondisian lingkungan sekitar. Saya mampu terbang mengatasi ranah ideal dimana konstruksi citra didewakan di atas segalanya, dan meski saya tidak bisa meninggalkan ranah itu untuk selamanya, sepasang sayap ini akan terus ada.

Meditasi memperkenalkan saya pada kehidupan yang sejati. Saya belajar mencintainya apa adanya, dan di sana, untuk pertama kalinya, saya sungguh-sungguh tahu, apa itu merdeka. 🙂

*Gambar (masih) dipinjam dari http://www.sxc.hu

Bahagia Versi Saya

…adalah ketika saya melihat hidup saya, diri saya, apa adanya, dan menyadari tidak ada sesuatu pun yang ingin saya ubah.

Hidup tidak selalu indah. Tapi ia sempurna. Dan untuk itu, kata yang paling pas barangkali hanya “Terima kasih”.

Sungguh, Tuhan. Tidak ada yang lain.

…..

Well, setidaknya untuk saat ini. 😉

*Gambar dipinjam dari www.sxc.hu.