Bayangkan tigapuluh orang yang berada di tempat yang sama selama tiga hari. Tigapuluh orang yang menghuni dua bangsal, tidur bersebelahan dan berhadap-hadapan, berbagi kamar mandi dan memasuki aula besar yang sama mulai pukul tiga dinihari sampai sepuluh malam. Tigapuluh puluh orang yang berbagi keheningan tanpa boleh berbicara, bertegur sapa, berbahasa isyarat, bahkan saling menatap. Saya adalah salah satu dari mereka.
Keheningan itu dimulai pada malam pertama, usai arahan diberikan oleh Pak Hudoyo Hupudio, instruktur retreat. Instruksinya sederhana saja, bahkan jauh dari bayangan saya yang semula mengira kami akan diwajibkan duduk dari subuh hingga petang di satu ruangan tanpa boleh bergerak. Yang terjadi justru sebaliknya. Kami boleh berkeliaran di seluruh area Vihara, bahkan boleh melakukan apa saja, kecuali berkomunikasi.
Handphone, dompet dan jam tangan dititipkan kepada panitia, dan kami dilarang berbicara pada siapa pun atau berkomunikasi dalam bentuk apa pun, bahkan sesederhana bertukar senyum atau melakukan kontak mata. Kami boleh duduk kapan saja, berdiri kapan saja, berjalan kapan saja, mandi kapan saja, bahkan tidur kapan saja. Namun semua dilakukan dalam kesadaran penuh. Dalam keheningan total. Dan rasa apa pun yang timbul di permukaan batin nanti –entah bahagia, gembira, kecewa, sedih, marah, gelisah, khawatir— tugas kami hanya mengamati. Berbagai pikiran, keinginan dan fenomena yang muncul pun disikapi dengan cara yang sama. Tidak ditolak, tidak disingkirkan, tidak dipertahankan. Bahkan, sebenarnya, tidak perlu ada upaya apa pun. Hanya mengamati.
Berada dalam kondisi ini secara otomatis membuat gerakan menjadi lambat, karena segala sesuatu dilakukan dengan penuh kesadaran. Eling adalah kata yang paling tepat untuk mewakili kehidupan kami selama retreat berlangsung. Berjalan kaki pun dilakukan perlahan-lahan, bukan karena disengaja, melainkan terjadi secara alamiah ketika kesadaran diperkuat dan gerakan pikiran diperlambat.
Tigapuluh orang dewasa yang berbagi keheningan itu mendadak menjelma menjadi makhluk-makhluk autis yang tenggelam dalam dunia masing-masing. Seakan-akan tiap peserta punya tombol hibernasi dalam dirinya, dan tombol itu serentak ditekan. Selama tiga hari, tidak ada lagi ‘saya’, ‘kamu’, ‘kita’. Dan Vihara luas itu tak ubahnya bangsal Rumah Sakit Jiwa raksasa. Dimana-mana orang berjalan dan melakukan segala sesuatu dengan lambat. Di sudut-sudut, bahkan tak jarang di anak tangga atau di tengah jalan, orang-orang duduk tanpa bergerak, hanya menatap sunyi ke satu titik selama bermenit-menit, kadang setengah jam, atau lebih. Bagaikan patung hidup, kami bergerak, berjalan, duduk, dalam irama serbapelan.
Di hari pertama, saya terheran-heran mendapati gerakan saya jadi selambat kura-kura. Saya, yang sering melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa dan terbiasa makan sambil mengecek e-mail dan membalas SMS sekaligus, kini seperti kehilangan kemampuan bergerak dan berpikir cepat. Sekali waktu, saya terkejut karena seseorang berhasil menjajari langkah saya hanya dalam beberapa menit, padahal sebelumnya ia tertinggal jauh di belakang dan gerakannya juga tidak cepat. Saya tersenyum sendiri. Selambat kura-kura? Salah. Saya selambat siput.
Setiap pagi, saya mengenakan tiga lapis pakaian dan sepasang kaus kaki demi menghindari hawa dingin. Di hari kedua, pukul empat subuh, saya berkeliaran di aula setelah melakukan meditasi duduk. Mendadak, timbul keinginan berjalan di atas karpet dengan bertelanjang kaki. Saya pun melepaskan kaus kaki. Ketika telapak kaki saya bersentuhan dengan karpet, terjadilah ‘keajaiban’ pertama.
Saya belajar melatih diri untuk eling setiap saat, meski tak jarang pikiran masih melantur kemana-mana. Ke beberapa pekerjaan yang terpaksa tertunda akibat kepergian saya. Handphone yang tak tersentuh. Deretan pesan elektronik yang bertengger di kotak masuk dan belum sempat dibuka. Berkali-kali pikiran semacam itu datang dan pergi. Namun, ketika saya berjalan di atas karpet, selangkah demi selangkah, mendadak semua lenyap. Mendadak, benak saya kosong.
Saya tahu saya tidak sendiri, karena di ruangan itu ada beberapa peserta yang sedang bermeditasi. Namun, kini seolah hanya ada saya dan sepasang kaki yang terus meniti jalan di karpet. Sekejap, dunia seperti melambat. Seakan-akan Bumi menahan rotasi dan rela berputar perlahan di porosnya demi bergerak bersama saya. Mendadak, batasan waktu menjadi kabur. Bias. Berbarengan dengan itu, muncul keindahan yang luar biasa, walau saya tak mampu memahami sebabnya.
Tak lama sesudahnya, saya beranjak keluar, berjalan-jalan sambil merapatkan tangan. Dalam dinginnya udara dinihari dan kegelapan, hanya ditemani sinar lampu taman, airmata menetes tanpa bisa dicegah tatkala saya kembali merunut langkah demi langkah. Setiap gerakan terasa begitu berarti. Setiap tapak yang saya jelang terasa begitu bermakna.
Sungguh sukar untuk dijelaskan dengan kata-kata, namun mendadak saya kehilangan keinginan untuk memegang kendali atas hidup saya. Mendadak, keinginan untuk menjamin masa depan dan merengkuh kenangan manis dari masa lalu pun lenyap. Seolah masa lalu tak lagi punya esensi, dan masa depan tak lagi penting. Mendadak, yang saya inginkan hanya terus berjalan. Di atas tanah dingin dan rumput berembun ini. Di saat ini, dengan nafas dan degup jantung ini. Dengan kaki-kaki yang terus berayun lambat. Mendadak, semua itu sudah lebih dari cukup.
Pagi itu, berkali-kali airmata saya tumpah. Ada keindahan yang meluberi jiwa tatkala saya merunut langkah satu persatu, tanpa gerakan berarti. Hanya sekadar berjalan tak tentu arah, duduk, berdiri, berjalan lagi, dan seterusnya. Sungguh, tidak ada yang spesial dari semuanya, namun pada saat yang sama, apa yang saya rasakan tidak terukur bahasa. Tak akan ada kalimat yang cukup pas untuk mewakilinya.
Sepanjang hari, berbagai fenomena –fisik maupun batin— hadir silih berganti. Namun fenomena-fenomena tersebut tidak bertahan lama, dan pergi nyaris secepat mereka singgah. Tak jarang airmata menitik dan sudah nyaris kering ketika saya membuka mata. Baru saat itulah saya benar-benar paham dengan ilustrasi yang mengaitkan alam bawah sadar dengan gudang sampah.
Meditasi menyingkapkan berbagai polusi batin yang tertumpuk jauh di dalam ‘gudang’ –yang sering kali luput dari perhatian, bahkan tak kita sangka ada— dan mengikisnya satu persatu. Perlahan namun pasti, lapisan demi lapisan yang tertimbun muncul ke permukaan batin, menghadirkan berbagai rasa dan fenomena yang tak diduga-duga. Ajaibnya, ketika saya menjalankan peran sebagai pengamat pasif –melihat semua dengan penuh kesadaran tanpa berusaha menanggulangi, menyingkirkan atau mempertahankan sedikit pun— lapisan-lapisan itu luruh satu demi satu. Tuntas tanpa sisa. Yang tertinggal hanya sebentuk keheningan yang netral. Bening. Tak lama kemudian, keheningan itu pun lenyap dan digantikan dengan lapisan berikutnya. Demikian seterusnya.
Di kamar mandi, saya tertegun menatapi keran air dan pipa besi yang terletak di ujung bak. Betapa laju pikiran dan derasnya arus informasi telah menggerus kesadaran kita, membuat daya eling tak ubahnya pipa yang karatan karena terus dialiri dengan berbagai pemikiran plus segala sampah batin yang dibawanya. Betapa keheningan dan kesadaran telah menjadi sesuatu yang ‘mewah’, bukan karena ia langka atau sulit didapat, melainkan karena kita telah lupa cara berdiam diri. Tak terlintas sedikit pun untuk hidup dengan kesadaran penuh dan mengijinkan pikiran berhenti sejenak. Dan di tengah pergerakan tanpa henti itu, di tengah derasnya arus yang mengombang-ambingkan kita kesana-kemari, kita menyangka telah sungguhan ‘hidup’.
Sore itu, saya kembali berjalan-jalan dalam sebuah ruangan. Ada dua meja panjang bertaplak putih dan beberapa bangku plastik di sana. Setelah menyusuri separuh ruangan, mendadak timbul keinginan untuk mendekati salah satu meja yang terletak di tengah-tengah. Saya pun maju. Ketika saya meraih pinggiran taplak, terjadilah ‘keajaiban’ kedua.
Dari semua fenomena yang saya alami, inilah yang paling sulit dijabarkan dengan kata-kata. Ketika saya menggapai taplak, mendadak waktu berhenti. Sekat-sekat ruang lenyap. ‘Jenny’ pun lenyap. Tidak ada masa lalu. Tidak ada masa depan. Tidak ada kemarin, sedetik lalu, bahkan tidak ada hari esok. Batasan ruang dan waktu hilang sepenuhnya, tergusur pada detik jemari saya bersentuhan dengan meja.
Selama sekian detik, saya berada dalam keabadian. Dan keabadian ternyata bukan konsep ‘hidup-selamanya-tanpa-pernah-mati’ seperti yang saya sangka. Ia hadir ketika pikiran berhenti. Ketika tirai pembatas antara yang kekal dan yang fana terkuak. Ketika sekat antara subyek dan obyek menghilang. Ketika ‘aku’, ‘kamu’ dan ‘dia’ lebur bersama. Bahkan tidak ada ‘Jenny Jusuf’. Yang ada hanya ‘semua’, dan ‘semua’ adalah ‘satu’.
Keindahan yang muncul daripadanya mustahil diungkap dengan kata. Inilah Surga. Inilah yang didamba semua makhluk di dunia; tujuan akhir yang dikejar mati-matian oleh banyak orang. Dan saya memasukinya tanpa usaha sama sekali. Tidak ada kata yang mampu mendeskripsikan pengalaman tersebut.
Peristiwa yang sama terulang hanya berselang sekian menit. Saya keluar dari ruangan, berjalan menuju kursi plastik yang baru ditinggalkan seseorang. Ketika tangan saya bersentuhan dengan lengan kursi, ketika tubuh saya menempati benda itu, waktu kembali terhenti. Sekat ruang kembali tiada. Tirai yang membatasi keabadian dan dunia fana kembali tersingkap. Saya kembali menjenguk Surga.
Ternyata Surga tidak berada di awan-awan. Ternyata Surga tidak berada dimana-mana. Ternyata Surga tidak seperti yang saya baca di buku-buku, dan tidak tampak sedikit pun seperti yang diceritakan orang. Surga juga bukan jalan-jalan emas yang dipenuhi bunga-bungaan dengan malaikat-malaikat bersayap. Ia bahkan bukan apa yang saya bayangkan selama ini.
Saya pun termangu. Betapa mahalnya momen-momen yang saya alami beberapa hari terakhir. Betapa mahalnya pengalaman dan pelajaran yang saya dapatkan dari sekadar hidup dengan penuh kesadaran. Bahwa terhentinya pikiran, hilangnya sekat ruang dan waktu, meski hanya sekejap, adalah sesuatu yang teramat mewah. Betapa pikiran yang selalu terseret-seret dan kepayahan berjuang mengendalikan segala sesuatu ini sesungguhnya tak lebih dari sebuah proyektor raksasa. Yang ia suguhkan adalah rangkaian gambar belaka, dan kita yang terseok-seok di dalamnya mengira sedang menjalani hidup – sementara kehidupan sejati sesungguhnya baru dimulai ketika proyektor berhenti berputar.
Berapa kali selama puluhan tahun, kita melangkahkan kaki di jalan yang sama, dengan ritme dan laju yang sama, tanpa pernah sungguhan menyadari apa yang sedang kita lakukan? Berapa kali sepanjang hidup, kita betul-betul menghayati setiap gerakan –sesederhana apa pun— dan memandangnya sama seperti hal-hal lain yang kita anggap ‘besar’, ‘penting’, dan ‘bermakna’? Berapa kali kita sungguh-sungguh berada di masa kini, tanpa terjerat masa lalu dan terlempar ke masa depan?
Keabadian ada ketika pikiran berhenti. Ketika sang ‘aku’ meluruh. Pencerahan hadir ketika batas ruang dan waktu lenyap. Ketika semua menjadi ada sekaligus tiada. Dan di sana, di inti keheningan yang paling sejati, bersemayam Surga. Saya baru saja mengunjunginya. Dan ternyata saya tidak perlu karcis masuk. Tidak ada malaikat yang bertanya apa kepercayaan saya. Tidak ada Tuhan yang mengirim orang-orang saleh ke surga dan mencampakkan sisanya ke lubang neraka. Saya tidak perlu menunjukkan Kartu Tanda Penduduk atas nama keyakinan tertentu. Saya hanya sekadar melangkah masuk; tanpa upaya, tanpa usaha.
Kendati momen pencerahan itu datang hanya sesaat dan berlalu layaknya fenomena-fenomena lain, tak urung saya bersyukur diberi kesempatan untuk mencicipinya. Merasakan airmata mengalir untuk kemudian lenyap lagi. Mengijinkan segala rasa hadir untuk kemudian melepasnya lagi. Melongok sejenak ke dalam keabadian sebelum kembali memijakkan kaki ke dalam realitas. Saya belajar makna berbesar hati. Menerima untuk melupakan. Merengkuh tanpa berniat menahan. Menyambut tanpa ingin mengabadikan.
Tanggal delapan Februari, pukul tiga sore, saya memanggul backpack dan memasuki bis yang akan membawa saya kembali ke Jakarta. Walau benak saya penuh dengan apa yang ingin saya tulis, sekalipun berbagai pemikiran berkejaran mencoba merangkum seluruh makna yang berhasil saya kumpulkan, saya tahu, pada akhirnya genggaman tangan ini harus melonggar. Cengkeraman ini takkan selamanya erat.
Meski pengalaman tersebut otentik dan jauh lebih berharga dari apa yang pernah saya dapatkan, ia telah berlalu, dan upaya saya mengkristalkannya justru akan mengubahnya menjadi perangkap emas. Demikian pula apa yang saya tuliskan di sini. Kendati saya ingin menjadikannya pengingat untuk mengekalkan momen satori, kata-kata hanyalah usaha semu yang tidak akan sanggup menjaring esensi kebenaran yang paling sejati.
Di dalam bis yang bergerak lambat, di tengah ramainya suara para penumpang yang sibuk bercengkerama, perlahan saya tersadar. Retreat tiga hari saya berakhir sudah. Kesunyian itu memang telah selesai. Namun perjalanan ini belum usai, dan mimpi ini masih panjang. Di setapak yang sama saya kembali melangkah, namun kali ini mudah-mudahan dengan terus mengingat; kapan saya harus terjaga, dan kapan harus ‘bangun’ — untuk benar-benar hidup.
“Wake up from this illusion called life. Then live your life, as real as it can be, but keep in mind that you’re only dreaming.”
*Gambar diambil dari gettyimages.com