Dicari: Pendengar yang Baik

Tinggal beramai-ramai di kos-kosan selalu memberi kejutan dan tantangan tersendiri untuk saya, sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di rumah yang berisi delapan kamar ini – setahun yang lalu. Saya belajar, meski menyenangkan dan seperti memiliki keluarga baru, tinggal bersama di bawah satu atap bukanlah hal yang mudah. Seringkali dibutuhkan usus yang panjang, berton-ton toleransi, bergalon-galon kesabaran, dan banyak lagi.

Saya yang menyukai keheningan, misalnya, harus rela jika suatu pagi terbangun dengan kaget karena suara keras tetangga sebelah, atau bunyi air dari keran yang diputar sampai pol. Saya yang membutuhkan suasana tenang untuk bekerja kadang harus merelakan pekerjaan saya tertunda akibat suara-suara berisik yang tidak bisa ditolerir telinga dan otak. Saya yang terbiasa mandi tanpa menggunakan alas kaki terpaksa ikut bersandal-jepit ria ketika mengetahui teman-teman saya menggunakan sandal di kamar mandi (nggak apa-apa juga kalau saya ingin tetap bertelanjang kaki, tapi kan jijik membayangkan lantainya?). Saya juga belajar membiasakan diri ketika tubuh yang sedang sakit tidak bisa mendapatkan istirahat secara optimal karena teman-teman serumah sibuk dengan aktivitas dan obrolan masing-masing.

Itu hal-hal sederhana yang membutuhkan adaptasi secara personal. Ada pula hal-hal lain yang meminta perhatian lebih, di luar yang biasa terjadi setiap hari. Salah satunya jika ada kawan yang sedang bermasalah dan butuh teman curhat. Tidak jarang, kegiatan sesederhana berjalan kaki ke warung menjadi ajang bagi-rasa yang memerlukan kesiapan telinga dan hati. Waktu istirahat di malam hari pun bisa menjelma menjadi ajang curhat massal. Memang tidak selalu hal seperti ini terjadi, banyak juga malam-malam ceria nan hedon dimana kami berfoya-foya menghamburkan tawa, lelucon dan cerita-cerita konyol, terpingkal-pingkal sampai sakit perut, atau sekadar menghabiskan waktu untuk nongkrong bersama. Namun, ketika sesuatu yang serius terjadi pada salah satu di antara kami, diperlukan perhatian dan ‘penanganan’ yang lebih dari sekadar bercanda, tertawa, dan berkumpul. Di sinilah saya banyak belajar.

Sungguh, tidak mudah menjadi pendengar yang baik. Di awal perintisan karir untuk menjadi pendengar profesional *halah*, saya menemukan begitu banyak kendala. Mulai dari menahan lidah untuk tidak berkomentar, menunda opini, menjaga perhatian tetap tertuju pada lawan bicara (apalagi jika kisah yang sama sudah diulang puluhan kali), menyediakan diri untuk ‘hadir’ sepenuhnya bagi orang yang bersangkutan (karena keberadaan tak selalu sama dengan kehadiran – kita bisa bersama seseorang tanpa sepenuhnya hadir, dan sebaliknya, kita bisa hadir baginya tanpa perlu bersamanya), sampai mendengarkan tanpa merumuskan penilaian apa pun.

Awalnya, saya pikir saya bisa menjalaninya dengan mudah. Mendengarkan orang lain adalah salah satu keahlian saya sejak jaman baheula; saya sudah terbiasa menghadapi orang yang ujug-ujug datang untuk curhat. Mulai dari sahabat, saudara, kerabat, orang tua, orang asing, kawan baru, sampai asisten rumah tangga teman saya.

Mendengarkan memang bukan sesuatu yang sulit. Namun mendengarkan tanpa menilai –sekadar hadir sepenuhnya bagi orang yang bersangkutan— yang menjadi salah satu kriteria dari Nonviolent Communication (Komunikasi Tanpa Kekerasan) adalah sesuatu yang sama sekali berbeda.

Setelah beberapa kali mencoba mengaplikasikan Nonviolent Communication dalam kehidupan sehari-hari, saya menyadari sesuatu: kemampuan saya mendengarkan selama ini nyaris tidak ada gunanya. Cara saya menyampaikan perasaan dan kebutuhan pun masih terseret-seret, padahal saya menyangka telah cukup gape dalam bercuap-cuap karena terbiasa menangani klien. Saya mengira dapat menjadi pendengar dan komunikator yang baik dengan ‘jam terbang’ yang tinggi, namun nyatanya, cara saya berkomunikasi tetap butut. Berkomunikasi tanpa kekerasan itu nggak gampang, Jendral.

Sudah beberapa bulan saya mencoba mempraktekkan jenis komunikasi ini (mendengarkan dan menyampaikan isi hati tanpa kekerasan), dan kemampuan saya masih setara dengan anak balita yang sedang belajar jalan. Tertatih-tatih dan berulang kali terjerembab. Di awal masa belajar, saya bahkan sempat menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil dan ngomel-ngomel berat kepada seorang sahabat yang pertama kali memperkenalkan pola komunikasi ini. Satu-satunya hal yang membuat saya bertahan adalah karena saya tersentuh oleh tindakan sahabat saya yang kerap bertanya, “Ingin didengarkan saja, atau ingin diberi saran?” ketika saya menghubunginya untuk curhat.

Buat saya, itu keren. Sumpah.

Dialah orang pertama yang menanyakan hal seperti itu sepanjang sejarah percurhatan saya. Dia menyediakan telinganya untuk saya sampahi, dan pada saat yang sama memberikan saya ruang untuk memilih; apakah saya ingin mendengar opininya atau tidak. Saya selalu takjub dengan kemampuannya untuk tetap menjadi netral setelah sesi curhat panjang nan membosankan dengan masalah yang berkali-kali saya ulang seperti kaset rusak. Dia tidak ikut-ikutan marah dan menyumpahi orang yang saya kutuki, tidak terburu-buru mengungkapkan pendapat, dan tidak pernah menjatuhkan penilaian –apalagi penghakiman— atas kelebihan stok airmata yang dengan semena-mena saya tumpahkan kepadanya.

Hal-hal tersebut membuat saya bertahan. Bukan karena saya ingin mengikuti jejaknya, melainkan karena saya telah merasakan manfaat dari Komunikasi Tanpa Kekerasan. Saya tahu rasanya tidak didengarkan, karena itu, kini saya ingin mendengarkan. Saya ingin mendengarkan, karena saya telah didengarkan. Sesederhana itu.

Bukan sekali-dua saya mengalami kejadian yang tidak menyenangkan dalam sesi curhat-ke-teman-dekat. Setelah berkali-kali menceritakan isi hati kepada beberapa orang yang cukup karib, saya mendapati, sebagai komunikator, ada kalanya saya hanya ingin didengar. Mungkin ini terdengar tidak adil bagi orang yang saya curhati karena terkesan ‘egois’, ‘ingin nyampah doang’, ‘nggak mau diberi input balik’, dan sebagainya. Seandainya saja saya bisa bilang kepada semua orang yang pernah menjadi tong sampah saya: saya senang dengan saran, masukan dan komentar kalian. Seandainya saya bisa berkata seperti itu. Kenyataannya, tidak. Bahkan, berkali-kali setelah mendengarkan masukan dan saran dari orang yang saya curhati, saya merasa menyesal sudah bercerita. Bukan karena saya tidak suka dengan isi sarannya, namun karena bukan itu yang saya butuhkan.

Saya menghargai setiap masukan, saran, komentar, koreksi, dan apa pun yang diberikan orang kepada saya, dan saya berterimakasih atas perhatian dan waktu yang mereka luangkan, namun ada kalanya saya hanya butuh didengarkan. Ada kalanya saya tidak butuh opini atau solusi. Saya hanya memerlukan telinga yang bisa menampung unek-unek saya, dan barangkali, bahu untuk ditangisi.

Itu sebabnya, kini saya sangat membatasi diri untuk mencurahkan isi hati kepada orang lain. Sangat sedikit orang yang saya percayai untuk menampung sampah-sampah batin saya. Bukan karena saya tidak menghargai predikat ‘saudara’, ‘sahabat’, atau ‘kawan baik’ di belakang nama begitu banyak orang yang cukup akrab dengan saya, melainkan karena saya membutuhkan orang yang bisa mendengarkan.

Jika saya memerlukan saran, saya akan mendatangi orang yang bisa dimintai saran. Jika saya memerlukan pendapat, saya akan menemui orang yang kompeten untuk memberi pendapat. Tapi hanya orang-orang tertentu yang saya percayai untuk mendengarkan. Seringkali, mereka tidak memiliki petuah berharga atau wejangan bijak untuk disampaikan, namun telinga dan hati mereka telah menolong saya menemukan jawaban dan solusi jauh melampaui yang dapat diutarakan bahasa. Kepada merekalah saya berhutang begitu banyak terima kasih.

🙂

Saya percaya, kita terlahir di dunia sebagai bayi yang tidak mengenal baik-buruk benar-salah. Pengkondisianlah yang memperkenalkan kepada kita apa itu hitam, apa itu putih. Apa itu baik, apa itu buruk. Dalam proses pendewasaan, kita diajar bahwa mengekspresikan perasaan dan kebutuhan seutuhnya bukanlah sesuatu yang baik. Beberapa dari kita bahkan telah begitu terbiasa menekan perasaan dan mengabaikan kebutuhan diri sendiri. Tanpa disadari, perasaan dan kebutuhan yang tidak pernah diijinkan berekspresi itu menjelma menjadi penilaian dan penghakiman yang kita jatuhkan pada orang lain – entah melalui tutur kata, tindakan, maupun pemikiran.

Penilaian dan penghakiman tersebut akan memancing reaksi serupa dari orang-orang yang menerimanya dan memulai siklus yang terus berulang dalam hidup kita. Lingkaran setan yang tidak pernah ada ujungnya. Kita terus berputar di dalamnya, menjalani siklus yang sama sepanjang hayat, dan menyangka telah turut berpartisipasi dalam perdamaian dunia. Kita mengira, dengan menempatkan perasaan dan kebutuhan di urutan kesekian, kita telah memberikan sumbangsih untuk terciptanya kerukunan dan persatuan.

Bagi saya, perdamaian dunia tidak ditandai dengan berakhirnya peperangan. Perdamaian dunia tidak diawali dengan gencatan senjata dari kubu-kubu yang bertikai. Perdamaian dunia dapat dimulai dari diri kita sendiri, dengan menghentikan siklus kekerasan yang selama ini memerangkap kita dan begitu banyak orang yang terhubung dengan kita. Cara menghentikan siklus itu adalah dengan jujur kepada perasaan dan kebutuhan yang kita miliki. Cara memutuskan lingkaran setan itu adalah dengan berhenti menjatuhkan penilaian dan mulai berdiam diri. Sekadar bernafas dan memperhatikan bisa jadi hadiah paling berharga yang bisa kita berikan bagi seseorang. Sekadar hadir dan mendengarkan bisa menjadi sumbangan terbesar kita untuk terciptanya kerukunan dan persatuan yang bukan cuma slogan. Pertanyaannya, bersediakah kita?

Mungkin kedengarannya berlebihan, namun saat ini, rasanya saya akan lebih memilih duduk bersama orang-orang sederhana yang bersedia menyediakan hati dan telinga untuk semata hadir dan mendengarkan, daripada mereka yang kemampuan berpikirnya menyaingi kecepatan cahaya, sanggup merangkai sejuta makna dan merangkumnya dalam kalimat-kalimat bijak, serta sigap memberi berbagai petuah dan masukan tanpa diminta.

Kita sudah kelebihan stok orang pintar dan orang bijaksana. Kita butuh lebih banyak pendengar yang baik.

*Informasi selengkapnya mengenai Nonviolent Communication (Komunikasi Tanpa Kekerasan) dapat disimak di sini.

**Gambar dipinjam dari gettyimages.com, dengan pemotongan seperlunya. 🙂

..–_–..

Lelah..

Kata itu terpampang di status Facebook seorang kenalan, beberapa detik setelah halaman ‘Beranda’ saya terbuka.

Hanya satu kata.

Saya termangu. Lama.

Saya juga.

Lelah menyimpan tanpa bisa mengutarakan.

Lelah menahan tanpa bisa mengungkapkan.

Lelah memendam tanpa bisa menyampaikan.

s a y a

i n g i n

s e k a l i

s a j a

mendapat kesempatan
untuk bilang

saya sayang kamu


Dan mereka bilang, mencintai itu enak.

Kentut.

—–

Persatuan dan Kesatuan di Negara Republik Indonesia

Rabu malam, pukul setengah sebelas.

Saya merapatkan tangan di depan dada, melindungi diri dari hawa dingin yang menusuk. Hujan baru saja reda, dan celana jeans saya yang terciprat air belum kering. Saya duduk dengan hati-hati di atas motor yang terus melaju, berjaga-jaga agar tidak ada genangan air yang luput dari pandangan. Jeans saya baru dicuci. Saya tidak rela bercak-bercak kotor itu bertambah lebar.

Motor menikung dengan cepat. Sebentar lagi saya akan sampai di kos-kosan. Saya menyusun rencana di kepala, apa saja yang harus dilakukan setibanya di sarang yang nyaman. Mandi, berberes, menyalakan komputer, mengecek e-mail

Kerumunan orang di depan membuat saya menyipitkan mata, mencoba melihat dengan jelas di sela-sela hembusan angin. Di kiri-kanan jalan, orang-orang berdiri dalam kelompok-kelompok kecil. Tidak jauh dari situ, sepeda motor terparkir asal-asalan, dan aparat-aparat keamanan berseragam cokelat mengelilingi mereka.

Saya menghela nafas, sadar apa yang akan saya alami dalam hitungan detik. Saya mengumpat dalam hati karena tidak mengenakan helm. Razia versus Tidak Pakai Helm. Satu ditambah satu sama dengan dua.

Tukang ojek yang saya tumpangi (motornya ya, catet) mengurangi kecepatan sedikit. Sambil mengangguk sopan kepada polisi-polisi tersebut, ia menyerukan semacam salam bernada permisi. Santun dan cukup keras sehingga mereka semua bisa mendengar. Polisi-polisi itu memandang kami sekilas, kemudian membiarkan kami berlalu.

Beberapa meter di depan, kami kembali bertemu polisi. Si tukang ojek mengulangi hal yang sama. Tiga atau empat kali, sampai jalan yang kami lalui benar-benar bebas polisi.

Saya terbengong-bengong dengan jayanya mendapati kami meluncur mulus di jalanan becek itu, sementara di kiri-kanan banyak motor diparkir seenaknya karena para pemiliknya sedang berurusan dengan aparat.

“Kok kita nggak di-stop, Bang?” Seru saya.

“Apa, Neng?” Si tukang ojek berseru balik.

“Kok kita bisa lolos? Nggak ikut di-stop? Padahal saya nggak pakai helm?” Saya memberondong dengan penasaran.

“Kan saya pribumi,” si tukang ojek menjawab kalem.

Saya terdiam.

Rasanya seperti disengat. Pedih.

Kalau pengendara motor yang saya naiki bukan pribumi, apakah kami juga akan dihentikan, disuruh memarkir motor di pinggir jalan, diminta menunjukkan kartu identitas, lantas disuruh membayar sejumlah uang ditilang?

Kalau saya tidak menyembunyikan kepala di balik punggung si tukang ojek, apakah kami akan dihentikan karena wajah saya memperlihatkan sepasang mata yang sipit?

Kalau saja kami tidak berkendara pada pukul setengah sebelas malam, melainkan setengah sebelas siang, apakah kami akan dihentikan karena sinar matahari tidak bisa menyembunyikan warna kulit saya yang terang?

Saya lahir dan dibesarkan di lingkungan yang bersifat homogen. Di rumah, di lingkungan sekitar, di sekolah, saya selalu bertemu orang-orang yang ‘sama’ seperti saya. Begitu pula ketika saya tumbuh dewasa, lulus dari bangku sekolah dan mulai bekerja. Atasan saya, rekan-rekan kerja saya, semua berasal dari suku yang sama dengan saya, dan saya hanya mengenal dua kata pengganti untuk memanggil mereka yang berusia lebih tua: Koko dan Cici.

Kerusuhan Mei 1998 adalah momen yang cukup besar dalam hidup saya, ketika untuk pertama kalinya saya dan keluarga mengalami dampak kebencian hebat yang sudah berakar di negeri tercinta yang semboyannya (konon) mengagung-agungkan persatuan dan kesatuan ini.

Usaha yang dikelola Oom dan Tante saya musnah dalam semalam karena toko mereka dibakar. Bengkel Oom saya yang lain nyaris diserbu massa; untungnya penduduk setempat berbaik hati melindungi mereka hingga kerusakan yang ditimbulkan tidak terlalu berat. Selama berbulan-bulan setelah peristiwa itu, saya tidak pernah keluar rumah tanpa mendapat sedikitnya satu ejekan bernada merendahkan. Pelecehan seksual yang diumbar secara verbal, panggilan-panggilan kasar, berbagai kalimat menyakitkan yang terus mengingatkan betapa bencinya mereka kepada kami –barangkali karena kami dianggap parasit dan tidak layak dibiarkan hidup tenteram— menjadi makanan sehari-hari yang harus ditelan mentah-mentah.

Selama berbulan-bulan, saya dan keluarga hidup dalam gelisah, cemas, dan takut. Saya, yang waktu itu duduk di bangku SMP, mendadak merasa dunia menjadi tempat yang tidak aman lagi. Dan saya tidak tahu harus berlindung kemana.

Rasa takut itu perlahan berubah menjadi kebencian. Rasa cemas itu menjelma menjadi kemarahan. Untungnya, tidak lama berselang saya menghadiri sebuah Kebaktian Kebangunan Rohani berskala nasional yang mengusung tema persatuan. Di acara yang bertajuk ‘Jadikan Kami Satu’ itu hati saya kembali terbuka. Kebencian bukan jawaban bagi penderitaan umat manusia. Kemarahan tidak akan mengubah apa pun yang sudah terjadi. Di sana, saya belajar memberi maaf.

Seiring berjalannya waktu, saya mulai berjumpa dengan orang-orang yang ‘berbeda’ dengan saya, dan meskipun saya tidak terbiasa, saya belajar menerima dan menghargai mereka apa adanya. Lambat laun, saya bukan hanya mengenal orang-orang ini. Saya berteman dengan mereka. Saya bersahabat dengan mereka.

Orang tua saya mulai terbiasa bertemu dengan kawan-kawan saya yang berkulit lebih gelap. Keluarga saya mulai terbiasa melihat saya membawa (bahkan mengajak menginap) teman yang matanya tidak sesipit saya. Yang tidak mengenal berbagai istilah dalam bahasa Mandarin (saya sendiri tidak bisa berbahasa Mandarin, namun dalam percakapan sehari-hari ada beberapa istilah yang selalu kami gunakan). Yang tidak tahu kenapa orang yang sudah menikah memberikan angpau kepada kerabat yang masih lajang pada hari raya Imlek. Yang tidak paham tradisi, kebiasaan dan adat-istiadat yang dianut saya dan keluarga. Yang memanggil sepupu-sepupu saya yang lebih tua dengan kaku karena lidahnya tidak terbiasa menyebut ‘Koko’ dan ‘Cici’. Yang berbeda dengan kami.

Waktu terus bergulir, dan hidup membawa saya mengalir.

Saya mendapat pekerjaan baru. Kali ini, atasan saya tidak berasal dari suku yang sama dengan saya. Saya memperoleh teman-teman baru, dan mereka tidak sesipit saya. Saya berkenalan dengan orang-orang dari berbagai kalangan, dan mereka tidak bisa memakai istilah-istilah yang saya gunakan, sama seperti saya tidak memahami kata-kata yang mereka ucapkan dalam bahasa Sunda, Batak, Manado, dan sebagainya. Namun, semua itu tidak menjadi penghalang bagi kami untuk menjalin hubungan baik. Saya tidak pernah menganggap perbedaan tersebut sebagai masalah besar. Saya bahkan bangga. Saya menganggap diri saya ‘kaya’.

Saya belajar memanggil atasan dan teman perempuan yang lebih tua dengan sebutan ‘Mbak’. Saya belajar memanggil kawan pria yang lebih tua dengan sebutan ‘Mas’. Kepada mereka yang bukan orang Jawa, saya memanggil dengan sebutan ‘Teteh’, ‘Kakak’, atau ‘Abang’. Saya bahkan pernah terpeleset menyebut teman saya ‘Mbak’ ketika saya seharusnya memanggilnya ‘Cici’. Saya sudah demikian terbiasa, hingga perbedaan itu rasanya nyaris tak pernah ada.

Sahabat-sahabat terbaik saya adalah pribumi. Ambon. Batak. Jawa. Sunda. Padang. Saya bangga berteman dengan mereka, meski warna kulit mereka tidak seterang kulit saya. Dan mereka mencintai saya apa adanya, meski mata saya tidak selebar mata mereka.

Di kos-kosan tempat saya tinggal, saya adalah satu-satunya penghuni yang bukan pribumi, dan hubungan saya dengan teman-teman sudah demikian akrab – tak ubahnya saudara ketemu gede. Jika beberapa hari saja saya tidak pulang, mereka akan mengirim SMS, menanyakan dimana saya berada dan kapan kembali. Merekalah yang berpesan “Hati-hati di jalan” setiap saya pamit untuk pergi. Merekalah yang membelikan makanan saat saya terkapar sakit. Mereka juga yang mendengarkan keluh-kesah saya dan selalu ada untuk saya, sebagaimana saya ada untuk mereka. Warna kulit kami berbeda, bahasa yang kami pakai berlainan, namun cinta itu sama. Karena cinta memang tidak pernah butuh alasan.

Saya pikir, saya telah melampaui semua batasan itu. Saya telah membangun jembatan di atas jurang perbedaan, dan saya telah menyeberanginya. Saya sampai dengan aman. Saya berhasil. Saya menang. Perbedaan tidak bisa mengalahkan saya. Dan di atas segalanya, persatuan ternyata memang ada. Butir ketiga Pancasila tidak berbohong.

Dugaan itu ternyata tidak sepenuhnya benar.

Kejadian sederhana di Rabu malam itu memberitahu saya dua hal: pertama, saya harus segera membeli helm. Secepatnya. Kedua, di suatu tempat di negeri ini, saya tetap diperlakukan tidak adil karena warna kulit saya berbeda. Dan di belahan lain negeri ini pula, ada orang-orang yang tidak diterima apa adanya karena mereka yang ‘sejenis’ dengan saya menolak mengakui persamaan derajat di antara kami.

Malam itu, saya sadar.

Kita memang belum merdeka. Kita bahkan belum bersatu. Kita hanya diikat menjadi satu dengan selembar kain separuh merah separuh putih dan status legal yang terdiri dari tiga kata: Warga Negara Indonesia.

Warna kulit –dan persepsi kerdil yang terpenjara dalam batok kepala ini— barangkali akan selamanya menjadi pembeda yang memisahkan kita.

—–

Gambar tentunya masih meminjam dari sxc.hu.

Menulis Jujur (Belum) Tentu Mujur

Akhir pekan lalu, saya memutuskan untuk hengkang sejenak dari kos-kosan dan pulang ke rumah. Di sana, saya menyempatkan diri membongkar koleksi novel yang sudah lama tidak tersentuh. Ini salah satu kegiatan favorit saya setiap pulang ke rumah: membaca tumpukan novel yang tersimpan di kamar, karena saya terlalu malas membawa buku-buku tersebut ke kos-kosan.

Saya memilih sebuah novel dan membaca sambil leyeh-leyeh di tempat tidur. Belum sampai setengahnya, saya berhenti. Saya merasa ada yang ‘aneh’ dengan novel tersebut, dan perasaan itu cukup mengganjal. Tapi saya tidak tahu apa.

Sejurus kemudian, baru saya sadar. Novel itu memuat begitu banyak pesan dan nilai moral. Saking ‘padat’nya, tidak jarang dalam sebuah adegan diselipkan beberapa paragraf berisi petuah bijak yang tidak ada hubungannya dengan cerita. Si penulis juga menyisipkan konsep idealnya di sana-sini, yang meski terbungkus rapi dalam kemasan fiksi, tetap saja (bagi saya) terkesan dipaksakan. Sejujurnya, saya merasa digurui. Dan itu cukup mengganggu, meski akhirnya saya tetap menamatkannya.

Itu kasus pertama.

Kasus kedua, beberapa waktu lalu saya membaca sebuah diskusi kecil-kecilan di Facebook yang membahas seorang penulis yang karya-karyanya pernah dijuluki ‘sastra selangkangan’ lantaran banyak memuat isu seks dan perempuan. Di forum mini tersebut, beberapa orang mengkritiknya dengan tajam. Salah satu pemicunya (barangkali) karena selain blak-blakan mengedepankan isu seputar ranjang dalam novelnya, penulis ini juga kerap tampil dengan minuman keras dalam acara-acara publik yang menggunakan jasanya.

Membaca kritik-kritik pedas itu, saya termenung. Lambat laun, saya merasa menemukan benang merah antara kedua peristiwa di atas dengan novel-novel saya yang tak kunjung selesai. FYI, beberapa hari sebelum menulis artikel ini, saya membongkar harddisk dan menemukan sepuluh draft (!). Sebagian sudah nganggur bertahun-tahun lamanya, sebagian sudah memiliki outline yang jelas dan lengkap, sebagian lagi sudah jadi, hanya membutuhkan revisi, dan tetap tidak selesai.

Berhari-hari saya merenung dan bertanya-tanya, sampai eneg sendiri. Akhirnya saya mendapati bahwa salah satu faktor yang menyebabkan saya tidak kunjung menyelesaikan novel saya adalah, karena setiap kali saya menulis, di kepala saya selalu muncul berbagai rambu yang mengingatkan saya akan banyaknya batasan yang harus ‘dipatuhi’ dan ‘tidak boleh dilanggar’ demi menciptakan suatu karya yang tidak hanya bermutu, namun juga mengandung pesan moral yang baik dan membangun bangsa. *Halah*

Setelah sekian tahun berkutat dengan draft yang tidak selesai, saya baru menyadari ada begitu banyak batasan yang menghalangi saya untuk menulis apa adanya, seutuh-utuhnya. Dan keterbatasan itu mendorong saya ke titik jenuh, bahkan sampai pada satu titik dimana saya berpikir untuk mengaborsi semua naskah fiksi saya dan memusatkan diri pada tulisan non-fiksi. Saya ‘mendengar’ begitu banyak suara di pikiran yang mengingatkan saya akan kewajiban dan tanggung jawab saya kepada pembaca. Ada semacam ‘kesadaran palsu’ yang akhirnya membuat saya lebih mendengarkan apa kata orang dan merasa khawatir berlebihan untuk ‘melanggar’ rambu-rambu tertentu yang berlaku di masyarakat.

Pertanyaan-pertanyaan berikutnya membombardir otak saya seperti senapan mesin: kenapa juga saya harus merasa bertanggung jawab kepada pembaca? Apakah saya sanggup mengubah pemikiran orang dengan tulisan-tulisan saya? Kalaupun ya, berapa persen tingkat keberhasilannya? Kalaupun ya, apakah benar orang tersebut berubah karena tulisan saya thok, dan bukan karena faktor-faktor lain seperti –katakanlah— memang dia sedang ingin berubah, habis dinasehati oleh orangtua, dikompori teman, dan sebagainya. Kalaupun tidak, apakah saya harus merasa bersalah jika tulisan saya tidak memberi dampak positif bagi orang lain? Apakah saya harus merasa berdosa jika tulisan saya dianggap tidak bermanfaat? Apa itu baik? Apa itu buruk? Apa itu benar? Apa itu salah? Mengapa sastra selangkangan dianggap nista sedangkan tulisan berpetuah bijak dipuji-puji? (RETORIS, by the way. ^_^)

Dan mengapa saya begitu sulit merampungkan naskah fiksi, sementara saya telah menyelesaikan ratusan artikel di blog ini? Apakah perbedaannya hanya terletak di ‘ngeblog nggak perlu pakai plot’ atau ‘ngeblog nggak butuh banyak imajinasi’? Mungkin iya. Tapi, setelah saya meluangkan waktu untuk ‘mengamati ke dalam’, saya mendapati, yang membuat saya bertahan dengan rumah maya ini dan bisa terus menulis adalah, karena di blog saya mampu jujur kepada diri sendiri.

Di blog, saya bisa menuangkan apa saja yang saya mau. Saya bisa nyolot sepuas hati dan tinggal melirik kepada orang yang mencela sambil bilang, “Blog, blog gue.” Saya menulis untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. Karenanya, saya tidak terlalu peduli pada mereka yang tidak menyukai tulisan saya, pun tidak terlalu ambil pusing ketika ada yang mengecam tulisan saya ‘sesat’ lantaran saya menceritakan berbagai pengalaman spiritual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut agama tertentu. Karena, sekali lagi, blog, blog gue. 😉

Beberapa bulan lalu, saya berbincang dengan seorang sahabat via telepon. Ia sempat melontarkan pertanyaan yang membuat saya merenung.

“Apa lo mau seterusnya nulis tentang meditasi kayak gini?”

Waktu itu, bulan Maret tepatnya, saya mendedikasikan lima entri untuk menuliskan pengalaman-pengalaman saya selama mengikuti retreat di Bali. Selama sebulan penuh, isi blog saya berkisar di topik meditasi, pengalaman spiritual, dan insight yang saya dapatkan dalam retreat.

Saya tertawa, “Nggak, lah. Ini lagi special edition aja. Blog gue bukan tentang meditasi…”

Saya terdiam sejenak. Apa yang sebenarnya ingin saya tulis di blog? Tidak sedikit yang berkomentar bahwa tulisan-tulisan saya menginspirasi. Tapi, apa memang itu tujuan utama saya? Untuk menginspirasi? Untuk menyebarkan pesan-pesan kebaikan? Untuk menanamkan nilai-nilai moral?

Jawaban saya berikutnya adalah, “Gue cuma nulis apa yang ingin gue tulis. Apa pun yang lagi nyangkut di pikiran dan hati. Nggak masalah apakah itu tentang pengalaman spiritual, meditasi, pemikiran, curhat, hal-hal remeh, bahkan kalau perlu, omelan-omelan gue.”

Dan saya ingat betul, kalimat terakhir yang saya ucapkan adalah, “Gue nulis bukan buat siapa-siapa, dan bukan untuk menginspirasi atau menanamkan nilai ke siapa pun. Gue nulis buat gue. Kalau ada yang merasa tulisan gue bermanfaat, syukur, kalau nggak ya nggak apa-apa.”

Lantas, apa yang membedakan ngeblog jujur dengan menulis (fiksi) jujur? Kenapa saya bisa membongkar-bongkar isi perut di blog, sedangkan di buku tidak? Kenapa saya mampu curhat di blog, namun sukar menulis apa adanya di buku? Kenapa saya sanggup ngebacot sesukanya di blog, namun kesulitan untuk menuangkan kejujuran dalam manuskrip fiksi saya, padahal kedua-duanya punya akses tak terbatas untuk dibaca orang? Saya tidak bisa mengontrol siapa yang mengunjungi blog saya, sama seperti saya tidak bisa mengontrol siapa yang membaca buku saya. Tidak banyak bedanya, sungguh. Tapi… kenapa?

Pertanyaan ini kembali membuat saya pusing. Dan lagi-lagi butuh waktu yang tidak sedikit untuk ‘menyelam’ dan menemukan jawabannya.

Jawabannya ternyata sederhana saja: untuk mengakses blog saya, para pengunjung tidak perlu mengeluarkan banyak uang. Untuk membeli buku saya, diperlukan puluhan ribu rupiah. Dan itu pula yang membuat saya begitu concern dengan draft-draft saya. Saya merasa bertanggungjawab kepada orang-orang yang (nantinya akan) mengeluarkan uang untuk membeli buku saya. Saya merasa berkewajiban untuk menulis sesuatu yang bermanfaat, agar setidaknya, ada nilai positif yang bisa dinikmati oleh pembaca. Syukur-syukur bisa membuat mereka punya kehidupan yang lebih baik. Blog? Hanya dibutuhkan lima ribu perak untuk mendapatkan akses internet berkecepatan tinggi di warnet. Itu pun sudah bonus Aqua gratis, dan bisa sambil buka Facebook, Friendster, Yahoo!, dan Google.

😉

Perlahan-lahan, sebuah kesadaran baru muncul di benak saya. Selama ini, selama bertahun-tahun, saya telah bersikap tidak adil. Kepada diri saya sendiri. Kepada Jenny yang menanti-nanti untuk bisa bersuara dengan bebas. Kepada berbagai ide kreatif yang terus-menerus diaborsi dan tidak pernah mendapat kesempatan untuk menjenguk dunia. Kepada dorongan hati yang begitu sering saya tekan setiap kali muncul ke permukaan.

Seseorang pernah berkata, “Sebuah pilihan akan menjadi benar apabila pilihan itu sesuai dengan isi hati dan mendatangkan manfaat bagi banyak orang.”

Sebuah pernyataan yang barangkali sangat layak diaminkan dan dijadikan quote of the day. Tidak bagi saya. Saya memilih untuk berhenti sebelum kata ‘dan’. Karena, pada kenyataannya, apa yang saya lakukan, apa yang saya pilih, apa yang saya putuskan, tidak pernah betul-betul bisa mengubah apa pun dalam hidup seseorang – entah itu mendatangkan manfaat, atau menghilangkan manfaat.

Jika ada enam juta orang di muka Bumi, maka ada enam juta ukuran kebaikan dan kebahagiaan. Sebaliknya, juga ada enam juta ukuran keburukan dan kesengsaraan, yang menjadikan semuanya amat relatif, tergantung dari kondisi hati dan persepsi tiap-tiap orang.

Kita bisa bilang, “Saya bahagia karena dia melakukan ini untuk saya,” namun sesungguhnya kita tidak berbahagia karena perlakuan dari orang yang bersangkutan. Kita bisa mengatakan “Saya berubah karena dia,” namun sesungguhnya kita tidak pernah berubah karena orang lain. Dan kita bisa menempelkan label ‘baik-buruk-benar-salah’ pada ribuan hal di dunia, dan pada saat yang sama, tidak pernah ada yang betul-betul ‘baik’ atau ‘buruk’, ‘benar’ atau salah’. Semua hanya dibatasi oleh lapisan persepsi dan konsep ideal yang kita bawa.

Itu sebabnya, saya berhenti sebelum kata ‘dan’. Karena saya tidak percaya bahwa pilihan yang benar HARUS mengandung azas-sosial-manfaat-bagi-banyak-orang. Mungkin kedengarannya egois, namun bagi saya, pilihan yang saya ambil menjadi benar karena itulah yang cocok untuk saya saat ini. Yang terbaik. Yang paling pas. Sejauh mana kecocokan tersebut, hanya saya yang tahu, sama halnya dengan enam juta orang lain di dunia – hanya diri mereka yang paling tahu. Bukan saya.

Kenapa saya harus berpikir bahwa apa yang saya tulis bermanfaat bagi pembaca, sedangkan saya tidak tahu apa yang terbaik bagi mereka? Kenapa saya harus berpikir bahwa tulisan saya punya pengaruh signifikan atas hidup pembaca, sedangkan saya tidak tahu apa yang bisa membuat mereka bahagia? Kenapa saya harus bertanggungjawab atas buah pikiran saya, sedangkan saya tidak pernah tahu isi pikiran pembaca?

Kejujuran kadang memiliki harga, dan harga itu tidak murah. But for once in my life, I want to be honest. To myself. Saya ingin bebas dari ‘kewajiban’ bertanggungjawab terhadap hasil persepsi orang lain, dan saya tidak ingin merasa bersalah hanya karena ‘gagal’ melunasi ‘tanggung jawab moral’ saya. Saya ingin merasa puas karena saya menulis apa yang saya inginkan. Menulis demi Jenny, bukan demi Anu, Inu, atau Uni.

Dan itulah yang terpenting buat saya, setidaknya untuk saat ini. Menulis bukan untuk siapa-siapa. Menulis untuk saya sendiri. Cuma itu.

Saya ingin memberi kesempatan pada Jenny Jusuf. Saya ingin membiarkannya bersuara. Saya ingin mengijinkannya menyampaikan apa pun yang ia mau katakan. Dalam wadah apa pun. Fiksi atau non-fiksi. Buku atau blog. Apa saja.

Saya, hanya ingin jujur.

——

Gambar dari sxc.hu.

Kids Forever

“MAU JADI KECIL!”

Itu jawaban yang diserukan putra kawan saya yang baru berumur empat tahun, ketika ditanya oleh ayah-ibunya, mau jadi apa kalau sudah besar nanti.

Lucu, iya. Polos, iya. Tapi, bagi saya, jawaban itu jauh lebih ‘dalam’ dari sekadar keluguan bocah balita.

Buktinya? Coba, ngacung, siapa yang umurnya sudah di atas seperempat abad, dan belum pernah sekaliii saja merasa ingin balik ke masa kanak-kanak lagi? Siapa yang pernah melihat anak kecil yang asyik bermain dan tertawa sepuasnya, dan tidak sedikit pun berkhayal enaknya jadi dia?

Kalau ada yang belum pernah merasa begitu, selamat, Anda orang paling berbahagia di dunia. Saya sendiri sudah berkali-kali menelan ludah, iri pada putra kawan saya yang baru empat tahun itu. Sering berkhayal, seandainya saya bisa mencicipi kehidupan seperti dia, sehari saja. Bisa bergoyang dangdut sambil gendangan tanpa takut dicela orang, bisa menari-nari gila sambil berloncatan sepuasnya (sekarang juga masih bisa, tapi harus di ruangan tertutup yang jauh dari keramaian ;-D), bisa menikmati hidup seutuh-utuhnya, lepas tanpa beban, tanpa keharusan memikirkan hari esok, bebas dari berbagai pengkondisian yang diciptakan lingkungan sekitar, dan sebagainya.

*By the way, tentang terbebas dari pengkondisian, memang harus diakui tidak semua anak bisa mendapatkan ‘kemewahan’ ini, karena beberapa anak kecil yang saya kenal malah sudah hidup dalam berbagai disiplin sejak usia satu tahun. Untungnya, kawan saya tipikal orang tua yang cukup tolerir; bisa mendidik anak, tapi tidak terlalu ribet menerapkan segala jenis aturan.*

Kebebasan adalah salah satu syarat kebahagiaan, itu kalimat yang saya dengar beberapa bulan lalu. Saya lupa persisnya, tapi intinya kira-kira begitu. Barangkali itu juga yang membuat saya sangat suka memandangi mata seorang bocah. Mata yang bahagia. Mata yang penuh kebebasan, meski lambat laun pengkondisian yang diberikan lingkungan sekitar dapat meredupkan binarnya. Begitu sukanya saya pada mata kanak-kanak, setiap kali melihat anak kecil yang matanya berbinar-binar, saya sering berbisik dalam hati, “Nggak usah cepat-cepat gede ya, Nak…”

🙂

Saya sering berkhayal, alangkah menyenangkan jika waktu bisa diputar kembali, sebentaaar saja, supaya saya bisa kembali menjadi kanak-kanak. Atau, alangkah enaknya jika seseorang bisa menjadi anak-anak selamanya. Seperti Peter Pan. Saya tidak butuh debu peri, dan saya tidak perlu kemampuan terbang atau bertarung dengan bajak laut. Jadi anak-anak selamanya saja sudah cukup.

Khayalan itu lantas membuat saya merunut ke belakang: kapan ya terakhir kali saya bertingkah seperti anak-anak? ‘Bertingkah’ di sini maksudnya bukan merengek-rengek manja, ngambekan, atau mewek jerit-jerit teu puguh lho, ya, melainkan bebas menjadi diri sendiri, apa adanya, murni, tanpa prasangka, serta menikmati kehidupan di saat ini sepenuhnya – tanpa separuh benak menggantung di masa lalu, sebagian di masa kini, dan sisanya di masa depan.

Kapan terakhir kali saya bersenang-senang dan bergembira layaknya seorang anak kecil? Mungkin belasan tahun yang lalu, atau duapuluh tahun yang lalu.

Seingat saya, sejak duduk di bangku SD, saya selalu bercita-cita ingin cepat besar. Memasuki usia belasan, saya ingin cepat-cepat merasakan berumur tujuhbelas dan punya KTP sendiri, serta menyandang predikat ‘dewasa’ (padahal faktanya, setelah betul-betul berumur tujuhbelas, kelakuan ya tetap sama aja). Lewat usia tujuhbelas, saya ingin cepat-cepat berulangtahun keduapuluh. Ingin tahu bagaimana rasanya ‘berkepala dua’, dan titel ‘puluh’ di belakang angka somehow memiliki arti yang sangat besar buat saya waktu itu. Semacam gerbang menuju kedewasaan, dimana saya akan resmi menjadi perempuan matang (telooor, kali) dan bukan lagi remaja tanggung nan culun. Lalu, saya ingin cepat-cepat bekerja, ingin tahu bagaimana rasanya mencari uang dan membiayai hidup sendiri.

Time flies. Sekarang, semua sudah tercapai. Saya sudah berusia seperempat abad, sudah bekerja, dan sudah bisa hidup mandiri (meskipun tentyunya tidak pernah menolak rezeki dari orang tua, kalau ada. Hehehe!). Segala yang pernah saya lamunkan sudah terpenuhi. Saya tidak pernah lagi berkhayal, “Ingin cepat-cepat jadi…”. Kepikiran aja nggak pernah. Saya menjalani hari demi hari apa adanya. Ikut bergulir bersama perputaran roda hidup, mengalir bersama waktu. Sampai saya tiba di detik ini.

Mendadak, saya sadar, saya sangat rindu menjadi kanak-kanak lagi. Kangen masa-masa ‘golden age’ itu. Reality bites. Sekian puluh tahun dijalani hanya untuk bermimpi kembali ke masa kecil; mengulang saat-saat bahagia dimana hidup penuh dengan tawa riang tanpa perlu banyak berpikir.

Saya ingat pernah melontarkan komentar nyelekit pada seorang kawan yang sangat suka bercanda, iseng, dan hobi joget-joget gila: “Grow up!”, karena sebal dengan kelakuannya yang menurut saya (waktu itu) nggak banget, padahal usianya sudah di atas tigapuluh. Sekarang, saya sendiri ingin kembali ke masa kecil. Ah, well... satu lagi pelajaran untuk tidak terlalu cepat menjatuhkan penilaian. 😉

Saya rindu masa kanak-kanak saya. Saya bisa memahami perasaan Peter Pan – the boy who refuses to grow up. Bukan karena hidup terlalu berat untuk dijalani, karena saya pun mensyukuri kehidupan saya sekarang, apa adanya. Bukan karena malas menjalani tanggung jawab sebagai orang dewasa, karena saya pun mensyukuri usia yang semakin bertambah dan kepercayaan yang muncul daripadanya kecuali kalau sedang didonder supaya cepat dapat jodoh. Melainkan karena saya rindu masa-masa dimana dunia terlihat begitu cerah ceria dan menakjubkan, dan saya tidak perlu memikirkan apa pun tentang kemarin dan hari esok, karena ‘tugas’ saya hanya ‘hidup’.

🙂

Jadi tua itu pasti, jadi dewasa itu pilihan.

Kalimat ini pernah sangat populer beberapa tahun lalu, dan saya termasuk salah satu yang mengamininya. Tapi, sekarang saya berubah pikiran.

Meski terdengar konyol bagi beberapa orang, saya ingin menua tanpa perlu jadi dewasa. Saya tidak ingin memilih untuk jadi dewasa.

Saya ingin memiliki kesederhanaan anak kecil yang melihat dunia sebagai wahana bermain raksasa dan menikmati setiap detik di dalamnya sepenuh hati. Tanpa prasangka. Tanpa pretensi. Tanpa banyak berpikir. Tanpa penuh pertimbangan. Hanya mengetahui saat ini, hidup di masa kini, dan menyambut apa pun yang terjadi sebagaimana adanya; tanpa menyesali masa lalu atau mencemaskan masa depan…

…seperti putra kawan saya, yang wajahnya selalu bercahaya. Yang matanya selalu berbinar. Yang tawanya selalu lepas. Yang selalu ‘hidup’.

Ah, mendadak saya kangen dia.

Jangan cepat-cepat jadi dewasa ya, Nak…

—–