Lepas

Ratusan malam kulewatkan sudah. Menyirami asa, mempertahankan harap. Demi kesempatan untuk kembali. Demi segala yang pernah kita bangun, karena seperti yang kutahu, kita sama-sama tahu, hati selalu merindu untuk bisa bersama lagi.

Cinta. Cuma itu alasan yang membuat asa dan harap betah bertahan, kendati jiwa sudah mau mati. Dalam sekarat pula aku bertanya, layakkah kita terdera? Layakkah aku merana sampai sesak? Dan tanpa mampu kuhindari, pertanyaan final itu tiba. Bagaimana jika.

Ratusan malam kulewatkan dalam sendiri. Mencoba menggali jawaban dan mengerti dengan sia-sia. Kini, aku tahu sudah. Perjalanan ini memang harus berakhir di sini.

Maaf atas semua yang tak pernah kuungkapkan, yang selalu ingin kuucapkan, yang tak tertampung ruang dan waktu. Maaf karena bukan saja tak bisa lagi bersamamu, aku juga akhirnya melepasmu.

Mereka bilang, hanya masalah waktu sampai kita kembali dipertemukan. Namun kita tak akan pernah tahu. Aku berhenti berharap, bukan karena tak lagi menginginkanmu. Kulepas dirimu, karena inilah waktunya. Kulepas dirimu, agar aku bisa tetap hidup. Agar mereka yang kusayang tak perlu ikut terdera.

Hari ini, kularung segala asa untuk bersamamu. Harapan yang tersimpan untuk memilikimu. Cinta yang memang tak pernah sama lagi. Kuhanyutkan mereka, kendati hati tak ingin kenangan akanmu terhapus.

Kenangan memang bukan jatahnya hati. Ia tersimpan dalam benak, dan akan selalu ada di sana. Begitu pula dirimu. Kau permata yang akan selalu tersimpan. Cahaya yang takkan pernah redup tuk kusyukuri. Namun hatiku telah kubiarkan bebas, dan aku tak ingin menjeratnya kembali.

Kendati sesak jiwa mencoba mempertahankanmu, kini aku mampu melepasmu. Menerima semua tanpa perlu mengerti.

Terima kasih untuk semua yang pernah ada. Terima kasih telah menjadi sahabat, guru, dan pembimbing terbaik yang pernah hadir. Terima kasih untuk cinta yang telah menghangatkan dan membuatku bergelora.

Kini, ijinkanku pergi tanpa harapan untuk kembali.

—–

Jatah

Seorang sahabat belum lama ini menumpahkan kekecewaan mengenai boss-nya di kantor (dimana ia sudah bekerja selama empat tahun) yang menolak meminjaminya uang ketika ibunya sakit dan sangat membutuhkan dana pengobatan. Padahal, menurutnya, selama ini ia belum pernah sekali pun meminjam uang dari perusahaan. Sementara itu, atasan yang sama dengan murah hati memberikan pinjaman kepada rekan kerja sahabat saya untuk membeli mobil baru -yang jumlahnya sama sekali tidak sedikit- dan membebaskannya untuk mengembalikan kapan saja.

Sepanjang hari, sahabat saya cuma bisa menangis di cubicle-nya. Kecewa, jengkel, sedih, marah. Ketika ia bercerita, saya mendengarkan dalam diam. Bukan karena tidak mau berkomentar, tapi saya memilih berhati-hati dalam berucap supaya tidak menambah kekeruhan pikirannya.

Selama berhari-hari, saya berusaha menjadi pendengar yang baik, dan ternyata itu sama sekali tidak mudah. Berkali-kali saya ikut jengkel, sedih, bahkan sebal terhadap seorang atasan yang sama sekali tidak saya kenal, semata-mata karena saya bersimpati terhadap apa yang dialami sahabat saya. Sungguh tidak mudah duduk diam, memasang telinga, dan mendengarkan, tanpa membiarkan hati ini turut memberi penilaian, yang ujung-ujungnya ‘mengharuskan’ saya untuk berpihak. ‘Memilih’ salah satu: sahabat saya, atau sang atasan, yang sekali lagi, tidak saya kenal.

Setelah beberapa minggu, persoalan itu mereda, dan sahabat saya melunak. Tidak terlalu sering lagi meluapkan kekesalan, meski sekali-dua ia masih mengeluh, kerap merasa diperlakukan tidak adil. Saya pun menyadari satu hal: ketika ia mulai berhenti bercerita, hati saya ikut melunak. Iba yang saya rasakan ketika bertemu dengannya mulai memudar. Bukan karena saya tidak bersimpati lagi padanya, namun karena penilaian saya turut melambat seiring berkurangnya frekuensi curhat. Rasa kesal yang sering muncul setiap mendengar cerita-ceritanya juga luntur karena topik itu mulai jarang disebut-sebut lagi.

Dan saya berpikir, betapa tidak mudah menjadi pendengar yang baik –hanya mendengar, tanpa menilai— dan tidak terkontaminasi oleh berbagai persepsi dan pemikiran yang ribut simpang-siur di dalam benak. Betapa tidak mudah menempatkan hati pada posisi netral ketika kita berhadapan dengan situasi yang melibatkan orang-orang terdekat yang disayangi tanpa terpancing untuk ikut menilai dan menjatuhkan penghakiman.

Betapa tidak mudah menerima sebuah kasus sebagai kasus, sebuah situasi sebagai situasi, dan sebuah kondisi sebagai kondisi, apa adanya, tanpa terjebak untuk menjadikannya masalah dengan berbagai penilaian dan observasi yang secara otomatis dirancang oleh segumpal benda bernama otak ini.

Sungguh, sama sekali tidak mudah. Padahal, itu hanya sebatas perkara ‘meladeni-teman-curhat’, dimana kasus yang dicurhatkan sendiri sering kali tidak ada sangkut-pautnya dengan kita sebagai teman atau pendengar. Boro-boro melibatkan kita, lha wong kenal dengan objek curhatnya aja nggak.

Itu baru satu.

Masih ada yang jauh lebih sulit, seperti menerima berbagai hal tidak enak yang terjadi dalam hidup apa adanya, sebagai ‘jatah’ yang memang harus kita jalani, tanpa berusaha keras mengubahnya. Melapangkan hati untuk menyambutnya dengan ikhlas, tatkala ia bertentangan dengan ekspektasi dan konsep ideal yang selama ini kita genggam erat.

Saya, termasuk yang masih sering (sekali) bergumul dengan hal satu ini. Saya sulit menerima keadaan yang berseberangan dengan ekspektasi, keinginan dan persepsi ideal saya. Saya tidak mudah menerima berbagai kejadian tidak enak (yang sebetulnya hanya sebuah kondisi, yang bertransformasi menjadi masalah karena saya tidak menyukainya) sebagai sesuatu yang ‘memang sudah jatah saya’, atau bahasa religiusnya: takdir.

Saya tidak mudah merangkul berbagai perasaan tidak nyaman yang berkecamuk tatkala situasi berubah pelik, dan acap kali saya berusaha menyingkirkan perasaan-perasaan tersebut, atau menempuh jalan pintas dengan mengambil sikap cuek, semata-mata karena saya tidak ingin terganggu dengan kerikil-kerikil itu.

Persoalan selesai? Boro-boro.

Yang ada, batu-batu yang awalnya saya anggap kerikil kecil, berubah menjadi timbunan yang terus menggunduk dan membesar. Menjadi bukit, bahkan gunung masalah. Dan akhirnya, setelah babak belur berusaha menghancurkan gunung, saya menyerah, lalu mendesah, “Mungkin memang sudah jatah saya” – yang sering kali sudah terlambat. Bukan karena masalahnya tidak bisa lagi dibereskan, namun karena sudah terlalu banyak luka di tubuh saya sehingga perlu waktu dan energi yang tidak sedikit untuk memulihkannya.

Ikhlas. Betapa sering saya mendengarnya. Betapa sering saya mengira telah memahaminya. Betapa sering saya harus kembali ke titik nol dan mengangkat tangan. Melakukan gencatan senjata dan mengaku kalah. Pasrah. Bahwa saya memang tidak paham apa-apa. Bahwa semua pengetahuan yang tersembunyi di balik tempurung kepala ini tidak cukup untuk membuat saya menjadi manusia yang ikhlas.

Jatah. Betapa sering saya mendengarnya, membacanya, bahkan menuliskannya. Kenyataannya, ketika ia hadir tanpa bisa dielakkan, saya tetap kelimpungan dan bergulat untuk sekadar ‘lari’ darinya. Berusaha mati-matian mengubahnya, tanpa mau tahu bahwa seperti cuaca, ada hal-hal dalam hidup yang tercipta hanya untuk diterima dan dipetik pelajarannya. Bukan digeluti, bukan digumuli.

Lalu, untuk apa saya menuliskan ini? Buat apa saya ‘membuka isi perut’ di wadah yang bisa dibaca semua orang seperti ini?

Alasan pertama, karena menulis, bagi saya, adalah terapi. Dan mengungkapkan isi hati melalui tulisan adalah upaya saya untuk jujur terhadap diri sendiri – untuk mengenal diri dengan lebih mendalam.

Meski terkadang kejujuran bisa menyakitkan, saya percaya tidak ada yang lebih penting dari kejujuran. Seorang sahabat pernah berkata, ada hal-hal yang tidak dapat diingkari dalam hidup, namun kita selalu bisa memilih untuk jujur. Dan rasa sakit yang timbul dari kejujuran tidak akan lebih fatal dari luka yang disebabkan ketidakjujuran.

Alasan kedua, karena melalui tulisan ini, saya ingin berkata kepada seseorang –seandainya ia mampir ke sini dan menemukan entri ini— bahwa kini saya mengerti apa yang ia maksud dengan ‘jatah’. Kini saya paham. Dan kendati saya tetap ingin memelihara kejujuran dengan berkata terus terang bahwa ini bukan hal mudah, saya ingin dia tahu, saya bisa menerima.

Jatah, sebagai jatah. Sebuah momen dalam hidup yang hadir untuk diambil maknanya; bukan untuk disesali, bukan untuk dihindari.

Dan untuk itu, dari hati yang terdalam, saya berterimakasih.

🙂

kepada yang merasa media gosip se-tanah air

Ketika kau gebrak itu pintu mobil

Sambil berteriak-teriak tak karuan seperti menyerbu maling

Dengan kalimat yang membuat pekak telinga dan nyali ciut

Sadarkah kau berapa yang terduduk lemas di balik kaca itu?

Ketika kau ketok itu palu untuk menjatuhkan vonis atas hidup orang

Adakah benakmu berbisik, salahkah ini

Atau memang otakmu tak lagi punya ruang untuk hati?

Ketika kau curi itu orang punya suara

Lalu kau palsukan, dibalur narasi dan aksara

Seperti pil pahit bersalut gula untuk membohongi lidah

Pernahkah kau bertanya apa karmamu kelak?

Ketika kau pakai itu orang punya nama

Dan kau jejalkan di bawahnya kebohongan demi kebohongan

Sempatkah kau berpikir, bagaimana kalau namamu yang ada di sana?

Ketika kau hujani itu orang punya hidup

Dengan lampu sorot besar-besar untuk kau kulik

Dan kau jadikan komoditi tanpa peduli bahwa orang juga berhak punya privasi

Tahukah kau resah dan gelisah yang hadir merampok batin?

Ketika kau angkat itu lensa hitam tinggi-tinggi

Dan kau dekatkan tigapuluh senti dari wajah seperti polisi memburu tersangka

Adakah kau mengerti semburat teror yang berlintasan di sana?

Jadi, kawan-kawan tersayang, teruslah mendulang apa yang kalian sebut rezeki dengan mendagangkan sejumput hidup orang. Tak usah khawatir akan karma, fakta dan etika, karena di sini kita cuma berdagang, dan dunia yang kita tinggali memang tak menyisakan tempat untuk nurani. Teruslah bekerja, dan sebut itu karya. Sebut yang kau kabar-kabari itu informasi faktual, akurat, terpercaya, setajam silet. Teruslah merampok hak dan kebebasan orang lain untuk punya ranah privat, toh kita cuma sama-sama cari makan. Toh, mereka yang terus kalian kutak-katik itu hanya segelintir orang yang sial karena ketempelan cap publik figur.

Saya di sini, menonton. Anda dan lakon-lakon yang silih berganti menjelmakan dagelan di panggung berjudul industri hiburan ini. Karena cuma itu yang saya bisa.

Kendati ini bakal sia-sia, saya tetap belum bosan berharap dan menunggu

Saat ketika manusia bisa jadi manusia.

🙂

Sadisme

Entri ini buat kamu.

Ya, kamu, yang belum sudi saya sebut namanya sampai sekarang.

Harap camkan ini baik-baik, karena dari semua tulisan yang saya buat, ini akan jadi salah satu yang paling sadis, meski kamu takkan tahu kamulah orangnya.

Saya benci kamu. Sangat. Dan sialnya, bukan karena sesuatu yang pernah kamu lakukan terang-terangan pada saya. Kenapa sial? Karena kalau kamu berbuat jahat terhadap saya, akan jauh lebih mudah bagi saya untuk membencimu setengah mampus dan merancang hal-hal kejam untukmu. Mengirim fotomu ke dukun santet Mencekikmu sampai biru dan megap-megap kehabisan napas, misalnya. Atau menculikmu di tengah malam buta, mengikat kepalamu dengan karung dan membenamkanmu di rawa-rawa sampai namamu cuma tinggal sejarah. Dan orang tak perlu tahu kamu pernah ada.

Saya benci kamu. Sangat. Dan ironisnya, kita malah belum pernah bertatap muka.

Saya benci kamu. Sangat.

Kenapa? Karena kamu telah menghancurkan mimpi-mimpi saya. Dan kamu melakukan itu dengan mudahnya, bahkan tanpa perlu banyak usaha. Kamu tinggal merangkai aksara, dan ketika membacanya, saya remuk berkeping-keping.

Hiperbolis? Tidak. Kamu tahu, saya benar-benar nyaris mengubur semua mimpi saya. Dalam semalam. Dan itu semua gara-gara kamu. Kamu dan rangkaian aksaramu, yang ingin saya abaikan, saya anggap sampah, namun tidak pernah bisa.

Saya benci kamu. Sangat.

Tapi malam ini, saya sadar.

Saya salah.

Bukan karena membencimu (memangnya membenci itu salah? Nggak juga. Yah, setidaknya ‘kan saya mengaku :-P), tapi karena pernah berniat menenggelamkan mimpi-mimpi saya.

Bodoh sekali, kalau dipikir-pikir. Memangnya, kamu siapa? Begitu pentingkah kamu, sampai gara-gara kamu, saya harus kehilangan impian yang sudah saya sirami dan pupuki bertahun-tahun?

Saya masih membenci kamu. Sangat. Tapi, malam ini saya tahu, mimpi-mimpi itu tak perlu terkubur. Impian dan harapan hanya bisa mati dalam hati dan pikiran saya. Selama saya bisa menjaganya, mereka akan terus hidup.

Jadi, dengarkan ini baik-baik. Suatu hari nanti, sayap-sayap ini akan mengepak. Saya akan membubung tinggi. Amati dan tunggu sampai saat itu tiba. Dan saya mengatakan ini bukan untuk membuktikan diri kepadamu (memangnya, kamu siapa, sampai saya perlu membuktikan diri segala?). Saya akan terbang tinggi, karena di situlah tempat saya.

Langit biru tanpa batas itu adalah rumah saya. Dan akan saya kepakkan terus sayap-sayap ini sampai mereka cukup kuat untuk membawa saya terbang tinggi.

Sampai ketemu di atas sana. Dan tolong, belajarlah terbang lebih baik. Karena, siapa tahu, ketika kita bertemu nanti, saya masih ingin membunuh kamu.

*Tanpa bermaksud ikut-ikutan, bagi yang membaca ini dan merasa bisa menebak siapa orangnya (atau mencoba menyangkut-nyangkutkan dengan entri ini), tolong simpan energi Anda. Percayalah, Anda salah.

Malam ini, kembali mengenangnya.

Mama, apa kabar?
Baik-baikkah di sana?
Aku kangen sekali.
It’s been a long time.

Kadang
Ingin sekali menemuimu
Menaruh kepalaku di bahumu
Meski sekejap saja

Melihatmu tersenyum
Bukan hanya di mimpi
Mendengarmu tertawa
Yang bukan cuma di ingatan

Menjajari langkah-langkah gesitmu
Yang selalu terburu
Dan berseru,
Jangan cepat-cepat, kakiku tak cukup panjang.

Menjengukmu di dapur
Dengan daster dan rambut diikat
Mencoba membantu
Dan dimarahi karena membuat kotor

Mengadu di saat susah dan sebal
Selalu senang
Mendengar diriku dibela
Meski tak jarang aku yang salah

Mendengar namaku
Dalam doa yang kau bisikkan
Pagi, siang, petang
Tanpa jemu, tanpa lelah

Membaca ucapan ulang tahun
Berisi kata sayang dan wejangan
Agar selalu aku jadi anak yang baik
Dan semua hadiah lain tak lagi penting

Menemanimu di kamar, ruang tamu, meja makan
Bahkan ketika kau terlalu sakit
Untuk bisa menyambutku.
Sekadar bersamamu sudah cukup.

Menatapimu yang tertidur lelap
Bersyukur karena kau tak lagi didera
Memandangmu yang pulas dalam damai abadi
Berbahagia untukmu, meski aku ingin engkau selamanya ada.

Mama, apa kabar?
Indahkah di atas sana?
Aku kangen sekali.
🙂

Malam ini, empat tahun sudah saya mengenangnya. Dia tak akan terganti.
I love you, Mom.

*Ditulis sambil mendengarkan lagu ini.