Lelah

Hai, kamu yang di sana.

Iya, ini untuk kamu.

Maaf karena harus seperti ini. Saya sudah kehabisan energi dan upaya untuk mengomunikasikan ini denganmu. Jadi, jangan salahkan kalau saya menggunakan cara ini demi ‘berbicara’ kepadamu. Saya tak peduli, bahkan jika kamu tak pernah membaca tulisan ini – yang penting saya sudah menyampaikannya, meski ini jalan terakhir yang ingin saya tempuh.

Kenapa saya memilih cara ini? Karena saya masih ingin hidup waras. Saya belum ingin kehilangan akal sehat, alias jadi gila.

Maafkan saya.

Saya lelah. Hidup dalam pengharapanmu, hidup dalam mimpi-mimpimu. Setelah sekian lama, baru saya sadar, saya memiliki impian saya sendiri. Yang ingin saya kejar. Yang ingin saya raih. Saya sudah terlampau penat hidup dalam ekspektasi dan impian orang lain, meski orang itu kamu – yang sangat saya sayangi, dan pernah sangat saya puja.

Sama seperti kamu, saya juga memiliki impian yang ingin saya capai. Saya ingin menjalani kehidupan yang penuh gelora, dan saya rela terbakar di dalamnya. Saya tak lagi peduli apakah saya akan aman di luar sana, apakah saya akan bahagia, apakah saya akan berhasil, atau jatuh terpuruk – seperti argumenmu selama ini. Saya hanya ingin hidup, dan saya akan menjalani keputusan ini lengkap dengan segala resiko dan konsekuensinya.

Mimpi-mimpi ini harus tumbuh. Terlalu lama saya menyimpannya sendiri. Terlalu lama saya membiarkannya tertimbun, terabaikan. Mimpi-mimpi ini layak dibiarkan bertunas, secara alamiah, sebagaimana mestinya. Dan sebagaimana kehidupan terus bergulir, hati ini harus terus mengalir, karena ia cair. Ia tak dapat dibekap dalam sebuah wadah sempit. Kecuali kamu ingin saya mati perlahan-lahan di dalamnya. Dan percayalah, saya masih ingin hidup.

Saya tak meminta banyak. Tolong biarkan saya ‘hidup’. Hanya itu.

Hidup seutuhnya. Terbang bebas bagaikan burung, meski saya tak punya sayap. Saya percaya, saya mampu melayang tinggi tanpa sayap.

Tolong biarkan saya menjadi diri sendiri. Jika menerima saya apa adanya terlalu sukar bagimu, maka saya tak meminta untuk diterima. Lepaskan saya. Biarkan saya terbang. Karena saya bukan milikmu. Saya bukan milik siapapun.

Jangan cegah saya dengan cara apapun, dengan dalil apapun, dengan alasan apapun. Biarkan saya menemukan keutuhan diri saya yang sejati. Biarkan saya bersua dengan separuh jiwa saya yang telah lama terkungkung.

Tolong biarkan saya hidup.

Itu saja.

Salam penuh cinta,

– JJ –

Mengenang dengan Senyuman

Rabu sore.

Jakarta Selatan entah-bagian-mana.

Lampu lalu-lintas berganti dengan lambat, menyebabkan kemacetan panjang yang melelahkan. Pengemudi taksi yang saya tumpangi (taksinya, bukan orangnya ;-D) menginjak pedal rem dengan hati-hati, sementara saya terbengong-bengong seperti orang dusun masuk kota melihat kepadatan yang berpotensi menimbulkan gangguan jiwa itu.

Menyadari perjalanan ini akan makan waktu lebih lama dari yang diperkirakan, saya mengeluarkan biskuit dan air mineral untuk mengganjal perut. Sambil mengunyah, saya berdoa supaya kemacetan ini tidak sampai membuat saya terlambat menghadiri sebuah pertemuan penting. Saya tidak ingin melampaui jam yang sudah ditentukan.

Ketika sedang konsentrasi membersihkan remah biskuit yang tercecer di jeans, saya terkejut karena si supir taksi mendadak tertawa heboh sambil bertepuk tangan.

Saya melongo.

Dugaan pertama, macet-edan-bego ini memang sungguhan berpotensi menimbulkan gangguan jiwa.

Sebelum sempat merumuskan asumsi kedua, saya mengetahui penyebab kegembiraan si supir.

Mengikuti arah pandangnya, saya menemukan seorang pengemudi bus patas AC yang sedang melambaikan tangan dengan bersemangat ke arah kami. Ia tersenyum lebar sambil menunjuk-nunjuk taksi yang saya naiki.

Si supir taksi mencondongkan tubuh, membuka jendela dan bertepuk tangan lagi, gantian menunjuk-nunjuk patas merah yang dikendarai si supir bus, kemudian mengacungkan jempol.

Saya memandangi mereka bergantian, geli karena keduanya bertingkah seperti anak kecil teman sepermainan yang sudah lama tidak bertemu.

Setelah jendela ditutup, saya bertanya spontan, “Memangnya kenal, Pak?”

*Dan langsung sadar: pertanyaan bodoh. Yyya iyyyalaaah, Jen. Hahaha!*

Si supir taksi mengiyakan. “Dulu dia yang bawa taksi ini, Mbak. Nggak lama habis saya diterima di sana, dia keluar, trus nggak pernah ketemu lagi. Eh, tau-tau sekarang udah nyupirin bis AC.”

“Oh…”

Lampu lalu-lintas berganti. Nggak ngefek sebetulnya, karena taksi saya hanya bisa maju beberapa milimeter *hiperbola* saking padat (dan leletnya) kendaraan-kendaraan di depan kami.

*By the way, saya mau titip pesan untuk para pengemudi kendaraan di Jakarta tercinta yang sering terjebak macet: kalau lampu sudah berganti hijau, mbok yaaao jangan santai jaya. Bolehlah ngapain aja selama lampu merah, tapi plis dong tetap alert terhadap pergantiannya. Dan coba ya, itu, jangan keasikan ngobrol dan baru maju setelah diklakson orang.*

Saya menoleh ke arah bus patas merah itu, ingin melihat pengemudinya lagi.

Dia masih ada di sana. Menumpangkan dagu di atas kedua tangannya yang terlipat di jendela. Tersenyum. Sepasang matanya tak lepas menatapi taksi saya. Senyum itu membuat wajahnya berbinar dengan ekspresi yang sulit diartikan, namun entah bagaimana, saya seperti melihat kedamaian di sana. Secercah hangat yang tiba-tiba membuat saya merasa nyaman.

Untuk sesaat, saya sangat ingin tahu apa yang ada dalam benaknya. Apa yang membuatnya tersenyum seperti itu. Apa yang menyebabkan wajahnya berbinar damai. Apa yang membuat lengkungan lembut itu betah tersungging di sana.

Kenangan akan masa lalu? Pengalaman manis? Kesedihan? Atau sesuatu yang lucu?

Saya memalingkan wajah, kembali menatap ke depan – ke deretan kendaraan yang menyemut seolah tak ada habisnya. Lalu mata saya tertumbuk pada sebuah billboard raksasa bernuansa merah-kuning yang berdiri angkuh di sisi jalan.

PERUBAHAN ITU PERLU.

Itulah satu-satunya kalimat yang tertera di sana.

Selama beberapa detik, saya hanya termangu menatapi tulisan itu. Lagi-lagi, dengan cara yang ajaib, Sang Pencipta menunjukkan kebesaran-Nya. Memberi satu lagi peneguhan dan kekuatan untuk hati kecil yang kerap meragu ini. Menciptakan sinkronisitas untuk meyakinkan saya bahwa jalan yang sedang saya tempuh adalah jalan yang benar – setidaknya untuk saat ini. Mengalihkan fokus saya dari berbagai hal yang menyita perhatian dan terkadang begitu menjemukan, untuk sekejap menyapa dan memberitahu bahwa saya tak pernah sendirian dalam menapaki perjalanan panjang ini.

Lampu lalu-lintas belum berganti. Mobil-mobil semakin menyemut, putus asa sekaligus pasrah terhadap kemacetan Rabu sore yang menguras kesabaran. Supir taksi saya tak kalah frustrasi. Ia menghela nafas panjang dan mengangkat kedua tangannya, melipatnya dan menyandarkan kepalanya di sana seolah ingin mengusir penat.

Saya merapatkan cardigan untuk mengusir hawa dingin. Sebelum ikut merebahkan kepala di sandaran jok taksi, sekali lagi saya menoleh, ingin mematri satu sinkronisitas lagi yang singgah di hadapan saya sore itu.

Pengemudi bus itu masih ada di sana, dalam posisi yang sama. Dan dia masih tersenyum.

Saya menatapnya, lama. Perlahan, saya membisikkan sebait doa dari hati yang terdalam.

Apapun yang terjadi di depan sana, apapun yang menunggu saya kelak, apapun yang akan saya alami dalam perjalanan dan evolusi kehidupan yang terus bergulir ini; sesal atau senang, gembira atau sedih, kebanggaan atau kekecewaan, hanya satu harapan saya: semoga saya bisa senantiasa mengenangnya dengan senyuman.

🙂

*Tulisan ini didedikasikan untuk dua orang kawan sekaligus guru yang telah memungkinkan perjalanan-Rabu-sore saya terwujud. Thanks for everything. Most importantly, thanks for being there. 😉

Menunda Impian

Hari ini, saya baru saja melepas sebuah impian. Mimpi untuk bertualang, mencicipi keindahan dunia dan memperkaya hidup.

Ooops, mungkin bukan melepas. Menunda lebih tepat. Tapi, tetap saja saya merasa sebagian diri saya ‘hilang’ ketika memutuskannya.

Saya mengangankan ini selama setahun. Selama itu pula saya membuat perencanaan dan mengkalkulasi dengan cermat. Semua sudah tersedia, yang perlu saya lakukan hanya mengemasi pakaian dan berangkat. Namun kenyataan berkata lain *tsah!*.

Ada masalah yang tiba-tiba muncul. Ada tanggung jawab yang harus saya penuhi. Ada kepentingan-kepentingan yang tidak bisa dihindari.

Berkali-kali saya meyakinkan diri bahwa (akhirnya) semua akan berjalan seperti yang saya inginkan. Persis seperti perencanaan yang saya buat 12 bulan terakhir. Tapi akhirnya saya harus mengaku. Bahwa saya tak dapat menentang fakta. Seperti kata sahabat saya: Reality bites.

Mimpi itu, rencana itu, angan-angan itu… sepertinya harus menunda setahun lagi.

…..

Tidak apa-apa.

Bukankah hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan?

Bukankah hidup harus fleksibel?

Bukankah sesekali hidup harus dibiarkan mengalir?

Tidak ngoyo, melainkan dijalani dengan rasa syukur dan tawakal. Lagipula, bukankah memperkaya hidup itu bisa dimana saja? Semua tergantung perspektif dan cara saya menyikapi realita, setiap hari, setiap detik.

Tidak apa-apa.

…..

…..

Tapi… tetap saja perih itu ada. Aaaaarrggggh.