‘This Is It’ Spells L-O-V-E

Discover the man you thought you knew.

Saya tersenyum membaca tagline itu beberapa saat sebelum memasuki bioskop. Jenius, batin saya. Siapa yang tidak akan terpikat dengan kalimat seperti itu. Saya sendiri, sejujurnya, tidak punya ekspektasi apa-apa. Saya bukan penggemar Michael Jackson. Namanya sudah akrab di telinga saya sejak kanak-kanak, tapi saya tidak pernah mengikuti karya-karyanya, apalagi mengidolakannya.

The man? Saya tidak punya bayangan apa-apa tentangnya. Dokumenter ini bisa jadi sangat mengesankan atau sangat membosankan.

Lima menit pertama berlalu. Raja Pop itu muncul dengan kostum perak-biru dan celana oranye ketat. Satu-satunya yang membuatnya termaafkan adalah karena ia Michael Jackson. 🙂

Menit demi menit berlalu, dan saya terkesima. Inilah kali pertama saya melihat sebuah karya dipersiapkan seserius, serapi dan sedetil ini. Nyaris tanpa cacat sampai rasanya ‘menakutkan’. Sepanjang film, berkali-kali saya merasa tertampar. Saya bukan penyanyi atau pencipta lagu, namun saya tahu rasanya berproses untuk mengawinkan ide dan kreativitas sampai melahirkan sebuah karya. Mungkin itulah sebabnya – karena saya merasa sebagian diri saya terwakili olehnya.

This is for love,” sabda sang Raja. Siapa yang tidak setuju setelah melihatnya. Tidak ada yang lebih tepat untuk menguraikan pesan yang terdapat dalam konser ini selain cinta. Cintanya kepada manusia. Kepada dunia. Kepada Bumi. Kepada karya-karyanya. Jackson mencintai dan mengenal setiap karyanya sampai ke detil yang paling sederhana, dan barangkali itulah attitude yang perlu dimiliki setiap orang yang mengaku pekerja seni: karya adalah anak jiwa.

You can’t fool Michael,” komentar seorang musisi yang terlibat dalam konser tersebut. Komentar itu tidak berlebihan. Jackson tidak memasrahkan lagu-lagunya untuk diaransemen ulang dan berpangku tangan terima-jadi seperti yang kerap dilakukan pencipta lagu dan penyanyi lain. Ia mengetahui setiap rekaman, tempo dan kunci dari lagu-lagu yang lahir dari rahim kreatifnya, dan ia menginginkan yang terbaik.

That’s why we have rehearsal,” ucap Jackson. Sederhana, tanpa sirat kesombongan. Saya tidak tahu apakah Kenny Ortega melakukan segala macam cara dalam menyunting film agar Jackson tampak seperti malaikat. Mungkin ia telah membuang bagian-bagian di mana sisi ‘iblis’ Jackson muncul. Mungkin Ortega memang ingin menampilkan Jackson sebagai manusia setengah dewa, karena sosok di layar itu hanya bisa digambarkan dengan ungkapan ‘too good to be true’. Dengan segala kejeniusan, kerendahan hati, ‘I love you’, ‘thank you’, dan ‘God bless you’ yang berkali-kali ia lontarkan, adakah seniman besar yang dijuluki raja ini manusia biasa?

Saya tidak tahu sejumlah lagu yang dibawakan Jackson sehingga saya tidak bisa ikut bernyanyi dalam bioskop. Saya tidak bisa menghayati lagu-lagu tersebut. Saya tidak mengenal Jackson sebaik jutaan penggemarnya yang lain, namun air mata saya mengalir. Jika ada sesuatu yang tidak gemerlap dari seorang Michael Jackson, maka itu adalah cintanya – sesuatu yang berkali-kali diulang dan ditekankannya. Cinta itu sederhana. Begitu sederhana hingga ia dengan mudah menyentuh setiap hati yang dijumpainya.

He is a king. He is a good guy. He is humble and he knows his music,” komentar musisi lainnya. Cukupkah itu untuk mendefinisikan seorang Jackson?

We thought we knew. The truth is, we never knew.

Konser itu tidak pernah terlaksana. Sang Maestro meninggal delapan hari sebelum karya terbesarnya lahir. Banyak orang menyayangkan pembuatan film ‘This Is It’. Sebagian keluarga dan fans fanatiknya berkata Jackson tidak akan suka dokumenter tersebut dipublikasikan karena ia seorang pengagung kesempurnaan dan apa yang terekam dalam film itu jauh dari sempurna. Bagi saya, ketidaksempurnaan dalam karya itulah yang menjadikannya sempurna. Karya tersebut memperlihatkan kepada dunia sisi manusia dari seorang manusia setengah dewa yang disanjung setinggi langit. Karya tersebut, meski tidak sempurna, adalah persembahan terbaik Jackson bagi dunia.

Saya duduk hingga baris terakhir dalam credit title selesai ditayangkan. Saya satu-satunya penonton yang tersisa. Petugas kebersihan mulai menyebar di antara lorong kursi dan saya bergeming. Layar kembali menampilkan sosok Jackson di tengah panggung. Gambar berganti, memperlihatkan seorang gadis cilik memeluk bola dunia. Di sudut kiri bawah muncul sebuah guratan. Sebaris ‘I love you’, diikuti tanda tangan Jackson di sebelah kanan.

Layar besar itu gelap sudah. Saya merapatkan tas di bahu dan melangkah keluar dengan hati penuh.

Tagline itu tidak sepenuhnya benar. Saya masih tidak tahu ‘siapa’ Michael Jackson. Namun satu hal saya ketahui pasti: persembahan terakhirnya bagi dunia telah mengajar saya untuk berkarya dengan cinta.

*Gambar diculik dari: http://memories.michaeljackson.com/ex-images/michael-jackson-this-is-it-movie-poster.jpg

—–

fiksi.

Setelah sepuluh hari berprofesi sebagai tukang jaga kandang lantaran si Mbak mudik, di hari kesebelas saya menghadiahi diri sendiri dengan DVD yang sudah lama saya cari: fiksi. (bukan yang bajakan ya, catet).

Saya, yang sempat eneg dengan pengalaman nonton ‘Orphan’ karena efek suara yang oh-sungguh-ganggu, langsung bersiap menemukan hal serupa begitu ngeh ‘fiksi.’ bergenre thriller. Thriller samasekali bukan jenis film yang tepat untuk saya yang kagetan. Sambil menyilangkan jari, saya menyalakan DVD player dan menaikkan kaki ke atas sofa.

*Jangan ada yang berani nanya: “Kalo jarinya disilang, nyalain DVD-nya pake apa?”*

Alisha (Ladya Cheryl) adalah gadis yang kesepian. Masa lalu yang traumatik ditambah hubungan yang tidak harmonis dengan ayahnya membuatnya tidak dapat hidup seperti gadis kebanyakan. Ayahnya tidak pernah ada baginya, namun beliau memonitor setiap gerakannya bagaikan polisi mencurigai maling. Hidupnya yang membosankan mulai berubah ketika ia bertemu Bari yang bekerja membersihkan kolam di rumahnya. Setelah mengetahui bahwa Bari tinggal di rumah susun, Alisha pun memutuskan untuk kabur dari rumah dan menempati sebuah kamar kosong persis di sebelah kamar Bari.

Bari (Donny Alamsyah) adalah seorang penulis yang sedang berjuang menyelesaikan cerita-ceritanya. Ia telah berpacaran dengan Renta (Kinaryosih) selama tujuh tahun. Mereka tinggal bersama di rumah susun, tempat Bari mengambil tokoh-tokoh ceritanya dari kehidupan nyata dan memetik inspirasi dari dunia kecil yang bagaikan sirkus. Bari yang tidak mengetahui asal-usul Alisha dengan senang hati menjadi tour guide dadakan bagi gadis itu, menceritakan kisah demi kisah yang terjadi di rumah susun, dan menunjukkan cerita-cerita yang ia tulis. Cerita-cerita yang tidak pernah berakhir dengan kata ‘Tamat’.

Alisha yang bertekad memasuki kehidupan Bari mulai menyelesaikan cerita demi cerita dengan caranya sendiri. Satu persatu tokoh yang diambil Bari dari kehidupan nyata menemui ajal di tangan Alisha, dan Renta terancam bahaya yang sama besarnya. Rumah susun itu tidak pernah sama lagi. Cerita-cerita yang mulanya hanya tercetak di kertas putih kini mewujud dengan cara yang samasekali tidak terduga.

Ternyata, apa yang saya khawatirkan sebelum menonton tidak terjadi. Ada beberapa adegan yang mengejutkan, namun tidak ada efek suara mengganggu yang membuat saya meloncat dari sofa. Tidak ada iring-iringan musik yang membuat jantung berdebar keras. Tidak ada suara “JRENGGG” lebay.

Tidak hanya efek suara, film ini pun tidak boros dialog. Akting para pemain mampu membuat penonton larut tanpa harus mengumbar banyak kalimat. Salut untuk Joko Anwar yang mampu menulis skenario minimalis dengan hasil maksimalis – meski beberapa dialog menyiratkan dengan jelas gap antara usia penulis dengan usia anak-zaman-sekarang yang sebenarnya. 😀

*Walau saya sendiri nggak kebayang kalau Alisha bilang, “Bi’, siapa cowok alay itu?” atau Renta ngomong, “Ihh gue kan suka banget gethooo sama kelinciiiw.”*

Saya hanya orang awam yang hobi nonton film. Jika saya diminta mendeskripsikan ‘fiksi.’ dalam dua kata, maka kata tersebut adalah beautiful dan profound. Film ini indah dalam arti sebenar-benarnya. Segala sesuatu di dalamnya indah. Konsep, penceritaan, alur, dan pengambilan gambarnya – semuanya indah. Sepanjang film, mata saya terus dimanjakan dengan visualisasi yang tertata rapi namun tidak kaku, manis namun tidak kacangan. Setiap angle dan proporsi dalam frame diperhitungkan secermat mungkin. Mouly Surya benar-benar orang yang idealis dan perfeksionis. Setidaknya, itu yang saya simpulkan.

Plot yang terjalin apik dan memadukan drama dan thriller membuat film ini ‘berjejak’ – meninggalkan bekas di hati dan pikiran lama setelah ia usai. Komentar media-media asing dan berbagai ‘stempel’ yang tertera pada sampulnya sama sekali tidak berlebihan.

An inventive and elegant approach to the thriller genre,” tulis Screen Daily. Saya setuju. ‘fiksi.’ memang pantas jadi pemenang, dan sutradara favorit saya kini bertambah satu. 🙂

Lewat pertengahan cerita, memasuki jam kedua, mendadak saya menyadari, batasan antara realita dan fiksi menjadi semakin tipis hingga nyaris hilang sama sekali. Saya mulai kesulitan membedakan mana realita yang dijalani Alisha, Bari dan Renta, mana fiksi yang ditulis Bari dan diselesaikan Alisha dengan caranya sendiri. Entah saya yang kurang cermat dalam menonton atau apa (padahal nontonnya sampe nggak gerak lho, sumpah!), namun itu yang saya alami. Realita dan fiksi berbaur sedemikian rupa dan garis pembatas di antaranya menjadi blur.

Adegan favorit saya adalah ketika Bari menemukan kunci Renta yang dibawa oleh Alisha dan menyadari kekasihnya berada dalam bahaya. Dalam kemarahan dan frustrasi, Bari mengguncang tubuh Alisha dan memaksanya mengakui dimana Renta disembunyikan. Bukannya menjawab, Alisha justru berkata dengan tenang, “Ternyata, yang paling menarik adalah cerita tentang kamu sendiri.” Saat Bari mengira dirinya adalah penentu nasib dari para tokoh dalam ceritanya, ia telah menjadi salah satu tokoh itu sendiri.

*****

Usai menonton, saya termenung. Saya selalu berpendapat, sebuah film yang bagus adalah film yang mampu menekan ‘tombol pause’ dalam hidup penontonnya. Jeda yang sanggup membuat orang berhenti sejenak dan merenung. Bertanya. Berpikir. Film yang baik adalah refleksi dari kehidupan yang sesungguhnya. Pembuat film yang baik bukan penjual mimpi belaka – ia adalah pedagang cermin. Belum banyak film seperti itu di Indonesia, dan ‘fiksi.’, tidak diragukan lagi, adalah satu dari yang sedikit itu.

Apa yang membedakan realita dan fiksi?

Pertanyaan yang tidak sulit dijawab. Namun siapa yang bisa menjawab dimana kita hidup sekarang? Realita, atau fiksi? Bagi yang menjawab realita, betulkah? Yakinkah kita bahwa kita sungguh-sungguh hidup dalam realita? Benarkah dalam realita ada benar ada salah? Benarkah dalam realita ada saya ada kamu? Benarkah dalam realita ada si Anu dan si Uni? Benarkah realita selalu punya masa lalu, masa kini dan masa depan? Benarkah realita punya alur yang bisa kita ceritakan kembali kepada orang lain? Yang bisa direkam dalam bentuk tulisan, gambar bergerak maupun kenangan?

I don’t think so. 🙂

Bagi saya, realita tidak pernah bicara tentang jalan cerita. Realita tidak pernah punya rentang masa –dulu, sekarang, nanti—dan tidak kenal sesal dan takut. Realita hanya ada di detik ini, bahkan apa yang baru saja saya tulis dan Anda baca sudah lama berlalu. Tidak ada tokoh dalam realita. Tidak ada saya, kamu, dia, kami, mereka. Tidak ada benar salah dalam realita. Yang ada hanyalah apa adanya. Yang ada hanyalah ini. Bahkan ‘ini’ tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Jadi, dimana kita berada sebenarnya? Realitakah? Atau jangan-jangan kita sedang hidup dalam fiksi besar hasil rekaan kita sendiri, dan kita menyangka sedang menjalani realita?

Mouly memberikan jawaban yang sangat menarik: “Di antaranya. Karena meskipun kita hidup dalam realita, di kepala kita punya berbagai fiksi tentang realita tersebut.” Saya membaca tulisan tersebut dan tersenyum. Sebuah kebetulan yang cukup menarik bahwa blog ini berjudul ‘In Between’.

Saya tidak akan berpanjang-panjang membahas paragraf di atas, namun inilah yang bisa saya bagikan sebagai hasil dari perenungan malam itu: menyadari bahwa kita hidup di antara dua dunia –realita dan fiksi—barangkali bisa memberi sedikit kelegaan dan kejernihan dalam menjalani hidup. Peran-peran yang kita mainkan secara bergantian setiap hari –orang tua, anak, musisi, karyawan, atasan, suami, istri, dan sebagainya—adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari hidup, namun semuanya tidak lebih dari lakon yang melekat pada kita di panggung sandiwara raksasa ini.

Pertunjukan besar ini adalah sebuah fiksi. Yang sekalipun tampak nyata, tetap punya tanda titik di akhirnya. Cerita yang akan tamat, suka atau tidak suka. Satu-satunya yang nyata, yang tidak punya titik dan akan terus berlanjut adalah realita yang kita pijak. Realita yang membawa kita ke detik INI, yang kita jalani tersaruk-saruk karena langkah ini selalu tersangkut di masa lalu dan terseret ke masa depan. Realita yang adakalanya sulit dikenali karena kita terlanjur menganggap fiksi sebagai kebenaran.

Menyadari bahwa kita hidup di antara dua dunia barangkali bisa memberi secercah lapang di batin. Bahwa semua yang tengah berlangsung tak lebih dari fiksi, dan di saat yang sama, kita tak perlu selamanya tinggal dalam fiksi. Kita tak perlu selamanya menjalankan berbagai peran yang kadang begitu melelahkan. Kita tak selamanya harus berlakon.

Penyadaran mungkin satu-satunya cara untuk membawa kita keluar dari ilusi panjang ini, untuk sesekali kembali ke tempat dimana segala sesuatunya nyata; tanpa cerita, tanpa lakon, tanpa penghujung. Untuk mencicipi realitas yang sejati. Untuk benar-benar hidup.

Realita tidak pernah menyajikan cerita. Tapi fiksi punya banyak cerita.

Pilih mana?

—–

Kata Mereka tentang VAJRA…

Sebelum VAJRA lahir, ia hanya milik saya sendiri. Tersimpan dalam file berukuran 728 kilobytes di komputer, bersama segala impian dan cita-cita untuk menjadi ‘emak sungguhan’ dari sebuah karya yang terwujud dalam bentuk buku, yang nyata, dan ada.

Setelah ia terbit dan nampang di rak-rak toko buku, file itu masih tersimpan rapi di komputer, kali ini bersama sederet foto hasil hunting saya di sejumlah toko, persis seperti emak yang bangga akan anaknya dan tak bosan-bosan mengoleksi fotonya, meski gambarnya selalu sama dan cenderung membosankan: setumpuk buku dalam rak kayu cokelat muda yang bersanding dengan tumpukan buku lain.

Bukan hanya itu pembedanya. Jika dulu ia hanya milik saya sendiri, kini saya mempertemukannya dengan dunia – membaginya dengan Anda semua. VAJRA menjadi milik kita bersama. Saya dan Anda yang mengijinkannya menghuni rak buku Anda.

Berikut adalah beberapa dari mereka yang telah bersua secara langsung dengan VAJRA. Mereka yang telah berkenalan dan memberikan testimoni mengenai anak sulung saya. Thanks a bunch you all. Terima kasih telah menempatkan VAJRA dalam rak kalian, dan terima kasih atas kesediaannya memberikan review dan komentar.

Yang mau nyusul, boleh banget. Yang merasa masih punya ‘utang’, monggo dilunasi sebelum jatuh tempo *wink-wink*. 😉

Ditunggu, yaaa!

—–


“Untuk kumcermu, udah baca semua! Untuk sebuah debut, karya kamu ga bisa dipandang sebelah mata. Kudos 4 u!”


(Sitta Karina – novelis dan kontributor majalah “CosmoGIRL!”)


Fascinating. Jarang sekali ada tulisan-tulisan yang begitu kaya, tapi tidak kehilangan unsur entertainment-nya. Cinta anak SMA, sampai kloningan abad 22, sampai kehidupan penjaga tol dan pengamen jalanan, ada semua di sini. Kumcer terbaik yang pernah saya baca. Nyesel juga nggak baca abis ini dari dulu. Bagus banget Jen. I’m so proud of you. Damn proud, untuk jujurnya. Keren.”


(Farida Susanty – novelis, pemenang Khatulistiwa Literary Award 2007 kategori Penulis Muda Berbakat)


Pernah nonton
Desperate Housewives? Kenal tokoh yang namanya Susan Mayer? Naah… seperti yang diakuinya sendiri, Jenny Jusuf ini seorang “Susan Mayer”: gadis romantis penuh cinta 🙂 Pokoknya, beda banget dibandingkan gw yang campuran antara the perfectionist Bree van de Kamp dan the practical Lynette Scavo 😉

Dengan semangat saling mendukung ala tokoh2 DH lah, gw membeli VAJRA. Jujur, by my usual standard, rak chicklit & teenlit di toko buku bukanlah tempat bermain gw 😉

Tapi akhirnya gw cukup menikmati membacanya. True, Jenny Jusuf is Susan Mayer at heart. But, she is definitely less naive than that romance-hungry character 😉 Cerita2 di Vajra memang ringan, penuh roman, dan terkesan cinta mengalahkan segalanya seperti jalan hidup seorang Susan Mayer.

… tapi, Jenny membekali dirinya dengan pengetahuan yang up-to-date tentang berbagai hal. Dengan demikian, meskipun ceritanya ringan dan penuh cinta, cocok buat remaja2 putri, tapi tulisannya membuat remaja2 itu sedikitnya menambah pengetahuan dan “nggak cuma mikir cinta” 😉

Yang jelas, Jen, VAJRA gw simpan buat bacaan Ima 1-2 thn lagi 😉
(Maya Notodisurjoblogger)


Damn! VAJRA KEREN euy! Emang jago deh lo, IRI huehehe. Simpel, menyentuh tapi berisi. Cool debut! Ada beberapa yang KENA banget Mbak, cuma emang ada yang kurang tapi tetep oke. Tapi keren euy! Overall nice, gue seneng bacanya dan gak mau berhenti.”


(Haqiblogger, scriptwriter)


Jenny tapped the essence of life and brewed it into riveting, page turning stories. Can’t wait for your next book!”
(Tommy Fransiscus)


Congratsss… Ada yang sukses bikin mata berkaca-kaca, ada yang sukses bikin nyengar-nyengir ga jelas. Paling suka “Anugrah Terindah”, khas Kakak banget.”


(Noviana Roselie)

“Waahhh… Kak Jenny aku udah baca bukunya…. kereeennn!!!! Huhuhuhu… Ayooo ditunggu lagi yaaa bukunyaa!!! Cmangattzz!!!”


(PS: aku paling suka cerpen tentang Faris dan pacarnya… hehehehe pengalaman pribadi soalnya :p)


(Purple_Loverz)

“Halo Kak Jenny 🙂 Salam kenal ya, aku Clarissa… aku tau bukunya dari milisnya Kak Arie dan aku udah beli bukunya, sekarang udah selesai baca. Bukunya bagus banget! Aku suka banget, life lessonsnya bagus-bagus banget 🙂 Selamat ya 😀 And keep writing!”


(Clarissa)


“Udah beli bukunya… udah baca… gw paling suka ama cerita yang ada quotenya. Gw lupa bahasa inggrisnya, tapi kira-kira gini: kasih yang paling besar adalah saat seseorang mengorbankan nyawanya untuk sahabatnya… dalam banget…”
(Desty)


“Udah beli kumpulan cerpennya Jenny… ^_^ Suka banget ama cerita-cerita di dalamnya…”


(Maggie)

RECTOVERSO – Sentuh Hati dari Dua Sisi

Sebagai penikmat buku dan musik sejati -yang ditandai dengan menumpuknya bacaan di lemari dan ratusan lagu di playlist– membaca dan mendengarkan musik adalah bagian dari keseharian saya. Meja di kamar kos dan rak di rumah saya tak pernah sepi dari buku. Earphone nyaris tak pernah absen dari telinga, baik ketika sedang berjalan sendirian di mall, duduk santai di angkot, berdiri dalam antrian panjang di bank, atau saat harus berhadapan dengan aktivitas paling menyebalkan sedunia: menunggu. Bagi saya, kedua hal itu adalah rutinitas tetap yang tanpanya hidup akan seribu kali lebih membosankan.

Ketika pertama kali mendengarkan Rectoverso, sejujurnya saya tak tahu apa yang harus saya harapkan. Meski telah lama menjadi pengagum tulisan-tulisan Dewi ‘Dee’ Lestari, saya nyaris tak pernah menyimak versi non-tekstual dari karya-karya penulis yang satu ini. Setelah melahap habis sebelas cerita pendek dalam bukunya, saya mendengarkan lagu-lagunya tanpa ekspektasi apa pun.

Dan terjadilah ‘keajaiban’ itu. Bermula dari satu-dua lagu yang meninggalkan kesan mendalam dan saya putar lebih dari sekali, kecanduan saya terhadap makhluk hibrida ini pun dimulai.

Karya yang hadir secara terpisah dan awalnya saya nikmati sendiri-sendiri ini mulai menunjukkan pertaliannya, bagaikan paket combo yang saling melengkapi dan membentuk kesatuan utuh. Dewi Lestari telah meracik dan menyuguhkan sajian ini dengan amat terampil. Perlahan, aktivitas mendengarkan saya yang mulanya hanya terbatas pada ‘menyimak’ bertransformasi menjadi ‘menghayati’, dan akhirnya ‘melebur’.

Rectoverso berulangkali membuat saya jatuh cinta. Menangis. Tertawa. Merenung. Terdiam dalam hening. Terhanyut di dalamnya hingga kata-kata kehilangan makna.

Sebelas kisah di dalamnya tak membosankan untuk dibaca berulang-ulang, dan sebelas lagunya telah sukses menjadikan saya pecandu dalam beberapa hari saja. Merasa hidup tak lengkap jika tak menyetelnya begitu bangun tidur dan mendengarkannya hingga mata siap menutup.

Mungkin ilustrasi yang cukup pas untuk menggambarkan sensasi yang muncul dari pengalaman membaca dan mendengarkan Rectoverso adalah bagai menaiki rollercoaster yang bergerak lambat. Merasakan energi dan adrenalin terstimulasi, terpompa dan termanifestasi dalam berbagai wujud. Terus bergerak naik-turun tanpa perlu membangkitkan bulu roma. Atau seperti mengonsumsi narkoba dalam jumlah sedikit namun rutin. Rasa yang diberikannya membuat hati terus menagih untuk menikmati lebih dan lebih lagi.

Jika Supernova adalah virus, maka Rectoverso bagi saya adalah zat adiktif. Candu bagi jiwa. Racun yang tak butuh penawar. Suplemen hati yang bebas dikonsumsi sepuasnya tanpa khawatir overdosis.

Jujur, ini adalah review paling berkesan yang pernah saya tulis, karena belum pernah sebelumnya saya menikmati sebuah karya dengan begitu mendalam dan mengapresiasinya sedemikian rupa. Urgensi untuk menuliskan ini hampir tak tertahankan dan saya tak peduli jika harus menjelma jadi makhluk nokturnal demi mengurainya.

Kali berikut saya bertemu penulisnya, saya akan bertanya ramuan rahasia apa yang ia pakai. Barangkali saya bisa mencobanya, agar naskah-naskah saya bisa keluar dari rahim inkubasinya dan menghirup udara dunia. Barangkali ia akan rela membagi satu-dua resep yang bisa saya uji coba. Barangkali kejeniusan yang sama bisa sedikit menular pada saya, meski saya ragu akan pernah menghasilkan sesuatu sebrilian ini.

Barangkali saya akan berkata kepadanya, dunia butuh lebih banyak orang sepertinya. Yang mampu menciptakan keindahan sekaligus menyuarakan desau jiwa sama baiknya.

Selamat, Mbak Dee. Sayang saya hanya punya empat jempol. 🙂

Latest Novel from Sitta Karina: CIRCA

Baru kemarin saya dan seorang teman (yang sama-sama kelahiran delapanpuluhan) ngobrol tentang betapa advanced-nya remaja masa kini *tsaelah* dalam hal edukasi, cara berpikir, gaya hidup (eh, kalau gaya hidup bisa dibilang advanced nggak sih? Hihihi), prestasi, dan banyak lagi. Makin lama, obrolan makin mirip emak-emak kolot karena penuh dengan kalimat, “Pas jaman kita dulu, jangankan ada yang begituan…”, “Waktu kita seumuran mereka…”, “Dulu mah gak kayak sekarang…” ;-D

Anyway, novel terbaru Sitta Karina sukses bikin saya senyum-senyum sendiri, karena semua yang kami obrolkan kemarin benar-benar terefleksi di sana. Teenlit sejati, dinamis, seru, dengan penuturan yang sangat remaja, namun isi dan ‘message’-nya samasekali tidak remeh, dan membuat saya berkhayal, “seandainya pas gue sekolah dulu ada bacaan kayak gini.” 😉

Almashira Raiz adalah seorang murid SMU yang sedang berusaha mengejar mimpinya untuk menjadi seorang dermatologis. Dalam sebuah sesi kunjungan ke pabrik kosmetik Circa, Alma bertemu seorang cowok (yang mengaku) bernama Ramya – mahasiswa gantengtapibelagu yang sedang melakukan riset di pabrik yang sama- yang merasa bisa mendapatkan semua yang diinginkannya karena ayahnya pemegang saham terbesar Circa.

Ternyata, Ramya tidak lain adalah Genta, cowok bengal sekaligus musuh bebuyutan Alde, kakak Alma. Ada sebuah peristiwa di masa lalu yang membuat Alde membenci Genta setengah mati. Ditambah dengan naluri seorang kakak laki-laki yang over-protektif terhadap adik perempuannya, Alde bertekad menjauhkan Alma dari Genta. Seharusnya semua itu tidak jadi masalah, toh Alma menyukai Sailendra, teman se-geng sekaligus sahabatnya di sekolah. Namun, perlahan-lahan rasa yang disimpan Alma untuk Sai menguap, ketika ia menjalani hari-hari sibuk di pabrik bersama Genta, cowok tengil yang gayanya sejuta dan menyimpan sebuah rahasia mengenai masa lalunya – sesuatu yang membuat Alma surprised sekaligus shocked pada saat yang nyaris bersamaan.

Ditulis dengan gaya yang ringan dan nyaman dibaca, CIRCA mengalir dengan smooth, dan (meski ending-nya sudah bisa ditebak) bikin pembaca ketagihan untuk terus membuka setiap halaman. Menurut saya, justru di sini tantangannya: dengan ending yang tidak sulit diterka, membuat pembaca tetap penasaran dan ‘terpancing’ untuk terus membaca adalah sesuatu yang tidak mudah.

*Yea, yeaaa… makanya novel saya nggak kelar-kelar. Hehehe.*

Tokoh-tokoh dalam cerita ini sangat berkarakter, meski ada beberapa scene yang menurut saya agak ‘sinetron’ (tapi nggak tau juga, ya.. mungkin aja kehidupan anak SMU sekarang memang seperti itu, saya nggak terlalu paham. Maklum, beda jaman. ;-D).

Yang agak saya sayangkan dari novel ini adalah cover-nya. Mungkin karena mata saya sudah terbiasa dimanjakan oleh ilustrasi novel-novel terdahulu Sitta yang sangat khas dan catchy. Tidak ada kesan khusus yang ditimbulkan dari cover CIRCA; sangat biasa dan ‘teenlit banget’, kecuali warna gold-nya. Mungkin karena beda penerbit? 😉

Overall, CIRCA adalah es krim cokelat yang sangat enak dimakan saat udara panas; manis, menyegarkan, bikin ‘melek’, dan membuat kita ingin menikmatinya sampai jilatan terakhir. Sitta meramu adonannya dengan pas sehingga rasanya sedap dan bikin ketagihan, tidak terkecuali untuk ‘tante-tante’ seperti saya (kalau Genta yang anak kuliahan aja dibilang oom-oom, gimana saya ya? ;-D).

Tidak ada kata yang lebih tepat untuk menggambarkan penulis yang sangat produktif ini, selain HEBAT. Way to go, Mbak Arie! 🙂