Warna-warni Februari

Lupakan banjir yang merendam rumah sampai sepinggang. Lupakan mengungsi di kantor berminggu-minggu dan memakai kemeja yang itu-itu saja (eh, tapi tetep dicuci lho! Sumpah! ;-D). Lupakan perasaan dag-dig-dug yang selalu muncul ketika hujan lebat turun. Lupakan reruntuhan tembok di depan rumah. Lupakan cat dinding yang mengelupas, pintu-pintu yang rusak dan tidak bisa ditutup, juga aroma banjir yang menyengat.

Meski sempat senewen waktu banjir kemarin, banyak hal menggembirakan terjadi di Februari ini – terutama menjelang akhir bulan, saat situasi sudah kembali kondusif. *tsah!*

Salah satunya, formulir pendaftaran yang sudah saya tunggu-tunggu sejak 2007 akhirnya datang juga. Pendaftaran apa? Ada deh. Bukannya pelit, cuma agak males cerita karena orang-orang yang sempat saya beritahu –alih-alih mendukung—malah jadi tergila-gila dengan saya (“GILA LO! Ngapain sih begitu-begituan?!” – I know, garing. Hehehe). Yang jelas, I’m so excited about it.

Selanjutnya, proyek kantor yang saya tangani 2 bulan ini akhirnya selesai juga. Beberapa rekan sempat mempertanyakan hal ini, karena di tengah-tengah pengerjaan sempat muncul beberapa masalah yang menyebabkan saya terpaksa menunda untuk waktu yang cukup lama. Deadline akhir Februari, dan ketika masalah-masalah itu datang saya sempat sangsi, bisa kelar nggak ya? Ya sudah, akhirnya modal nekat. Setiap ditanya, dengan (sok) yakin saya selalu menjawab, ”Nggak mundur kok. Tetap selesai akhir Februari.” Tanggal 22, jam 4 sore, proyek yang melelahkan jiwa raga *maap, hiperbola* itu selesai. Fiuuuuuuh.

Lalu, setelah khawatir berlebihan akibat kebanyakan nonton berita tentang situasi di Timor Leste pasca tertembaknya Ramos Horta, akhirnya saya mendapat kabar yang melegakan: Jeung ini baik-baik saja. (Ya maaf, saya memang suka paranoid teu puguh.) Abis gimana yaaa… berita tentang status darurat di daerah rawan konflik –di mana sahabat saya berada—yang berpotensi dilanda kerusuhan massal sampai tentara bersenjata dengan tank baja bersiaga di seluruh penjuru kota mungkin memang bisa menimbulkan efek berupa khawatir berlebihan. Hihihi. Belum lagi minimnya sarana yang menyebabkan komunikasi jadi terhambat. Sumpah, saya lega setelah tahu bahwa dia baik-baik saja. 😉

Setelah cukup lama mengungsi (baca: pindah-pindah tidur sampai berasa jadi tunawisma), akhirnya saya bisa pulang ke rumah, meski aroma banjir masih setia menyapa hidung dan perabot masih berantakan – belum bisa ditata karena separuh rumah masih dalam perbaikan. Nggak apa lah, yang penting tidur di rumah sendiri, di kamar sendiri! ;-D

Setelah radang tenggorokan dan pilek yang menyiksa, akhirnya si kecil Alex kembali ceria dan bisa bermain lagi. Lari sana-sini, main sepeda pagi-siang-sore, lompat-lompatan sambil menonton Elmo, berseru-seru minta dibacakan buku, bercanda sampai tergelak-gelak… aduduh… senangnyaaa…

Tanggal 23 kemarin, di acara launching novel terbaru Sitta Karina, saya bertemu dengan teman-teman adik-adik milis yang super-heboh. Walau tidak ikut bergabung dengan kerumunan, saya cukup menikmati jalannya acara. Tidak disangka, Farida Susanty –pemenang Khatulistiwa Award 2007 kategori Penulis Muda Berbakat—juga hadir di situ. Saya sempat menyapa penulis berusia 17 tahun ini, dan salut dengan sikapnya yang sangat rendah hati. (Four thumbs up for you, Dear. Terima kasih atas konversasi singkatnya, yang membuat saya banyak berpikir tentang tujuan hidup dan arti pencapaian. Thanks sudah berbagi. Terus bercahaya ya, sebarkan rasa syukur, inspirasi dan kebahagiaan pada sebanyak mungkin orang 😉 )

Last but not least… novel dari penulis favorit saya –yang sudah ditunggu-tunggu sejak tahun lalu—akhirnya terbit! Saya selalu termehe-mehe membaca karya-karya Sitta Karina yang smart, witty dan ‘beda dari yang lain’. Yang paling saya tunggu-tunggu adalah saga keluarga Hanafiah yang nggak ada matinya. Sembilan novel, bow. Kapan kita bisa kayak gitu ya, Qi? ;-D

‘Seluas Langit Biru’ adalah novel favorit saya setelah ‘Pesan Dari Bintang’ dan ‘Lukisan Hujan’ (masing-masing karya penulis yang sama). Relationship Bianca dan Sora –tokoh-tokoh sentral—diceritakan dengan intens dan touchy. Bianca adalah perempuan tomboi, cuek dan saklek yang ‘unik sendiri’ di keluarga besar Hanafiah. Ketika sepupu-sepupunya menikmati kehidupan social butterflies yang serba gemerlap, Bianca memilih mendalami martial art dan menggemari segala sesuatu yang berbau ninja. Hidupnya berbalik 180 derajat ketika ia dijodohkan dengan Sultan yang gila kerja, kaku dan sedingin es, atas nama kelancaran bisnis keluarga. Belum sempat menata hati dari shock dan sindrom ‘ini-tidak-adil’, Bianca harus menghadapi kenyataan bahwa Sora –ksatria penyelamat yang dimuntahi dan diciumnya saat mabuk—adalah adik tiri Sultan.

Ending-nya tidak terlalu sulit untuk ditebak, namun alur cerita novel ini sama sekali tidak klise (walau saya sempat mempertanyakan sikap pasrah Bianca yang mengikuti perjodohan tersebut tanpa ‘perlawanan’ berarti. Menurut saya, Bianca terlalu ‘manut’ untuk ukuran cewek ninja sableng yang pernah menerobos masuk ke mansion pada malam buta ;-D). Fluktuasi hubungan Bianca-Sultan-Sora dipaparkan dengan menggelitik — seru untuk disimak sampai halaman terakhir. Selain plot yang intens, dalam novel ini Sitta Karina memberikan banyak informasi yang memperkaya wawasan, di samping pesan moral yang diselipkan di sana-sini. Tidak sedikit penggalan cerita yang merupakan refleksi dari idealisme penulis dan sukses bikin saya ketawa-ketawa bego tengah malam, saking ‘nampol’nya. ;-D Kerennya, itu semua disampaikan dengan wajar dan tanpa berkesan menggurui.

Congratulations, Mbak. Setelah Diaz, Chris, Inez dan Bianca, ditunggu kisah Nara & Reno-nya. 😉 Eh, tapi mungkin ‘Magical Seira 3’ dulu yang bakal terbit, ya?

—–

By the way… kok tahu-tahu sudah Maret lagi, ya? Time is running so fast, kadang-kadang saya merasa ‘hilang’ dalam cepatnya perputaran waktu. Banyak yang ingin dilakukan. Ingin diselesaikan (salah satunya novel, yang tertunda entah sejak kapan). Ingin pergi ke banyak tempat, tapi padatnya aktivitas seperti memerangkap keinginan demi keinginan dalam sebuah kandang kecil.

Ya sudahlah. Mungkin nanti. Sekarang saya masih menikmati zona nyaman yang bebas resiko. Ha! ;-D

For now, selamat bulan Maret, semuanya. 😉

‘Stila-Aria: Sahabat Laut’ vs. Mayer Complex

Jelang lebaran, saya sudah pasrah dengan kenyataan bahwa libur kali ini saya harus tinggal di rumah layaknya satpam, karena orang rumah punya acara sendiri-sendiri yang tidak bisa diganggu-gugat.

Saya nggak keberatan, sebetulnya. Malah senang, karena saya termasuk spesies yang demen ngendon di rumah. Mencari damai *tsah* dengan setumpuk DVD, novel, hot cocoa dan Chitato.

Tahun ini, selain memanjakan diri dengan hal-hal di atas, saya –yang sedang terobsesi menyelesaikan novel perdana- berniat menghabiskan waktu di depan komputer; menulis dan mengunduh riset sebanyak 100 halaman *sedap!* yang belum tersentuh kemarin-kemarin. Kenap nap harus pakai riset segala? Itulah hasil kesombongan penulis pemula yang dengan belagu menciptakan setting nan ribet.

;-D

Anyway, selain menulis, rencananya saya akan menghabiskan waktu dengan leyeh-leyeh sambil menonton ulang Desperate Housewives dan membaca novel terbaru Sitta Karina yang terbit awal bulan ini. Rencana itu tersusun dengan rapinya, dan saya bergirang hati saban membayangkan bahwa lebaran kali ini akan jadi liburan yang damai-tenteram-menyenangkan…

… sampai saya mampir ke blog Haqi, 2 hari menjelang lebaran, dan baru sadar kalau… novel itu belum kebeli.

Halah.

Padahal, waktu pengumuman tentang novel itu muncul di milis, saya sempat menelepon penerbitnya untuk memesan di muka. Saya suka memesan novel-novel terbitan Terrant Books secara langsung, karena selain dapat diskon 25%, buku dikirim ke rumah tanpa dikenakan biaya sedikit pun. Ngirit, bo. 🙂

Sayangnya, beberapa kali menghubungi Terrant Books, saya selalu mendapat jawaban yang sama: harga buku belum bisa dipastikan. Saya menelepon terlalu awal.

Ya wis, sebagai orang yang senantiasa menggampangkan perkara, saya pun berpikir, sutralah, nanti aja deh…

Sialnya, saya lupa bahwa selain sindrom penggampangan perkara, saya juga menderita Mayer Complex. Berpedoman pada rumusan Jeng May yang senantiasa tajam-akurat-terpercaya, mungkin saya bisa menyimpulkan Mayer Complex sebagai sebuah anomali psikologis yang ditandai dengan kerapnya si penderita mengalami distraksi fokus dan melakukan tindakan-tindakan impulsif yang berujung pada kedodolan tingkat tinggi dan degredasi memori akut.

*Do I sound smart?* ;-D

Jadi begini…

Pengumuman terbitnya novel sengaja tidak saya hapus dari e-mail, dengan tujuan mengingatkan saya agar segera memesan ke pihak yang berwenang. Setiap hari saya membuka e-mail. Setiap hari juga saya melihat e-mail dengan subjek yang sama. Dan saya tetap lupa.

Saya beberapa kali mengunjungi situs Sitta Karina. Cover novel yang bersangkutan terpampang jelas pada halaman muka, dan saya tetap nggak ngeh.

Parah?

Belum seberapa.

Puncak Mayer Complex ini adalah beberapa hari lalu, ketika saya membahas sesuatu dengan Mbak Sitta melalui SMS, di mana sepanjang proses jempol memencet keypad, mencari nama dalam phone book, memasukkan nomor, menekan ‘send’, menerima delivery report dan mendapat pesan balasan; saya sama sekali tidak ingat bahwa saya punya rencana luhur berkaitan erat dengan sang penerima pesan: membeli novelnya untuk pengisi liburan.

Gedubrak.

Yes, saya baru benar-benar ngeh waktu membaca reviewnya di blog Haqi.

Sejutatopanbadai.

Kalau pesan ke penerbit sekarang, novel baru akan saya terima -paling cepat- beberapa hari setelah lebaran. Sama juga bohong.

Maka, demi rencana yang sudah disusun jauh-jauh hari, saya pun melanggar komitmen suci atas nama ngirit.

Karena mobil dipakai adik saya ke Puncak, motor adalah alternatif satu-satunya untuk mencapai Gramedia terdekat di Puri Indah. Setelah menuntaskan beberapa daily chores, jam 11 saya sudah siap tempur untuk mendapatkan ‘Stila-Aria’ (yup, judul novelnya). Sebelum berangkat, dengan pintar saya menelepon Gramedia, memastikan novel itu ada di sana. Well, you know… just in case.

Saya mengganti kostum rumah dengan jins dan kaus, menyambar kunci, dan baru sadar…

…helm satu-satunya ketinggalan di kantor.

Aaaarrrghhhhh.

Dengan menyalahkan Mayer Complex, saya pun memutuskan untuk nekat pergi. Di lampu merah perempatan, hal pertama yang saya lakukan adalah clangak-clinguk memastikan tidak ada polisi. Betapa leganya ketika melihat 2 orang ibu dan 1 Mas-mas yang juga tidak pakai helm. At least, sesial-sialnya (baca: kalau sampai ketangkep), penderitaan yang ditanggung bersama akan terasa jauh lebih ringan.

Sebagai warga negara yang baik dan taat hukum (walau masih menganut prinsip bahwa menghindari polisi adalah alasan dominan untuk penggunaan helm *wink*), akhirnya saya berhenti di toko pinggir jalan untuk membeli helm a la tukang bangunan seharga 12 ribu rupiah. Jiwa tenteram, hati sejahtera.

Semua kedodolan berakhir ketika saya sampai di rumah 2 jam kemudian, dengan Stila-Aria di tangan.

Pfiuuuuuh… 🙂

Now, the review.

Walau saya merasa Stila-Aria tidak se’nampol’ Lukisan Hujan dan Pesan Dari Bintang, saya sangat menikmati novel terbaru dari Sitta Karina ini. Novel ini penuh dengan pesan moral yang diselipkan di mana-mana tanpa berkesan menggurui -yang sangat khas Sitta Karina- dan dialog-dialognya sukses membuat saya kangen pada kejayaan masa sekolah. Stila-Aria disajikan secara lugas dan cerdas, dengan taburan informasi yang memperluas wawasan. *sedap gak bahasanya?* Novel remaja ini sukses membuat saya yang sudah tidak remaja berkali-kali senyum-senyum edan, tertawa, terharu, surprised… plus tergoda untuk mencoba neenlit lagi. (halah, novel satu aja nggak kelar-kelar mau ganti haluan.)

Four thumbs up for Sitta Karina! ;-D

*Tuh, Dol, gue masih pake ‘remaja’! Gyahahahahah.