Menyusun Anggaran untuk Tinggal di Bali

“Kak, aku pengin pindah ke Bali, kira-kira butuh berapa ya?”

“Aku berencana menetap sementara di Bali, tapi bingung atur keuangannya.”

“Mahal nggak sih tinggal di sana?”

“Aku ditawarin kerja di Bali, tapi nggak ada gambaran minta gaji berapa.”

Berhubung pertanyaan-pertanyaan senada sering saya terima dan nggak mungkin dijawab semua—karena keperluan tiap orang pasti berbeda—saya mencoba menuliskan beberapa poin yang bisa membantumu menyusun anggaran untuk mewujudkan mimpi tinggal di Pulau Dewata.

Lifestyle

Makan di luar atau masak sendiri? Gaul seminggu sekali atau dua hari sekali? Nongkrong di tempat mahal atau makan di restoran sederhana? Wajib mandi air hangat atau cukup air dingin? Harus tidur pakai AC atau nggak keberatan pakai kipas angin?, dsb, dst.

Tentukan dulu gaya hidup yang kamu inginkan (tepatnya sih, sanggup jalani) sebelum memutuskan hijrah ke Bali. Habis itu, baru deh, susun anggaran berdasarkan lifestyle tersebut. Contoh: kos-kosan ber-AC dengan water heater, cleaning service dan private kitchen di lokasi yang cukup strategis harganya sekitar 3,5juta per bulan, belum termasuk listrik. Rela melipir agak jauh? Kosan dengan fasilitas serupa bisa didapat dengan harga 2jutaan. Minum kelapa muda di pantai? Harganya 15-60ribu tergantung beli di mana. Pasirnya sih sama-sama aja. Ombaknya juga. Wkwk.

Akomodasi

Harga sewa rumah dan kos-kosan di Bali sangat beragam. Mau rumah dua kamar yang sewanya 20jutaan per tahun? Ada. Mau kosan tipe studio yang harganya 7juta per bulan? Adaaa. Mau kamar sederhana yang di bawah 1juta dengan dapur? ADA. Mau kosan fully furnished plus-plus (plus kompor, teko, peralatan makan, galon, dispenser, dll. pokokmen masuk tinggal bawa baju) dengan harga terjangkau? ADAAA.

Homestay, vila, joglo, bungalow, semua jenis hunian ada di Bali, kecuali apartemen puluhan lantai yang sebaiknya memang dibiarkan hanya ada di kota-kota besar. Karena saya bekerja di rumah dan paling produktif menulis ditemani kesunyian atau musik lembut, saya memilih ‘berinvestasi’ di hunian yang sedikit lebih mahal dan sesuai standar kenyamanan.

Tips: Hindari mencari kosan/kontrakan di Facebook Group komunitas (Bali Community, Canggu Community, Ubud Community) karena harga yang ditawarkan umumnya selangit. Banyak orang asing, soalnya. Saya biasanya berkunjung ke sini dan sini untuk mendapatkan informasi kos-kosan dan kontrakan dengan harga merakyat.

Makan, Jajan dan Kawan-Kawannya

Dengan memasak sendiri, saya hanya menghabiskan sekitar 1-2juta per bulan untuk makan, itu pun sudah belanja di supermarket, makan mewah (salmon, sapi, ayam, keju, buah dan sayur impor), plus ongkos transportasi online. Sebelum memutuskan untuk masak sendiri, saya menghabiskan 4-6juta per bulan hanya untuk makan dan jajan. Warbiyasak perbedaannya, bukan?

Supermarket terbaik untuk belanja keperluan dapur atau bulanan? Tiara Dewata dan Bintang. Minimarket favorit? Pepito. Yang lebih lengkap dari minimarket tapi nggak seheboh supermarket? Popular.

Kangen masakan Jawa/Jakarta/Kalimantan, dst.? Worry no more, wahai para perantau! Silakan bergabung ke Facebook Group Kuliner Bali atau Wisata Kuliner Bali. You’ll be amazed. Everything you can think of is available there.

Transportasi

Saya yang malas nyetir sendiri dan nggak sering-sering amat keluar rumah memilih transportasi online untuk bepergian, sementara teman-teman umumnya menyewa motor seharga 500-600ribu per bulan, ditambah 100-200ribu untuk bensin. Saya kurang tahu harga sewa dan penggunaan bensin untuk mobil karena hampir semua teman memilih motor demi kepraktisan. Gampang nyelip, gampang cari parkiran!

Pulsa

Berhubung kosan saya menyediakan wi-fi yang cukup untuk menunjang segala keperluan berselancar di jagat maya, saya hanya mengeluarkan 200ribu per bulan untuk pulsa. Sebelum pindah ke kosan yang sekarang, saya menghabiskan sekitar 500ribu per bulannya.

Hiburan dan Bersenang-Senang

Keunggulan besar tinggal di Bali dibandingkan kota-kota lain adalah …well, it’s Bali. You don’t need to spend much on entertainment. Nongkrong di pantai (ojek online: 8ribu) sambil ngemil jagung bakar (10ribu) dan minum air kelapa (20ribu) aja udah bikin bahagia. Duduk-duduk di restoran tepi sawah sambil baca buku atau people-watching (30-50ribu) udah bikin senang.

Saya hanya ke mal kalau ada film baru yang ingin ditonton dan sangat jarang belanja pakaian, sepatu, tas karena yang dibutuhkan untuk tampil gaya di Bali hanya atasan simpel, celana pendek dan sandal jepit. Kalau kamu perlu gaul di mal atau belanja setiap minggu, tambahkan ke dalam anggaran.

Belajar latin dance juga menjadi aktivitas favorit saya untuk hiburan, bertemu teman baru sekaligus olah raga (keringetannya lumayan, mak). Gurunya sabar dan baik luar biasa, per sesinya 50ribu sajah. Saya jelas memilih membakar kalori di lantai dansa ketimbang nge-gym. But you do you!

Semoga poin-poin di atas bisa membantu kamu mengira-ngira anggaran yang dibutuhkan untuk hijrah ke Bali. See you on the island of the Gods! 😉

Apa itu JEPRUT?

Beberapa minggu lalu, saya yang kurang enak badan dan bosan Netflix-an membuka medsos, berharap menemukan sesuatu yang menghibur, jokes receh, apa pun lah yang bisa menghibur hati.

Instead, I found CELUP. Kampanye oleh sekelompok mahasiswa—yang katanya tugas kuliah—yang bertujuan merekam kemesraan di publik dan mempublikasikannya di medsos untuk mempermalukan oknum yang bersangkutan, dengan harapan mengurangi ‘tindak asusila’.

Rasa pertama yang muncul adalah amarah. Reaksi kedua yang timbul adalah lelah. Gerah. Gelisah. Tak perlu saya jelaskan mengapa.

Tak lama setelahnya, seorang teman berkomentar, “Mungkin sudah saatnya ada yang bikin versi baik dari CELUP, lamtur dan akun-akun sejenis—memperlihatkan kebaikan, bukan melulu gosip atau keburukan.”

Malam itu saya membuka laptop dan membuat akun Instagram @jeprutid.

Kenapa pilih nama JEPRUT? Karena itu kata pertama dalam Bahasa Sunda yang terlintas di benak. Saya senang dengan Bahasa Sunda meski nggak bisa ngomong apa lagi nulis, karena mendengarnya selalu bikin suasana jadi ceria dan menyenangkan (setidaknya buat saya).

Tujuannya apa?

JEPRUT dibuat untuk menyejukkan medsos yang belakangan ini panas melulu. Untuk mengendurkan otot-otot wajah dan jempol yang kerap tegang karena banyaknya hoax, twitwar, bullying, debat kusir, dan segala hal lain yang tak henti-hentinya membombardir kita dengan kecepatan tinggi.

JEPRUT juga merupakan sebuah eksperimen: Kalau kita sudah segitu bosan dan gerahnya dengan huru-hara di belantara maya, maukah kita jadi bagian dari mereka yang menciptakan perubahan positif? Will good things attract more attention than bad things? Do we care enough?

JEPRUT terbuka untuk siapa saja yang ingin berbagi kebaikan di sekitarnya—kebaikan yang dilakukan dalam wujud apa pun, sesederhana apa pun. Semua orang bisa berpartisipasi membagikan kebaikan lewat foto dan cerita melalui e-mail di jeprut.id@gmail.com. Tidak ada hadiah bagi pengirim yang foto dan caption-nya dimuat, karena saya percaya kebaikan layak disebarkan tanpa mengharap imbalan.

Overall, I guess what I really want to see is some goodness in this world full of anger, hatred and darkness… and those who will strive for it.

Karena setitik nyala lilin lebih baik dibandingkan kegelapan total.

Jadi, mari lakukan ini bersama-sama.

Alasan Jatuh Cinta dengan Meal Prep

Creamy Lemon Pepper Chicken with Mushroom

Baru sebulan lebih mealprep-an, saya sudah berkali-kali jatuh cinta. (Apa itu meal prep? Silakan tanya ke Bang Google.) Berkali-kali ngomong ke diri sendiri, tau gini dari dulu ajaaa.

Saya nggak suka masak (dulu), dan nggak bisa masak. Kemampuan masak saya amat standar, goreng-goreng tumis-tumis, itu pun juaraaang buangeeet karena males kecipratan minyak. Sampai bulan Oktober, ketika saya memutuskan untuk membeli sebuah oven. Katanya, masak pakai oven itu praktis dan hemat tenaga. Saya juga menemukan ratusan resep makanan yang dibuat menggunakan oven. Gampang dan praktisnya lumayan bikin bengong. Prep time 10, 15 menit? Hajegile. SOLD!

Berbekal bimbingan Twelvi si Ratu Meal Prep yang sabarnya luar biasa dan rela di-WA dan ditelepon kapan saja, saya mulai rutin bertandang ke dapur. 

I love it.

Let me repeat.

I LOVE IT.

Here’s why:

Mengikuti proses bahan-bahan mentah menjadi masakan yang siap disajikan itu luar biasa menyenangkan. Menyaksikan daging ayam mentah yang dingin-dingin licin dan kulitnya yang berkeriput jadi ayam goreng empuk yang luarnya krispi itu menggembirakan. Mendengarkan suara berdesis ayam yang ‘digoreng’ lemaknya sendiri dari dalam oven itu bikin deg-degan hepi. Melihat kentang yang tadinya keras dan dingin jadi hangat dan lembut kayak bapaknya gebetan kamu setelah tiga bulan rutin ngapel bawa sate kambing itu membahagiakan.

I can take care of myself”. Sebagai manusia yang dulunya sangat menggantungkan hidup pada babang-babang ojek online, mas-mas gerai fast food dan mbak-mbak restoran, bisa masak untuk diri sendiri itu melegakan. Lapar tengah malam, tinggal buka kulkas dan hangatkan makanan sehat. Di luar hujan deras dan kelaparan, tinggal buka kulkas, repeat (kadang kan suka nggak tega ya, ngebayangin babang ojek hujan-hujanan membelikan pesanan kita), dan sebagainya.

Honey Glazed Bacon with Baby Beans

Beneran praktis. Meal prep memungkinkan saya menyantap masakan sendiri tanpa harus memasak setiap hari. Misalnya, enam potong Honey Lemon Chicken saya bagi menjadi 3 porsi untuk makan malam. Makan siangnya, Creamy Lemon Pepper Tuna, juga sebanyak 3 porsi. Simpan dalam kontainer cantik warna-warni, masuk kulkas deh.

SEHAT. Masak sendiri memungkinkan kita me-manage apa saja yang masuk ke tubuh. Mau pakai mecin dua kilo? Bebas. Pengin bebas penyedap? Yuk. Nggak pakai karbo? Silakan. Makanan berlemak tiap hari? Monggo. Banyakan sayur daripada daging? Mari. We are in charge of what we put in our body to the tiniest details. Hal yang sama tidak berlaku ketika makan di luar. Tidak ada yang bisa mengontrol berapa sendok penyedap rasa yang dimasukkan ke makanan kita. Tidak ada yang bisa memastikan pecel ayam langganan kita menggunakan ayam segar dan lalapan bebas pestisida, juga minyak yang belum dipakai menggoreng sebanyak 1.523 kali.

Last but not least, masak sendiri membuat saya berhasil menghemat uang dalam jumlah yang lumayan bikin bengong, meski ini tidak direncanakan. Ketika memulai, saya sekadar melihat meal prep sebagai sesuatu yang menantang, sehingga menjalaninya tanpa beban. Sebulan berlalu, saya mengeluarkan kalkulator dan mulai menjumlah… kemudian melongo. Pengeluaran saya untuk meal prep hanya sepertiga dari anggaran makan (di luar) setiap bulan. Padahal saya belanja di supermarket dengan bahan-bahan kualitas terbaik, bahkan impor.

Cajun Shrimp pedes nan endolitaaa

Lalu, ada saat-saat bengong ketika saya menyadari harga bahan makanan mentah bedanya bisa jauuu…h buanget dengan harga makanan di restoran, padahal bagi saya makanan itu nggak mahal. Contoh: setengah ekor ayam panggang favorit saya harganya empatpuluh ribu rupiah. Bagi saya ini sama sekali tidak mahal, malah murah. Lalu saya ke supermarket dan melihat seekor ayam mentah dihargai tigapuluhlima ribu rupiah. Ebuset! MURAH AMAT? Steak apa lagi, jangan ditanya. Karena saya penggemar rasa daging alias nggak suka steak yang dibumbui atau pakai saus macam-macam, kombinasi garam-lada-minyak zaitun sudah nikmat warbyasak. Steak model begini bisa saya masak sendiri dengan budget di bawah limapuluh ribu rupiah. Makan sepuasnya sampai begah dan nggak pengin lihat sirloin dua minggu ke depan.

 So yeah, this is why I fell in love with meal prep. It makes life better—and easier, in a way—if you’re willing to do what it takes to make it happen. Hal terpenting di hidup ini bagi saya sekarang cuma dua: kedamaian pikiran/ketenangan batin dan kualitas hidup yang terjaga. Meal prep menolong saya meraih keduanya.

Remember the Fourth of November

“What if they got in?”

My sister looked at me with terror written all over her face. We could hear people shouting from afar. Although we didn’t catch a word, we knew something was really, really wrong.

She was helping me picking a new pair of sandals in a mall that has direct access to the apartment where we were staying, when one of her friends sent a video showing a large group of protesters passing North Jakarta’s main streets. It’s impossible, I said to myself. The rally has just ended. Maghrib (prayer time) is here. Medias have announced that the protest against Jakarta’s Chinese-Indonesian governor ended in peace. My friends tweeted about it literally a few minutes ago.

We rushed home anyway. Shortly after we locked the door, another news came in: the protesters had destroyed a restaurant not far from our apartment. I put everything on hold and tried to find more information. A journalist friend quickly confirmed our biggest fear: religious hardliners had made their way to North Jakarta where the majority of Chinese-Indonesian family lives. There were not enough military force, police officers, or security guards to protect us because most of them were trying to tackle the riot took place in front of the presidential palace. The information was followed by a picture of protesters in front of a mall and a simple message: “Stay safe. Stay inside.” That was the mall where my sister and I bought my new sandals an hour ago; the mall with direct access to our apartment.

The next 5-6 hours was pure terror. Speakers blasted announcement over and over again, “DO NOT GO OUT. STAY INSIDE. DO NOT PANIC. STAY CALM.” Way to reduce our anxiety! We stepped out of our little space. I immediately saw tense faces. Our neighbors were probably just as nervous and scared.

By the time we’re back inside, the blurry sounds had dissipated. The protesters had left. My sister turned on the TV. We ate dinner with our eyes glued to the screen. Riot was taking place 10 minutes from our doorstep. I didn’t have the heart to tell her that 18 years ago protesters barged into an apartment nearby, raped Chinese-Indonesian women and threw their bodies out of the windows.

“I’d jump off the balcony if they get in,” she looked at me as if she could read my mind. “We could hide,” I mumbled. My sister stared at me like I just said the most ridiculous thing in the world. “You know what they’d do to us,” she continued, this time more calmly, “I wouldn’t let it happen to ME.”

We spent the next several hours watching the news, following updates on social medias and talking with our friends. We watched videos of protesters raided two minimarkets and burned police vehicles. We watched journalists ran away as police started launching tear gas. We heard shots. It felt surreal to know that everything was happening literally 10-15 minutes away from us. It felt surreal to know that there are people who won’t hesitate to ‘eliminate’ us had they given the chance. It felt surreal that we were THIS close to a riot that caused the death of hundreds—some say more than a thousand—Chinese-Indonesian people 18 years ago.

Then military forces won. Riot stopped. The president stepped up and gave his speech. We could finally breathe and had much needed hot shower. I fell asleep as soon as my head touched the pillow. I spent the next morning processing and observing my own feelings. My heart beats faster out of nowhere. Sadness and pain surfaced when I was sitting in a cab. Then anger. Then frustration.

Then I met my best friends and hang out at their place. I spent more than an hour lying on their bed absentmindedly playing with my phone and just let myself think and feel whatever I wanted to think and feel. I started to feel better. My friend wanted to watch a comedy and we went to the theatre. Two hours later I felt much, much better. I still had a restless night, tense muscles and this morning I woke feeling a little weak.

The struggle is far from over. Chinese-Indonesian communities will still face lots of challenges, regardless Ahok’s next winning. Regardless he’s proven not guilty. Peace, to most of us, is an illusion. We know it’s not going to be over soon. I told my sister not to unpack her suitcase. I’ll fly her to Bali at the first sign of chaos and who knows what is going to happen in the next 6, 12 months. After 18 years, 1998 has never felt more real.

And still, here I am, putting so much hope in our beloved president Joko Widodo. Thinking that I am so lucky to be able to have a beautiful life in Bali. That Indonesia and its wonderful beaches are one of the most amazing places on Earth, even as I watched video of a group of protesters in white robes announcing they wouldn’t hesitate to turn Indonesia into “a war zone”. That no matter what happens, my love for this country and its people remain unscathed although we might have to leave someday. I hope not.

Because it’s my dream to be able to tell my kids someday, “It was decades of struggle and suffering, followed by long years of peace and concord.”

Bye Lembap dan Gelap di Area V dengan Lactacyd White Intimate

FullSizeRender (2)

Terlahir dan tinggal di negara tropis dengan tingkat kelembapan tinggi sering bikin gue merasa kurang pede dengan area kewanitaan gue sendiri. Namanya perempuan, ya kan, selalu banyak aktivitas, apalagi tipe-tipe burung prenjak kayak gue. Susah diam, susah ditahan, adaaa aja yang bikin sibuk. Sayangnya, tumpukan kegiatan plus temperatur dan kelembapan negara tropis seringkali menyulitkan. Bukan cuma sekali-dua kepercayaan diri gue terusik karena keringat berlebih di area intim. Mending cuma keringat, kalau sudah kena gesekan di pakaian, maaak! Bukan cuma risih, tapi juga malu-maluin!

Mau tahu seberapa ‘gobyos’nya gue? Sebelum ketemu Lactacyd, gue sempat menghindari memakai celana jeans berwarna cerah. Khawatir keringat berlebih itu ‘nyeplak’ di bagian selangkangan. Euuuuw.

(Emang pernah sampe nyeplak, Jen? PERNAH. SUMPAH. Jangan ditanya dikemanakan muka ini.)

Keringat dan gesekan pada pakaian nggak cuma bikin lembap dan risih. Tapi juga bikin warna kulit berubah! Huhuhu. Nggak percaya? Mari ramai-ramai ambil cermin dan intip bersama. Kulit di sekitar area intim lo pasti lebih gelap dari area lainnya.

Jadi gimana, dong?

Meski gue belum selesai mencoba Lactacyd White Intimate selama 4 minggu penuh, bahan-bahan alami yang terkandung di dalamnya seperti susu, bengkoang dan algowhite, terbukti secara klinis mencerahkan kulit di area intim dalam 4 minggu. Kandungan alami ekstrak susu lactoserum dan lactic acid, dari ektrak susu dipercaya mampu menjaga keseimbangan pH alami area V juga lho. Karena alami, tentunya bahan-bahan ini pun dapat digunakan secara sering, bahkan setiap hari. Untuk dapetin hasil optimal gunakan 2x sehari selama 4 minggu. Bikin penasaran nggak, sih? Gue iya. Banget. Nggak sabar pengin cepat lihat hasilnya!

Anyway, Lactacyd White Intimate gue nobatkan sebagai favorit bukan saja karena khasiat mencerahkannya, tapi terutama karena kandungan alami di atas, yang sudah teruji secara dermatologi. Setiap hari bisa bebas lembap, bebas gelap, percaya diri, kurang apa lagi, Ceu? :’)

Terus, udah, Jen? Dari sekian banyak varian Lactacyd, yang dijagoin cuma Lactacyd White Intimate aja?

YA NGGAK DONG AH.

Varian Lactacyd lain favorit gue adalah Lactacyd All Day Fresh.

Satu hal lagi yang bikin risih dari keringat berlebih dan kelembapan di area intim adalah …pssst… aroma kurang sedap. Gue tahu banyak perempuan yang sungkan membahas hal ini, bahkan mungkin memilih berdiam diri karena malu. Khawatir dikira jorok. Takut dicap nggak bersih, dan sebagainya. Padahal, masalah-masalah ini wajar sekali dialami perempuan. Alhasil, banyak yang bertahan dalam situasi tak nyaman. Jangan, dong. :’)

Gue jatuh hati pada varian Lactacyd All Day Fresh ini segera setelah membuka botolnya. Wanginya lembut, dengan ekstra herbal essence dan ekstrak susu. Kesegaran herbalnya tahan lama setelah dipakai sehingga gue tidak perlu khawatir bakal dihinggapi bakteri sepadat apa pun aktivitas gue, sedangkan ekstrak susu mengusir bakteri jahat yang bikin aroma nggak sedap betah nempel sekaligus membersihkan. Sama seperti kakaknya si Pencerah, sang Penyegar ini pun sudah teruji secara dermatologi dapat digunakan setiap hari.

Dan yang terpenting: gue bisa melalui hari dengan hati riang dan ringan. Bebas lembap, bebas penat. Bhay!

(Pssst. Ukuran Lactacyd All Day Fresh yang mungil juga menyenangkan banget buat dibawa ke mana-mana! *cemplungin koper, angkut ke Ameriki*)

Demikian pengalaman dan ocehan gue mengenai dua varian Lactacyd yang menemani hari-hari gue. Masih ada varian lain, Feminine Wipes, yang ingin gue coba tapi belum sempat. Ihiks. Kapan-kapan, ya!

Anyway, buat kalian yang doyan nulis di Blog, Lactacyd lagi ngadain Blog Competition nih, masih ada kesempatan untuk ikutan lho! Hadiahnya cakeup ceu, ada 1 buah Macbook Air, 5 Handphone Samsung dan 50 hampers menarik dari Lactacyd!

MEKANISME :

  1. Peserta adalah “Fans” Facebook Fanpage Lactacyd ID dan ‘follower’ dari Twitter @Lactacyd_ID
  2. Syarat penulisan:
  • Share pengalaman pribadi menggunakan Lactacyd White Intimate
  • Ulasan produk Lactacyd White Intimate meliputi:

» Lactacyd White Intimate yang terbukti klinis mencerahkan area V dalam 4 minggu.

» Kandungan alami Lactacyd White Intimate: ekstrak susu, bengkoang dan algo white.

» Lactacyd White Intimate telah teruji secara dermatologi dapat digunakan setiap hari.

» Link ke www.lactacyd.co.id

  1. Kirimkan tulisan terbaikmu dengan share link blogmu di kolom komentar  postingan kompetisi blog ini berlangsung.
  2. Jangan lupa sertakan hashtag #ProvenSelfV
  3. GOOD LUCK, Girls!

SYARAT & KETENTUAN :

  1. Periode kompetisi blog dimulai pada tanggal 15 Februari 2016 dan ditutup pada 15 April 2016, pukul 23:59 WIB.
  2. Pengumuman pemenang akan dilakukan setelah tanggal 15 April 2016.
  3. Pemenang dipilih berdasarkan pilihan juri dari pihak Lactacyd ID dengan tulisan testimonial yang paling menginspirasi.
  4. Satu orang pemenang utama akan mendapatkan 1 buah Macbook Air, 5 orang pemenang akan mendapatkan Handphone Samsung serta 50 hampers menarik untuk 50 pemenang lainnya.
  5. Pemenang wajib mengkonfirmasi kemenangan dengan mengirimkan data diri berupa nama lengkap, alamat lengkap (untuk pengiriman hadiah), no. telpon, & e-mail melalui INBOX facebook fanpage Lactacyd ID. Jika ternyata pemenang tidak dapat dihubungi/tidak merespon setelah 2×24 jam, maka hadiah akan dibatalkan dan Lactacyd Indonesia berhak untuk memilih pemenang yang lainnya.
  6. Hasil tulisan dapat digunakan oleh pihak Lactacyd Indonesia, misalnya dibuatkan video testimonial, liputan dll).
  7. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.

Ikutan ah!! 🙂 🙂 🙂