Yang Klasik Tetap yang Terbaik

image
Beberapa bulan terakhir, gue punya hobi baru yang tak terlalu populer tapi sangat menyenangkan karena secara langsung berkaitan dengan profesi gue sebagai penulis skenario: menonton film-film klasik Hollywood. Sebagian besar film yang gue tonton diproduksi jauh sebelum tahun kelahiran gue, atau hanya beberapa tahun setelahnya: Apocalypse Now, Bull Durham, The Piano, E.T. The Extra Terrestrial, dan banyak lagi.

Bukan saja terpesona melihat aktor/artis yang menawan mempesona pada masanya (bayangkan Susan Sarandon 28 tahun lalu. Yep!), gue juga sangat menikmati sensasi “Gila ya, ini film dibuat tahun berapa…” yang bertransformasi menjadi kekaguman “Ah gila, keren banget!” saat menonton film-film yang masuk kategori timeless classic di Hollywood sana.

Pelan namun pasti, hobi tersebut membuat gue berpikir: apakah Indonesia punya film yang hadir saat gue sudah cukup besar untuk menghargai dan memahami sinema, yang demikian apik sampai bisa dinobatkan sebagai sebuah karya klasik?

Gue tidak perlu berpikir terlalu lama untuk menemukan jawabannya di Ada Apa Dengan Cinta? (AADC).

Anak 90-an, siapa yang bisa lupa dengan fenomena sinema tanah air berjudul AADC? Dirilis tahun 2002, film yang berhasil meraup 2,7 juta penonton itu sanggup membuat remaja seantero Indonesia berbondong-bondong mengantre bahkan pada jam sekolah, menghafalkan dan mengulangi dialog-dialog catchy dari film, mempelajari gerakan dance Cinta dan teman-temannya, dan sebagainya. Belasan tahun setelah AADC diluncurkan, gue masih bisa menyebutkan dialog-dialog Cinta dan Rangga tanpa perlu mencontek Google:

“Basi! Madingnya udah siap terbit!”

“Terus … salah gue? Salah temen-temen gue?”

“Saya gak mau pulpen itu balik ke muka saya gara-gara berisik sama kamu.”

Dan yang paling melelehkan hati…

“Aku pasti akan kembali dalam satu purnama.”

(Meski nyatanya butuh berapa purnama untuk Rangga dan Cinta ketemu lagiii? Dasar lelaki! #eh)

That’s what I called classic. Sebuah karya tak perlu menempuh puluhan atau ratusan tahun untuk dinobatkan sebagai karya yang classic, timeless. Ia hanya perlu mengarungi masa dengan pesona yang tak lekang dimakan usia.

Dalam bincang-bincang AADC 2 yang merupakan salah satu bagian kampanye bertajuk #TasteTheClassic dari Magnum belum lama ini, Mira Lesmana sang kreator mengungkapkan bahwa proses ‘kelahiran’ film tersebut merupakan sesuatu yang pleasurable baginya. Membuat kembali sesuatu yang sudah ditinggalkan selama empatbelas tahun. Membangkitkan kembali tokoh-tokoh yang tak hanya berjaya pada masanya, namun juga tetap hidup di hati para penikmat film lama setelah AADC hengkang dari layar bioskop.

I can only imagine. Gue belum pernah menghasilkan sebuah karya yang terbilang klasik (semoga suatu saat nanti, AMIN!), namun proses berkarya selalu menjadi sesuatu yang pleasurable. Memulai dari nol dan menciptakan sesuatu yang indah dari ketiadaan adalah kenikmatan tiada tara. Sama seperti menikmatinya kembali dan mengenangnya lama setelah hal tersebut berlalu. An ultimate satisfaction for pleasure seekers!

Gue pun jadi paham kenapa Magnum mendukung AADC 2 yang memang tepat untuk mewakili karya yang timeless, classic. In a way, film ini mengingatkan gue pada ketiga varian Magnum yang juga sangat bisa dibilang classic. Who doesn’t know Magnum’s premium masterpieces—Classic, Almond and White Almond? Nggak heran kalau AADC 2 dipilih menjadi perwakilan untuk kategori film dalam kampanye perayaan kenikmatan dan kesuksesan Magnum Classic, selain dua kategori lain yang nggak kalah seru: musik & fashion.

Jadi kepikiran nyelundupin Magnum Classic ke bioskop pas nonton nanti deh, biar kenikmatan klasiknya sempurna gitu, MWAHAHA. *dijitak XXI*

(Ahelah. Nulis ini jadi bikin ngidam Magnum beneran! *ngesot ke warung*)

Anyway. Gue sungguh-sungguh berharap AADC 2 akan meneruskan kesuksesan pendahulunya yang membuat ribuan remaja Indonesia meluberi bioskop. Semoga film yang sudah begitu lama dinantikan ini bisa memuaskan kerinduan setiap penggemarnya bukan saja pada sosok Cinta dan Rangga, tapi juga pada hal-hal yang sangat khas AADC: dialog-dialog lugas yang ‘nampol dan nempel’, pertemanan perempuan-perempuan remaja yang kini sudah dewasa, kekonyolan tak terduga sepanjang film yang membuat ngakak sekaligus tersentuh (siapa yang nggak mengidolakan Mamet? Gue sih, banget!) dan tema klasik yang takkan pernah membosankan untuk dibahas, ditonton, disimak: cinta dan persahabatan.

Karena yang klasik memang tetap yang terbaik.

 

(Photo credit: @MyMagnumID)

10 Modal jadi Freelancer*

Saat pertama kali menceburkan diri ke dunia bebastusuk (free: bebas, lance: tusuk – HALAH) empat tahun lalu, saya sering menerima pertanyaan, “Duitnya dari mana?”, “Emang bisa?”, “Seneng ya, gak perlu ngantor?”, “Enak dong jalan-jalan mulu?” dan banyak lagi, yang biasanya diikuti decak kagum, gelengan kepala, atau pertanyaan imbuhan, “Udah umur segini, masih demen yang bebas-bebas aja?”. Pertanyaan terakhir berpotensi mengundang reaksi, “Gak usah ngurus idup gue. Lo ngasih makan gue?”, namun lepas dari intensi di balik pertanyaan-pertanyaan tersebut, mereka membuktikan bahwa keputusan menjadi seorang freelancer bukan (belum?) sesuatu yang lazim.

Sekarang? Walah. Sering banget saya mendengar komentar, “Enak banget sih jadi freelancer. Bagi tips dong!”, “Aku juga pengin deh.” “Gimana sih cara memulainya? Ajarin plis!”, atau “Wah, banyak duit yaaa sekarang.” Yang terakhir agak menimbulkan keinginan melakban mulut yang bersangkutan, namun marilah bersabar agar panjang rezeki dunia akhirat. Lepas dari apa pun, komentar-komentar ini menunjukkan bahwa pilihan menjadi freelancer semakin diminati, atau setidaknya mulai banyak dilirik. Kemudahan yang ditawarkan memang cukup menggoda: bekerja dari rumah (atau di mana pun yang kamu suka), tidak harus ngantor (kecuali proyek yang dikerjakan memang mengharuskan datang ke kantor, ini pun biasanya tidak setiap hari), kebebasan memilih job (kalau lagi banyak duit. Kalau lagi bokek ya apa pun disamber toh? Yang freelance mana suaranyaaa~?), bebas dari politik kantor (meskipun tidak jauh dari persaingan antar sesama freelancer), dan banyak lagi.

Tapi, memangnya jadi freelancer seenak dan segampang itu? Yang bener? Masa iya? Gimana? Sudah siap? Hayuk atuh simak poin-poin di bawah ini, kira-kira ‘modal’ kamu sudah cukup atau belum? 😀

Biaya hidup dan cadangan biaya hidup
Sebelum resign dari kantor, hitung total pengeluaran kamu setiap bulan dan siapkan setidaknya bekal untuk hidup selama enam purnama di Jakarta. Usahakan agar cadangan biaya hidup ini tidak terpakai, kecuali untuk sesuatu yang betul-betul penting seperti memperpanjang sewa rumah. Cadangan biaya hidup enam bulan cukup untuk mereka yang single alias lajang, atau yang sering dibayarin makan pacar. Untuk yang sudah berkeluarga, siapkan cadangan biaya hidup untuk satu tahun. Ciyus.

Pos-pos keuangan untuk setiap pemasukan
Jangan simpan semua uang di satu rekening untuk menghindari pemborosan. Pisahkan kekayaanmu (amin!) dalam sejumlah pos. Saya punya pos untuk kebutuhan sehari-hari. ‘Gaji’ tiap bulan dimasukkan ke pos ini. Lalu ada pos Dana Darurat, juga pos Tabungan. Karena semakin senang jalan-jalan, belakangan saya menambahkan satu pos lagi: Dana Jalan! Begitu invoice cair, uang yang masuk segera saya bagi ke dalam pos-pos tersebut. Sekecil apa pun. Kadang rasanya males juga, sih, transferan cuma segini buat apa dipisah-pisah? Dipakai jajan bakso juga abis. Toh, saya melakukannya juga, demi melatih diri berdisiplin.

Mental baja agar tak terpental
Saya pernah ke ATM dan mendapati saldo tinggal 200ribu. Saya tahu rasanya kebingungan karena uang hanya cukup untuk makan sampai akhir bulan … dan hari itu sudah tanggal 25. Saya juga paham rasanya melihat saldo yang cuma sekian ratus ribu melonjak jadi puluhan juta dalam satu jam. Persiapan mental adalah salah satu kunci kesuksesan seorang freelancer, karena selain menghadapi deg-degan menunggu proyek baru, kamu juga harus sanggup menangani limpahan rezeki. Hah? Hubungannya? Coba bayangkan situasi ini: kamu sudah lama bermimpi jalan-jalan ke Eropa dan punya iPhone 6, sementara saldo di rekening hanya cukup untuk bayar kos dan makan sehari-hari. Nggak kelaparan aja bagus. Lalu langit terbuka, sekarung durian jatuh, dan kamu mendapat proyek raksasa senilai limapuluh juta rupiah. Apa hal pertama yang kamu lakukan setelah menerima pembayaran? Ayo, jawab yang jujur. Kalau jawabannya ‘beli iPhone 6 dan tiket PP ke Eropa’, kamu belum siap jadi freelancer.

Seadanya saja, atau bagaimana saja ada?
Setelah mengkalkulasi biaya hidup, yang perlu kamu lakukan berikutnya adalah menentukan: ingin jadi freelancer yang seperti apa? Yang hidupnya sepenuhnya bergantung pada keberadaan proyek (seadanya saja), atau sanggup berdisiplin untuk menggaji diri sendiri tiap bulan (ada job atau tidak, hidup tetap terjamin selama kurun waktu tertentu)? Saya memilih yang kedua. Maksudnya menggaji diri? Kan, pembayaran yang masuk sepenuhnya hak kita? Terus, apa gunanya dong jadi freelancer kalau tiap bulan masih nungguin gaji? Eits, sabaaar. Gaji yang dimaksud adalah besaran uang sesuai estimasi biaya hidup yang saya transfer secara rutin ke pos Sehari-hari untuk digunakan selama satu bulan penuh. Bayar internet, beli pulsa, ngopi-ngopi cantik, belanja bulanan, saya ambil dari pos ini. Walaupun uang yang masuk setiap bulan lebih dari yang saya butuhkan, sebisa mungkin saya berusaha agar pengeluaran tidak melampaui jumlah yang sudah ditransfer ke pos Sehari-hari. Lalu, kelebihan uangnya dikemanakan? Diinvestasikan, ditabung untuk membeli sesuatu yang sudah saya incar, untuk jalan-jalan, atau disimpan untuk biaya hidup bulan-bulan berikutnya. Kedengarannya ribet? Nggak sama sekali, tuh. Berkat terbiasa berdisiplin dan menggaji diri sendiri, simpanan saya saat ini sudah cukup untuk hidup sampai satu tahun ke depan—dengan catatan saya bisa menjaga pengeluaran tetap di angka yang sama. Asik, kan?

Bidik sasaran dengan cermat
Ini tips freelancer apa sekolah nembak? Anyway. Sebelum resmi menjadi pekerja (yang mudah-mudahan nggak) serabutan tanpa penghasilan tetap, usahakan kamu sudah mengenali para ‘target’ alias mereka yang kira-kira berpotensi menjadi calon klien. Minimal, teman-teman yang tidak mudah ngambek ditanyai, “Ada kerjaan buat gue nggak, Sis?” atau diceletuki, “Kalau ada job boleh oper-oper lah, Bro!” seminggusekali.

Your attitude determines your altitude
Lagi bete? Moody? #ZBL #KZL #GMZ? Klien nggak perlu tahu. Ini cukup jelas, ya. Karyawan yang angot-angotan aja bisa dengan mudah diganti, apalagi freelancer yang tidak punya ikatan apa-apa dengan perusahaan/klien. Kalau proyek yang sedang berlangsung mengharuskan kamu datang ke kantor setiap pagi selama 3 bulan dan kamu bukan morning person, tinggalkan muka bantal di rumah. Kalau klien terlambat mencairkan invoice—yang mana akan sering terjadi, percayalah—nggak perlu nyindir-nyindir di medsos. Tahan juga keinginan untuk menjelek-jelekkan mantan klien ke klien lain, apalagi kalau keduanya berada di industri yang sama. Kalau sampai tersebar dan nama kamu kesebut, selamat tinggal reputasi baik!

Rajin pangkal kaya
Untuk langgeng sebagai freelancer dengan rate yang terus bertambah (nggak mau dong, 10 tahun rate nggak naik-naik?), kamu harus memiliki keunggulan yang tidak dipunyai orang lain. This also goes without saying. Caranya? Belajar. Ambil kursus. Ikut workshop. Rajin memanfaatkan informasi yang tersebar di ranah maya. Jangan segan bertanya. Jangan sungkan meminta opini dan masukan senior. Gunakan segala cara untuk memperkaya diri. Oke? Sip!

Tebarkan jaring di mana-mana
Dunia adalah ‘kantor’ saya. Secara literal maupun harafiah. Tempat bertemu calon-calon klien baru. Tempat mendiskusikan segala macam hal, mulai dari sekadar bertukar pikiran sampai membahas ide-ide penting. Tempat menimba ilmu, mendulang pengalaman, sekaligus wahana bermain dan relaksasi. Ke mana pun saya pergi, saya terus belajar. Di mana pun saya meletakkan ransel, di situ saya bertumbuh. Tebarkan jaringmu sejauh mungkin. Kumpulkan teman sebanyak-banyaknya. Berkenalan dengan orang-orang di sekitar maupun mereka yang berbeda benua, bahasa dan budaya. Perkaya diri dengan kemampuan, ilmu dan relasi-relasi baru. Percaya, nggak, saya pernah dapat job dari mantan pacarnya mantan gebetan? Yuk, mariii.

Kesehatan lebih berharga dari berlian
Sederhana saja: sakit = tidak bisa bekerja = tidak ada pemasukan. Karenanya, jadikan kesehatan prioritas tertinggi yang tidak boleh dikompromikan dengan alasan apa pun. Sebagian besar freelancer memilih asuransi untuk menjaminkan kesehatan mereka, bahkan ada yang mewajibkan kepemilikan asuransi. Kalau nggak punya asuransi, ya pastikan kamu nggak sering sakit. Kalau punya riwayat penyakit tertentu, pastikan kamu mengimbanginya dengan gaya hidup sehat. Saya memilih pengobatan secara natural dan menjaga kesehatan sealami mungkin, dan saya rajin berkonsultasi dengan ahli ilmu gizi, pakar homeopati sampai akupunturis.

Last but not least: punya kompor dan magic jar!
Selamatkan dompet dan kesehatan dengan masakan rumahan karya sendiri. Saat ini, saya punya magic jar kecil dan kompor satu tungku yang sudah lebih dari cukup untuk kegiatan masak-memasak sederhana, berhubung saya nggak hobi ke dapur. Itu pun sudah sangat membantu untuk berhemat setiap bulan. Daripada untuk makan di luar setiap hari, kan mendingan uangnya buat beli tiket dan ransel baru. Bener, nggak? Bener dong!

😀

Terima kasih kepada Papih Glenn—senior, guru, ‘saudara sepadepokan’—yang saya hormati dan tulisannya menginspirasi artikel ini.

Masih penasaran? Yuk, simak wawancara dengan para freelancer di sini!

*) dari freelancer junior. 😉

Rp 3 Jutaan Tinggal di Ubud

ubud

Sebelum pindah ke Ubud bulan April dua tahun silam, saya sering menerima komentar dan pertanyaan bernada serupa: “Tinggal di Ubud? Kan mahal?”

Meski komentar-komentar itu sempat membuat hati ragu dan ciut, untungnya saya terlahir dengan urat malu yang tebalnya setengah dari manusia biasa. Pikir saya waktu itu, kalau memang ternyata nggak sanggup hidup di Ubud, ya tinggal balik ke Jakarta sambil mesam-mesem. Yang penting dicoba dulu. Toh, cuma enam bulan. Saya pun hengkang dari ibukota berbekal dua koper dan sebuah tas.

Enam bulan berubah menjadi satu tahun, satu setengah tahun, dan sampai sekarang saya belum kapok tinggal di Ubud. Kekhawatiran saya tidak terbukti. Ketakutan saya ternyata cuma ilusi. Percaya atau tidak, saya malah bisa melancong ke Eropa selama satu bulan, justru saat tinggal di Ubud!

Kok bisa?

Ya, bisa. Karena, tinggal di Ubud ternyata nggak semahal yang diceritakan orang-orang. Sebagai perbandingan, waktu tinggal di Jakarta, saya menghabiskan minimal Rp 6 – 7 juta sebulan. Di Ubud, angka tersebut bisa saya pangkas hingga setengahnya.

Nggak percaya? Mari kita buka-bukaan. Siapkan kalkulator!

Sewa Kost: Rp 1.000.000

Harga sewa kamar kos saya saat artikel ini ditulis masih setia nangkring di angka satu juta per bulan. Apa saja yang bisa didapatkan dengan satu juta? Kamar mandi dalam, air panas, dapur kecil, tempat tidur, lemari, kipas angin. Awalnya, anak manja ini sempat mengernyit, kipas angin? Tapi ternyata saya nggak butuh AC, karena hawa Ubud cukup sejuk. Lama-lama, saya malah terbiasa tidur tanpa kipas angin. Selimutan pula!

Mau kosan yang di bawah satu juta? Bisa! Kamar kos sederhana seharga Rp 500 – 800 ribu masih banyak, kok, di Ubud.

Pulsa dan Internet: Rp 200.000

Yang ini nggak butuh penjelasan, ya?

Sewa Motor: Rp 500.000

Kali terakhir saya menyewa sepeda motor adalah di bulan November 2014. Mudah-mudahan kenaikan BBM di penghujung tahun tidak menyebabkan harga sewa motor ikutan melejit, tapi kalau pun iya, rasanya kenaikannya tidak akan terlalu signifikan.

Bensin: Rp 200.000

Ubud yang tidak seberapa luas bisa dengan mudah dimotori *aposeee* tanpa menyebabkan kantong jebol. Sebelum BBM naik, saya hanya menghabiskan sekitar Rp 100.000 setiap bulan, itu pun beli di penjaja pinggir jalan yang harganya lebih mahal, karena saya malas ke pom bensin.

Makan: Rp 1.000.000

Kalau sedang rajin, saya senang memasak sendiri. Kalau sedang malas, di Ubud cukup banyak rumah makan murah-meriah yang rasanya, surprisingly, jauh lebih enak ketimbang restoran mewah. Kok bisa? Target utama restoran mewah adalah turis asing, sehingga racikan bumbu dan cara memasak disesuaikan dengan ‘lidah bule’. Ada masanya di mana saya membawa cabe kering ke mana-mana karena setiap makanan terasa hambar. Era mengantongi cabe berakhir ketika saya mulai rajin menyambangi restoran-restoran kecil yang banyak didatangi warga sekitar. Harganya pun jauh lebih bersahabat! Coba intip menu Warung Ijo di Jalan Raya Ubud, Gurihan di Jalan Sanggingan, atau Warung Ampera di Sayan. Makan enak sampai terkapar dengan budget di bawah Rp 50.000? Bisaaa!

Biaya Senang-senang: Rp 500.000

Pijat lulur seminggu sekali? Spa? Sauna? Berendam di hot spring sambil minum kelapa muda? Berenang di resort mewah? Melantai sampai pagi? Mimik-mimik cantik sambil menonton matahari terbenam? Makan gelato sambil kayang? Semua bisa dinikmati tanpa harus menjebol kantong, karena hidup hemat di Ubud bukan berarti melarat.

Jadi, siapa bilang (tinggal di) Ubud mahal? 😉

I Remember

I remember those days

When we held each other so tight in a moving subway
How we refused to let go; hands clasped and fingers intertwined
How I ran my fingers through your hair watching you falling asleep

How you covered me with blankets on cold nights
When I boiled tap water to make tea for your upset stomach
And the soothing warmth that follows

When we had a little picnic with dumplings and chocolate
How it was too early to drink yet we could not care less
How you smiled and how the camera captured the happiness

When you taught me to adjust different bike seats and change gears
How I watched your back disappeared and reappeared
How we shared bottled water and snacks that looked gross

I remember those sunny days in the parks
The cold days inside the house and windy days in between
The late mornings, quiet dawns and gentle melodies of wind chimes

When we watched the whole season of series you have already seen
How you prepared that delicious bowl of spicy popcorn
How we shared it and cleaned up the mess on the carpet

How you reached for my hand before sleep
How we closed our eyes with legs on top of each other
Do you have any idea how peaceful you looked?

And that fine evening… that particular night when the moon bloomed
When you set up the telescope with Besame Mucho on the background

How I wish we had danced.

Is It Really Worth It?

To get stuck in an unsatisfying, dead-end job
To stay in a place you consistently need to escape from
To let worries and fear of the future shape your thoughts
To let the stress of all things above affects your relationship(s)
To opt for constant struggle instead of contentment and peace of mind
To choose attachment and possessions over freedom and self-love
To obsess over what if, could have, might have been

To let ego reign.