Jadi Freelancer? Boleh Aja Sih… Tapi Yakin?

Juli kemarin, resmi satu tahun saya menjalani hidup nekat sebagai seorang freelancer. Kenekatan yang, alhamdullilah, berhasil membuat saya survive setahun penuh, walau kadang bikin nggak bisa tidur juga dan beberapa kali terpaksa ngutang. Jadi freelancer memang penuh tantangan, makanya mbok yaooo jangan menyelepekan freelancer. (KOK CURCOL, JEN?)

Kendati menjanjikan petualangan dan hidup bebas tanpa jadwal (baca: nggak perlu bangun pagi, nggak perlu mondok di kantor, bisa jalan-jalan kapan saja), jadi freelancer bukan hal sepele. Jalan-jalan-kapan-aja-nya sih enak, tapi kalo nggak ada duitnya sama juga bohong, atuh! Beli tiket pake daun?

Pengalaman selama setahun inilah yang akhirnya menggerakkan saya untuk berbagi. Dibanding teman-teman freelancer lain yang jam terbangnya sudah jauh lebih tinggi, saya hanyalah setitik debu di semesta luas *apa sih*, tapi mudah-mudahan apa yang saya tuliskan ini bisa bermanfaat.

  • Satu hal yang menurut saya mutlak jika kamu berniat menjalani hidup rock ‘n roll sebagai freelancer yang hidup mandiri (tidak tinggal bersama orang tua): Dana darurat. Usahakan di rekening selalu ada tabungan untuk biaya hidup minimal 2 bulan. Biaya hidup ini bukan uang makan dan transpor thok, tapi juga biaya kos, bayar-bayar tagihan, beli pulsa HP, internet, dan sebagainya. Ini juga yang membuat estimasi dan kalkulasi sebelum betul-betul ‘terjun’ menjadi sesuatu yang amat penting. Terus, gimana kalau pengin jadi freelancer, tapi di rekening belum ada tabungan sama sekali? Ya silakan aja asal jantungnya kuat.
  • Rezeki tidak kenal waktu dan tempat, dan inilah salah satu petualangan terbesar para freelancer. Bulan ini, bisa saja kamu sepi proyek dan cuma menghabiskan waktu untuk tweeting dan main DrawSomething (udah pada bosen main itu belum, sih? ANYWAY). Bulan depan, bisa jadi kamu ketiban proyek besar yang bikin kamu begadang tujuh hari tujuh malam. Di saat-saat seperti ini, ketika kesibukan menggila dan kamu dituntut untuk sangat produktif, utamakan kesehatan. Pakai waktu yang tersisa di luar jam kerja untuk istirahat. Nongkrong di kafe anyar atau nonton midnight show di bioskop memang menggoda, tapi percayalah, gaul bisa ditunda. Health should always comes first. Ada amin? Amiiin.
  • Buat anggaran keuangan. Akan tiba saatnya kamu cuma sanggup makan di warteg (bukannya nyumpahin, sih), dan akan tiba juga saatnya kamu bisa makan di hotel bintang lima tanpa harus tunggu traktiran klien. Tapi rezeki nomplok sebaiknya jangan langsung dihamburkan, karena…. ya namanya juga freelancer, ya. Ada proyek saja nggak menjamin transferan lancar. Apalagi nggak ada proyek. Pakai kelebihan uang untuk memenuhi kebutuhan yang perlu diprioritaskan. Misalnya, sebelum gesek kartu debit untuk HP Android baru, coba ingat-ingat, sudah ada uang untuk bayar kos 3 bulan ke depan? Ingat juga bahwa pemasukan yang tidak menentu membuat perwujudan rencana kita jadi tidak terprediksi. Gimana mau nyicil mobil kalau bulan depan belum tentu bisa bayar cicilannya? Mau bayar KPR pake kolor tetangga? Dengan anggaran keuangan yang matang sakinah mawardah warohmah, niscaya kamu bisa mewujudkan impian satu demi satu.
  • Rajin-rajinlah membangun network, dan pastikan reputasi kamu bersih. Salah satu cara membangun jaringan yang paling efisien saat ini adalah lewat social media. Kalau kamu freelancer yang mengharapkan remahan maupun bongkahan rezeki dari jaringan yang terbentuk lewat social media, sebaiknya jangan pasang avatar setengah telanjang, apalagi livetwit kegiatan mesum yang bisa bikin kening calon klien berkerut. *uhuk*
  • Biasakan puasa Senin-Kamis. Selain bermanfaat untuk menahan lapar saat dana menipis, puasa bermanfaat untuk …. melatih kesabaran. Akan ada saatnya kamu berurusan dengan klien yang sangat gencar mengejar, namun tidak lancar dalam membayar. Alias lelet. Ketika saat itu tiba, tarik napas dalam-dalam dan tunggulah invoice cair dengan sabar. Haleluya!
  • Last but not least: belajar masak. Minimal ceplok telur dan goreng nasi. Percayalah. Percayalah.

Jadi… masih yakin pengin jadi freelancer? 😀

Traveling Sambil Shopping? MAUK!

Traveling dan shopping. Dua kata yang berjodoh sejak zaman kuda gigit besi. Sekekeuh-kekeuhnya saya mengaku sebagai perempuan yang nggak shopaholic, keinginan untuk belanja setiap kali bepergian ke luar negeri atau luar kota selalu membuncah-buncah. Prioritas belanja nomor satu? Untuk orang-orang terkasih. Ya kaleeee. Buat diri sendiri dong, ah!

Biarpun saya tidak suka belanja pakaian atau tas, saya senang berburu pernak-pernik dari kota atau negara setempat, yang bisa saya kenang sambil cengar-cengir setelah pulang. Atau, sesuatu yang sudah lama saya idam-idamkan. Contoh: waktu bertandang ke PARIS (IYA KAPITAL LAGI. SENGAJA), saya menghadiahi diri sendiri buku skenario “Before Sunrise & Before Sunset” yang sudah lama saya incar. Buku tersebut saya beli di Shakespeare & Co., yang menjadi salah satu lokasi dalam film “Before Sunset” dan dicap dengan stempel khusus bertuliskan “Kilometer Zero Paris”.

Gaya abis, lah.

Prioritas kedua, baru deh, untuk orang-orang tersayang. Di sebuah kota kecil pinggir laut, saya membeli pisau lipat untuk sahabat (yang nyaris terbawa di handbag jelang check-in dan bikin panik!), asbak untuk kawan yang perokok berat, sepaket coaster untuk adik, dan lain-lain. Di setiap kota atau negara, biasanya saya menyisihkan waktu khusus untuk berbelanja. Ada kesenangan tersendiri tiap kali saya memberikan oleh-oleh untuk sahabat atau saudara. Ya, mudah-mudahan kesenangan ini juga melancarkan rezeki, supaya bisa sering-sering traveling. Ada yang bilang, orang yang senang berbagi tidak akan pernah mengalami kekurangan karena saluran rezekinya terus mengalir. Nggak mampet, gitu.

Yak, melenceng lagi. *toyor diri sendiri*

Where were we?

Oh, ya, traveling dan shopping.

Bagi saya, traveling sepaket dengan shopping. Alias kembar siam. Alias inseparable.  Masalahnya, saya sering keteteran karena uang tunai yang saya bawa tidak cukup. Saya tidak suka mengantongi uang dalam jumlah banyak, apalagi kalau bepergian ke luar negeri, karena malas menukarkan kelebihan uang sekembalinya ke tanah air. Plus, uang tunai dalam jumlah banyak itu kok ya kesannya cari penyakit alias dadah-dadah ke maling. Dulu, waktu masih muda, saya rajin memisah-misahkan uang tunai; sebagian di dompet, sebagian di tas pinggang, sebagian di kantung tas bagian dalam, sebagian di kantung rahasia yang saya sembunyikan di balik pakaian. Niat abis. Sekarang… sutralah. Hari gini masih bawa duit segepok. Nggak bosen idup ribet?

*ditoyor pembaca*

😀

Sekarang, untuk alasan kepraktisan dan kenyamanan, saya lebih suka membawa kartu kredit dan uang tunai secukupnya. Selain nggak menuh-menuhin dompet, saya merasa aman karena kalau sesuatu yang buruk terjadi –say, kecopetan di perjalanan *knock on wood*– saya hanya perlu memblokir kartu kredit saya. Belanja pun jadi jauh lebih mudah dan tidak perlu khawatir kehabisan uang di tengah jalan (it SUCKS, believe me!).

Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, saya pun menambahkan satu hal ke wish list tahun 2012: punya credit card BCA Singapore Airlines Visa (BCA SQ)!

Alasannya? Simpel: poin dari shopping pakai BCA SQ card bisa ditukar dengan KrisFlyer miles. Dan kalau KrisFlyer miles-nya udah banyak, bisa ditukar pakai flight hratis dari Singapore Airlines, yang artinya saya bisa terus traveling sambil belanja. Woooo!! Itu pertama. Kedua, well… siapa yang nggak tau reputasinya Singapore Airlines? Saya mah cinta perjalanan yang nyaman-aman-sentosa dengan servis oke. Hihihi.

Alasan ketiga, yang sebenarnya penting-nggak penting (biarin, ah!), dalam perjalanan dari Paris menuju Rennes 4 minggu lalu, kartu kredit saya ditolak ketika hendak membeli tiket kereta dari mesin. Padahal, limit masih utuh dan kartu tersebut umurnya masih seumur jagung. Untungnya, Peri Baik Hati ada di mana-mana, dan tidak semua Parisian jutek sama turis. Melihat saya kesulitan, seorang ibu menawarkan untuk memakai kartu kreditnya. Terpaksa saya meminjam kartu kredit si ibu dan menggantinya dengan uang tunai. Pelajaran supaya lain kali saya lebih berhati-hati memilih bank yang reliable. And as far as I know, BCA has a pretty good reputation. Beralih, deh!

*brb ke BCA*

*eh, masih hari Minggu yak*

*balik lagi*

Anywaaaay. Cukup cerita tentang traveling dan shopping-nya. Masih ada hutang artikel perjalanan yang perlu dilunasin! Will keep you readers updated. Yuk dadah yuk babayyy! 😉

Kaki-kaki Penyangga Mimpi

Semalam, saya kedatangan tamu spesial. Seorang kawan yang singgah menjelang tengah malam dan membawa berkotak-kotak cheese cake. Kamar seorang teman pun disulap jadi tempat pesta kecil. Berempat, kami duduk melingkar sambil ngobrol ngalor-ngidul.

Sampailah kami ke tema “bagian tubuh yang paling disukai”.  Saya menunggu kawan saya mengucapkan “mata”, karena ia punya sepasang mata yang indah dan berbinar, atau “kulit”, karena kulit coklatnya sangat eksotis.

“Kaki,” ia menjawab mantap. Tanpa menunggu kami bertanya, ia melanjutkan, “karena kaki ini sudah membawa saya ke mana-mana.”

Jawaban itu membuat saya terdiam. Tiba-tiba, saya teringat pada sebuah mimpi yang belum terwujud. Berkeliling dunia.

Beberapa bulan lalu, saya merasakan nyeri di kaki kanan saat melakukan aktivitas sesederhana turun dari tempat tidur dan berjongkok. Saya mencoba mengobati diri sendiri dan mencari informasi di internet. Setelah seminggu tidak kunjung sembuh–malah bertambah parah–saya pun pergi ke rumah sakit.

Menanti vonis dokter di ruangan berbau steril adalah sesuatu yang sangat menyiksa. Sambil memerhatikan dokter memeriksa kaki saya, saya bertanya-tanya, apa yang akan terjadi jika kaki saya mengalami sakit serius, misalnya Osteoporosis. Sambil menunggu hasil CT-scan, saya bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika dalam usia semuda ini saya divonis menderita penyakit tulang yang berbahaya.

Untunglah, kekhawatiran saya tidak menjadi kenyataan. Saya keluar dari rumah sakit dengan sebungkus obat dan wejangan dari dokter agar saya rutin berolahraga–terutama jalan kaki–tiga kali seminggu. Ternyata sakit yang saya alami disebabkan kurang berolahraga dan asupan kalsium yang kelewat rendah.

Awal Oktober, seorang kawan memberitahu bahwa sebuah acara akan diselenggarakan di Karawaci, Tangerang. Pengunjung mal yang menghadiri event tersebut bisa memeriksakan tulang secara gratis, mengecek takaran kalsium harian mereka, dan banyak lagi.

Saya tahu, biaya scan tulang di rumah sakit tidak murah. Sabtu, 8 Oktober, saya dan seorang teman berkendara ke Karawaci untuk menghadiri “Scan the Nation” yang diadakan oleh Anlene di salah satu mal terbesar di sana.

Hasil scan tulang (bone scan density) saya tak terlalu mengkhawatirkan, namun belum bisa dibilang bagus. Kekuatan tulang saya belum melampaui titik aman, dan hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa jumlah kalsium yang saya konsumsi setiap hari belum sepadan dengan kalsium yang dibutuhkan tubuh saya.

Asupan kalsium harian yang dibutuhkan tubuh: 600 miligram/hari.

Hasil tes asupan kalsium harian saya: 492 miligram/hari.

Usai memeriksakan tulang dan asupan kalsium, saya tidak segera beranjak. Banyak sekali informasi mengenai kesehatan tulang, penyakit tulang (khususnya Osteoporosis) serta tips untuk menjaga kekuatan tulang yang saya dapatkan dari acara yang berlangsung selama dua hari itu. Semakin saya membaca, semakin saya sadar, betapa minimnya pengetahuan saya akan Osteoporosis, padahal penyakit ini bisa mengancam siapa saja.

Lalu, bagaimana dengan orang-orang lain yang tidak paham tentang hal ini dan tidak menjaga kesehatan tulang sebagaimana mestinya? Padahal, banyak dari kita yang setiap hari menumpukkan beban ke kedua kaki ini, lewat berbagai aktivitas dan gaya hidup yang kita jalani, tanpa ingat untuk memelihara kesehatannya. Kebiasaaan sesepele mengenakan sepatu berhak tinggi dan malas berolahraga bisa menggerogoti tulang dari dalam, dan kita tak pernah menyadarinya.

Dan mimpi-mimpi itu.

Mimpi saya untuk melihat dunia. Bucket list berisi nama-nama benua dan negara yang belum saya kunjungi. Semua takkan ada gunanya jika kedua kaki ini tak sanggup menghantar saya ke tempat-tempat itu.

Saya ingin menginjak benua Eropa dengan kedua kaki ini. Saya ingin menendang salju di puncak Himalaya dengan kaki ini. Saya ingin berlarian di padang rumput Afrika dengan kaki-kaki ini. Saya akan menjaga mereka karena hanya kaki-kaki inilah yang akan membawa saya melihat dunia. Merekalah penyangga impian-impian saya.

Apa mimpimu?” barangkali sebuah pertanyaan yang sering Anda temui. Kini izinkan saya menanyakan yang kedua: “Siapkah Anda meraih mimpi-mimpi tersebut?”

Are you ready for your dreams?

And for those who dare to answer “yes”, here’s an advice.

Love your body. Love your bones.

 

*Informasi lengkap mengenai kesehatan tulang dapat disimak di http://www.tulangsendisehat.com

[repost] Saya dan ‘T’

Saya mulai bertanya tentang Tuhan ketika berusia duabelas tahun.

Pertanyaan pertama saya muncul di bangku SMP kelas satu. Saat itu, sekolah saya mewajibkan seluruh siswa menghadiri kebaktian yang diadakan setiap Minggu sore di aula. Khotbah yang disampaikan dalam kebaktian harus dirangkum menjadi catatan yang dibubuhi tanda tangan pengkhotbah, dan jumlah rangkuman tersebut turut menentukan nilai yang tertera pada mata pelajaran Agama di rapor. Bagi yang poinnya defisit, bisa dipastikan nilainya tekor dan mendapat bonus dipanggil ke kantor Kepala Sekolah.

Saya, yang paling malas menghadiri kebaktian karena merasa hari Minggu adalah jatahnya libur, selalu mencari alasan untuk mangkir. Saya bahkan nekat berkali-kali memalsukan tanda tangan di buku saya (nggak pernah ketahuan, by the way!). Namun, sebandel-bandelnya anak, ada batasnya juga. Suatu hari—entah tergerak oleh apa—saya pergi ke sana.

Saya duduk diam sepanjang kebaktian. Pertama, karena tidak tahu lagu-lagu yang dinyanyikan. Kedua, tidak tahu harus berbuat apa. Ketiga, tidak paham isi khotbahnya. Tidak lama setelah naik ke mimbar, sang pengkhotbah meninggalkan kutipan ayat-ayatnya dan melontarkan lelucon mengenai pemeluk agama lain.

Mereka tidak sebaik kita. Mereka tidak tahu apa-apa tentang kebenaran. Mereka bodoh dan patut dikasihani.

Jemaat tertawa.

Sore itu, saya meninggalkan aula dengan pertanyaan besar: apakah mereka tidak berpikir bahwa yang menghadiri kebaktian bukan hanya orang yang seagama? Apakah mereka tidak berpikir bahwa ada anak-anak yang datang hanya untuk mengumpulkan tanda tangan? Kenapa mereka harus menertawakan orang-orang yang berbeda keyakinan? Memangnya agama lain itu salah? Memangnya Tuhan pilih kasih? Katanya Tuhan tidak pandang bulu?

Saya ngambek dan mogok kebaktian selama berbulan-bulan. Saya berang terhadap ibadah Minggu dan segala tetek-bengeknya. Namun, di sisi lain, keingintahuan saya akan agama yang satu ini semakin memuncak.

Setiap akhir bulan, di Sabtu sore, seluruh siswa dikumpulkan di lapangan sekolah dan duduk berjejalan di bangku-bangku kayu yang dijejer membentuk setengah lingkaran untuk memperoleh siraman rohani selama dua jam. Biasanya, sebagian besar waktu tersebut saya habiskan untuk berkirim surat dengan teman kanan-kiri, ngobrol berbisik-bisik, atau menertawakan potongan rambut si pengkhotbah yang keriting nanggung. Seiring meningkatnya rasa penasaran, lambat laun saya mulai mendengarkan khotbah-khotbah itu dengan saksama. Saya lebih banyak diam, dan saya mulai rajin duduk di barisan depan bersama guru-guru dan sederet anak alim.

Dua bulan setelah ulangtahun saya yang ketigabelas, saya memutuskan untuk berpindah agama, sekaligus menjadi pemberontak pertama di keluarga besar saya. Orang tua saya tidak melarang, meski juga tidak rela.

Masa SMP dan SMU saya lewatkan dengan menjalani berbagai aktivitas rohani, mulai dari pertemuan doa, pertemuan pengerja, ibadah rutin, mengikuti berbagai seminar, sampai pelayanan gereja.

Dua bulan sebelum saya lulus dari SMU, saya mendatangi Ibu dan berkata bahwa saya tidak ingin melanjutkan kuliah. Saya akan mendaftar ke sekolah Alkitab, dan semuanya akan saya jalani dengan biaya sendiri.

Ibu saya diam sejenak, lalu menjawab tenang, “Mama tanya Papa dulu.”

Seperti yang sudah-sudah, mereka tidak melarang. Ibu sangat ingin melihat saya menjadi sarjana, namun beliau tidak memaksakan kehendaknya. Belakangan saya tahu, Ibu sering menangis diam-diam—menyesali anak sulungnya yang keras kepala. Ketika akhirnya saya ditahbiskan menjadi pendeta muda pada usia 18 tahun, beliau kembali menangis. Kali ini karena bangga melihat putrinya berbicara di belakang mimbar.

Dua setengah tahun saya habiskan dengan mempelajari Alkitab dan berkhotbah. Memasuki tahun ketiga pelayanan, saya berhenti berkhotbah dan hanya mempelajari Alkitab. Selama tahun-tahun itu pula, segala pertanyaan seperti lenyap begitu saja dari benak saya. Saya begitu bersemangat. Tidak ada ruang untuk pertanyaan. Tidak ada waktu untuk bertanya. Saya seperti kuda yang sedang berpacu di arena balap. Saya terus berlari. Secepat-cepatnya.

Hingga tibalah saat itu. Tahun 2007, tanpa penyebab spesifik, tanpa asal-muasal, tanpa permisi lebih dulu, sejumlah pertanyaan kembali berlompatan dan menggedor-gedor benak saya. Saya tidak tahu bagaimana bisa begitu. Barangkali saya mulai jenuh. Barangkali saya mulai kelelahan. Atau, barangkali, memang sudah waktunya.

Berbeda dengan sebelas tahun sebelumnya, kali ini pertanyaan itu tidak langsung muncul dalam bentuk kalimat tanya, melainkan rasa di hati.

Saya tak paham kenapa saya merasa ‘perih’ ketika menghadiri pemakaman orang tua seorang sahabat yang berbeda agama dengan anaknya, dan mendengar seorang pelayat bertanya, “Yang penting Papa sudah terima Tuhan, kan?”. Saya tak paham mengapa orang yang baik harus dijebloskan ke neraka hanya karena ia tidak menyembah Tuhan yang sama.

Saya tak paham kenapa surga hanya diciptakan untuk orang-orang yang seagama dengan saya, karena saya sangat yakin ada begitu banyak orang yang tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengenal Tuhan saya, dan itu bukan salah mereka. Bagaimana dengan mereka yang tinggal di tempat-tempat yang belum terjamah? Akankah mereka direbus di neraka hanya karena mereka tidak tahu Tuhan saya ada?

Saya tak paham kenapa saya merasa aneh ketika seorang kawan mengomentari teman-teman saya yang berbeda keyakinan dan berkata, “Kok kamu mau sih gaul sama mereka?” dan ketika saya terdiam, ia meneruskan, “Kalau aku sih nggak bakal mau.”

Saya tak paham kenapa saya harus menginjili satu persatu anggota keluarga saya supaya kami bisa berkumpul di surga kelak. Ibu saya anak kelima dari sembilan bersaudara, dan saya mempunyai enambelas Oom dan Tante, lebih dari duapuluh sepupu, juga Nenek dan Kakek yang hampir semuanya berbeda agama dengan saya. Kebayang, dong? Selain itu, meski saya mempunyai pengalaman sebagai ‘tukang obat keliling’, saya tidak pernah berhasil mempertobatkan satu orang pun melalui penginjilan pribadi. Entah mengapa. Statistik saya sangat buruk dalam hal penginjilan one-on-one. Saya tak pernah tahu mengapa setiap kali saya hendak melakukannya lidah saya mendadak kelu.

Saya tak paham kenapa saya harus hidup dalam batasan baik-buruk, benar-salah, suci-dosa, dan hitam-putih, sementara dunia begitu penuh warna. Saya tak paham mengapa kami harus seragam, sementara perbedaan justru tampak begitu menarik dan memperkaya hidup. Saya tak paham kenapa saya harus selalu ‘baik-baik saja’ sementara hidup selalu punya banyak sisi dan rasa.

Saya tak paham kenapa saya disebut pemberontak karena memiliki banyak pertanyaan dan keingintahuan atas hal-hal yang dilarang agama. Bukan karena sengaja ingin membelot atau tak mau patuh, melainkan karena saya terus dikejar dengan berbagai ‘kenapa’. Kenapa nggak boleh? Kenapa harus? Kenapa jangan? Kenapa begitu? Dan banyak lagi. Saya tak paham kenapa saya dicap pembangkang, sementara yang saya inginkan hanya penjelasan yang masuk akal. Salahkah bertanya? Salahkah meminta alasan?

Saya tak paham kenapa saya dituntut untuk terus berubah, menjadi semakin seragam, semakin serupa dengan konsep ideal, dan semakin sempurna—meski kedengarannya memang menyenangkan. Saya tak paham, kenapa Dia yang dulu membuat saya jatuh cinta dengan penerimaan tak bersyarat kini menetapkan begitu banyak perintah, larangan dan aturan. Saya tak paham kenapa saya harus mengorbankan hidup saya untuk menyenangkan-Nya—tidakkah Dia ingin saya bahagia?

Saya tak paham kenapa saya tidak boleh bergaul terlalu akrab dengan mereka yang tidak seiman; kenapa saya harus senantiasa berhati-hati dalam bersikap agar ‘tidak ketularan’, dan kenapa saya harus terus berusaha ‘mengubahkan’ orang-orang di sekeliling saya menjadi sama seperti saya.

Saya tak paham, dan semakin bingung, ketika akhirnya saya sadar bahwa saya tidak pernah betul-betul ingin mempertobatkan satu orang pun, atau mempengaruhi siapa pun, kendati saya tumbuh dengan berbagai prinsip dan nilai yang (seharusnya) bisa mendatangkan kebaikan bagi orang lain. Pun ketika otak saya berkata orang-orang yang saya cintai akan mendarat di neraka karena saya gagal ‘membawa mereka’ (di mana kesalahan itu akan menjadi tanggung jawab saya), saya tetap tidak ingin mengubah apa pun dari mereka.

Saya tak paham kenapa ada begitu banyak duka dan darah yang tumpah atas nama Tuhan yang identik dengan cinta, welas asih dan pengampunan.

Saya tak paham kenapa manusia saling menghakimi, mengecam dan menuding atas nama Tuhan, jika kasih-Nya tidak membedakan.

Saya semakin tidak paham ketika otak saya berkata “Kamu salah”, sedangkan hati saya membisikkan hal sebaliknya.

Tanda tanya yang sama akhirnya menghantarkan saya pada lebih banyak pertanyaan mengenai Tuhan dan hidup.

Tigabelas tahun berlalu sudah. Saya memutuskan untuk tidak lagi menjerat-Nya dalam sebuah kotak.

Inilah yang saya maksud ketika saya berkata, “Saya tidak perlu mengenal-Nya.” Bukan karena saya berhenti mencari, namun karena saya tidak ingin tanda tanya itu berubah menjadi titik. Saya tidak ingin air itu membeku keras dan kehilangan kemampuannya mengalir. Saya tidak ingin memerangkapnya dalam sebuah wadah tunggal.

Saya ingin melihat-Nya di mana-mana, karena itu saya tidak ingin memanggil-Nya dengan sebuah nama. Saya ingin menjumpai-Nya dalam berbagai rupa, karena itu saya mencopot label dari sosok berjubah putih yang bisa membelah laut dan berjalan di atas air. Saya ingin mengenali-Nya ketika bertemu dengan-Nya di jalan, karena itu saya menanggalkan berbagai predikat yang selama ini saya gantungkan pada-Nya. Pernyataan ini boleh jadi sulit diterima, bahkan absurd, namun begitulah adanya—setidaknya bagi saya pribadi.

Inilah sejumput perjalanan saya dengan Tuhan, yang sekaligus merupakan tulisan paling bongkar-isi-perut di blog ini. Sangat sedikit orang yang mengetahui kisah ini sebelumnya. Lalu, mengapa sekarang saya menuturkannya?

Karena seumur hidup saya, saya diajar bahwa tidaklah baik menjadi diri sendiri apa adanya.

Karena separuh hidup saya, saya diajar bahwa bertanya itu salah.

Karena beberapa dari Anda yang membaca tulisan ini mungkin memiliki pertanyaan yang sama, kebimbangan yang sama, pergumulan yang sama, dan saya ingin berkata: It’s OK.”

Tulisan ini tidak dibuat untuk mendiskreditkan agama tertentu atau pihak mana pun, dan saya tidak sedang berupaya meneguhkan atau melucuti keyakinan siapa pun. Semua ini hanya bagian dari ilusi yang saya mainkan di atas panggung bernama Kehidupan, dimana saya menari dan menjalankan peran yang saya pilih, termasuk mempertanyakan Tuhan dan segala hal dalam hidup.

Pertunjukan belum usai, permainan belum tamat, dan perjalanan masih panjang. Perjalanan ini bukan tanpa rintangan, dan pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa jadi sangat melelahkan, namun, pada saat yang sama, saya berharap pencarian ini takkan pernah berakhir.

—–

Dan T,
Tahukah Kamu,
Belum pernah seumur hidup
Aku jatuh cinta seperti ini.

Terima kasih.

Pindahan!

2006-2011.

Nggak kerasa. Waktu cepat sekali berlalu. Menjelang 5 tahun menempati rumah maya ini, saya merasa sudah waktunya pindah. Ke tempat baru, dengan suasana baru, yang (moga-moga) lebih nyaman dari sebelumnya.

Dan inilah alamat baru saya:

Monggo, monggo. Silakan dikunjungi, disinggahi, dikomentari, apa pun.

Semoga betah. Semoga terhibur.

Nyok, pindahan!

—–