Catatan Untukmu

Catatan ini untukmu.

Kau yang tak punya nama, namun tak pernah alpa menunjukkan kepadaku lewat berbagai rupa bahwa kau ada.

Kau yang berkata bahwa aku boleh memanggilmu apa saja dan selalu mendampingiku layaknya teman sejati—kendati aku sering berlaku sebaliknya.

Catatan ini untukmu.

Kau yang pernah berjanji, meski aku tak ingat janji itu. Janji yang kau buat sebelum kita berpisah. Janji yang kau pegang hingga detik ini, yang baru kedaluwarsa ketika aku kembali padamu suatu saat nanti.

Mereka bilang, ketika tiba saatnya menyeberangi tabir, kita akan dibuat lupa. Lama berselang baru aku paham. Hidup takkan menarik jika kau tahu segala yang akan kau jumpai. Takkan ada yang mau kembali jika otak ini tidak diberi anugerah bernama Lupa.

Aku memilih untuk kembali bertualang. Aku memutuskan untuk sekali lagi menguak tabir yang akan membawaku menempuh petualangan baru. Kau memilih untuk tinggal, untuk mendampingiku. Kau dengan alasanmu sendiri, yang kemudian kau tuturkan padaku hingga aku mengerti.

Aku melintasi tabir dan tiba di sini, sementara kau tetap di sana. Mengawasi. Saat tiba waktunya, kau mulai bicara. Tanpa memperkenalkan diri. Kau biarkan aku memanggilmu dengan berbagai nama. Kau ajarkan yang perlu kutahu tanpa aku perlu hafal identitasmu.

Ketika aku lupa bahwa kau ada, tak sekalipun kau berusaha menyeret ingatanku. Ketika aku tersandung dan tersesat, ada saja caramu mengingatkanku untuk kembali pulang. Ketika aku membutuhkanmu, kau selalu sedia. Menjawab segala yang perlu kutahu. Menyimpan hal-hal yang tak perlu kudengar. Menjadi teman berdebat yang tak pernah berusaha menang.

Catatan ini untukmu.

Kau yang dulu pernah menjadi lebih dari sekadar kawan bagiku, sampai garis takdir memisahkan kita. Kau yang kini lebih dekat dari sepotong kain di tubuhku. Kau yang mendengar jantungku berdetak dan berjanji selama degup itu ada kau akan tetap di sini. Kau yang mengenalku lebih dari semua orang yang kutahu.

Terima kasih.

Merah, Kuning, Hijau

Tombol-tombol itu jaraknya aku dan kamu.

Mestinya mudah saja bagiku. Namun sedari tadi aku urung memilih dan hanya berganti-ganti tak tentu arah tanpa sanggup menentukan. Seharusnya tak begini. Baru kali ini aku tak tahu apa yang kumau.

Merah untuk berhenti. Kuning untuk persneling. Hijau untuk melaju. Tombol itu cuma ada tiga namun jariku seperti tak bernyawa.

Kamu sudah di antara kuning dan hijau,” katamu.

Dan kamu benar. Kendati otakku akhirnya memilih merah.

Aku bahkan tak tahu mengapa.

Mungkin karena bagimu cinta bisa dua, tiga, bahkan lebih. Bagiku? Entahlah. Dua, tiga, bahkan lebih sudah kucicipi. Barangkali kini aku menginginkan satu.

Mungkin aku takut kamu akan pergi setelah mendapatkan yang kamu mau.

Mungkin aku tak siap menjadi seperti mereka yang terlanjur terikat, patah dan merana karena menjadi yang kedua, ketiga, bahkan lebih.

Mungkin aku belum rela mengulangi kesalahan yang sama; mempercayai dan menjadi bodoh.

Atau aku mulai menyayangimu dan tak siap membagimu dengan yang lain.

Yang kutahu kamu datang dengan sederhana. Dan aku ingin melepasmu dengan sederhana.

Я буду скучать по тебе, R. 🙂

—–

Just a Little Wish…

“May your coming year be filled with magic and dreams and good madness.

I hope you read some fine books and kiss someone who thinks you’re wonderful, and don’t forget to make some art — write or draw or build or sing or live as only you can.

And I hope, somewhere in the next year, you surprise yourself.”

(Neil Gaiman)

Amen to that. 🙂

Yang Kukira Cinta

Pagi akan menjelang dalam hitungan jam. Tubuhku letih, namun mataku belum mampu terpejam. Seperti yang sudah-sudah, wajahmu kembali hadir. Namamu kembali terngiang, sembari benakku melafal segala yang kuingat tentang kamu. Namun entah kenapa aku tak lagi terlalu merindukanmu.

Bagaimana bisa, aku pun tak paham. Baru beberapa malam lalu pedih datang menggigit. Namun kini ia menyublim, menguap. Patah hati seharusnya tak sesingkat itu.

Barangkali yang kusebut cinta cuma fatamorgana. Barangkali aku belum tenggelam dalam impian tentangmu. Barangkali otakku mengabadikanmu namun hatiku belum terlanjur menyimpanmu. Atau barangkali, semua cuma kabut yang mampir untuk berlalu.

Aku ingin memahami kita. Aku ingin memahami kamu. Bukan sekali dua aku berkhayal; seandainya kita mengawali semua dengan benar. Tetapi yang terjadi jauh dari benar. Kamu dan aku sama-sama tahu, kita memulai dengan salah. Dan barangkali ini yang menjadi upahku—aku tergelincir dan tak ada lenganmu di sana.

Kamu tidak pernah menjadi milikku. Tidak sesaat pun. Otakkulah yang merekam begitu banyak kenangan, merangkainya bersama ilusi dan menipuku. Namun hati selalu tahu. Hatiku tahu.

Sekejap, kusayang kamu lebih dari siapa pun. Tanpa sempat kucegah. Tanpa sempat kukekang. Bukan bibirmu. Bukan lidahmu. Bukan lenganmu. Bukan jemarimu. Bukan pula tanggal lahir kita yang beda sehari. Aku menyayangimu tanpa tahu kenapa. Mungkin inilah yang mereka bilang karma. Barangkali. Aku tak paham.

Tak pernah kusayangi orang tanpa apa dan mengapa. Kamu yang pertama, namun mudah-mudahan bukan yang terakhir. Karena hatiku perlu terus mengalir. Ia perlu terus hidup.

Malam ini kulepas kamu dengan sebuah doa. Kiranya cinta mengisi hari-harimu dengan senyum dan tawa. Kiranya hatimu senantiasa hidup dan bersinar. Kiranya jiwamu menemukan damai yang kau cari. Kiranya bahagia selalu ada untukmu.

Kiranya kita bahagia. Dengan jalan yang kita tempuh sendiri-sendiri.

Pedih ini perlahan memudar, menguap. Namun aku akan selalu ingat, ia pernah ada.

~ Ubud, 11.11.10 ~

—–

Infotainment yang Saya Kenal

Beberapa hari terakhir, infotainment dan situs jejaring pertemanan (Twitter, Facebook) diramaikan oleh pemberitaan mengenai Luna Maya dan status Twitter-nya yang penuh kecaman terhadap infotainment. Para blogger pun ikut bersuara. Ibu ini dan Mbak ini menuliskan artikel dengan judul ‘Luna … ’ – mengupas kasus tersebut dari berbagai sudut pandang.

Dalam entri ini, saya sengaja tidak berkomentar tentang Luna *ehmm, mungkin iya, tapi sedikiiit banget*. Sejujurnya, saya tidak kaget dengan reaksi yang dimunculkannya. Bagi saya, kemarahan Luna sama sekali tidak berlebihan, kendati dilontarkan dengan ceroboh. Bukan ceroboh dalam arti kurang bijak dalam menghina meluapkan amarah, melainkan ceroboh karena ia melupakan keberadaan monster bermata hijau Undang-undang ITE.

Sebelum entri ini semakin mirip dengan artikel-artikel gosip, mari saya jelaskan bahwa tujuan saya menulis entri ini adalah untuk membagi beberapa peristiwa yang pernah saya alami saat berurusan secara langsung dengan media gosip. Artikel ini pertama kali saya tulis pada akhir tahun 2008. Saat itu, saya memutuskan untuk tidak menyelesaikannya, karena semakin ditulis, kemarahan saya semakin menumpuk. Demi kesehatan jiwa, saya memutuskan untuk menyimpan draft setengah jadi itu dan mempublikasikan entri ini sebagai gantinya. Bagaimanapun, insiden Luna dengan infotainment kembali menyulut niat saya untuk membagi cerita ini dengan Anda, yang (barangkali) selama ini terpaksa puas dengan suguhan satu arah dari media gosip.

Kenapa ‘satu arah’? Karena apa yang Anda lihat, dengar dan baca selama ini adalah hasil ramuan media gosip—pencampuran antara fakta, fiksi, skenario, dan narasi yang dirajut dengan apik membentuk ‘informasi faktual’. Sebagai penonton, kita hanya melihat hasil liputan yang sudah jadi. Yang tertangkap oleh indera penglihatan dan pendengaran kita hanya apa yang tampak di layar televisi dan tabloid. Kita tidak pernah betul-betul tahu apa yang sesungguhnya terjadi ketika kamera berhenti merekam, ketika halaman terakhir selesai kita baca, ketika proses penyuntingan berlangsung.

Saya bercerita bukan dari sudut pandang seorang selebriti. Bukan juga dari sudut pandang media. Saya hanya orang biasa yang—kebetulan—bekerja dengan figur publik dan saya tidak memihak siapa-siapa. Semoga apa yang saya ceritakan di sini bisa memberikan perspektif segar untuk kita semua agar lebih bijak dalam menyikapi pemberitaan media gosip.

1.
Pertengahan November 2008, tidak lama setelah Reza dan Dewi melangsungkan pernikahan di Australia, mereka kembali ke Jakarta dan beristirahat di rumah selama beberapa hari. Saya belum bertemu dengan mereka berdua dan komunikasi sepenuhnya kami lakukan melalui telepon dan SMS. Kami belum sempat bertukar cerita mengenai pernikahan yang baru saja berlangsung, dan sangat sedikit yang saya ketahui tentang pernikahan tersebut.

Malam itu, ponsel saya tak henti-hentinya berdering. Pukul sepuluh malam, seorang pekerja infotainment dari program ‘S’ meminta saya untuk bersedia diwawancara saat itu juga.

“Posisi Mbak di mana sekarang? Kami sudah siap kamera dan peralatan, Mbak tinggal sebut Mbak ada di mana.” Ketika saya menjelaskan bahwa saya tidak bisa menyanggupi permintaan tersebut, mereka mendesak, “Kami butuh sekarang karena liputannya mau ditayangkan besok pagi. Nggak bisa ditunda lagi. Mbak cuma perlu mengonfirmasi apakah betul Reza dan Dewi sudah menikah.”

Saya menjawab, “Kalau hanya butuh konfirmasi, saya bisa berikan sekarang tanpa perlu pengambilan gambar. Lagipula ini sudah malam.”

Namun mereka bersikeras mengambil gambar saya. Saya pun menolak dan memutuskan sambungan telepon. Ponsel saya kembali berdering tanpa henti. Akhirnya saya menegaskan bahwa saya HANYA bersedia memberi konfirmasi via telepon, tanpa pengambilan gambar. Pertanyaan yang akan saya jawab pun hanya pertanyaan mengenai benar atau tidaknya Reza dan Dewi melangsungkan pernikahan. Sejurus kemudian, sambungan telepon kembali terputus—tanpa ada kepastian dari pihak infotainment.

Beberapa menit setelahnya, ponsel saya kembali berdering, namun yang berbicara di seberang sana adalah orang yang berbeda. Suaranya halus, tutur katanya sopan dan terjaga; sementara orang yang sebelumnya berbicara dengan nada mendesak dan memaksa. Mendadak, saya merasa ada yang tidak beres, namun tidak tahu apa.

Pertanyaan pertama yang diajukan adalah benar atau tidaknya Reza dan Dewi menikah pada tanggal 11 November. Saya mengiyakan pertanyaan itu.

Pertanyaan kedua adalah apakah pernikahan tersebut memang berlangsung di Australia. Saya kembali mengiyakan, namun entah bagaimana, saya merasa wawancara ini direkam tanpa seizin saya, dan pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan berhenti sampai sebatas ‘memberi konfirmasi’. Saya pun berpura-pura kehilangan sinyal dan memutuskan sambungan telepon.

Esok paginya, wawancara tersebut ditayangkan di ‘S’. Wawancara itu memang direkam tanpa seizin saya. Nama saya tertulis besar-besar, dan karena mereka tidak berhasil mendapatkan gambar saya, yang tampak di layar hanya sebuah pesawat telepon yang memperdengarkan wawancara tersebut.

Setelah dua pertanyaan pertama (berikut jawabannya) diperdengarkan, pertanyaan ketiga, keempat dan seterusnya pun bermunculan. Saya terperanjat karena orang yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan saya. Suara tersebut bukan suara saya. Saya tidak tahu siapa yang meneruskan wawancara tersebut. ‘Jenny’ menjelaskan bahwa pernikahan tersebut berlangsung di Sidney, di rumah paman Reza, dan seterusnya. Saya menyimak semuanya sambil terbengong-bengong, karena saya sendiri TIDAK TAHU di kota mana Dewi dan Reza menikah, di rumah siapa, dan dihadiri siapa.

2.
Peristiwa berikutnya terjadi ketika Dewi menyanyi di sebuah stasiun televisi dalam program yang ditayangkan secara live. Dewi dijadwalkan untuk menyanyikan dua lagu. Setelah lagu pertama selesai dan jeda iklan tiba, kami kembali ke backstage karena Dewi perlu merapikan rambutnya. Di tengah jalan, kami ditemui beberapa orang berseragam hitam yang meminta kesempatan untuk wawancara. Di belakang mereka, seorang juru kamera mengambil gambar kami tanpa izin.

Sambil tersenyum, Reza dan Dewi menolak permintaan tersebut. Ketika mereka mendesak, Reza menjelaskan bahwa mereka tidak bersedia diwawancarai dan Dewi harus merapikan riasan wajah dan rambutnya di backstage.

Ketika kami kembali ke panggung, si juru kamera membuntuti kami. Ia mengambil gambar dari jarak yang sangat dekat. Kemana pun Dewi dan Reza melangkah, kamera ikut bergerak. Reza mengulurkan selembar tisu. Dewi menghapus keringatnya. Kami berbincang-bincang sambil menunggu jeda iklan usai. Kami bergurau. Kami tertawa. Semuanya diabadikan dari jarak sangat dekat, kurang dari tigapuluh sentimeter.

Setelah beberapa menit, Reza yang merasa terganggu meminta juru kamera itu mengambil gambar dari jarak yang lebih jauh. Ia pun melipir dan duduk bersama rekan-rekannya, sekitar empat meter dari tempat kami berdiri.

Ketika Dewi selesai menyanyi dan kembali ke backstage, sejumlah pekerja infotainment merubung dan mencoba menerobos masuk ke backstage—area yang seharusnya bersih dari media. Manajer Dewi dan beberapa staff dari stasiun televisi yang bersangkutan menghalau mereka, namun satu orang berhasil masuk dan menempatkan kameranya tepat di depan ruangan kecil tempat kami menunggu. Setiap kali kami memandang melalui celah pintu, terlihat mikrofon dan kamera yang bergeming dengan lensa terbuka. Reza pun menelepon supir untuk menjemput kami agar kami bisa langsung naik ke mobil sekeluarnya dari backstage.

Ketika kami keluar dari backstage, sejumlah pekerja infotainment—lengkap dengan mikrofon dan kamera masing-masing—langsung memburu kami. Mereka menjajari langkah kami seraya berusaha menempatkan mikrofon sedekat mungkin dengan kami. Seorang wartawan bahkan menempelkan mikrofon-nya di punggung Dewi. Entah apa gunanya. Seorang lagi menempatkan mikrofon-nya di lengan kiri saya. Saya melirik cepat ke atas, sebuah mikrofon tepat berada di atas kepala saya. Seorang juru kamera mengambil gambar sambil berjalan mundur di depan Reza.

Sambil menjajari kami, mereka berteriak-teriak. Sebagian mengajukan pertanyaan, sebagian minta agar kami berhenti, sebagian lagi marah karena kami terus berjalan secepat mungkin. Saya berusaha memusatkan perhatian pada punggung Dewi yang berada tepat di depan saya. Tidak mudah. Seseorang nekat menyelinap di celah sempit antara saya dan Dewi. Saya mendorongnya dan menggunakan lengan kiri saya sebagai tameng untuk menciptakan jarak antara mereka, Dewi, dan diri saya sendiri.

Ketika akhirnya kami tiba di mobil, mereka merangsek maju. Reza mencoba menghindar dari seorang juru kamera yang berdiri terlalu dekat dan menutupi lensanya dengan telapak tangan. Ia membuka pintu agar Dewi bisa masuk lebih dulu ke dalam mobil. Saya berusaha membuka pintu depan dan gagal, karena seorang juru kamera bertubuh besar menghalangi pintu dengan badannya sambil terus menyorotkan kamera.

“Permisi, Mas,” tegur saya sedikit gugup. Teriakan-teriakan dari belakang kami semakin keras dan bernada tidak sabar. Sang juru kamera bergeming. Saya menarik handel lebih keras. Pintu terbuka sedikit. Saya merangsek maju dan akhirnya ia mengalah—bergerak ke pinggir sambil tetap menyorotkan kamera, mencoba mengambil gambar Reza dan Dewi yang sudah duduk di kursi belakang.

Kami telah aman berada dalam mobil, namun seruan-seruan di luar makin menjadi. Beberapa dari mereka tampak gusar. Seorang juru kamera berteriak, “WOY! GAK BISA BEGITU DONG! LU KAN ARTIS!” Seolah tak cukup, kalimat tersebut diulangnya berkali-kali. “EH, LU ITU ARTIS! LU ITU ARTIS!!” Demikian, terus-menerus. Sebagai aksi penutup, ia mengakhirinya dengan memukul mobil dengan kamera yang dibawanya.

Mobil melaju meninggalkan tempat itu. Saya mengira mereka akan berhenti ketika mobil mulai berjalan. Namun teriakan para pekerja infotainment itu masih terdengar hingga belasan meter jauhnya.

Esoknya, infotainment beramai-ramai mempublikasikan peristiwa itu dengan berbagai julukan yang dialamatkan kepada Reza dan Dewi. Arogan, tidak etis, angkuh, kasar, temperamental, dan sebagainya. Sebuah situs media gosip bahkan menyatakan tindakan Reza menutup lensa kamera sebagai kemarahan tanpa sebab, dan terbenturnya kamera di mobil adalah perbuatan Reza—bukan ulah juru kamera yang dengan sengaja memukulkannya.

3.
Beberapa minggu berselang, Dewi menyanyi di stasiun televisi lain. Tidak lama setelah kami memasuki ruang tunggu artis, wartawan infotainment dan juru kamera menghampiri kami dan minta diberikan waktu untuk wawancara tentang album dan buku terbaru Dewi. Dewi pun menyetujui dengan catatan pertanyaan yang diajukan HANYA seputar album dan buku—bukan kehidupan pribadi.

Setelah selesai dirias, Dewi keluar dari ruang tunggu untuk diwawancara. Wawancara berlangsung kurang-lebih duapuluh menit. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkisar tentang proses penciptaan lagu, penulisan cerpen, serta proses produksi Rectoverso secara keseluruhan. Memasuki lima menit terakhir, sang wartawan bertanya, “Dari 11 lagu yang ada di album ini, adakah yang Dewi buat untuk orang terdekat?”

Dengan halus, wawancara pun bergulir memasuki ranah personal Dewi. Kehidupan setelah pernikahan, rencana ke depan, dan si kecil Keenan pun turut dikulik. Esoknya, wawancara tersebut ditayangkan di stasiun televisi yang sama. Namun wawancara mengenai proses pembuatan album dan buku Dewi tidak ditayangkan. Bagian yang ditayangkan dimulai dari pertanyaan yang saya tuliskan di atas, serta pertanyaan-pertanyaan pribadi yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau album terbaru Dewi. Wawancara asli sepanjang duapuluh menit disunat menjadi lima menit dengan topik yang berkebalikan dengan apa yang telah disepakati Dewi dan pekerja infotainment sebelumnya.

***

Semua yang saya ceritakan di atas tidak dapat Anda temukan di layar kaca maupun di tabloid yang Anda baca. Hanya orang-orang yang terlibat dan berada langsung di lokasi yang tahu apa yang sebenarnya terjadi—apa yang berada di balik pemberitaan media gosip. Sayangnya, tidak seperti gosip dan skandal yang memperoleh tempat begitu luas di ranah hiburan tanah air, kenyataan yang faktual seringkali tidak mendapat kesempatan untuk bersuara. Itu sebabnya saya memutuskan untuk membaginya di sini.

Saat ini, saya tidak lagi menaruh perhatian secara khusus pada pemberitaan media gosip. Sesekali saya menyempatkan diri untuk menonton, namun saya tidak pernah menanggapinya dengan serius. Bukan karena saya tidak peduli dengan apa yang sedang ramai dibicarakan orang, bukan pula karena saya tidak mau tahu apa yang sedang berlangsung di ranah hiburan, namun karena saya paham apa yang sesungguhnya terjadi di balik pemberitaan penuh sensasi itu—secuil fakta yang dipelintir di sana-sini dan diramu sedemikian rupa dengan banyak bumbu.

Jika ada pelajaran yang saya tarik dari pengalaman di atas, maka itu adalah bagaimana menyikapi begitu banyak pilihan yang disodorkan di tengah kebebasan yang kita miliki. Pada akhirnya, keputusan memang berada di tangan kita. Sejauh remote control yang kita genggam, dan sejauh akal sehat yang bersemayam di balik tempurung kepala ini.

—–

*Gambar dipinjam dari http://gettyimages.com