Malaikat Kecil

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Saya pernah memandangnya dengan iba. Ayah-ibu saya sudah lama bercerai, dan saya bisa memahami rasanya tinggal bersama orangtua yang tak lagi lengkap. Ternyata saya salah. Orang bilang, perpisahan selalu berujung luka. Tidak bagi dia. Untuknya, perpisahan adalah sebuah awal baru. Dari keluarga besar yang dulu tak dimilikinya. Dari kebahagiaan yang semakin bertambah seiring bergulirnya waktu. Dari seorang ayah dan seorang ibu, kini dia punya dua ayah dan dua ibu, seorang adik laki-laki, calon adik bayi yang belum ketahuan jenis kelaminnya, dan seekor kucing bernama Tjondro.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Senyumnya menerbitkan hangat di hati, seperti mentari yang tak pernah jemu membagi sinar. Jika anak-anak seusianya sering malu bertemu orang baru, dia takkan segan mempertontonkan segala jenis keahlian, mulai dari bergoyang dombret, menyanyikan lagu Batak keras-keras, menggebuk drum di udara, sampai berjoget-joget lincah. Rambut kriwilnya tak pernah diam, sama seperti tubuhnya yang selalu bergerak kesana-kemari.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Rabu malam pukul sepuluh adalah saat yang selalu saya nantikan, karena malaikat kecil itu akan berjingkrak-jingkrak di depan pintu begitu mendengar suara mobil yang mendekati rumah. Dia akan menunggu dengan manis, lalu menyambut kami layaknya pahlawan pulang dari medan perang. Hangat, gembira, penuh kebahagiaan. Setelah itu, ia akan mengucapkan kalimat pendek yang selalu diulangnya: “Mbak Jenjus, peluk.” Dan saya akan mendekapnya erat sambil membaui rambutnya yang wangi.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Dia bercahaya, dan dia benderang. Kehangatan itu tak pernah habis untuk dibagi. Dia akan segera tumbuh dewasa, dan sinarnya akan berpijar semakin terang. Dia tak perlu mentari, karena dialah sang empunya surya. Sayap-sayapnya akan menjadi kuat dan mengepak. Dia akan membubung tinggi dan ketika saat itu tiba, saya berharap saya bisa mengantarnya sambil tersenyum lebar.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Lihatlah dia di sana. Tertawa riang sekali.

Di bangku-bangku itu, empat orang tak lepas menatapinya dengan senyum bangga. Bukan cuma dua.

🙂

*The picture was taken from Keenan’s Fan Page.

Hatur Nuhuuun :-)

Pagi-pagi, baru melek, belom sempet sikat gigi apalagi mandi, dapet SMS dari Ami, katanya saya dapet award. Langsung deh meluncur ke blog ibu ini*

…TA-DAAA!



Duh, makasih banyak yaaa, Jeng Popi… terharu saya! 🙂

*iyaaa, prioritas utama saya begitu bangun pagi emang internetan, bukan sikat gigi. Puas? Hyahahahaha.

Oleh-oleh dari Masa Depan

Salut buat kalian, wahai para pembajak, karena ternyata kalian tak hanya pandai membajak, tapi juga mampu menciptakan mesin waktu. Hebat lah. ;-D
*Gambar diambil dari sampul CD installer milik seorang kawan. Tentunya bajakan. *Yyya iyyyalah!*

Resep Bahagia (?)

Define your happiness

…ah, nevermind ;-D.

*Goji: semacam sari buah (yang katanya) dari Himalaya. Or something like that.

Topeng-Topeng Ceria

Di situ mereka duduk. Sekumpulan topeng ceria.

Si Badut tersenyum jenaka, membiarkan orang menertawakan dirinya dan turut tergelak absurd, tak peduli apa objeknya, dan mengapa.

Si Mafioso tersenyum simpul, matanya tajam menganalisa setiap celah bagai ular mengintai mangsa, sementara bibirnya tak lepas menyungging menghanyutkan.

Si Penyihir menyeringai, mengulurkan apel ranum yang disambut sukacita walau mematikan.

Si Don Juan tersenyum menawan, menebar pesona pada siapa saja yang mau terpikat dan percaya, tanpa peduli berapa banyak tangis akan keluar dari mata-mata indah bercelak itu.

Si Robin Hood tersenyum jumawa, memamerkan emas dan menuai kagum dari mereka yang memujanya bak pahlawan. Namun tak ada yang tahu bahwa harta itu takkan sampai ke melarat malang yang membutuhkan, melainkan aman di kantung kulitnya dengan sebilah belati tersembunyi, siap dihunuskan kapan saja pada kecoak pengganggu.

Di situ mereka duduk. Topeng-topeng ceria, bersuka ria. Memotong kue tar, menikmati tanpa sempat meliriknya. Menelan sepotong keindahan untuk dikeluarkan sebagai sampah esok paginya. Membuang lilinnya karena waktu tak berarti apa-apa, dan penandanya pun jadi tak berguna.

Di sudut sepi, seorang pengelana duduk sendiri. Matanya sarat arti, namun tubuh rentanya membuatnya tak layak dipandang. Di depannya juga terletak sepotong tar indah. Lilinnya masih utuh. Glazurnya bahkan tak tersentuh.

“Mengapa tak dimakan?” Tanya pramusaji.
Ia menggeleng. “Terlalu indah, Nona. Sayang bila esok sudah jadi kotoran tubuhku yang lemah ini.”
Pramusaji menatapnya tak mengerti. “Tapi tar memang untuk dinikmati. Akan rusak bila tidak, dan mubazir.”
Pengelana tersenyum lembut. “Aku tahu, Nona. Karena itu tak kusentuh keindahan ini. Kusimpan bagi si melarat malang yang terlupakan. Perut seperti itu, Nona, lebih layak menerimanya.”