A (Belated) Birthday Note

I met her few months ago at my former office and instantly knew we’d become friends. For the next month she came to the office twice a week and we ALWAYS knew when she arrived. Her laugh filled the air in such a way that you would instantly smile when you hear it—unless you just killed a baby panda the previous night or something.

She reminded me of Kathryn Kuhlman, a female preacher I used to worship years back. She was very popular as she was anointed in such a way (hardcore Christian fellows, you know what anointed means, do you? If not, let’s grab a beer!) that every time she walked into a place, she changed the entire atmosphere and people would look at each other and say, “She’s here.”

That’s Michelle. Or Maya. Many times she introduces herself as Michelle. Sometimes as Maya, which reminds me to …Maya, the adorable daughter of Dr. Doolittle who can speak to animals. (Yes, that’s a Hollywood movie, and a good one—IMDb it for Christ’s sake). She already speaks 3 freaking languages before she decided to learn Indonesian. And she’s probably the only person around me whose French I can really understand, because she speaks with American accent.

I remember that afternoon. My head was filled with details of what happened the other day with a horrible guest that stayed at my place for 3 nights. He was not evil, he just had annoying habits, weird attitude and strange behavior, not to mention a very annoying smell. And I just didn’t have the heart to kick him out because d’uh, he’s in a strange country. Whatever. The rain was pouring when I met Michelle who was making a cup of hot tea. I made a cup of coffee and 5 minutes later found myself spilling every detail of what happened during those 3 days to her.

I’ll never forget her reaction. “Honey, you’re too kind!” in a thick American accent. I laughed out loud and suddenly felt better. A LOT better. It was my first laugh that day. We chatted some more, and more, and I forgot that I had a pile of work waiting for me. She left an hour later. I stared at my abandoned papers and that’s how I knew I got a new friend.

Many weeks later, we had lunch, exchanged Facebook messages nearly every day talking about random stuff, went for a vacation, shared a coconut, abused high-speed internet at a café to download TV series and basked in a comfortable silence together. She cooked me lunch and I slept on her couch. Looking back, it’s truly amazing what a simple conversation can bring. I guess I should thank my horrible guest.

Here’s to my dear Michelle, or Maya, who just celebrated her birthday 2 weeks ago (what? 2 weeks is not too late unless it’s your period!): I am grateful that you are here in this world. I can’t be happier seeing how beautiful our friendship has grown, as much as I enjoy your presence, every talk, every silly thing, and every laugh we share together. Here’s to abundant happiness and blessing coming your way. Here’s to endless joy waiting to multiply in your life. And thank you for being in my life. I’m glad we met. I just am.

Maya

Soulmate

Saya tidak percaya konsep soulmate. Bagi saya, soulmate adalah sesuatu yang abstrak. Konsep rekaan manusia untuk melariskan dagangan bunga, cokelat, kartu Valentine, fiksi romantis dan apa pun yang menghasilkan duit.

Soulmate, menurut saya, adalah konsep yang konyol, kalau tidak kejam. Manusia dikotak-kotakkan dan dicemplungkan dalam wadah kedap udara. Kamu baru lengkap kalau sudah menemukan soulmate-mu. Bagaimana jika belum? Selamat, kamu akan menghabiskan sisa hidupmu mencari soulmate. Puteri bersepatu kaca atau pangeran berkuda putih yang, akui sajalah, makin sulit ditemukan di rimba beton yang sarat macet ini.

(Excuse me, I need to breathe!)

Lantas, katakanlah, kamu berhasil menemukan seseorang yang paling mendekati definisi dan deksripsimu tentang soulmate, plus tidak keberatan disebut soulmate. Selamat, Anda layak dapat bintang. (Itu iklan apa ya, by the way?) Namun jangan lupa, pasangan yang paling romantis pun bisa berpisah, bisa cerai, bisa selingk—ahem, putus. Lalu, apa yang bakal terjadi kalau kamu kehilangan soulmate-mu? Akankah kamu kehilangan keutuhanmu?

Semua pemikiran di atas, akhirnya membuat saya berpendapat kalau konsep soulmate adalah sesuatu yang tidak masuk akal.

Sampai saya bertemu dia.

Dia, barangkali, satu-satunya lelaki yang saya izinkan melihat air mata saya tanpa limit. Dia orang pertama yang saya hubungi dengan lutut bengkak berdarah usai kecelakaan yang nyaris menyebabkan saya jadi sandwich gepeng. Dan saya melihatnya duduk di lantai kamar saya, menangis terisak-isak, tersedu di ujung telepon, di pundak saya, dan banyak lagi. Akses tidak terbatas untuk mengetuk kamar saya di tengah malam? Siapa lagi kalau bukan dia pemiliknya.

Jika sampai sekarang ada orang yang membuat saya percaya bahwa tidak semua laki-laki di dunia begundal, dialah orangnya. Dia manusia paling murah hati, dan barangkali paling tolol, yang pernah saya kenal. Yang tidak pernah menunda berderma atau berlama-lama menawarkan bantuan, lalu melupakannya begitu saja.

(EMANGNYA DUIT BISA METIK DARI POHON, NYET?! – maaf, suka kebawa emosi.)

“Lo kenapa nggak bilang-bilang kalo nggak punya duit buat bayar sewa?” omelnya suatu saat. Jawabannya sederhana saja, karena saya tahu dia akan segera membobok tabungannya untuk menolong saya, dan saya tidak ingin itu terjadi. Dia perlu belajar memilah, dan saya perlu belajar mandiri.

Dia juga tidak segan mengulurkan tangan. Kapan pun, pada siapa pun. Pelukannya selalu tersedia dan telinganya tidak pernah bosan mendengar. Kepada dialah, saya mencari tempat bernaung saat perahu cinta saya kandas tanpa menyisakan apa-apa, dan dia dengan senang hati membukakan rumahnya, plus kedua lengannya, ketika saya memerlukan. Dialah pelampung yang dalam masa-masa paling kritis dan rapuh, menjaga saya tidak tenggelam.

Relasi kami bukan tanpa syarat. Hubungan kami bukannya sepi konflik. Ditambah, kami sama-sama punya lidah setajam silet. Berkali-kali saya jengkel, kesal, sebal, dan lebih dari sekali dua kami terlibat perdebatan sengit. Yang, tidak peduli betapa pun hebatnya, tidak pernah sanggup bertahan lama. Ejekan konyol dan lelucon bodoh selalu berhasil memecahkan tawa dan membuat kami berdamai kembali. Dan cuma dia satu-satunya orang yang dengan bebas bisa memanggil saya sebutan apa pun yang dia mau.

Saya tidak percaya konsep soulmate, sampai saya bertemu dia. Soulmate boleh jadi konsep paling absurd di jagat raya, namun saya berharap kamu, kamu, dan ya, kamu yang membaca tulisan ini, suatu saat nanti, akan dipertemukan dengan paling tidak seorang soulmate. Dan kalau kamu beruntung, kamu akan menemukannya dalam wujud seorang sabahat.

soulmate

Bitch you later, Alexander @aMrazing Thian.

Pulang

Kartono baru menyelesaikan doanya ketika telepon di ruang tengah berdering. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan dan bangkit, namun dering itu keburu terputus. Sayup-sayup terdengar suara Ahdiyat.

Kartono melipat sarungnya. Keningnya berkerut mendengar suara Ahdiyat yang meninggi, seperti sedang berdebat. Saat ia keluar, Ahdiyat sedang duduk termangu di sofa usang di samping meja telepon.

“Itu tadi Pak RT,” jelas Ahdiyat tanpa diminta. “Kita diperingatkan supaya Minggu besok tidak berkumpul, atau tanggung sendiri akibatnya.”

Kartono memijat keningnya yang tidak sakit. Peringatan ini sudah yang ketiga kalinya. Terlalu banyak dalam satu bulan.

“Bapak sudah tahu?” Kartono menuang air es ke gelas beling, memberikannya pada Ahdiyat.

Ahdiyat meneguk air itu dan ketegangan di wajahnya berangsur reda. “Belum. Nantilah.”

Kartono dan Ahdiyat adalah mantan pengangguran, perantau dari Jawa Timur yang nyaris jadi gelandangan andai Pak Sugeng, pemuka agama yang dihormati di kampung itu, tidak menawari mereka bermalam di rumahnya dan membolehkan mereka tinggal di sana sampai mendapatkan pekerjaan. Bahkan setelah Kartono dan Ahdiyat memperoleh pekerjaan, Sugeng dan Rahmi, istrinya, mencegah mereka pergi dari rumah itu karena sudah kadung menganggap mereka anak sendiri.

Kartono pernah menanyakan soal itu kepada Sugeng. Kenapa mereka dilarang berkumpul dan beribadah di tanah mereka sendiri—lebih buruk lagi, rumah mereka sendiri.

Sugeng menatapnya sambil tersenyum, tapi Kartono belum pernah melihat wajahnya sesuram itu.

“Karena kita dianggap sesat.” Penjelasan itu rasanya tak cukup, tapi Kartono tak berkata apa-apa lagi.

Malam itu, meja makan terasa lebih sunyi dari biasanya. Mereka bersantap dalam diam.

“Jadi Minggu besok tidak ada ibadah, Pak?” Kartono memecah kesunyian.

Sugeng menghentikan suapannya. Semua mata tertuju pada pria setengah baya itu. Kartono baru menyadari betapa wajah lelaki yang sudah dianggapnya ayah sendiri itu kini dihiasi kerutan yang membuatnya tampak jauh lebih tua.

“Kita tetap berkumpul dan beribadah seperti biasa,” jawab Sugeng, “tapi kalau kalian ndak mau ikut, ndak apa.”

“Pak, Bapak tahu kami nggak akan ke mana-mana,” tegas Ahdiyat.

Sugeng tersenyum dan meneruskan suapannya.

Jemaah yang hadir minggu itu tak sebanyak biasanya. Sugeng berdiri dan menyampaikan ceramah dengan suaranya yang jernih dan tenang. Ahdiyat dan Kartono duduk di depan. Di dapur Rahmi sibuk menyiapkan jajanan pasar dan teh yang akan dinikmati bersama usai ibadah.

Semua berjalan seperti biasa. Hingga terdengar derap kaki disertai teriakan dari kejauhan. Riuh yang mendekati rumah kecil tempat mereka berkumpul.

“Cepat! Cepat!”

“Itu rumahnya! Mereka semua di sana!”

Jemaah berpandang-pandangan dengan bingung. Sugeng menghentikan ceramahnya. Ahdiyat yang pertama bangkit. Ia berjalan ke jendela dan menyibak tirai. Wajahnya seketika mengeras.

“Kita diserbu.”

Jemaah serentak bangkit. Mereka berebut melihat melalui jendela. Kerumunan orang semakin dekat. Teriakan semakin jelas terdengar dan dari jendela kusam itu tampak benda-benda yang berada di tangan mereka; parang, bambu, kelewang. Ketenangan musnah sudah.

Sugeng mengangkat tangannya.

“Jangan panik. Kita harus tetap tenang. Kartono, buka pintu belakang. Kita keluar lewat belakang. Jangan ribut.”

Dengan sigap Kartono melakukan perintah itu. Sebagian jemaah langsung mengikutinya, keluar lewat pintu belakang yang menghadap sawah dan melarikan diri secepat yang mereka bisa. Sebagian jemaah masih berkerumun dekat jendela, seperti terbius menyaksikan arak-arakan manusia yang kian dekat, mengacungkan senjata dengan penuh amarah.

“Jangan sampai ada yang lolos! Kepung kafir-kafir itu!”

“Tumpas semuanya! Binasakan!”

“Singkirkan kesesatan! Tolak kemaksiatan!”

“Pak, ayo cepat kita pergi,” Rahmi menarik tangan suaminya. Suaranya bergetar.

“Kamu duluan saja, sama Ahdiyat dan Kartono. Saya pergi kalau semua sudah keluar,” Sugeng menjawab tenang.

“Aku ndak akan ninggalin Bapak,” isak Rahmi, mendekap lengan Sugeng dengan kedua tangan seperti anak kecil memohon pada ayahnya. Sugeng memeluk istrinya. Tidak tersirat takut di wajah itu. Yang tampak hanya kesedihan.

Ahdiyat dan Kartono berhasil mengeluarkan semua orang dari rumah. Mereka merangkul Sugeng dan Rahmi, berjalan secepatnya ke belakang. Terdengar derakan keras disusul suara kaca pecah. Pintu terbentang lebar.

“Mereka kabur!”

“Itu pimpinannya!!”

“Kejar! Tangkap! Bunuh!!”

Kartono tak pernah merasa setegang itu. Lengannya yang merangkul kuat bahu ringkih Sugeng—yang menggandeng Rahmi yang kini tersedu-sedu—bagai mati rasa. Ahdiyat merangkul mereka dari belakang, menggunakan tubuhnya sebagai tameng.

“Itu mereka! Di sawah! CEPAT! KEJAR!”

Puluhan—tidak, ratusan—orang berjubah dan berkopiah putih berlari ke arah mereka. Parang dan bambu teracung ke udara.

“ANJING!” Bertahun-tahun mengenalnya, baru kali itu Kartono mendengar Ahdiyat berserapah.

Untuk pertama kali seumur hidupnya, ia merasakan ketakutan yang begitu hebat. Sekaligus kepasrahan luar biasa.

“Tangkap! Hajar! BASMI!!”

“Binasakan orang kafir!”

“BUNUH!!”

Tarikan kuat di kerah bajunya membuat Kartono terjungkal. Rangkulannya terlepas. Terdengar jeritan Rahmi.

Sesuatu yang keras menghantam kepalanya. Dan punggungnya. Terdengar suara berderak, tulang-tulang yang patah. Kartono tersungkur. Semua menjadi gelap.

* * *

Kartono membuka mata perlahan. Setengah linglung ia berusaha mengumpulkan kesadaran. Ia mengerjapkan mata dan ingatannya berangsur pulih.

Orang-orang berjubah dan berkopiah. Bambu, batu, kelewang, dan parang.

Apakah mereka sudah pergi?

Tidak, belum. Teriakan-teriakan itu masih membahana.

Kartono tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Tubuh-tubuh bergelimang lumpur itu tergeletak tanpa nyawa. Darah menggenang di tanah dan rerumputan. Pemandangan itu mengingatkannya pada hari raya kurban, namun kali ini, yang dipersembahkan adalah manusia.

Kartono tak sanggup berbicara. Tubuhnya seperti beku. Hanya matanya yang terus merekam apa yang sedang terjadi di hadapannya.

Sugeng, Rahmi dan Ahdiyat tak terlihat. Barangkali mereka berhasil selamat. Barangkali Ahdiyat berhasil membawa mereka kabur. Semoga mereka semua aman.

Kartono merasa seseorang mendekatinya. Ia menoleh. Seseorang berjubah putih berdiri di sampingnya. Ia tak mengenakan kopiah. Sorot matanya ramah.

Sosok berjubah putih itu tersenyum, mengulurkan tangan. Kartono menatapnya dan menyambut tangan itu. Tanpa perlu diberitahu, ia tahu ke mana mereka akan menuju. Pulang.

Sosok itu berbalik. Kartono mengikutinya. Sebelum beranjak, ia menyempatkan diri menoleh ke belakang untuk terakhir kali. Ke bawah pohon akasia tempatnya membuka mata.

Di sana, sekelompok orang berjubah dan berkopiah mengerumuni tubuhnya. Menghantamkan batu sebesar nampan ke kepalanya. Darah muncrat. Orang-orang itu berteriak menyerukan nama Tuhan yang juga ia sembah.

—–

Jakarta, 7 Februari 2011. Sebagai tanda belasungkawa atas mereka yang pergi demi nama Tuhan.

Bertanya (tentang) Cinta

Kau tanya padaku apa itu cinta.

Aku termenung
Tak sepatah pun keluar dari bibirku.

Cinta itu apa?”

Pertanyaan yang sama sudah kuulang entah berapa ribu kali kepada diriku sendiri, dan aku masih tak paham.

Adakah ia desir-desir aneh yang merambati hatimu saat kau lihat pujaanmu berdiri tak jauh darimu?

Adakah ia getar-getar geli yang membuat harimu jadi indah ketika mendengarnya menyebut namamu?

Adakah ia bahagia yang mengusikmu dan memunculkan senyum di wajahmu yang biasa kelabu?

Adakah ia air mata yang menyusuri lekuk pipimu saat rindu menyerang, pertengkaran melahirkan gundah dan perpisahan terucap?

Adakah ia semburat panas di dadamu ketika melihatnya bersama orang lain dan bahagia tanpamu?

Adakah ia amarah yang tak bisa kau jelaskan, seribu perasaan yang tak bisa kau gambarkan dan jutaan cahaya dalam matamu saat kalian bertatapan?

Adakah ia hitam, putih, warna-warni?

Kenalkah ia pada dosa, pahamkah ia akan tabu, pedulikah ia akan benar-salah?

Entahlah.

Kau jelas bertanya pada orang yang salah, karena bahkan sufi dan pujangga gagal merangkum maknanya.

Yang kutahu cuma, ia hadir sewajar hembusan udara pagi, lenyap seperti embun di siang hari, mengalir ke mana pun ia suka. Tanpa bisa diperintah. Tanpa bisa dicangkangi. Dan kita terhanyut-hanyut di dalamnya tanpa pernah berhasil merumuskan artinya.

Yang kutahu cuma, cinta tak membiarkanmu memilih jiwa. Namun kau bisa memutuskan untuk memberangusnya atau membiarkannya tumbuh, menjaganya dengan hatimu.

Dan aku tahu ia tak pernah berjanji. Bahagia, gembira, gelisah, getir, sedih, amarah, semua bisa hadir tanpa sanggup kau pilah.

Jadi, apa itu cinta?” desakmu.

Diam adalah jawabanku.
Bukan karena angkuh namun sungguh tak paham
Puluhan tahun usiaku dan aku masih gagap mendefinisikan cinta.

Namun inilah yang bisa kukatakan kepadamu:
Barangkali cinta tak perlu ditanyakan
Alamilah sendiri. Biarkan ia menjemputmu dan kau akan tahu.

Sebuah persembahan untuk sahabat yang tengah jatuh cinta—perempuan beruntung yang saya sayangi. Semoga diberkahi kebahagiaan. 🙂

—–

Gambar dipinjam dari sini.

Surat Buat Presiden

Bapak Presiden yang Terhormat,

Beberapa minggu lalu, seorang pejabat tempat ibadah mengalami luka berat akibat penusukan yang dilakukan sekelompok orang dari sebuah organisasi pembela agama. Sebelumnya, tempat ibadah yang dilarang berdiri itu sudah menjadi saksi unjuk rasa dan adu jotos kepentingan atas nama agama. Jemaat pun terguncang. Bukan saja mereka kehilangan tempat beribadah, mereka harus menyaksikan orang yang mereka hormati berlumuran darah di depan mata mereka sendiri.

Kemarin, ratusan orang dari sebuah organisasi agama menyerbu sebuah festival film. Mereka mengancam akan membakar tempat itu. Kemudian Bapak Menteri mengeluarkan pernyataan yang membuat kami terhenyak. Kegiatan itu menyimpang dari etika masyarakat, katanya. Kami pun termangu. Sejak kapan preferensi seksual seseorang menjadi tolok ukur etika dan moral masyarakat?

Hari ini, terjadi kerusuhan di Jalan Ampera. Mereka bilang, korban tewas sejauh ini sudah tiga orang. Empat luka-luka. Seorang polisi tertembak. Potongan tubuh terserak di jalan. Jalan ditutup. Kemacetan mengular. Masyarakat diperingatkan untuk menjauhi area itu.

Bapak, saya tak mengerti politik dan tak ingin tahu banyak tentang politik. Saya warga negara biasa yang sudah cukup puas dengan kehidupan yang layak dan pekerjaan yang baik. Saya yakin di negara ini banyak yang seperti itu. Politik bukan bidang kami, dan barangkali kami memang tak perlu memahaminya, karena seperti yang sering dibilang orang, politik itu bau tai. Kami lebih suka mencium aroma makanan ketimbang kotoran, maka kami serahkan ranah itu kepada orang-orang yang sudah ahli berkecimpung di dalamnya. Namun, kali ini, izinkan kami bersuara.

Bapak, kami marah bukan karena benci. Kami marah karena cinta. Cinta yang kepalang besar bagi pertiwi yang tanahnya sudah kami injak puluhan tahun, yang udaranya kami hirup setiap hari, yang hasil buminya memberi makan mulut-mulut kami.

Prihatin tak lagi cukup, Bapak. Beragam janji dan instruksi tidak lagi mampu membungkam mulut kami, karena kami sudah kenyang dengan janji. Kami lelah menunggu tanpa daya. Kami letih menonton tanpa bisa berbuat apa-apa.

Nyanyian dari bibirmu sudah kami dengarkan, Bapak. Kini kami menanti sesuatu yang lain. Yang bukan cuma bisa kami simpan dalam bentuk kepingan cakram. Yang bukan cuma bisa kami baca di internet, kami lihat di televisi, kami simak di koran, tanpa pernah menghasilkan apa-apa.

Kami tak minta banyak, Bapak. Kami hanya ingin orang yang kami pilih mampu menyediakan keamanan bagi kami. Kami ingin bisa beribadah dengan damai. Kami ingin bisa melalui jalan-jalan kota dengan tenteram. Kami ingin menikmati film dan pergi ke tempat-tempat hiburan dengan leluasa. Kami ingin bebas dari rasa takut dan teror.

Kami ingin pajak yang kami bayarkan digunakan untuk sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan pembangunan negara, karena sekalipun kami hidup berkecukupan, jutaan penduduk Indonesia belum menikmati kehidupan yang layak. Sudah cukup kami merasa pedih melihat uang hasil jerih payah kami digunakan untuk plesiran anggota dewan yang terhormat, sementara jutaan rakyat miskin makan nasi yang sudah kotor setiap hari.

Kami muak dengan kekerasan. Kami muak dengan aksi semena-mena. Kami muak melihat nama Tuhan digadaikan demi hawa nafsu segelintir orang tertentu. Kami sudah lelah mencaci dan menangis.

Bapak, tolong dengarkan kami. Lakukan sesuatu. Bertindaklah agar kami tahu orang yang kami pilih memang layak mengemban kepercayaan kami.

Kami tak minta banyak, sungguh. Jangan bilang itu terlalu sulit.

—–