Indonesia65

“Lu mah bukan orang Indonesia. Lu orang Cina.”

“Woy, ada amoy! Amoooy!”

“Eh, Cokin. Mau ke mana?”

“Weee, yang matanya sipiiit…”

—–

Darah yang mengalir di tubuh ini barangkali berasal dari negeri di seberang lautan, nun jauh di sana. Namun kedua kaki ini berpijak di tanah Indonesia, dan paru-paru ini menghirup udaranya setiap hari.

Saya orang Indonesia. Sampai kapan pun.

Selamat Hari Jadi, Negeriku.

*Gambar dipinjam dari: http://www.indonesiapusaka.info/wp-content/uploads/2010/03/bendera.jpg

Jika Aku Mati

Jika aku mati
Tak perlu tangisi aku berlama-lama
Karena lihatlah, aku tak pernah jauh
Langit dan udara adalah caraku berbicara
Aku tak lenyap, hanya berganti

Jika aku mati
Tak perlu tangisi aku berlama-lama
Kenang aku dengan senyummu
Dan tiap kali kau mengingatku
Kau akan tahu aku ada

Jika aku pergi
Tak perlu sesali kehilanganmu
Aku tak mau mengisi harimu dengan mendung
Aku ingin bercahaya di hatimu

Tak perlu tangisi aku
Aku tak ke mana-mana
Aku hanya pulang
Karena rumahku itu kamu.

*untuk mengenang mereka yang telah pergi.

—–

Sebuah Maaf untuk Suatu Masa

Kaset-kaset itu saya temukan di pojok kotak plastik besar, tempat saya menyimpan buku dan berkas-berkas yang tidak pernah lagi dibaca. Entah sudah berapa lama mereka ada di sana. Saya mengeluarkan semuanya satu-persatu sambil mengamati tahun-tahun yang tertera di label.

Kaset-kaset itu berisi rekaman khotbah saya dari tahun 2003 hingga 2005. Jumlahnya tidak banyak. Hampir semuanya direkam menggunakan walkman pinjaman dengan kualitas suara yang jauh dari memuaskan. Waktu itu, tidak banyak tempat ibadah yang memiliki alat perekam.

Saya memilih sebuah kaset yang hasil rekamannya cukup jernih dan memasangnya. Khotbah saya di sebuah gereja di bilangan Kelapa Gading lima tahun silam. Semenit pertama, saya tertawa-tawa mendengar suara saya sendiri; betapa lantangnya saya berkhotbah, betapa cepatnya saya bicara, betapa gugupnya saya.

Menit-menit berikutnya, senyum saya lenyap, berganti kegelisahan. Saya nyaris tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Saya sulit mempercayai apa yang terlontar dari mulut saya sendiri. Bukan hanya saya. Seorang anggota keluarga yang turut mendengarkan rekaman itu berkomentar polos, “Itu kayak bukan kamu.”

Tidak. Pasti ada yang salah. Tidak mungkin itu saya.

Saya tidak ingin mempercayai telinga saya sendiri. Kebaktian itu dihadiri lebih dari seratus remaja, namun tidak ada humor di dalamnya. Si pengkhotbah berbicara bagaikan mobil yang gasnya diinjak dalam-dalam. Kalimat-kalimat yang terlontar keras, tajam menusuk.

Saya mematikan player kurang dari limabelas menit. Saya tidak tahan mendengarkan suara saya sendiri. Saya tidak sanggup mendengarkan begitu banyak tuntutan bernada memaksa yang keluar dari mulut saya sendiri.

Saya meninggalkan tumpukan kaset dan duduk di depan televisi tanpa menyimak acara yang sedang disiarkan. Saya tercenung. Lama. Yang muncul berikutnya adalah air mata.

Saya telah meninggalkan mimbar lima tahun yang lalu. Hari ini saya sadar, meninggalkan tidak sama dengan menyelesaikan. Fase itu sudah lama berlalu dan hidup menghantarkan saya ke titik yang sama sekali baru, namun ada banyak hal yang belum selesai—setidaknya dalam batin saya sendiri.

Permohonan maaf adalah salah satu di antaranya.

* * *

Kepada semua orang yang pernah duduk di depan mimbar dan mendengarkan saya berkhotbah,

Maafkan saya atas segala tekanan yang saya berikan melalui pengajaran-pengajaran saya.

Maafkan saya atas penghakiman yang saya lontarkan tanpa mendengar dan menilai dengan bijak.

Maafkan saya atas ‘harus ini dan itu’, ‘lakukan ini dan itu’, ‘tidak boleh begini dan begitu’, dan segala tuntutan lain yang saya paksakan tanpa benar-benar mengenal satu orang pun di antara kalian.

Maafkan saya karena telah bersikap seolah-olah tahu yang terbaik tanpa memberi kesempatan kepada kalian untuk mencari kebenaran kalian sendiri.

Maafkan saya karena telah meminta kalian mengikuti kehendak saya dan melakukan apa yang saya inginkan.

Maafkan saya atas segala ketidakpuasan, kekecewaan terhadap diri sendiri, dan kemarahan yang saya lampiaskan dalam ceramah-ceramah saya. Maaf karena telah menjadikan kalian sasaran dari masalah batin saya sendiri.

Dan untukmu, Jenny,

Maafkan saya karena telah menuntut begitu banyak darimu.

Maafkan saya karena menginginkanmu menjadi yang paling sempurna. Menghendakimu menjadi teladan dan panutan bagi orang lain. Menetapkan standar yang terlampau tinggi hingga kamu kelelahan dan kehabisan daya. Menghakimimu sedemikian rupa hingga kamu tak mampu lagi percaya pada diri sendiri.

I am truly sorry.

* * *

Tulisan ini saya persembahkan kepada diri saya sendiri, sebagai salam pamit sekaligus penutup sebuah fase hidup yang telah berlalu. Juga kepada semua orang yang pernah bersilangan jalan dengan saya di masa itu—mereka yang pernah mendengarkan saya berkhotbah.

Terima kasih banyak. Kalian semua adalah guru saya, meski yang tampak di luar adalah sebaliknya. Kalian telah mengajar saya jauh lebih banyak dari yang kalian ketahui.

Thank you for being a part of this grand journey. Each one of you.

—–

Bunda

Satu setengah tahun berjuang melawan kanker, akhirnya Mama terpaksa menyerah. Namun, sebagaimana sifatnya yang tertutup dan tidak ingin menyusahkan orang, Mama menyimpan penderitaannya rapat-rapat, bahkan sampai detik terakhir.

Hari itu, untuk kesekian kalinya beliau dibawa ke rumah sakit karena komplikasi setelah menjalani kemoterapi. Ia pergi ditemani Ayah, Paman, dan Nenek. Saya tidak merasa perlu ikut mendampinginya. Saya, yang sudah terbiasa dengan kunjungan rutin ke rumah sakit lima hari dalam sebulan, menganggap hari itu sama seperti hari-hari lainnya.

Saya berdiri di depan pintu, melepas kepergian Mama sambil melambaikan tangan. Ia dengan daster panjang kesayangannya. Ia dengan kepala polos tanpa penutup, karena ia membenci wig dan topi yang membuat gerah. Ia dengan wajah mengernyit, tanpa satu pun keluhan terlontar.

Hari itu tanggal 14 Juli. Mama pergi ke rumah sakit tanpa saya di sisinya. Ia tidak pernah kembali lagi.

Saya merelakan kepergian Mama, karena saya lebih memilih kehilangan seorang ibu ketimbang melihatnya menderita dalam kesakitan. Namun, perlahan-lahan kehilangan itu menjelma menjadi lubang hitam. Saya merindukannya, dan kini saya tidak akan pernah lagi bertemu dengannya. Satu-satunya saat di mana kami dapat berjumpa lagi, barangkali nanti, ketika saya menyusulnya ke surga. Meski saya tidak bisa memungkiri perasaan bahwa dalam saat-saat tertentu, ia terasa begitu dekat.

Seolah-olah Mama tidak pernah pergi dari sisi saya. Ia hadir dalam saat-saat terberat di mana saya merasa hidup tidak lagi ada gunanya dan saya ingin mati saja. Ia hadir dalam masa-masa paling mengecewakan di mana yang ingin saya lakukan hanya mengubur diri di bawah selimut dan menghindari dunia.

Seakan-akan Mama ada dan berbisik, “Tidak apa-apa, Nak. Semua akan baik-baik saja,” meski tangannya tak dapat menjangkau wajah saya yang berairmata.

Ia hadir dalam saat-saat penuh kebahagiaan di mana saya berkhayal dapat menghambur ke kamarnya dan menceritakan apa yang saya rasakan dengan penuh sukacita. Ia hadir dalam masa-masa penuh kegembiraan ketika saya berbangga hati atas pencapaian yang saya raih. Seakan-akan Mama ada, tepat di sisi saya, tersenyum lebar, dan berbisik, “That’s my girl.”

Betapa saya rindu mempersembahkan setiap kemenangan dan keberhasilan saya untuknya, dan saya tahu dia tahu.

Setelah bertahun-tahun, akhirnya saya sadar: saya keliru.

Mama tidak pergi ke tempat asing bernama Surga di mana kami terpisah selamanya. Saya tidak perlu menanti sampai mati untuk berjumpa lagi dengannya. Saya tidak perlu menunggu sampai masa kontrak saya dengan dunia berakhir untuk bisa menemuinya.

Mama tidak pergi ke tempat lain. Ia pulang ke hati saya. Sebuah tempat di mana ia akan abadi dan tak terganti. Dan kami akan selalu bersama. Selamanya.

I know you’re listening, Mom. Welcome home.”

* * *

Once in a dream, I saw you telling me
That you’ve traveled in the dark
Just to find that little spot
How you’d settle for a light
In the vastness of the night
Then I saw some tears were coming from your eyes
As you said you’d found your paradise
And I began to ask you: why you have to cry?

And now, it’s so dreamlike I hear you telling me
It’s been such a perfect grace; it’s been such a perfect place
To be in my heart at last, and have angels singing you a song
And it’s time for me to say goodbye to those eyes
To let you go so sleeplike and hear you whisper: why we have to cry?

It’s a journey, you say, an illusion of a journey
Now you can’t see where it ends and where it starts
It’s our life and our love that you wish to have, where you wish to be
In this tiny spark of memory, mortality
What’s left for me to do is to welcome you home
Back to my heart, back to heaven’s light
Back to my heart, and we’re never apart

(Back to Heaven’s Light – Dewi Lestari)

*Tulisan yang sama pernah dimuat di sini sebagai salah satu pemenang ‘Rectoverso Moment’ yang diadakan CosmopolitanFM bekerjasama dengan GoodFaith Production.

Surat untuk Ayah

Ayah tersayang,

Hari ini seorang teman bertanya, “Pernahkah kamu menyesali keputusanmu untuk pergi?”

Saya terdiam, dan ingatan tentangmu kembali berhamburan. Tentang kalian. Tentang kita.

Ayah tersayang,

Meninggalkan kalian adalah hal tersulit yang pernah saya lakukan. Dua tahun nyaris berlalu dan air mata ini belum juga habis. Namun jawaban atas pertanyaan itu adalah tidak; saya tidak menyesal.

Ayah tersayang,

Maafkan saya atas segala luka yang saya timbulkan. Maafkan saya karena tidak sanggup memenuhi janji untuk terus bersama sampai Tuhan memanggil salah satu dari kita. Maafkan saya karena harus menjadi orang pertama yang pergi, dan perpisahan itu bukan disebabkan oleh maut.

Maafkan saya karena tidak mampu memenuhi harapan-harapanmu. Maafkan saya karena telah mengecewakanmu begitu rupa. Maafkan saya atas segala air mata, kesedihan, dan rasa sakit yang timbul karena saya tidak bisa lagi menjadi seseorang yang dibanggakan.

Namun Ayah, saya tidak menyesal.

Dua tahun ini adalah tahun paling menakjubkan dalam hidup saya. Untuk pertama kalinya saya bisa mengambil keputusan tanpa bertanya kepada siapa pun. Untuk pertama kalinya saya bisa melakukan apa yang saya kehendaki tanpa menunggu persetujuan orang lain. Untuk pertama kalinya saya bisa pergi ke mana pun saya suka tanpa khawatir akan pendapat orang. Untuk pertama kalinya saya bisa bergaul dengan siapa saja tanpa memikirkan perbedaan yang harus dijembatani.

Untuk pertama kalinya saya benar-benar tahu apa itu bahagia.

Dan Ayah, saya jatuh cinta.

Jatuh cinta ternyata perasaan yang luar biasa. Perasaan yang membuat seseorang rela mendaki gunung demi terjun bebas dari bibir jurang, remuk-redam babak-belur, lalu berjuang mendaki lagi hanya untuk mengulangi hal yang sama setibanya di atas.

Saya jatuh cinta kepada hidup.

Untuk pertama kalinya pula, saya benar-benar bersyukur. Hati saya bernyanyi dengan sendirinya. Tanpa ia perlu disuruh. Tanpa perlu diingatkan untuk berterimakasih.

Ayah tersayang,

Hidup memang tidak mudah. Dan lebih dari sekali saya bertanya-tanya apa yang akan terjadi seandainya saya tidak pernah memilih untuk pergi. Apa yang terjadi seandainya kita masih terus bersama.

Hidup barangkali akan jauh lebih mudah. Rasa aman tersedia duapuluhempat jam dikali tujuh hari. Kita akan duduk di meja yang sama setiap hari, di ruangan yang sama. Tapi saya akan membenci kalian. Saya akan membenci diri saya sendiri—seperti saya membencinya sedemikian rupa sebelum akhirnya saya memutuskan untuk pergi.

Hidup memang tidak mudah, dan berkali-kali saya membayangkan apa rasanya kembali berada dalam perlindunganmu, naungan kasihmu, belaian tanganmu. Namun kini saya belajar percaya. Sesuatu yang dulu tidak pernah bisa saya lakukan. Saya belajar mempercayai diri sendiri. Saya belajar mengandalkannya. Saya belajar menjadi jujur pada perasaan dan kebutuhan saya. Dan saya belajar mencintainya apa adanya. Ternyata, mencintai diri sendiri itu tidaklah buruk.

Ayah tersayang,

Di sini saya belajar

Bahwa setiap detik dan hirupan nafas adalah keajaiban.

Bahwa hidup bukanlah sesuatu yang bisa didikte berdasarkan buku panduan.

Bahwa cinta bukanlah sekumpulan teori yang menjamin hasil sama bagi mereka yang mengalaminya.

Bahwa perbedaan ada bukan untuk dihilangkan atau dibenci, melainkan dihargai dan diterima apa adanya—karena setiap manusia sama berharganya.

Dan bahwa Tuhan tidak seperti yang kita perbincangkan selama ini.

Saya belajar mengenal-Nya dengan cara yang sama sekali berbeda, namun kini Ia terasa jauh lebih nyata. Sangat dekat … dan ada.

Ayah tersayang,

Surat ini adalah apa yang tidak berani saya katakan selama dua tahun terakhir, karena pertemuan selalu membuat lidah saya kelu dan bibir saya terkunci. Maafkan saya karena hanya bisa menyampaikannya dengan cara ini. Mudah-mudahan Ayah tidak keberatan.

Ayah tersayang,

Saya baik-baik saja di sini. Saya bahagia.

Semoga itu cukup. 🙂

—–

*Gambar dipinjam dari gettyimages.com