Tentang Dia yang Saya Panggil ‘Ayah’

Ayah saya adalah seorang jagoan. Disimpannya rapat-rapat airmatanya dan hanya menangis ia jika sendirian. Bukan karena tak mau membagi rasa, namun karena ia tak ingin saya bersusah hati. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Orang tua harus tahu kapan anaknya susah, tapi anak tidak perlu tahu kalau orang tuanya susah.”

Ayah saya adalah seorang pencinta. Masih lekat dalam ingatan sebuah pigura berbingkai gelap berisi foto almarhumah Ibu yang selalu dipeluknya erat sebelum tidur. Ia sanggup tidur tanpa kasur dan selimut, namun tak pernah sedetik pun dilepasnya foto itu. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Kalau lagi kangen Mama kamu, jadi nggak bisa tidur.”

Ayah saya adalah seorang pahlawan. Tak pernah ragu menolong yang kesusahan dan tak sedetik pun menunda membantu yang lemah. Meski tindakannya ini kerap membuat saya dan adik mengomel, karena kebaikannya sering disalahgunakan oleh orang lain. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Biarin lah, kasihan…”

Ayah saya adalah seorang dokter. Dan ia menyembuhkan bukan dengan obat-obatan. Ia menyembuhkan dengan dering telepon yang rutin di malam hari dan sapaan yang menghangatkan seperti selimut tebal. Mendengar suaranya, saya selalu yakin, semua akan baik-baik saja. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Jangan banyak pikiran, jangan kecape’an kerjanya. Udah makan belum? Udah mandi?”

Ayah saya adalah seorang penyair. Dua kalimat favoritnya adalah ‘I love you’ dan ‘take care’ yang kami pertukarkan nyaris setiap hari. Meski kalimat-kalimat itu tak dibubuhi embel-embel puitis lain, di telinga saya mereka laksana syair pujangga ulung.

Saya sangat beruntung.

Bukan karena memiliki seorang jagoan, pencinta, pahlawan, dokter, sekaligus penyair sebagai ayah, namun karena mengetahui, bahwa di dunia yang bisa gelap, keras dan menyakitkan ini, cintanya selalu ada.

Selamat ulang tahun, Papa. Saya sayang Papa. Sangat.

—–

Pada Duabelas

Mereka bilang, perpisahan adalah sebuah titik
Bagiku, perpisahan adalah sebuah koma
Yang mengajarku menggurat tanda-tanda lain di kanvas ini

Mereka bilang, perpisahan adalah duka
Bagiku, perpisahan adalah lahirnya jiwa
Ketika sayap yang merapuh kembali menemukan daya

Mereka bilang, perpisahan adalah derita
Bagiku, perpisahan adalah menerima dan memaafkan
Dan dari sana aku belajar mengenal cinta

Mereka bilang, perpisahan adalah akhir
Bagiku, perpisahan merupakan awal
Karena perpisahan mempertemukanku denganmu

Hari ini, genap duabelas bulan sudah
Kita masih menari, dan kita masih tak tahu
Kemana hidup akan bergulir, kemana hati mengalir

Namun satu hal hatiku tahu
Apa pun yang dihadiahkan hidup pada kita kelak
Perjumpaan denganmu adalah sesuatu yang akan kusyukuri selamanya.

Mauliate godang, Kakak. Holong rohakku tu ho. It’s been a wonderful year. 🙂

~ Banten, 18 Juli 2008 – 18 Juli 2009 ~

*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Terbang Tinggi

Aku punya segudang impian untuk kau jalani
Doa yang kupanjatkan dalam sunyi tanpa pernah kau dengar
Saat membelai dan merengkuhmu
Yang lelap sambil memeluk boneka kesayangan

Waktu berlari tanpa kita sadari
Tangan mungil yang menggenggam jariku erat
Telah berubah menjadi lengan kuat
Yang memelukku untuk menyampaikan perpisahan

Kau yang dulu terlalu takut kutinggal sendirian
Kini mengepak sendiri pakaian dalam tas besar
Kau yang dulu menangis melihatku pergi
Kini mengusap airmataku sambil berjanji pasti kembali

Terbanglah tinggi, Nak
Gapai semua mimpimu
Aku di sini, menunggu
Kapan pun kau ingin pulang

Saat engkau kembali kelak
Akan tersedia cokelat panas kesukaanmu
Dan telinga yang takkan lelah mendengar
Segala suka dan keluh yang menempati hatimu

Tuangkan seluruhnya, biar kutampung pedih dan tangismu
Ceritakan semuanya, agar aku dapat tertawa bersamamu
Karena engkau, Nak,
Segalanya bagiku

Terbanglah tinggi
Raih semua cita
Jangan bimbang dan gentar
Karena aku di sini, mengiringimu dengan doa

Aku punya berjuta mimpi untuk kau jalani
Asa yang kubisikkan ke telingamu
Sambil memandangimu lelap dalam buaian
Dalam malam-malam senyap saat yang ada cuma kita berdua

Impianku tersimpan rapi
Anganku tak jua padam
Dan harap itu masih terpelihara bagimu
Namun kini, aku terlalu mencintaimu untuk tak melepasmu

—–

*Dipersembahkan untuk seorang wanita yang rela melepas semua impiannya agar saya bisa menjalani impian saya. Hari ini, genap lima tahun sudah perpisahan itu. Saya sayang Mama.

**Terinspirasi oleh ‘Fly Away’ (Corrinne May), dan pernyataan dari seseorang: “Anak adalah pusaka yang harus dijaga karena merekalah yang akan meneruskan membawa tongkat estafet kita.” Saya sangat beruntung memiliki seorang Ibu yang tidak mengharuskan saya membawa tongkat estafetnya. 🙂

***Gambar, seperti biasa, dipinjam dari gettyimages.com

Malaikat Kecil

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Saya pernah memandangnya dengan iba. Ayah-ibu saya sudah lama bercerai, dan saya bisa memahami rasanya tinggal bersama orangtua yang tak lagi lengkap. Ternyata saya salah. Orang bilang, perpisahan selalu berujung luka. Tidak bagi dia. Untuknya, perpisahan adalah sebuah awal baru. Dari keluarga besar yang dulu tidak dimilikinya. Dari kebahagiaan yang semakin bertambah seiring bergulirnya waktu. Dari seorang ayah dan seorang ibu, kini dia punya dua ayah dan dua ibu, seorang adik laki-laki, dua calon adik bayi yang belum ketahuan jenis kelaminnya, dan seekor kucing bernama Tjondro.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Senyumnya menerbitkan hangat di hati, layaknya mentari yang tak pernah jemu membagi sinar. Jika anak-anak seusianya sering malu bertemu orang baru, dia takkan segan mempertontonkan segala jenis keahlian, mulai dari bergoyang dombret, bernyanyi lagu Batak keras-keras, menggebuk drum di udara, sampai berjoget-joget lincah. Rambut kriwilnya tak pernah diam, sama seperti tubuhnya yang selalu bergerak kesana-kemari.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Rabu malam pukul sepuluh adalah saat yang selalu saya nantikan, karena malaikat kecil itu akan berjingkrak-jingkrak di depan pintu begitu mendengar suara mobil mendekati rumah. Dia akan menunggu dengan manis, lalu menyambut kami layaknya pahlawan pulang dari medan perang. Hangat, gembira, penuh kebahagiaan. Setelah itu, ia akan mengucapkan kalimat pendek yang selalu diulangnya: “Mbak Jenjus, peluk.” Dan saya akan mendekapnya erat sambil membaui rambutnya yang wangi.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Dia bercahaya, dan dia benderang. Kehangatan itu tak pernah habis untuk dibagi. Dia akan segera tumbuh dewasa, dan sinarnya akan berpijar semakin terang. Dia tak perlu mentari, karena dialah sang empunya surya. Sayap-sayapnya akan menjadi kuat dan mengepak. Dia akan membubung tinggi dan ketika saat itu tiba, saya berharap saya bisa mengantarnya sambil tersenyum lebar.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Lihatlah dia di sana. Tertawa riang sekali.

Di bangku-bangku itu, empat orang tak lepas menatapinya dengan senyum bangga. Bukan cuma dua.

🙂

*Picture taken from Keenan’s Fan Page.

A Ship That Never Sinks

Hari ini, saya masuk ke teras rumah mayanya, dan tersenyum membaca guratan terbarunya. Perlahan, airmata saya mengembang. Dan saya tertegun sendiri. Sejak kapan kebahagiaannya menjadi kebahagiaan saya, dan kesedihannya kesedihan saya? Sejak kapan tawanya menjelma menjadi tawa saya, dan lukanya luka saya?

Saya tak pernah tahu. Kami tak pernah sadar. Namun cinta telah memungkinkan segalanya. Dalam persahabatan yang terus tumbuh, jarak hati itu tak lagi ada, meski kami terpisah ruang dan waktu.

Tahun ini adalah tahun kesepuluh kami, dua sosok yang amat berbeda; yang seringkali membuat kami tertawa sendiri karena rentang yang terlampau mencolok justru mampu mengawetkan persahabatan selama satu dekade. Persahabatan yang tak terduga, setelah sekian banyak pertengkaran dan adu mulut yang seolah tiada habisnya. Persahabatan yang dulu kerap dipandang sebelah mata, karena kami tak ubahnya hitam dan putih digandengkan jadi satu.

Perbedaan itu nyata dalam segala hal: usia, warna kulit, selera, karakter, pembawaan. Satu-satunya kesamaan di antara kami barangkali hanya apresiasi terhadap keberadaan satu sama lain; sebuah ikrar tak tersurat yang tersimpan di hati masing-masing untuk saling menyayangi dan menerima apa adanya, meski kejujuran kadang bisa jadi hal paling menyakitkan di dunia.

Dia orang pertama yang hadir ketika Ibu saya meninggal bertahun-tahun silam. Dia menemani saya hampir setiap hari, menyisihkan waktu sepulang kantor dan menunda jam istirahat agar saya punya tempat menuangkan segala sedih dan lelah.

Dia satu-satunya orang yang berkata, “Apapun keputusan yang lo buat, gue bakal tetap jadi sahabat lo,” ketika kawan-kawan saya yang lain ‘gugur’ satu persatu karena tak bisa menerima pilihan saya yang berseberangan dengan keyakinan mereka.

Dia satu dari sedikit sahabat yang saya percayai untuk mendengar segala rahasia yang tak berani saya bagi kepada dunia. Bukan karena petuah sakti maupun wejangan berharganya, namun semata karena ia pendengar yang baik. Dan saya tahu, kepercayaan saya terjaga aman dalam tangannya, begitu pula sebaliknya.

Dia orang pertama yang menerima SMS saya dalam begitu banyak hal, mulai dari tebakan tak penting, lelucon garing, celoteh absurd, diskusi serius, sampai curhat patah hati. Meski saya tak selalu menjawab telepon-teleponnya, nomornya selalu berada di urutan teratas daftar prioritas –berjajar dengan keluarga saya— untuk dihubungi kembali segera setelah saya punya waktu.

Dan dia satu dari sangat sedikit orang yang betul-betul tahu luar dan dalamnya seorang Jenny Jusuf. Bukan karena persahabatan yang terjalin selama satu dekade, melainkan karena keterbukaan untuk saling menerima apa adanya telah memberi ruang yang cukup bagi terciptanya kebebasan dan rasa nyaman.

Kami tak perlu tahu segalanya tentang satu sama lain. Ranah privat itu tak perlu dipangkas. Saling menyayangi tidak lantas menjadi alasan untuk menghakimi dan menjajah area paling pribadi yang sama-sama kami miliki. Pada akhirnya, rasa sayang itu tak lagi mengenal kata ‘karena’, karena tak ada syarat di sana. Dari sanalah persahabatan ini tumbuh. Dari dermaga itulah perahu mungil ini meluncur.

Kini, saat angka itu genap sepuluh, begitu banyak hal telah kami lalui bersama. Hidup membawa kami menempuh jalur masing-masing, dan sebelas digit nomor telepon adalah satu-satunya penghubung kami sekarang. Kendati terbatas, jalur itu tak pernah tertutup. Kendati terpisah, senyum dan cerita itu tak pernah habis untuk dibagi. Dengan cinta, Jakarta-Batam tak terlampau jauh untuk diseberangi.

Persahabatan adalah perahu yang tak pernah tenggelam. Saya tak tahu apakah itu benar. Tapi satu hal yang saya tahu pasti, dari berjuta perahu bernama persahabatan yang ada di dunia, milik kami masih tetap mengapung hingga hari ini. Dan saya mensyukuri setiap detiknya.

Congratulations, Ine. To you. To us. I am so proud.


*Gambar dipinjam dari gettyimages.com