Maaf

Tak pernah kuduga saat ini akan tiba
Tak pernah kubayangkan hari ini akhirnya datang
Saat aku berdiri tegak di sini
Memandangmu dengan syukur, tanpa sesal dan perih

Maaf itu akhirnya hadir tanpa kuusahakan
Maaf itu akhirnya ada tanpa kuupayakan

Dan barangkali, inilah maaf yang sejati
Kala aku tak perlu lagi bergumul untuk memaafkanmu
Barangkali, inilah pendamaian yang sesungguhnya
Kala aku tak perlu lagi mencoba melupakanmu

Terima kasih untuk semua.
Pelajaran hidup yang kupetik dari aku, kamu, kita.

Terima kasih telah ada, dan pernah ada.

Aku
Telah memaafkanmu.

—–

Gambar, seperti biasa, dari sxc.hu

Catatan Kecil Buat Tuhan

Terima kasih untuk selalu menjadi tempat berpulang saat saya mendamba kehangatan rumah.

Terima kasih untuk senantiasa menjadi sauh saat kapal kecil ini kehilangan haluan.

Terima kasih untuk cinta tanpa syarat yang tidak pernah menuntut balasan.

Terima kasih karena selalu ada. Di dalam sini.

Dan yang terpenting, terima kasih untuk selalu mengingatkan, lagi dan lagi, mengapa saya jatuh cinta kepadaMu.

Ya. Sampai detik ini, saya masih jatuh cinta. 🙂

You feel that you are lonely
It doesn’t prove that you are alone
You feel that nobody wants you
It doesn’t mean that no one cares about you

Listen to the word I say
That I will always be by your side
You mean everything to Me
And I will never leave you
‘Cause I love you so

You think that you are nothing
But for Me you are something beautiful
You think that you can’t do anything
But you can do a lot of things with Me

Listen to the word I say
That I will always be by your side
You mean everything to Me
And I will never leave you
‘Cause I love you so

No more fear about the future
And blame for the past
I’ll give everything
W
hen I say that I love you

When I say that I love you
I really do.

(When I Say That I Love You – Franky Sihombing)

*Inspired by this song, and this.

**Thanks to Franky Sihombing, jenius pencipta lagu-lagu di atas. Lo emang juaranya, Bang! 🙂

***Gambar masih dari www.sxc.hu.

Congrats, Marcell & Rima! :-)

Hidup memang ajaib. Tidak pernah bisa ditebak. Dan betapa pun ia penuh dengan kejutan –yang terkadang persis rollercoaster dan bikin sport jantung— hidup tak pernah alpa menyisakan ruang untuk kebahagiaan. Sesederhana apa pun.

Hari ini, ruangan itu terbuka lebar. Seluas-luasnya.

Hari ini, tidak ada yang lebih tepat untuk terungkap, selain doa dan ucapan selamat.

Hari ini, saya hanya ingin berbahagia. Untuk mereka. Untuk kehidupan yang baru. Untuk Cinta.

Seorang pujangga pernah berkata, “Cinta adalah pengalaman, bukan penjelasan. Perjalanan, dan bukan tujuan. Pertanyaan, yang sungguh tidak berjodoh dengan segala jawaban.”

Barangkali ia benar, karena dari sekian banyak pujangga yang pernah hidup dan masih ada, tidak satu pun yang sungguh-sungguh berhasil memberi definisi pada makhluk abstrak bernama Cinta. Barangkali karena ia memang tak terdefinisikan. Barangkali karena ia memang tercipta hanya untuk dialami. Misteri yang tak dirancang untuk dipecahkan oleh logika, namun selalu dapat dimengerti oleh hati.

Hari ini, ketika memandang wajah-wajah tersenyum kalian, saya tahu, saya tidak memerlukan jawaban. Karena sungguh pun Cinta abstrak, ia nyata, ada, dan bersinar.

Congratulations, Marcell & Rima. Selamat merayakan Cinta. Selamat merayakan Hidup. Selamat berbahagia.

🙂

Lepas

Ratusan malam kulewatkan sudah. Menyirami asa, mempertahankan harap. Demi kesempatan untuk kembali. Demi segala yang pernah kita bangun, karena seperti yang kutahu, kita sama-sama tahu, hati selalu merindu untuk bisa bersama lagi.

Cinta. Cuma itu alasan yang membuat asa dan harap betah bertahan, kendati jiwa sudah mau mati. Dalam sekarat pula aku bertanya, layakkah kita terdera? Layakkah aku merana sampai sesak? Dan tanpa mampu kuhindari, pertanyaan final itu tiba. Bagaimana jika.

Ratusan malam kulewatkan dalam sendiri. Mencoba menggali jawaban dan mengerti dengan sia-sia. Kini, aku tahu sudah. Perjalanan ini memang harus berakhir di sini.

Maaf atas semua yang tak pernah kuungkapkan, yang selalu ingin kuucapkan, yang tak tertampung ruang dan waktu. Maaf karena bukan saja tak bisa lagi bersamamu, aku juga akhirnya melepasmu.

Mereka bilang, hanya masalah waktu sampai kita kembali dipertemukan. Namun kita tak akan pernah tahu. Aku berhenti berharap, bukan karena tak lagi menginginkanmu. Kulepas dirimu, karena inilah waktunya. Kulepas dirimu, agar aku bisa tetap hidup. Agar mereka yang kusayang tak perlu ikut terdera.

Hari ini, kularung segala asa untuk bersamamu. Harapan yang tersimpan untuk memilikimu. Cinta yang memang tak pernah sama lagi. Kuhanyutkan mereka, kendati hati tak ingin kenangan akanmu terhapus.

Kenangan memang bukan jatahnya hati. Ia tersimpan dalam benak, dan akan selalu ada di sana. Begitu pula dirimu. Kau permata yang akan selalu tersimpan. Cahaya yang takkan pernah redup tuk kusyukuri. Namun hatiku telah kubiarkan bebas, dan aku tak ingin menjeratnya kembali.

Kendati sesak jiwa mencoba mempertahankanmu, kini aku mampu melepasmu. Menerima semua tanpa perlu mengerti.

Terima kasih untuk semua yang pernah ada. Terima kasih telah menjadi sahabat, guru, dan pembimbing terbaik yang pernah hadir. Terima kasih untuk cinta yang telah menghangatkan dan membuatku bergelora.

Kini, ijinkanku pergi tanpa harapan untuk kembali.

—–

Pelita Hati

Teman-teman tersayang,

Terima kasih untuk semalam, ketika kita duduk mengelilingi meja bundar dengan kursi-kursi kayu keras, mengerjakan segala aktivitas biasa –mengecek HP, menyelesaikan sisa pekerjaan yang terpaksa dibawa pulang, sampai mengecat kuku- sambil berceloteh panjang lebar. Tentang segala hal dalam hidup. Tentang rencana menikah tahun depan. Tentang pacar yang menjengkelkan. Tentang rekan kerja yang menyebalkan. Tentang kejadian-kejadian yang membuat naik darah.

Lalu, setelah puas mengutuk orang-orang yang kita salahkan membuat hidup jadi lebih sulit, kita berkhayal, alangkah asyiknya kalau tahun depan bisa berlibur bersama ke sebuah tempat indah nan eksotis. Pokoknya harus yang ada pantainya. Kemudian kita mulai menghitung-hitung, membuat perencanaan, dan membahas segala sesuatu.

Kita sepakat, tidak akan pergi naik pesawat. Mahal, Jendral. Kita akan menyewa kendaraan. Lalu, kita akan melakukan segala macam trik untuk menyiasati bawaaan yang segudang. Kenapa segudang? Karena kita akan membawa bahan makanan dan memasak sendiri selama liburan, supaya hemat. Dan kita tertawa-tawa membayangkan orang yang dipercaya membawa segala makanan itu kabur meninggalkan kita, menghilang, atau nyasar entah dimana, dan kita termangu kelaparan.

Ketika nominal disebutkan, kita beramai-ramai sepakat bahwa kita akan rajin menabung, mulai dari sekarang. Angka itu sama sekali tidak kecil, meski kita memilih liburan ala backpacker miskin. Jadi, tidak ada alternatif lain kecuali menabung dan mengencangkan ikat pinggang. Mulai detik ini. Demi sebuah liburan yang menyenangkan, tahun depan.

Kita menyimpan harapan itu dalam hati, rapi-rapi, serta berjanji pada diri sendiri untuk tak alpa menyisihkan uang setiap bulan. Kemudian kita kembali pada aktivitas masing-masing. Mengecek HP. Menyelesaikan sisa pekerjaan yang terpaksa dibawa pulang. Mengecat kuku. Sambil mengobrol panjang lebar tentang segala macam hal dalam hidup.

Saya tahu, seperti kalian pun (mungkin) tahu. Liburan itu tidak akan terwujud. Meski kita lebih suka membungkam mulut rapat-rapat dan tidak membicarakannya. Hidup memang tidak pernah menutup peluang terhadap berbagai mujizat dan keajaiban, namun, jika menilik realitas, kita semua sadar, kita takkan menjejakkan kaki ke pantai impian itu. Setidaknya, tidak tahun depan.

Saya memilih realistis dengan merangkul kenyataan bahwa serajin apa pun saya menabung dan berhemat dalam setahun, tabungan saya tidak akan cukup untuk membawa saya ke sana. Teman kita yang satu lagi, juga tidak akan mampu membiayai perjalanannya karena ia bahkan tidak punya tabungan sama sekali. Tidak bisa menabung, tepatnya. Setiap bulan, seluruh gajinya habis untuk hidup sehari-hari, menyekolahkan dua keponakan, dan diberikan kepada orang tuanya yang sudah berusia lanjut dan sakit-sakitan. Lalu, teman kita yang satu lagi, yang wajahnya selalu berhasil membuat tertawa meski batin sedang gundah, tahun depan akan menikah. Kita semua tahu, biaya pernikahan tidak sedikit. Dan adik kita tersayang, Batak Tembak Langsung yang jagoan membuat orang terpingkal-pingkal itu, berniat melanjutkan kuliah, mengambil S2. Itu juga butuh biaya yang tidak sedikit.

Lantas, kenapa kita repot-repot merencanakan sebuah perjalanan yang tidak akan terwujud?

Karena kita masih ingin punya mimpi. Karena impian memberi semangat pada diri yang mulai jenuh menghadapi dunia. Karena impian memberi bahan bakar untuk menyalakan api di hati. Untuk terus melangkah. Untuk terus berjalan. Meski kaki-kaki kita sudah penat dan lelah. Meski tubuh ini sudah menjerit-jerit minta time-out.

Teman-teman tersayang,

Terima kasih banyak untuk semalam, ketika untuk kesekian kalinya kita duduk bersama. Mengelilingi meja bundar dengan kursi-kursi kayu keras, ditemani sebungkus keripik dan air mineral. Mengobrolkan segala macam hal. Menertawakan hidup, karena cuma itu yang kita bisa. Karena terkadang hidup tidak menyisakan pilihan selain tertawa, meski itu tawa getir. Sepat.

Terima kasih untuk senantiasa berbagi. Tawa, tangis, amarah, bahagia, kecewa, takut, dan segala rasa lain yang silih berganti hadir dalam perjalanan panjang ini. Dan, kendati liburan impian kita nanti betul-betul tidak terwujud (kenapa ‘betul-betul’? Ya karena saya masih ingin menyimpan harapan akan datangnya mujizat :-D), saya ingin berterima kasih karena kalian telah menemani saya dalam perjalanan yang sesungguhnya. Perjalanan panjang bernama Kehidupan.

Terima kasih untuk setiap bungkus keripik singkong, snack keju, wafer cokelat, permen jeli, mie instan, bakwan sayur, sirup jeruk, dan teh manis dingin yang kita bagi bersama. Terima kasih untuk kedamaian yang selalu singgah setiap pandangan saya bertemu dengan wajah-wajah kalian, yang seringnya tampak kusut dan jemu, meski kalian –seperti juga saya— selalu berusaha menyamarkannya dengan senyuman. Betapa saya tahu, sesungguhnya saya tak pernah sendiri.

Terima kasih untuk kegembiraan yang timbul kala kita beriringan menyusuri pinggiran jalan yang berdebu, berpayung berdua-dua, menyetop angkot dan urunan seorang dua ribu, lalu berjalan ke mall terdekat di bawah siraman rintik gerimis dan hawa dingin sambil tak henti-hentinya bercanda dan terpingkal-pingkal.

Terima kasih untuk setiap curhat yang meyakinkan bahwa saya memang tidak perlu kesepian. Terima kasih untuk setiap kegilaan yang mengocok perut, yang selalu berhasil menghadirkan kehangatan dan cahaya ketika hidup sedang suram-suramnya. Meski kita tidak pernah tahu sampai kapan kita bisa bersama (sebelum salah satu dari kita akhirnya resign dari kantor dan pindah ke kos-kosan lain, misalnya, atau menikah dan tinggal bersama suami), saya ingin berterima kasih karena kalian selalu ada.

Meski saya tidak akan pernah mengucapkan ini secara langsung (karena kalian pasti akan terbahak-bahak dan meledek saya habis-habisan, huh!), saya ingin kalian tahu, kalian adalah pelita hati. Each one of you. Dan ketika memandang wajah kalian, satu persatu, saya tahu, kita tidak butuh banyak untuk bisa bahagia.

🙂