Buat Kamu

Terima kasih untuk menelepon di saat yang sangat tepat. Ketika saya merasa penat dengan segala kegilaan yang terus bergulir; saat saya sedang ingin meninggalkan semuanya untuk mencicipi kehidupan ‘normal’ – sebentar saja.

Don’t be sad,” katamu, padahal saya tak bercerita apa-apa. Mungkin gelombang otak kita sedang berada dalam frekuensi yang sama, atau kemampuan telepati mendadak muncul karena kita saling merindu.

Kamu, ya, kamu. Saya selalu sayang kamu. Saya tahu kamu tahu. Dan terima kasih karena selalu ada.

(Tidak, yang saya maksudkan bukan kehadiranmu secara fisik. Tapi hatimu.)

I love you, Papa.

Dan, ya, saya janji tidak akan terlalu sering mandi malam dan begadang lagi. 🙂

kepada yang merasa media gosip se-tanah air

Ketika kau gebrak itu pintu mobil

Sambil berteriak-teriak tak karuan seperti menyerbu maling

Dengan kalimat yang membuat pekak telinga dan nyali ciut

Sadarkah kau berapa yang terduduk lemas di balik kaca itu?

Ketika kau ketok itu palu untuk menjatuhkan vonis atas hidup orang

Adakah benakmu berbisik, salahkah ini

Atau memang otakmu tak lagi punya ruang untuk hati?

Ketika kau curi itu orang punya suara

Lalu kau palsukan, dibalur narasi dan aksara

Seperti pil pahit bersalut gula untuk membohongi lidah

Pernahkah kau bertanya apa karmamu kelak?

Ketika kau pakai itu orang punya nama

Dan kau jejalkan di bawahnya kebohongan demi kebohongan

Sempatkah kau berpikir, bagaimana kalau namamu yang ada di sana?

Ketika kau hujani itu orang punya hidup

Dengan lampu sorot besar-besar untuk kau kulik

Dan kau jadikan komoditi tanpa peduli bahwa orang juga berhak punya privasi

Tahukah kau resah dan gelisah yang hadir merampok batin?

Ketika kau angkat itu lensa hitam tinggi-tinggi

Dan kau dekatkan tigapuluh senti dari wajah seperti polisi memburu tersangka

Adakah kau mengerti semburat teror yang berlintasan di sana?

Jadi, kawan-kawan tersayang, teruslah mendulang apa yang kalian sebut rezeki dengan mendagangkan sejumput hidup orang. Tak usah khawatir akan karma, fakta dan etika, karena di sini kita cuma berdagang, dan dunia yang kita tinggali memang tak menyisakan tempat untuk nurani. Teruslah bekerja, dan sebut itu karya. Sebut yang kau kabar-kabari itu informasi faktual, akurat, terpercaya, setajam silet. Teruslah merampok hak dan kebebasan orang lain untuk punya ranah privat, toh kita cuma sama-sama cari makan. Toh, mereka yang terus kalian kutak-katik itu hanya segelintir orang yang sial karena ketempelan cap publik figur.

Saya di sini, menonton. Anda dan lakon-lakon yang silih berganti menjelmakan dagelan di panggung berjudul industri hiburan ini. Karena cuma itu yang saya bisa.

Kendati ini bakal sia-sia, saya tetap belum bosan berharap dan menunggu

Saat ketika manusia bisa jadi manusia.

🙂

Rahasia

Siang tadi, Nak, aku tersenyum. Mengintip wajah lelapmu di balik selimut. Menyimak bibir mungilmu yang membentuk sebuah lengkungan lembut. Menebak-nebak, mimpi apa yang membuatmu tampak begitu damai.

Lalu, aku teringat sesuatu. Tepatnya, seseorang. Tidak, banyak orang.

Ingatanku melayang pada mereka, yang menganggapmu makhluk malang karena harus membagi cinta pada ayah dan ibu yang telah berseberangan jalan selagi kau masih terlalu muda untuk mengerti makna perpisahan. Mereka yang menyangka kau telah kehilangan begitu banyak kesenangan saat kanak-kanak seusiamu sedang rakus-rakusnya mereguk kegembiraan. Mereka yang mengira hidupmu tak lagi lengkap karena kau tidak seperti anak-anak mereka yang orangtuanya tinggal di bawah atap yang sama dan tidur dalam kamar yang sama, meski kita tak tahu apa yang terjadi di balik ruangan berdinding empat itu. Mereka yang menatapmu dengan sorot iba dan menggeleng prihatin akan masa depanmu yang (katanya) menggantung suram seperti langit mendung pukul enam.

Mereka yang mengira… ah, sulit aku mengatakannya, Nak… mereka yang mengira engkau terluka, sengsara, pahit, dan tidak bahagia.

Beramai-ramai mereka berdoa untuk kebahagiaanmu. Mungkin karena mereka sungguh peduli. Mungkin juga karena ego mereka terusik tatkala melihatmu duduk dengan senyum terentang. Dan mereka tak putus-putusnya berceloteh tentang cinta, Tuhan, perpisahan, dan kebenaran. Yang belum mereka ocehkan mungkin cuma akhirat, karena mereka belum pernah mati, meski kalau kutilik dari cara mereka berbicara, separuh dari mereka barangkali sudah hidup di neraka.

Mari kubisikkan sesuatu padamu, Nak.

Kebahagiaan bukan substansi tanpa wujud yang melayang-layang di udara -menunggu diraih- sementara jutaan orang beriak-riak di bawahnya seperti cacing kena garam, menggapai putus asa sekadar untuk mencicipinya barang sekelumit. Kebahagiaan, Nak, adalah apa yang kutemukan di wajahmu ketika kau berlarian tak tentu arah sambil menari-nari dan berlompatan. Kebahagiaan adalah binar yang kutangkap di matamu saat kau berceloteh panjang lebar dalam bahasa yang hanya kau mengerti sendiri. Dan kebahagiaan itu, Nak, didamba begitu banyak orang, bahkan oleh mereka yang menyangka dirinya tahu arti bahagia.

Kebahagiaan, Nak, adalah sesuatu yang membuat banyak orang rela kehilangan jam-jam tidur berharga, memperlakukan tubuh bak mesin yang dinamonya bisa diputar hingga melampaui limit dan mati-matian memeras segumpal sel di balik jidat demi menghasilkan lebih banyak daya untuk bekerja lebih keras, lebih giat, lebih rajin, yang dikiranya akan mendatangkan lebih banyak uang, lebih banyak stempel sukses, dan lebih banyak kesenangan. Lalu mereka duduk, menghela napas panjang, kecapaian, dan menyangka telah mencapai. Tersenyum hanya untuk sesaat, karena tak ada cukup ruang untuk jeda di sini. Terlalu banyak yang harus diraih. Terlalu banyak yang harus dikejar. Dan mereka mengira, semakin banyak mendapat, semakin mereka bahagia.

Mari kubisikkan sesuatu padamu, Nak. Kebahagiaan adalah pemandangan indah yang kulihat kemarin sore, saat kita berbaring malas di sofa -engkau di sampingku sambil memamah keripik- menonton kartun di televisi dan membiarkan angin menidurkan kita perlahan. Senyap dan lama.

Kebenaran, Nak, adalah sesuatu yang dibela habis-habisan oleh begitu banyak orang; tak peduli ia otentik atau bekas pakai, absolut atau usang belaka. Mereka mengusungnya dengan jumawa, membawanya bertempur dengan semangat patriotik, menyerang ranah pribadi orang lain demi menjejalkan sepotong kebenaran versi sendiri yang sudah berjamur, lalu menyebut diri pemberani – tanpa sadar bahwa kebenaran hakiki tak pernah membutuhkan pembela. Barangkali, dalam hati mereka menganggap diri titisan orang suci atau martir, meski era Muhammad dan Yesus sudah lama berlalu.

Sini kuberitahu, Nak. Kebenaran versiku –dan mungkin versimu juga, kelak— tidak perlu pembela. Karena apa yang benar bagiku belum tentu benar bagi yang lain. Dan yang otentik bagimu nanti, juga belum tentu sejalan dengan yang lain.

Mau tahu satu rahasia lagi?

Ini antara kita saja. Jangan bilang-bilang.

Surga bagiku, Nak, bukan kubah mahabesar dengan jalan-jalan emas yang akan kita masuki sesudah mangkat. Bukan juga taman penuh bunga tempat bermain kerub yang akan kita jumpai setelah perjalanan ini tiba di ujung waktunya. Surga adalah bercanda denganmu dan mendengarmu tertawa keras-keras. Surga adalah memandangimu menyuap roti cokelat ke mulut, mengunyahnya lahap-lahap, lalu berkata minta tambah. Surga adalah ketika kau memanjat ke pangkuanku dan bersandar di sana, sementara aku menciumi rambut ikal halusmu yang lembap dan bau wangi. Surga adalah melihatmu tertidur dan menyelimutimu rapat-rapat agar hangat hingga pagi menjelang.

Surga adalah matahari kecil yang bersinar benderang di wajahmu ketika kau menggandengku untuk minta dipakaikan celana pendek. Surga adalah jari-jarimu yang menggenggam tanganku saat kita menyusuri jalan setapak di samping rumah. Surga adalah larimu yang secepat angin ketika bermain di kolam pasir yang banyak semut. Surga adalah teriakan ributmu yang memanggilku untuk melihat cacing di selokan. Surga adalah kepalamu yang menyuruk perlahan di antara lenganku ketika kau berbaring sambil minta didekap.

Surga adalah senyummu, gelakmu, cahaya di matamu. Aku bahkan tak perlu mati untuk pergi ke sana.

*Sebuah persembahan untuk malaikat cilik yang matanya selalu tertawa, juga untuk kedua orang tuanya, yang dengan sepenuh hati ingin saya acungi dua jempol. Tabik! 🙂

Dariku dan Yang Tak Bernama

Hari ini, kutitipkan sebaris doa

PadaNya yang tak bernama

Tuk senantiasa menabur bunga di sepanjang jalanmu

Entah ia lurus, berlubang, penuh tanjakan, atau bak labirin.

Hari ini, kusematkan selarik asa

PadaNya yang tak bernama

Agar bahagia mengiringi tiap langkahmu

Dan dijaganya kau dalam susah dan sedih.

Hari ini, kusulamkan seuntai pesan

UntukNya yang tak bernama:

Ingat-ingatlah ia selalu

Dan jangan Kau luputkan tanganMu barang sedetik.

Malam ini, di bawah langit yang berpendar

Kulekatkan namamu di antara ribuan jentik cahaya

Dan bertelut padaNya yang tak bernama

Kubisikkan tiga baris sederhana:

Simpankan cinta ini untuknya.

Kiranya bahagia ini akan abadi

Meski hidup cuma ilusi.

Hei, kalian yang di sana.

Mudah-mudahan menjadi hadiah yang manis di hati.

Selamat berbahagia, yaaa. 🙂

*Gambar (pastinya) dari gettyimages.com

Malam ini, kembali mengenangnya.

Mama, apa kabar?
Baik-baikkah di sana?
Aku kangen sekali.
It’s been a long time.

Kadang
Ingin sekali menemuimu
Menaruh kepalaku di bahumu
Meski sekejap saja

Melihatmu tersenyum
Bukan hanya di mimpi
Mendengarmu tertawa
Yang bukan cuma di ingatan

Menjajari langkah-langkah gesitmu
Yang selalu terburu
Dan berseru,
Jangan cepat-cepat, kakiku tak cukup panjang.

Menjengukmu di dapur
Dengan daster dan rambut diikat
Mencoba membantu
Dan dimarahi karena membuat kotor

Mengadu di saat susah dan sebal
Selalu senang
Mendengar diriku dibela
Meski tak jarang aku yang salah

Mendengar namaku
Dalam doa yang kau bisikkan
Pagi, siang, petang
Tanpa jemu, tanpa lelah

Membaca ucapan ulang tahun
Berisi kata sayang dan wejangan
Agar selalu aku jadi anak yang baik
Dan semua hadiah lain tak lagi penting

Menemanimu di kamar, ruang tamu, meja makan
Bahkan ketika kau terlalu sakit
Untuk bisa menyambutku.
Sekadar bersamamu sudah cukup.

Menatapimu yang tertidur lelap
Bersyukur karena kau tak lagi didera
Memandangmu yang pulas dalam damai abadi
Berbahagia untukmu, meski aku ingin engkau selamanya ada.

Mama, apa kabar?
Indahkah di atas sana?
Aku kangen sekali.
🙂

Malam ini, empat tahun sudah saya mengenangnya. Dia tak akan terganti.
I love you, Mom.

*Ditulis sambil mendengarkan lagu ini.