Tentang Bahagia dan Jatuh Hati

Saya selalu merasa bahagia waktu…

…dapat kabar dari redaksi bahwa tulisan saya akan dipublikasikan.

…naik gaji *HALAH!* ;-D

…berkumpul dengan sahabat-sahabat; dari cekikikan gila sambil membahas hal-hal yang nggak penting jaya, sampai diskusi serius ditemani secangkir kopi.

…berkenalan dengan teman-teman baru yang seru.

…badan lagi capek, suntuk plus rada meriang, tiba-tiba si Papah menelepon untuk bilang, “Udah makan belum? Istirahat gih, jangan terlalu capek.” 🙂

…bertemu anak-anak kecil yang lucu dan menggemaskan (DAN tidak cengeng. Itu penting Jendral!).

…sedang jatuh hati.

Sekarang saya sedang bahagia karena 2 hal terakhir. 😉

Sumpah, saya langsung jatuh hati waktu bertemu dia, padahal saya ditinggal tidur dengan cueknya, hehehe.

Saya. Senang. Sekali.

Melihatnya menyurukkan kepala ke tubuh ibunya dan tidur pulas di sana.
Melihat sudut-sudut bibirnya terangkat seperti mau menangis, lalu kembali tidur dengan nyenyaknya.
Melihat matanya berkedut dan dahinya berkerut dalam tidur (mimpi apa, Dek?).
Mendengarnya merengek persis sebelum dipindahkan ke boks bayi (belum puas kangen-kangenan sama Ibu ya, Dek?)
Membayangkannya tumbuh selama 9 bulan di rahim hangat sang Ibu, dan akhirnya keluar untuk menyambut dunia di Minggu pagi yang cerah.

Pipi yang masih merah. Hidung yang lucu menggemaskan. Mata yang terpejam rapat. Ujung-ujung rambut yang menyembul halus dari balik topi. Tubuh mungil yang terbungkus selimut lembut.

Mendadak saya merasa bahagia. Sepertinya dia memang dilahirkan untuk membawa kebahagiaan, persis namanya. 🙂

Welcome to the world, Harsya Malik Rachmidiharja. Semoga kamu senantiasa bersinar untuk membuat dunia tersenyum.

Selamat untuk Sitta Karina (Arie) dan Trias Rachmidiharja atas lahirnya putra pertama, 6 April 2008. Semoga selalu berbahagia. 🙂

*By the way, saya jadi jatuh hati juga dengan rumah sakit ini. Bo, asli, seumur-umur baru kali ini ketemu RS yang ambiance-nya nyaman dan ramah (baca: nggak ‘dingin’ dengan bau steril menusuk dan suasana depressing). Sederhana tapi hangat, dengan harga bersahabat. Gimana Djeng May, tertarik? 😉

I Love You!

Untuk cinta yang tanpa syarat, 24/7: I love you.

Untuk sepasang mata yang selalu bersinar lembut saat tatapan kita bertemu: I love you.

Untuk tidak pernah lupa menelepon, “Udah makan belum? Jangan lupa makan teratur, jangan kecapean kerjanya”: I love you.

Untuk obrolan-obrolan santai di dalam mobil, waktu kita berkendara menyusuri jalan tol yang lengang pada Minggu pagi atau Minggu malam: I love you.

Untuk curhat-curhatnya yang membuat saya merasa ‘penting’ dan dipercaya: I love you.

Untuk bercandaan yang garing tapi tetap kocak: I love you.

Untuk mendukung setiap pilihan yang saya jalani dalam hidup: I love you.

Untuk selalu ada bagi saya, kapan pun, dimana pun: I love you.

Untuk petuah-petuah berharga yang tidak menggurui: I love you.

Untuk nasehat-nasehat bijaksana yang tidak pernah membosankan didengar berulang kali: I love you.

Untuk memberi teladan lewat tindakan dan perbuatan, bukan kata-kata belaka: I love you.

Untuk ketekunan dan ketabahan yang membuat saya semakin mengerti makna bersyukur: I love you.

Untuk setiap tetes keringat dan tekad yang selalu saya kagumi: I love you.

Untuk kerelaannya berkorban tanpa pernah mengharap pamrih: I love you.

Untuk senantiasa menekankan bahwa yang terpenting bukanlah apa yang kita miliki, melainkan bagaimana cara kita menjalani hidup: I love you.

Untuk tetap bertahan menghadapi saya dalam masa-masa sukar dimana saya menjelma jadi perempuan paling menyebalkan sedunia: I love you.

Untuk menjadi diri sendiri; sosok yang selalu membuat saya merasa nyaman dan dicintai apa adanya: I love you.

Untuk menempatkan saya sebagai prioritas, dalam hati dan kehidupan: I love you.

Untuk mengajarkan bahwa yang terpenting bukanlah pertalian darah, melainkan cinta yang dipilin dengan ketulusan tanpa pernah mementingkan diri sendiri: I love you.

Untuk setiap helai uban dan kerut di wajah yang bertambah seiring usiamu, yang menandakan betapa lamanya kita telah bersama dan saling menyayangi: I love you.

Thank you for making me the luckiest girl on earth, Dad. I will always, always be so much proud of you.

*Terinspirasi sebuah percakapan di Minggu malam saat menyusuri tol berdua dengan Ayah, dan sebuah entri di blog ini. 😉

Setitik Embun, Semalam.

“Bisa tolong ceritakan keadaan di dalam, Bu?”
“Ya… ada keluarganya, dekat kaki Pak Harto. Ada Mbak Tutut juga, terus saya lihat Pak Moerdiono…”
“Bagaimana Ibu bisa masuk ke dalam?”
“Digilir, Mbak. Sepuluh-sepuluh. Yang pakai baju Muslim duluan, jadi saya masuk sama teman-teman pengajian.”
“Mbak sempat lihat jenazah Pak Harto?”
“Cuma sekilas, Mbak. Ndak tahan saya…”
Mata itu berkaca-kaca dan sembab, seolah merasakan pedih akibat ditinggal sanak keluarga atau sahabat terkasih.

Tangisnya tumpah semalam. Untuk sosok kaku yang terbujur dengan kain putih panjang.

Airmatanya jatuh semalam. Untuk seseorang yang bahkan tak pernah dikenalnya secara pribadi.

Dia berduka atas seseorang yang telah menuai hujat dan amarah penghuni negeri. Dan dalam doanya, dia memohonkan ampun.

Wanita berjilbab hitam itu menghela nafas. Berat.

Di depan layar kaca, saya termangu.

Siapa bilang kita tak lagi punya harapan?

Di tengah padang yang mulai meranggas ini, masih berkilau setitik embun.

Masih ada hati yang mau memberi maaf.

Selamat Jalan, Pak Harto.

Tentang Pelecehan dan Dilecehkan

Sudah ada entri yang saya tulis dan siap dipublikasikan di sini. Tapi begitu membaca ini, mendadak saya berubah pikiran.

Pelecehan seksual memang bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan korbannya bisa siapa saja *perasaan ini kayak iklan layanan masyarakat apa gitu, ya?*.

I had been there, too.

Pelakunya? Bukan pacar, bukan orang asing, bukan penjahat kelamin. Saya mengalami pelecehan seksual ketika duduk di bangku SD. Pelakunya orang yang sangat dekat dengan keluarga saya dan sudah dianggap keluarga sendiri oleh orang tua saya, sehingga akses keluar-masuk rumah dan kamar (!) terbuka lebar.

Di sisi lain, orang tua saya super-sibuk, mereka hampir tidak pernah ada di rumah dan kualitas komunikasi kami kurang baik (okay, jelek). Saya sendiri, ya namanya juga anak kecil, mau diapain juga terserah.

Peristiwa tersebut terjadi berulang-ulang dalam waktu yang cukup lama, dan saya masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi – boro-boro lapor ke Komnas HAM, mikir aja nggak. Yang saya tahu hanya, setiap kali itu terjadi, saya merasa aneh. Saya merasa tidak nyaman, that’s it.

Waktu saya beranjak besar, saya mulai mengerti… dan akhirnya sakit hati. Ya iyalah, siapa juga yang mau dilecehkan? Kalau mau, mah, namanya bukan pelecehan 😀

Beberapa tahun lalu, seorang teman bercerita kepada saya sambil nangis bombai. Ia mengalami pelecehen seksual di kamar hotel. Usut punya usut, teman saya berterus-terang bahwa ia baru berkenalan dengan laki-laki setanjahanam itu –sebut saja Pak Anu– dan mereka baru bertemu sekali dalam rangka business meeting. Dalam pertemuan kedua, teman saya (yang waktu itu sedang menginap di hotel) tanpa curiga mengiyakan perubahan rencana yang diusulkan Pak Anu (dari yang awalnya janjian di suatu tempat, lalu pindah ke lobby hotel tempat teman saya menginap). Setengah jam berbincang di lobby, Pak Anu mengeluh bahwa suasana yang agak ramai membuatnya tidak nyaman. Dan teman saya, tanpa curiga sedikit pun, mengajaknya pindah ke… kamar.

Halah.

Setelah diinterogasi lebih lanjut (baca: ditanya pelan-pelan dengan penuh simpati), teman saya bercerita bahwa dari awal bertemu, memang ada sesuatu yang tidak beres. Pak Anu, alih-alih membicarakan masalah bisnis, malah merayu teman saya dengan memuji-muji kecantikannya, mengata-ngatai mantan pacar teman saya, sampai akhirnya obrolan nyangkut ke urusan ranjang.

Saya: “Trus, lo gak curiga?”
Teman saya: “Nggak. Ya gue pikir doi simpati aja ama gue, gara-gara gue baru putus.”
Saya: “Lha, terus urusan bisnisnya?”
Teman saya: “Gak kebahas bo, yang ada malah ngomongin gituan deh…”
Saya: “…..”

Kasus lain, sepupu saya –mahasiswa kedokteran nan alim lagi baik budi dan rajin menabung (seriously!)—mengalami pelecehan waktu sedang menunggu taksi dalam perjalanan ke kampus. Dia dibekap dari belakang, sedemikian rupa sampai tidak bisa bergerak, dan payudaranya diremas-remas. Untungnya dia cukup sadar untuk tidak panik berlebihan. Setelah meronta sekuat tenaga, sepupu saya berhasil mencakar tangan si Setanjahanam dan kabur menyelamatkan diri.

Respon pertama keluarga besar saya (selain mencaci maki Setanjahanam itu tentunya):

“Jalanan situ tuh emang bahaya, sepi-sepi gitu, suka banyak orang jahat.”

Masalahnya, mau sepi kek, ramai kek, bahaya kek, aman kek, sepupu saya tetap harus melewati rute yang sama tiap kali berangkat kuliah, karena itulah satu-satunya jalan untuk mencapai kampusnya. Tidak ada jalan tikus, tidak ada jalan lain, tidak ada alternatif kecuali kalau dapat tebengan gratis.

Meski sempat trauma, akhirnya sepupu saya kembali menempuh rute yang sama setiap hari. Berdiri di pinggir jalan yang sama (cuma tempatnya bergeser beberapa meter, hehehe), menunggu taksi pada jam-jam yang sama, dan demikian seterusnya. Apa boleh buat. Menyalahkan situasi sudah tidak ada gunanya, yang ada malah bikin tambah stress.

Meski pelecehan yang saya alami tidak pernah berujung pada penetrasi/pemerkosaan, ketika saya beranjak dewasa peristiwa itu menimbulkan bekas yang cukup dalam. Saya terluka dan sakit hati. Saya menghabiskan waktu untuk mengutuki Tuhan, membenci-Nya karena membiarkan hal itu terjadi pada saya. Mau menyalahkan diri sendiri nggak mungkin, karena semuanya terjadi di luar kendali saya sebagai bocah. Saya hanya bisa memaki 2 sosok itu: si pelaku dan Tuhan.

Masalah beres? Boro-boro. Sementara hidup terus berjalan, saya menjelma jadi nenek sihir bitchy yang mengutuk segala sesuatu dalam kemarahan.

Sampai akhirnya saya sadar, tidak ada gunanya menyalahkan siapa pun; Tuhan, diri sendiri, keadaan. Walau kedengaran klise, life goes on. Ketika saya sibuk menyalahkan situasi, kehidupan tidak akan berhenti berputar.

Meski sempat berdarah-darah, akhirnya saya belajar bahwa kejadian itu bukan kesalahan saya, bukan salah situasi, dan sama sekali bukan salah Tuhan. Itu hanya sebuah peristiwa, yang terjadi pada suatu masa dan kurun waktu tertentu dalam kehidupan. Tidak lebih.

Salah si pelaku? Umm… iya juga sih, hehehe.

Intinya, saya cuma mau bilang pada seluruh perempuan di muka bumi yang pernah mengalami pelecehan dalam bentuk apa pun: Stop blaming yourself. Stop blaming your situation. Being abused is bad enough, don’t make it worse. Percayalah, itu tidak ada gunanya. Been there done that 🙂

Dan jangan pernah merasa nista. Nista itu kalau mencuri, menggelapkan uang orang, memfitnah, memperkosa, mencari nafkah dengan cara haram, dan masih banyak lagi yang bisa dikategorikan nista. Tapi menjadi korban pelecehan jelas bukan salah satunya.

Tidak ada yang salah dengan merasa shocked. Menangis bisa melegakan, dan sah-sah saja jadi cengeng. I cried, too. Sepupu saya menangis. Teman saya apalagi. Tapi, jangan lupa bahwa hidup harus terus bergulir.

Hari esok akan tetap menjelang, apa pun yang terjadi. Karenanya, hadapi semua dengan berani dan percaya diri. Tapi, kalau kedua hal itu terlalu sulit untuk dilakukan, setidaknya cara yang satu ini bisa menjadi resep yang ampuh untuk bangkit kembali:

Cry, and get over it.

🙂

Hei… Kamu.

Hei, kamu yang di sana…

Lagi ngapain?

🙂

I know this is ridiculous. Baru 1 jam lalu kita pisahan, tapi saya sudah ngerasa kangen sama kamu.

Kamu yang selalu mengisi hati saya dengan cara-cara yang unik, dari dulu sampai sekarang. Anehnya, saya sering, lho, nggak sadar bahwa kamu ada di situ — di sudut terpencil itu. Saya sangat jarang berpikir tentang kamu, tapi setiap habis bertemu kamu, otak saya pasti dipenuhi khayalan-khayalan menggelikan. Tentang kamu. Tentang kita.

Kamu adalah pahlawan masa kecil saya. Kamu selalu jadi ksatria buat saya, walau tidak ada naga yang harus dikalahkan atau musuh jahat yang harus ditumpas. Kamu ada di sana, dan itu cukup untuk membuat saya merasa seperti putri yang dijagai ksatria. Aneh sebetulnya. Kalau saya bertengkar dengan anak lain, kamu tidak terlalu membela saya. Malah, kamu lebih banyak diam. Tapi kamu ada di sana, dan kehadiran kamu selalu lebih dari cukup.

Kamu ingat nggak, waktu saya SMP (eh, atau SD tingkat akhir ya?), mereka mengolok-olok saya waktu saya bilang saya suka kamu. Mereka ngetawain saya habis-habisan, sampai saya ogah ketemu mereka selama berhari-hari. Malu! Saya sempat sebal pada mereka, tapi saya nggak bisa berbuat apa-apa karena saya tahu mereka punya alasan untuk berbuat seperti itu. Dan sialnya, alasan mereka benar.

Konyolnya, gosip bahwa saya suka kamu sempat tersebar luas, dan saya kembali jadi bulan-bulanan. Saya cemas banget, kuatir kalau kamu mendengarnya. Bukan, saya bukan takut kamu akan marah atau menjauhi saya. Saya hanya tidak mau kamu mendengar itu dari orang lain.

Mereka bilang itu cuma cinta monyet, dan saya percaya. Saya yakin perasaan itu hanya bagian dari sebuah fase hidup yang akan hilang dengan sendirinya ketika saya menapak ke fase berikutnya. Dan memang itu yang terjadi. Seiring bertambahnya usia, kamu mulai tenggelam dalam dunia kecilmu, begitu juga saya. Kita tak lagi sering bertemu. Kita tak lagi bermain bersama, karena kita telah tumbuh besar. Hidup tidak sesederhana dunia kanak-kanak di mana segalanya tampak begitu mudah. Hidup tidak sesimpel masa-masa di mana kita tak perlu bersusah-susah memikirkan karir, cinta dan tetek-bengek kehidupan yang menyebalkan (heran, kenapa dulu kita pengen banget cepat-cepat tumbuh dewasa, ya?).

Kita makin jarang bertemu, sampai akhirnya tidak pernah sama sekali. Saya hanya mendengar berita tentang kamu dari adik-adikmu. Kamu lulus kuliah. Kamu diterima di sebuah perusahaan jasa. Kamu menjalin hubungan dengan seorang perempuan berkacamata minus (pssst, mereka bilang, perempuan itu mirip saya!). Kamu putus dengan dia (yaaay!). Karirmu terus menanjak. Kamu mendapat promosi yang cukup besar dengan jabatan dan fasilitas yang membuat saya terkagum-kagum. Saya sangat bangga mendengarnya. Kamu hebat.

Ketika akhirnya saya bertemu lagi denganmu, sumpah, saya kaget melihat ‘penampakan’mu. Kamu, yang dulu bermain bersama saya dengan kaus oblong dan celana pendek, sekarang mengenakan kemeja lengan panjang dan dasi. Raut lugu dan cupu (maaaaap!) yang dulu selalu menghiasi wajah kamu, sekarang digantikan aura maskulin dan kematangan pria dewasa. Hanya satu yang tidak berubah dari kamu: ketulusan yang selalu terpancar dari mata jernih kamu. Kebaikan hati yang selalu membuat saya leleh sama kamu.

Saya tersentak.

Mereka bilang itu cuma cinta monyet. Tapi kenapa hati saya jadi deg-deg-serrr nggak jelas begini? Kenapa pipi saya jadi panas? Dan kenapa juga saya jadi tergoda memasang foto kamu sebagai wallpaper HP saya?!

O-H M-Y G-O-D.

Nggak. Nggak boleh. Pokoknya NGGAK.

Saya terus menggaungkan kata-kata itu pada diri sendiri — berkali-kali, demi mengusir imaji yang terus menyelinap usil di otak saya. Imaji tentang kamu. Tentang KITA. Konyol.

Saya merasa sangat bodoh. Memelihara cinta monyet sampai setuir ini, padahal jelas-jelas itu mustahil terwujud.

Jadi, saya kembali berusaha menguasai diri, sekuat tenaga. Saya mencoba segala cara untuk melenyapkan pikiran tentang kamu dari sel-sel otak ini.

Saya cukup berhasil. Selama berbulan-bulan, kamu hanya singgah sesekali di benak saya, dan itu tidak mengganggu saya. Saya lumayan repot dengan berbagai hal sehingga tidak punya banyak waktu untuk memanjakan diri dengan bayangan kamu.

Sampai saya ketemu kamu lagi, hari ini.

DAMN.

Semua usaha saya jadi mentah begitu saja, karena dengan bodohnya saya kembali termehe-mehe dengan kehadiran kamu. Saya kembali deg-deg-serrr nggak penting ketika berada di dekat kamu. Saya kembali salting seperti anak SMP baru pacaran.

Ah, sungguh tolol.

Sekarang saya harus berusaha ekstra keras (lagi) untuk melupakan kamu; kali ini untuk seterusnya.

(Eh, atau sebaiknya nggak usah berusaha terlalu keras aja, ya? Soalnya ada yang bilang, semakin diusahakan, malah makin susah lupanya.)

Kamu tahu, saya sering berkhayal nakal: alangkah enaknya kalau kita tidak pernah tumbuh dewasa. Kita bisa terus bermain-main. Saya jadi putri, dan kamu adalah ksatria; meski tidak ada naga yang harus dikalahkan dan musuh jahat yang harus ditumpas.

Sayangnya, itu nggak mungkin.

Kita tetap tumbuh dewasa, dan kita tetap tidak bisa bersama-sama.

Kenapa?

Karena kamu sepupu saya.

🙂