Just In Case…

Bo, setaun itu lama ya.
Halah. Promise me you’ll always be fine. Gue bakal kangen ama loe. I mean it. 🙂
Thank you ya Bebe, you’re really my sister. 🙂
Happy rock ‘n roll. Take care!


Anyway, just in case… Nice knowing you. And I do care about you.

Jempol saya berhenti di tombol ‘options’.

JUST IN CASEEEEEE???

Maksudnyaaaa?!

Saya menekan ‘reply’ dan dengan cepat membalas SMS sahabat saya itu, dengan sejumlah kalimat protes yang intinya mengatakan ‘jangan-ngomong-yang-aneh-aneh!’.

Message Sent.

Delivered.

Just in case.

Tadinya saya pikir kalimat seperti itu hanya ada di film. Semacam dramatisasi untuk menggugah suasana emosi penonton yang biasanya dilanjutkan dengan acara peluk-cium-nangis-‘I’ll be waiting for you’ walaupun pada endingnya yaaa… teteub aja si tokoh utama kembali dengan selamat meski agak berdarah-darah. Membuat airmata yang tumpah di awal film tampak sia-sia. 😛

*Eh, saya kok mulai kedengaran seperti Gerwani berkutang hitam ya? 😀

Anyway, saya yang kerap kali mencela “Alaaah, sok dramatis, paling ntarannya juga selamat, gak kenapa-napa, secara dese tokoh utamanya gitu loooh…” mendadak berhadapan dengan situasi serupa… tapi bedanya, yang ini BENERAN!

Respon pertama?
Panik jaya.

Respon kedua?
Ya, itu… protes dan ‘memaksa’ sahabat saya berjanji untuk kembali dengan selamat.

Sumpah, saya betul-betul panik, apalagi ketika SMS terakhir yang saya kirim tidak berbalas. Pikiran yang aneh-aneh langsung memenuhi otak dan sukses membuat saya insomnia mendadak (okay, agak hiperbola, tapi wajar dong, namanya juga panik :p)…

… sampai besok paginya, ketika sebuah SMS mampir di inbox:

Bo, maab, semalem gue ketiduran. Hehe..

Halah.

Sekali lagi, halah.

:DD

Setelah puas ketawa, saya meletakkan HP dan tiba-tiba… …kok jadi kepikiran yaaa tentang ‘just-in-case’ itu? Dan jadi teringat pada ini, ini dan ini. (Saturation of blogosphere eh, Jenk? :D)

Just in case.

Semalam, sahabat saya yang mengatakan itu. Tapi gimana, ya, kalau posisinya dibalik dan saya-lah yang harus mengatakan hal serupa kepada orang-orang yang saya tinggalkan?

Katakanlah saya berada di posisi sahabat saya itu. Atau lebih sederhana, seandainya Sang Mahakuasa memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak kerja saya di dunia ini, what would I say… just in case…?

Saya menekan tombol ‘reply’.

Jaga diri baik-baik. I’ll see you next year. Kita bakal bercanda gila lagi. Ngakak edan. Cela-celaan. Ngeceng makhluk ganteng. Ngomongin yang gak penting. All when we meet again, next year.

Message Sent.

Delivered.

Yup, my dear Sister, kita akan lakuin itu semua lagi. Kegilaan dan kecacatan yang sama. Tahun depan. Bareng-bareng.

But, anyway…

just in case

Thank you for everything. 🙂

Eh, ya, satu lagi… lain kali TOLONG YA, jangan ketiduran setelah bikin shock orang. :DD

*Gue nyerah deh Jeng May, emang mellow-gumellow udah ngalir di darah kayaknya. Hahaha!

Tentang Seorang Sahabat Dan Persilangan Jalan

Pertemanan kami dimulai bulan Januari lalu, ketika saya menghubunginya lewat e-mail dan menanyakan kesediaannya memberi komentar untuk (calon) kumpulan cerpen saya.

Ia menyanggupi permintaan tersebut dengan ramahnya. Sejak itu kami terus berkomunikasi, walau hanya melalui e-mail dan commenting system di blognya. Buat seorang blogger pemula seperti saya, kemampuannya mengurai opini dan merangkai kata betul-betul mengagumkan. Jadilah saya ‘berguru’ secara tidak langsung kepadanya dan dengan excited menunggu-nunggu setiap entri baru (sambil tidak lupa berkomentar tentunya).

Sekali waktu, tidak lama setelah bertukar nomor handphone, saya iseng mengiriminya SMS. Selanjutnya, pertemanan kami terbangun melalui pesan-pesan pendek yang sebagian masih saya simpan hingga sekarang. Kenapa? Karena pesan-pesan itu membuat saya tertawa. Iya, dia orang yang sangat kocak. Kata-katanya selalu berhasil membuat saya senyum-senyum gila.

Melalui pesan pendek yang melelahkan jempol juga, kami sepakat mengerjakan sebuah project bersama. Walaupun project itu belum selesai sampai sekarang (dan tidak tahu kapan selesainya, karena kami berdua sama-sama penunda pekerjaan sejati :D), saya sangat menikmati proses pengerjaan yang dilakukan jarak jauh itu.

Beberapa bulan kemudian -April kalau nggak salah- saya bertemu dengannya untuk pertama kali. Ternyata dia orang yang fun dan sangat suka bercanda. Cerita-ceritanya selalu menarik. Pembawaannya yang cuek dan santai membuat saya betah ngobrol berlama-lama dengannya, mulai dari curhat serius sampai bercanda heboh dan membicarakan hal-hal supertidakpenting seperti:
“Kalau makan pake tambel serasi, minumnya apa?”
“Juk jerus.” 😀

Persahabatan kami terus terjalin. Ketika saya sedang dilanda penyakit jenuh akut, dengan baik hatinya ia memperbolehkan saya menginap di rumahnya dan mendengarkan curhat saya. Ketika penyakit BT kronis saya kambuh, dengan murah hatinya ia kembali membukakan pintu dan meminjamkan telinganya. Ia tidak banyak memberi nasehat, saran ataupun kritik. Yang ia lakukan hanya mendengarkan, dan itu sudah cukup. Ia tidak menghakimi kelakuan emosional saya. Yang ia lakukan adalah menjadi seorang sahabat. Dan ajaibnya, tindakan tersebut justru membuat saya tidak ingin mengulangi kebodohan yang sama.

Saya menemukan figur seorang kakak dalam dirinya. Kakak perempuan yang tidak pernah saya punyai (karena saya anak sulung), sekaligus sahabat yang selalu siap memberi dukungan dan membuat saya tertawa. Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, saya merasa ‘hidup’ oleh sebuah persahabatan.

Melalui spontanitasnya, ia menularkan semangat kepada saya.
Melalui sikapnya yang selalu ceria-optimis-tanpa beban, ia menularkan energi positif kepada saya.
Melalui idealisme dan pemikiran-pemikirannya, ia menularkan passion kepada saya.
Melalui pilihan-pilihan yang dibuatnya, ia menularkan keberanian dan cara pandang baru dalam menilik hidup.

Keberanian untuk apa?
Untuk mendengarkan panggilan hati dan mengikutinya, meski untuk itu ada harga yang harus dibayar dan konsekuensi yang harus dijalani.

Menemukan panggilan hidup dan mengambil keputusan untuk menjalaninya adalah dua hal yang berbeda. Untuk memperoleh yang pertama, dibutuhkan hati yang senantiasa terbuka dan telinga yang peka terhadap bisikan nurani. Untuk menjalani yang kedua, dibutuhkan tekad dan kesungguhan hati yang tidak kecil. Setiap pilihan selalu memiliki resiko, dan bicara tentang panggilan hidup berarti bicara tentang meninggalkan zona nyaman untuk menempuh medan baru – yang kadang kala sulit, berkelok-kelok dan menyakitkan.

Sahabat saya bukanlah pengangguran kurang kerjaan yang bisa pergi kemana pun dan melakukan apa saja sesuka hati. Ia memiliki kehidupan yang mapan, pekerjaan yang bagus dan karir yang mulai menanjak sebagai pekerja kreatif yang karya-karyanya disukai banyak orang. Still, dalam kondisi serbaenak itu, ia memilih untuk mengikuti desakan panggilan hati. Meninggalkan zona nyaman untuk mendengarkan bisikan nurani yang sudah terngiang bertahun-tahun lamanya.

Dia telah mengajari saya banyak hal.

Untuk berdiri dan menyuarakan pendapat.
Untuk yakin terhadap diri sendiri.
Untuk tidak mudah menyerah pada keadaan dan tekanan lingkungan sosial.
Untuk berani berbeda dan tidak takut disebut aneh.
Untuk mencintai hidup dengan segala warna dan rasanya.
Untuk berani membuat pilihan secara sadar, meski konsekuensinya menyakitkan.
Dia telah mengajari saya bagaimana menjalani hidup.

Sebentar lagi kami akan berpisah, karena panggilan hidup sahabat saya mengharuskannya pindah ke tempat lain. Mungkin kami tidak akan berjumpa untuk waktu yang cukup lama. Mungkin tidak ada lagi SMS jenaka yang bisa membuat saya terpingkal-pingkal seperti orang gila. Mungkin tidak ada lagi celaan yang membuat saya cengar-cengir geli dan sebal. Mungkin tidak ada lagi obrolan yang menggugah nalar di tempat tidur, mobil, meja makan, atau di dapur sambil mencuci peralatan masak. Mungkin tidak ada lagi nongkrong santai di depan laptop sambil berkomentar ini-itu dan begadang sampai jam 3 dinihari.

Tapi, lebih dari segalanya, saya bersyukur bisa mengenalnya sebagai seorang sahabat.
Saya bersyukur bahwa –meskipun singkat- garis-garis hidup kami pernah bersilangan.
Saya bersyukur bahwa ia telah (dan akan selalu) menjadi bagian penting dalam hidup saya.

Dan khusus untuknya, saya ingin bilang:
“Ini bukan farewell entry, karena gue percaya suatu saat nanti garis-garis kita akan bersilangan lagi. Jadi bukan ‘Selamat Tinggal’, tapi ‘Sampai Ketemu Lagi’. Sampai jumpa di persilangan jalan berikutnya, Ms. Avonturir!” 🙂

Kamu sangat berarti
Istimewa di hati
S’lamanya rasa ini
Jika tua nanti kita t’lah hidup masing-masing
Ingatlah hari ini.
(Ingatlah Hari Ini – Project Pop)

Pesan Buat Kawan

Tadi siang saya melihatmu duduk di ruangan itu. Punggungmu begitu dekat, hanya dipisahkan kaca buram dan sandaran sofa.

Kamu duduk pasrah di situ, dengan kepala setengah tertunduk. Betapa inginnya saya menghampirimu, sekedar menyapa atau menepuk pundakmu. Tapi saya tak bisa, karena ruangan itu tertutup.

Berkali-kali saya berjalan melewati ruangan itu, berkali-kali pula saya menoleh untuk memastikan kamu masih di sana. Kamu masih duduk di sofa hijau itu, posisi dudukmu tetap sama.

2 tahun lalu, saya juga duduk di ruangan itu. Bersandar pada sofa yang sama, dengan kepala yang juga tertunduk. Saya tahu seperti apa rasanya. Dan saya bertanya-tanya, apakah kamu juga merasakan hal yang sama?

Baik-baikkah kamu?

Saya telah berjanji pada diri sendiri, untuk tidak menghakimi siapapun lagi atas keputusan yang mereka buat dalam hidup. Saya percaya setiap orang punya hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri – apapun wujudnya, dan bagaimana pun.

Ketika melihatmu duduk di tempat yang sama tadi siang, saya kembali diingatkan pada janji itu.

Saya tidak akan menghakimi siapapun lagi, termasuk kamu. Karena kamu berhak memilih jalan hidupmu sendiri.

Kalau kamu membaca tulisan ini, Kawan, cuma satu harapan saya:
Apapun keputusan yang kamu buat, semoga kamu selalu bahagia. 🙂

Untuk Yang Tersayang. :)

Sayang,

Seharian ini saya tersenyum terus. Iya, agak mirip orang gila memang. Mau tahu alasannya? Saya selalu geli jika teringat polahmu tadi siang, ketika kamu berada dalam gendongan saya, dan dengan nyaman merengkuh leher dan pundak saya. Tiba-tiba kamu menggeliat, dengan gerakan yang begitu tiba-tiba sampai saya ngeri sendiri (maklum, lengan saya yang kurus ini agak ringkih untuk menahan gerakan mendadak dari tubuhmu yang semakin berat). Kamu bilang, kamu ingin pipis. Cepat-cepat saya menurunkanmu. Sayangnya, ucapanmu itu terlambat. Kamu sudah membasahi kemeja dan jaket saya dengan sukses. Saya hanya bisa tergelak melihat noda besar yang basah itu.

Tapi tenang, saya tidak marah kok. Mana bisa saya marah padamu? Kamu adalah sosok paling lucu, paling menyenangkan dan paling menggemaskan yang pernah saya temui. Saya tidak akan pernah bisa marah padamu, tidak peduli berapa sering pun kamu ngompol di gendongan saya, menumpahkan kuah sup yang berminyak ke tubuh saya, membasahi saya dengan liurmu, bahkan memukul kepala saya (saya tahu kok, kamu tidak sengaja melakukannya).

Kamu tahu, Sayang, kamu begitu berarti. Bukan hanya untuk saya, namun juga semua orang yang mencintaimu. Kamu sangat berharga. Mungkin kamu tidak ingat, Sayang, 2 tahun lalu, ketika kamu menghirup udara dunia untuk pertama kalinya, kami ada di sana. Menyaksikan kamu menggeliat. Mendengar tangisanmu. Melihat kamu tertidur dengan nyenyaknya. Dan kami merasa jadi orang paling bahagia di dunia. Sesungguhnya, kami sudah bersama denganmu jauh sebelum kamu lahir, Nak. Kalau kamu ingat suara-suara lembut yang berbisik di balik dinding elastis tempatmu tumbuh sebagai janin, itulah kami. Kalau kamu ingat belaian ringan yang menggetarkan dinding itu, itulah kami. Kami menyertaimu sejak kamu masih sangat, sangat kecil. Itu sebabnya, ketika kamu (akhirnya) tiba di dunia, kami bersukacita.

Tahukah kamu, Nak, kamu muncul di dunia dengan perjuangan panjang. Kehamilan Ibumu tidaklah mudah. Beliau melalui masa 9 bulan itu dengan sukar karena perubahan fisik yang dialaminya. Rasa sakit dan tidak nyaman menjadi ‘makanan’ sehari-harinya selama 7 bulan penuh, sementara kebanyakan orang hanya mengalaminya selama tri semester pertama. Tapi tahukah kamu, Ibumu adalah wanita yang kuat. Sekalipun bergumul dengan kelelahan fisik, insomnia dan sulit menerima makanan, Beliau tetap menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat baik; sebagai istri, pimpinan perusahaan dan ibu gembala sekaligus. Saya ingat malam-malam ketika ia bekerja dengan kaki bengkak dan perut mual. Ia memilih untuk menyelesaikan tanggung jawabnya dan mengabaikan rasa sakit itu. Ibumu wanita yang sangat mulia.

Proses kelahiranmu juga tidak terbilang mudah. Hari kemunculanmu sudah tiba, tapi kamu masih betah bersembunyi di dalam sana. Mungkin kamu masih ingin menikmati kehangatan rahim Ibumu. Yang jelas, sementara kamu berbaring nyaman di dalam sana, kami mulai panik. Sebulan lebih kami menanti, Nak. Sebulan lebih orangtuamu menunggu dengan sabar. Dan ketika saat itu akhirnya tiba, Ibumu bergumul selama belasan jam demi melahirkanmu. Induksi tanpa disertai suntikan epidural membuat Beliau kesakitan luar biasa. Ibumu berjuang melawan rasa sakit dan takut yang hebat, Nak, semuanya demi menyaksikanmu menghirup udara dunia dengan bebas. Demi mendengar tangisanmu yang pertama. Demi menimang dan membesarkanmu.

Ketika kamu berusia 40 hari, sesuatu terjadi. Kamu terkena penyakit bernama Stephen Johnson Syndrome (mudah-mudahan saya menulisnya dengan benar, karena saya tidak paham penyakit apa itu, dan tidak berminat mencari tahu). Penyakit itu membuatmu terbaring berhari-hari di ruang perawatan intensif Rumah Sakit. Dokter bahkan mengatakan, terlambat sedikit saja, kami bisa kehilangan dirimu. Kamu berbaring lemah di sana, Nak, dengan bengkak dan luka di sekujur tubuh. Ketika luka itu mengering, koreng yang ditinggalkan menimbulkan bau anyir yang pekat. Kami menangis melihatmu, namun yang paling menderita adalah orangtuamu. Saya tidak pernah melihat mereka ‘terpuruk’ seperti itu. Mereka orang yang kuat dan selalu ceria, tidak peduli sebesar apapun masalah yang mereka hadapi. Hari itu, mereka tertunduk dan menangis. Tapi itu semua justru menyadarkan saya, sebesar itulah cinta orangtua. Sebesar itulah cinta mereka padamu, Nak.

Dan saya mengingat malam-malam itu seperti baru kemarin. Malam-malam panjang setelah kamu sembuh, di mana orangtuamu tidak tidur demi memantau kondisimu. Malam-malam di mana mereka menyelinap masuk ke kamarmu dan duduk berjam-jam di sana demi memasukkan beberapa cc susu ke perutmu, karena kamu selalu menolak bila disodori susu saat kamu terbangun. Iya, kami tahu, susu hypoallergenic itu memang amit-amit rasanya. Aromanya pun membuat mual, lebih mirip air kaporit daripada susu bayi. Saya ingat, betapa Ibumu mudah sekali sakit karena daya tahan tubuhnya menurun drastis, akibat bermalam-malam tidak tidur. Saya ingat betapa Ayahmu jadi rentan terhadap flu dan pegal-pegal, akibat membuaimu semalaman. Semua agar kamu bisa tidur dengan nyaman dan tumbuh sehat. Nak, mereka sangat mencintaimu.

Lalu tiba saatnya kamu belajar bicara. Betapa mata ayahmu berbinar bangga saat kamu mulai menyebutkan suku kata pertamamu, disambung dengan ‘Dad’, kemudian ‘Mom’. Betapa wajah Ibumu bersinar-sinar saat bibir mungilmu mengeluarkan kata-kata lucu. Pemandangan seperti itu takkan bisa dibeli dengan apapun, Sayang.

Kami semua heboh ketika kamu mulai belajar berjalan. Kami heboh menyemangatimu, berlomba menuntunmu dan menjadi ‘penjaga’ di sampingmu – agar kamu tidak terpelanting. Bayangkan betapa bahagianya kami saat kamu mulai menyusuri lantai, setapak demi setapak, dengan langkah-langkah mungilmu. Bayangkan betapa berisiknya kami, ketika kamu terjatuh dan menangis. Selanjutnya, kami akan heboh berseru menenangkanmu dengan kalimat sakti: “Nggak apa-apa, Alex kan hebat!” sehingga kata-kata itu menjadi ‘mantra’mu di kemudian hari (“Ga pa-pa-pa-pa!”).

Waktu berlalu begitu cepat, Nak, seperti pusaran angin yang tak berkompromi. Kamu semakin besar. Kamu semakin lincah, lucu dan berat (hehehe). Tahukah kamu, rasa sayang kami padamu tidak berkurang. Justru semakin bertambah, karena ketika kamu tumbuh dalam kehangatan cinta, kami juga turut bertumbuh bersamamu.

Hari ini, Sayang, saya memutuskan untuk menulis sesuatu yang dapat kamu baca (dan kenang) di kemudian hari. Ketika kamu cukup besar untuk memahami isi tulisan ini, kami pun sudah semakin tua. Mungkin saat itu memori akan masa kecilmu sudah berlubang-lubang, sehingga lebih baik jika saya menuliskannya sekarang.

Ingat selalu, Nak… kamu ada di dunia ini untuk sebuah tujuan yang besar. Kamu tercipta untuk menjadi luar biasa. Kamu ada berkat doa yang tidak pernah berhenti, yang terus dipanjatkan orangtuamu dan orang-orang yang menyayangimu. Kamu besar dalam kehangatan cinta, dan cinta yang sama akan terus menyala dalam dirimu. Jangan pernah lupakan malam-malam sunyi ketika Ayah dan Ibumu duduk di sisimu dan mendoakanmu. Jangan pernah lupakan rasa nyaman dalam dinding elastis itu, ketika Ayahmu menumpangkan tangannya yang hangat dan berdoa bagimu. Jangan lupakan masa-masa dimana tangan mereka membelai lembut tubuhmu, mengusap sayang keningmu, mengayunmu dalam lengan-lengan kokoh dan menciummu dengan segenap cinta. Jangan pernah lupakan itu, walau mungkin kamu masih terlalu kecil untuk mengingatnya. Jika kamu belum dapat menyimpannya dalam memorimu, setidaknya ingatlah cinta itu.

Jika waktu berlalu dan kamu semakin dewasa, banyak hal akan berubah, Sayang. Akan tiba waktunya kamu terlalu besar untuk kami gendong dan ciumi. Akan tiba saatnya kamu menapaki fase hidup yang tidak dapat kami masuki. Akan tiba saatnya ketika segala hal yang biasa kami lakukan bagimu tidak dapat kami lakukan lagi. Karena kamu telah tumbuh dewasa.

Satu pesan kami, Nak… teruslah bertumbuh. Bertumbuh dalam cintaNya. Bertumbuh dalam anugerahNya. Bertumbuh dalam kekuatanNya. Temukan Dia dalam sosok orangtuamu, dan teruslah bertumbuh menjadi seperti mereka, karena orangtuamu adalah teladan terbaik yang dapat kau jumpai (bahkan kami pun belajar dari mereka).

Dan pesan kami yang terakhir, Nak (okay, pesan saya tepatnya)… kalau kamu sudah besar nanti, jangan lupakan tangan-tangan yang pernah menggendongmu. 🙂

Kami mencintaimu, selalu.

Salam sayang,

Auntie Jenny

*Sebuah persembahan untuk Merpati kecil yang selalu
tersenyum, dan mereka yang disebut ‘Ayah’ dan ‘Ibu’. Tabik. 🙂

Untuk Para ‘Pendidik’ Saya.

They can say anything they want to say
Try to bring me down
But I will not allow
Anyone to succeed hanging clouds over me

And they can try
Hard to make me feel that I
Don’t matter at all
But I refuse to falter in what I believe
Or loose faith in my dreams

Cause there’s
There’s a light in me
That shines brightly
They can try
But they can’t take that away from me

They can do anything they want to you
If you let them in
But they won’t ever win
If you cling to your pride and just push them aside

See I, I have learned
There’s an inner peace I own
Something in my soul, that they cannot possess
So I won’t be afraid, and the darkness will fade

No, they can’t take this
Precious love I’ll always have inside me
Certainly the Lord will guide me
where I need to go

They can say anything they want to say
Try to bring me down
But I won’t face the ground
I will rise steadily, sailing out of their reach

(Can’t Take That Away – Mariah Carey)

Tanpa pernah merasakan sakitnya tidak dihargai karena berbeda, mungkin saya takkan pernah mengerti bagaimana seharusnya menghargai sesama dan memahami makna toleransi.

Tanpa pernah merasakan perihnya dipandang sebelah mata, mungkin saya takkan pernah belajar menerima orang lain apa adanya.

Tanpa pernah merasakan tidak enaknya disalahpahami oleh orang-orang yang saya sayangi, mungkin saya takkan pernah bisa menyatakan dukungan melalui pelukan hangat.

Saya bersyukur untuk setiap orang, setiap perkataan dan perlakuan yang ditujukan kepada saya, yang membimbing saya untuk mengenal kebenaran hakiki yang selama ini tidak pernah saya ketahui…

Terima kasih karena melalui tindakan kalian, kalian telah mengajarkan makna kehidupan pada saya.
Bahwa kesempurnaan bukanlah esensi hidup yang sejati.
Bahwa keindahan sebuah tujuan terletak pada proses yang diperlukan untuk mencapainya.
Bahwa saling menghargai, menghormati dan menerima adalah substansi yang tidak terelakkan, sekaligus parameter kedewasaan yang sesungguhnya… karena ketika kita membuka hati untuk melihat perbedaan tanpa menghakimi, kita betul-betul telah mengerti arti kehidupan.

Terima kasih karena telah menolong saya tumbuh dewasa.

Sungguh, terima kasih banyak. 🙂