Di penghujung hari, pada awal terbitnya bulan baru, apa yang terbersit di benakmu saat tubuhmu membentuk bujur horisontal di pembaringan?
Gaji yang sekadar mampir di rekening. Berbagai cicilan yang tak kunjung lunas. Gesekan kartu kredit untuk membeli segelintir kesenangan yang berakhir pada tumpukan hutang di bank.
Alkohol di atas 5% yang digelontorkan bersama tawa, celoteh, kadang air mata. Pengusir penat sesaat yang akan dimuntahkan beberapa jam setelah kegembiraan usai.
Pertengkaran dengan kekasih. Dia yang perlahan namun pasti berubah menjadi orang asing. Dia yang dulu sangat kau cinta namun kini tak lagi kau kenali.
Pertanyaan yang tak ada habisnya. Jawaban yang melahirkan kian banyak tanda tanya. Pergulatan dalam batin yang tak pernah menemukan tempat bermuara.
Keinginan yang muncul silih berganti. Impian yang terpelihara tanpa pernah mewujud. Harapan yang timbul tenggelam. Cita-cita yang mengambang lemah, mengais kekuatan untuk bertahan karena kita belum mau menyerah.
Tak jauh dari kau dan aku, ada mereka yang terlelap tanpa alas. Jempol yang dihinggapi lalat tak mampu mengusik nyenyaknya tidur. Saat kau dan aku menyuapkan makanan yang sepiringnya bisa memberi makan mereka berhari-hari, mereka mengais rezeki dari lampu merah dan jalanan. Saat kau dan aku berdansa di bawah siraman lampu warna-warni, mereka bergelut dengan debu dan keringat.
Aku tak tahu apakah mereka masih punya cita-cita. Mimpi barangkali cuma jadi bunga tidur yang tak pernah berani diangankan. Cita-cita barangkali sudah terkubur dalam-dalam bersama tanah dan debu yang mereka injak setiap hari.
Aku tak tahu akan jadi apa mereka besok. Namun satu yang kutahu.
Terik yang mendera kulit, lapar yang mengiris perut dan kepapaan yang menggerus raga tak membuat jiwa mereka kekurangan cahaya untuk melihat apa yang luput kita sadari.
Hidup.
—–
Photo by Daniel Ziv.
suka sekali, jen 🙂
Nice Jenny! Tulisanmu selalu bikin merenung..
Dulu aku merasa menjadi makhluk yang tak beruntung dengan kondisi keluarga yang cukup sederhana. lambat laun aku mulai sadar bahwa aku masih lebih beruntung daripada mereka yang tinggal di jalanan tanpa tujuan yang jelas. Rasa syukur pada Sang Pencipta tak pernah berheti kuucapkan. Miris rasanya meliat mereka yang hidup di jalanan, kolong jembatan, tempat kumuh. Dengan profesi yang dipandang sebelah mata oleh sebagian dari kata. Dari situ aku belajar memberi, mensyukuri, membantu. Toh hidup tak selalu berjalan mulus. Nice inspiration….thaks mba’….