Pesan Secarik Batik

Saya bukan penggemar batik. Sehari sebelum artikel ini ditulis, saya hanya memiliki dua helai pakaian batik: sebuah kemeja yang mulai kekecilan dan entah terselip di mana, serta sehelai gaun berwarna hijau yang baru dipakai sekali.

Satu-satunya batik yang pernah saya kenakan secara rutin adalah seragam berwarna coklat keruh yang dijadikan kostum wajib setiap hari Jumat di sekolah, belasan tahun silam, yang saya lungsurkan segera setelah lulus. Saya mengenakan seragam batik setiap minggu selama tiga tahun, namun saya tidak paham apa pun tentang batik, sampai beberapa minggu lalu, ketika seorang kawan bercerita dengan antusias tentang batik tulis yang dilihatnya di sebuah pameran. Berikut harganya yang selangit.

Kuah sup panas yang sedang saya hirup nyaris tersasar ke hidung saat kawan saya menyebutkan harga batik yang dilihatnya. Ternyata, batik sama sekali tidak bisa dianggap remeh. Harganya mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Konon, selembar batik tulis bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Saya tercengang. Orang sinting mana yang mau menghabiskan puluhan juta demi selembar kain sekian meter kali sekian meter, yang bisa robek dengan mudah, yang tidak populer, yang harus melalui berbagai proses–dan tentunya pakai uang lagi!–hanya untuk menjadikannya sehelai pakaian?

Sesampainya di rumah, saya menyalakan komputer dan mengakses internet seperti orang kebakaran jenggot. Saya melahap informasi tentang batik dari Wikipedia, laman Facebook Bangga Batik Indonesia, dan banyak situs lain yang disediakan Google. Sekali seminggu mengenakan batik selama tiga tahun penuh, duapuluhtujuh tahun bernapas dan menjejakkan kaki di negeri asalnya batik, baru kali ini saya tahu apa itu batik.

Baru kali ini saya tahu, ternyata batik punya banyak ragam dan berasal dari berbagai daerah. (Selama ini, saya pikir batik hanya berasal dari Jogja dan Pekalongan!)

Baru kali ini saya tahu perbedaan antara batik tulis dan batik cap.

Baru kali ini saya tahu proses pembuatan batik.

Baru kali ini saya tahu, kenapa selembar batik bisa dihargai begitu tinggi.

 

Lampu indikator di telepon genggam saya berkedip. Nama kawan saya muncul di layar.

“Gue beliin elo batik, nih!” Begitu bunyi pesan yang masuk.

 

Beberapa hari kemudian, saya duduk di kamar sambil menimang sehelai batik yang terlipat rapi.

Batik tulis pertama saya.

Saya memerhatikan bunga-bunga yang tergambar cantik dengan latar belakang kuning dan merah bercorak. Ada gelenyar yang terasa janggal.

Benda yang saya pegang bukan buatan pabrik. Kain yang saya bentangkan penuh dengan corak dan gambar yang dibuat tangan manusia.

Di suatu tempat, di suatu waktu, seseorang menggerakkan canting di atas selembar kain yang saya pegang dengan hati-hati. Barangkali matanya yang awas mulai menua. Barangkali tangannya mulai dihiasi keriput. Entah berapa menit, jam, bahkan hari yang ia habiskan untuk menghasilkan selembar batik sekian kali sekian meter.

Mendadak, saya merasa bersentuhan dengan kehidupan.

Mendadak, saya paham mengapa mereka menyebutnya seni.

Secarik batik oleh-oleh kawan mengingatkan saya bahwa masih ada begitu banyak hal yang bisa dibanggakan dari bumi pertiwi yang kian lama kian uzur ini.

Mendadak, saya mengerti kenapa sehelai batik bisa berharga puluhan juta rupiah. Seni yang tersimpan dalam serat-serat kain itu memang selangit nilainya, namun pesan yang dibawanya tak terukur harganya.

 

Pesan yang dititipkannya sederhana saja. Cintai persembahan alam yang diberikannya dengan cuma-cuma. Resapi biru, hijau, merah, kuning, dan serat-serat yang bukan hasil olahan produk sintetis, dan kembalilah pada bumi yang telah menyediakan segala sesuatu untuk menopang eksistensi manusia.

Rasanya pesan itu tidak terlalu tinggi. Rasanya belum terlambat untuk jatuh cinta pada kekayaan nusantara yang satu ini.

—–

Tulisan ini menjadi salah satu pemenang dalam kontes “Tulis Batik Tulis” yang diadakan oleh Bangga Batik Indonesia.

Suatu Hari

Suatu hari, kau akan bertemu seseorang yang membuatmu berkata “Ya” tanpa menimbang untung dan rugi.

Suatu hari kau akan bertemu seseorang dan seketika tahu, dialah yang selama ini kau cari. Karena kalian terlahir untuk saling bersua.

Suatu hari kau akan bertemu seseorang dan melupakan segala aturan dan permainan yang kau tahu. Dan kali ini kau hanya akan mendengarkan hatimu.

Suatu hari kau akan bertemu seseorang yang membuatmu lupa akan luka-lukamu. Suatu hari kau akan bertemu dengannya, dan kembali percaya.

Suatu hari kau akan bertemu seseorang yang tak sempurna dan bersedia mengabaikan segala ketaksempurnaan itu untuk bisa bersamanya.

Suatu hari, kau akan bertemu seseorang yang matanya menunjukkan kepadamu jalan pulang ke rumah.

Suatu hari kau akan bertemu seseorang, dan kau akan tahu. Tanpa meragu.

Kaki-kaki Penyangga Mimpi

Semalam, saya kedatangan tamu spesial. Seorang kawan yang singgah menjelang tengah malam dan membawa berkotak-kotak cheese cake. Kamar seorang teman pun disulap jadi tempat pesta kecil. Berempat, kami duduk melingkar sambil ngobrol ngalor-ngidul.

Sampailah kami ke tema “bagian tubuh yang paling disukai”.  Saya menunggu kawan saya mengucapkan “mata”, karena ia punya sepasang mata yang indah dan berbinar, atau “kulit”, karena kulit coklatnya sangat eksotis.

“Kaki,” ia menjawab mantap. Tanpa menunggu kami bertanya, ia melanjutkan, “karena kaki ini sudah membawa saya ke mana-mana.”

Jawaban itu membuat saya terdiam. Tiba-tiba, saya teringat pada sebuah mimpi yang belum terwujud. Berkeliling dunia.

Beberapa bulan lalu, saya merasakan nyeri di kaki kanan saat melakukan aktivitas sesederhana turun dari tempat tidur dan berjongkok. Saya mencoba mengobati diri sendiri dan mencari informasi di internet. Setelah seminggu tidak kunjung sembuh–malah bertambah parah–saya pun pergi ke rumah sakit.

Menanti vonis dokter di ruangan berbau steril adalah sesuatu yang sangat menyiksa. Sambil memerhatikan dokter memeriksa kaki saya, saya bertanya-tanya, apa yang akan terjadi jika kaki saya mengalami sakit serius, misalnya Osteoporosis. Sambil menunggu hasil CT-scan, saya bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika dalam usia semuda ini saya divonis menderita penyakit tulang yang berbahaya.

Untunglah, kekhawatiran saya tidak menjadi kenyataan. Saya keluar dari rumah sakit dengan sebungkus obat dan wejangan dari dokter agar saya rutin berolahraga–terutama jalan kaki–tiga kali seminggu. Ternyata sakit yang saya alami disebabkan kurang berolahraga dan asupan kalsium yang kelewat rendah.

Awal Oktober, seorang kawan memberitahu bahwa sebuah acara akan diselenggarakan di Karawaci, Tangerang. Pengunjung mal yang menghadiri event tersebut bisa memeriksakan tulang secara gratis, mengecek takaran kalsium harian mereka, dan banyak lagi.

Saya tahu, biaya scan tulang di rumah sakit tidak murah. Sabtu, 8 Oktober, saya dan seorang teman berkendara ke Karawaci untuk menghadiri “Scan the Nation” yang diadakan oleh Anlene di salah satu mal terbesar di sana.

Hasil scan tulang (bone scan density) saya tak terlalu mengkhawatirkan, namun belum bisa dibilang bagus. Kekuatan tulang saya belum melampaui titik aman, dan hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa jumlah kalsium yang saya konsumsi setiap hari belum sepadan dengan kalsium yang dibutuhkan tubuh saya.

Asupan kalsium harian yang dibutuhkan tubuh: 600 miligram/hari.

Hasil tes asupan kalsium harian saya: 492 miligram/hari.

Usai memeriksakan tulang dan asupan kalsium, saya tidak segera beranjak. Banyak sekali informasi mengenai kesehatan tulang, penyakit tulang (khususnya Osteoporosis) serta tips untuk menjaga kekuatan tulang yang saya dapatkan dari acara yang berlangsung selama dua hari itu. Semakin saya membaca, semakin saya sadar, betapa minimnya pengetahuan saya akan Osteoporosis, padahal penyakit ini bisa mengancam siapa saja.

Lalu, bagaimana dengan orang-orang lain yang tidak paham tentang hal ini dan tidak menjaga kesehatan tulang sebagaimana mestinya? Padahal, banyak dari kita yang setiap hari menumpukkan beban ke kedua kaki ini, lewat berbagai aktivitas dan gaya hidup yang kita jalani, tanpa ingat untuk memelihara kesehatannya. Kebiasaaan sesepele mengenakan sepatu berhak tinggi dan malas berolahraga bisa menggerogoti tulang dari dalam, dan kita tak pernah menyadarinya.

Dan mimpi-mimpi itu.

Mimpi saya untuk melihat dunia. Bucket list berisi nama-nama benua dan negara yang belum saya kunjungi. Semua takkan ada gunanya jika kedua kaki ini tak sanggup menghantar saya ke tempat-tempat itu.

Saya ingin menginjak benua Eropa dengan kedua kaki ini. Saya ingin menendang salju di puncak Himalaya dengan kaki ini. Saya ingin berlarian di padang rumput Afrika dengan kaki-kaki ini. Saya akan menjaga mereka karena hanya kaki-kaki inilah yang akan membawa saya melihat dunia. Merekalah penyangga impian-impian saya.

Apa mimpimu?” barangkali sebuah pertanyaan yang sering Anda temui. Kini izinkan saya menanyakan yang kedua: “Siapkah Anda meraih mimpi-mimpi tersebut?”

Are you ready for your dreams?

And for those who dare to answer “yes”, here’s an advice.

Love your body. Love your bones.

 

*Informasi lengkap mengenai kesehatan tulang dapat disimak di http://www.tulangsendisehat.com

(Mungkin) Cinta

Kalau nalar tak lagi sanggup bersanding dengan hati, kalau hati seolah punya cara sendiri yang tak kau mengerti.

Kalau ia tetap tumbuh tak peduli betapa kau berusaha memberangusnya.

Kalau sosoknya sempurna di matamu kendati kau tahu tiada seorang pun yang sempurna di dunia.

Kalau kau membutuhkannya seperti udara segar, menginginkannya seperti musafir kelaparan dan mendambakannya seperti kafilah tersesat di gurun.

Kalau kenangan tentangnya menjadi hal terindah yang kau punya, yang ingin kau airkeraskan dan kau kantungi ke mana-mana.

Kalau ditinggalkannya kau remuk-redam babak-belur dan kau tahu, jika kau bisa mengulang waktu, kau akan tetap terjun dari tebing yang sama.

Kalau hidupmu berporos padanya, seluruh energimu terpusat pada eksistensinya dan semesta mungilmu dikuasainya tanpa banyak usaha.

(Mungkin) Itu cinta.

Pesan Untukmu

Aku melihatmu dan terkesiap oleh apa yang kudapati.

Kamu sangat kesakitan.

Lebih dari yang kukira.

Maafkan aku karena telah menyebabkan luka sedalam itu untukmu. Maafkan aku karena bukannya merawatmu, aku justru sibuk menyalahkan orang lain. Menyalahkan dia yang menyakitimu.

Maafkan aku karena lupa memberi perhatian justru di saat kamu paling membutuhkannya. Maafkan aku karena bukannya menjagamu, aku malah menyebabkan luka-luka baru yang tidak pantas kau tanggung.

Maafkan aku karena membiarkanmu membenci dan jadi pahit. Maafkan aku karena tidak ada bagimu saat kau membutuhkannya, padahal tak pernah sedetik pun kita berpisah. Barangkali cuma kamu yang tahu sakitnya diabaikan oleh orang yang tak pernah jauh darimu.

Aku akan menunggu. Sampai kamu sembuh. Sampai kamu siap berdiri lagi. Dan aku akan ada di sini untukmu. Ingatkan aku bila aku lupa. Sadarkan aku jika aku lengah.

Dan ajari aku, lewat caramu yang beraneka, lewat tontonan yang dipersembahkan Hidup setiap hari, untuk mencintai. Agar aku bisa membaginya denganmu, dan bersama, kita akan mencinta.

Aku. Di sini. Untukmu.

Dirimu Sendiri.