Sebuah Maaf untuk Suatu Masa

Kaset-kaset itu saya temukan di pojok kotak plastik besar, tempat saya menyimpan buku dan berkas-berkas yang tidak pernah lagi dibaca. Entah sudah berapa lama mereka ada di sana. Saya mengeluarkan semuanya satu-persatu sambil mengamati tahun-tahun yang tertera di label.

Kaset-kaset itu berisi rekaman khotbah saya dari tahun 2003 hingga 2005. Jumlahnya tidak banyak. Hampir semuanya direkam menggunakan walkman pinjaman dengan kualitas suara yang jauh dari memuaskan. Waktu itu, tidak banyak tempat ibadah yang memiliki alat perekam.

Saya memilih sebuah kaset yang hasil rekamannya cukup jernih dan memasangnya. Khotbah saya di sebuah gereja di bilangan Kelapa Gading lima tahun silam. Semenit pertama, saya tertawa-tawa mendengar suara saya sendiri; betapa lantangnya saya berkhotbah, betapa cepatnya saya bicara, betapa gugupnya saya.

Menit-menit berikutnya, senyum saya lenyap, berganti kegelisahan. Saya nyaris tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Saya sulit mempercayai apa yang terlontar dari mulut saya sendiri. Bukan hanya saya. Seorang anggota keluarga yang turut mendengarkan rekaman itu berkomentar polos, “Itu kayak bukan kamu.”

Tidak. Pasti ada yang salah. Tidak mungkin itu saya.

Saya tidak ingin mempercayai telinga saya sendiri. Kebaktian itu dihadiri lebih dari seratus remaja, namun tidak ada humor di dalamnya. Si pengkhotbah berbicara bagaikan mobil yang gasnya diinjak dalam-dalam. Kalimat-kalimat yang terlontar keras, tajam menusuk.

Saya mematikan player kurang dari limabelas menit. Saya tidak tahan mendengarkan suara saya sendiri. Saya tidak sanggup mendengarkan begitu banyak tuntutan bernada memaksa yang keluar dari mulut saya sendiri.

Saya meninggalkan tumpukan kaset dan duduk di depan televisi tanpa menyimak acara yang sedang disiarkan. Saya tercenung. Lama. Yang muncul berikutnya adalah air mata.

Saya telah meninggalkan mimbar lima tahun yang lalu. Hari ini saya sadar, meninggalkan tidak sama dengan menyelesaikan. Fase itu sudah lama berlalu dan hidup menghantarkan saya ke titik yang sama sekali baru, namun ada banyak hal yang belum selesai—setidaknya dalam batin saya sendiri.

Permohonan maaf adalah salah satu di antaranya.

* * *

Kepada semua orang yang pernah duduk di depan mimbar dan mendengarkan saya berkhotbah,

Maafkan saya atas segala tekanan yang saya berikan melalui pengajaran-pengajaran saya.

Maafkan saya atas penghakiman yang saya lontarkan tanpa mendengar dan menilai dengan bijak.

Maafkan saya atas ‘harus ini dan itu’, ‘lakukan ini dan itu’, ‘tidak boleh begini dan begitu’, dan segala tuntutan lain yang saya paksakan tanpa benar-benar mengenal satu orang pun di antara kalian.

Maafkan saya karena telah bersikap seolah-olah tahu yang terbaik tanpa memberi kesempatan kepada kalian untuk mencari kebenaran kalian sendiri.

Maafkan saya karena telah meminta kalian mengikuti kehendak saya dan melakukan apa yang saya inginkan.

Maafkan saya atas segala ketidakpuasan, kekecewaan terhadap diri sendiri, dan kemarahan yang saya lampiaskan dalam ceramah-ceramah saya. Maaf karena telah menjadikan kalian sasaran dari masalah batin saya sendiri.

Dan untukmu, Jenny,

Maafkan saya karena telah menuntut begitu banyak darimu.

Maafkan saya karena menginginkanmu menjadi yang paling sempurna. Menghendakimu menjadi teladan dan panutan bagi orang lain. Menetapkan standar yang terlampau tinggi hingga kamu kelelahan dan kehabisan daya. Menghakimimu sedemikian rupa hingga kamu tak mampu lagi percaya pada diri sendiri.

I am truly sorry.

* * *

Tulisan ini saya persembahkan kepada diri saya sendiri, sebagai salam pamit sekaligus penutup sebuah fase hidup yang telah berlalu. Juga kepada semua orang yang pernah bersilangan jalan dengan saya di masa itu—mereka yang pernah mendengarkan saya berkhotbah.

Terima kasih banyak. Kalian semua adalah guru saya, meski yang tampak di luar adalah sebaliknya. Kalian telah mengajar saya jauh lebih banyak dari yang kalian ketahui.

Thank you for being a part of this grand journey. Each one of you.

—–

Pada Sebuah Perpisahan

“Memang ini adanya. Bukan salah siapa-siapa. Aku berharap bisa bersamamu lebih lama, tapi semua sudah berubah.”

Aku selalu mendambakan laki-laki tegap berkulit eksotis dengan sorot mata yang bisa melelehkan perempuan. Bahkan sekejap aku pernah mengangankan laki-laki yang matanya cokelat muda, berhidung mancung, Kaukasian. Segala hal yang dijual sinetron murahan. Barangkali karena tak peduli betapa aku berusaha jadi pandai dan berkelas, perempuan memang mudah takluk pada keindahan.

Kamu tidak indah. Usia kita terpaut belasan tahun. Tidak ada kotak-kotak kekar di perutmu. Dadamu tidak bidang. Kulitmu terang, bukan cokelat eksotis. Namun aku menyayangimu lebih dari yang kutahu. Lebih dari yang kumampu.

Sayang itu tidak lahir sekejap mata. Butuh berkali-kali pertemuan dan entah berapa puluh pertukaran pesan melalui jagat maya dan komunikasi selular sampai aku sadar, hatiku jatuh sudah. Cinta itu lahir tanpa permisi, seperti Tuhan yang kadang mengetuk pintu kita tanpa diminta.

Seharusnya kamu menjadikan dia percobaan belaka. Seharusnya kamu tidak jatuh cinta. Seharusnya kamu sadar dari dulu.”

Aku tahu itu lebih dari kuhafal perkalian matematika. Lebih jelas dari satu ditambah satu sama dengan dua. Aku tahu itu sejak kamu menyatakan bukan aku satu-satunya dalam hidupmu. Bahwa sudah belasan tahun kamu menjalani pilihan ini. Bahwa kamu tidak siap untuk terikat. Bahwa manusia tidak pernah berubah.

Aku membuat diriku percaya bahwa aku mampu mengendalikan cinta dan ia takkan muncul tanpa diundang. Kututup hatiku rapat-rapat dan kubuat pengingat yang kutengok belasan kali dalam sehari. Pengingat untuk selalu berpegangan. Agar aku tak perlu tergelincir.

Namun hati memang curang. Didesaknya aku ke tepi jurang dan aku tak pernah sama lagi. Kubiarkan diriku jatuh kendati kutahu akan terhempas hancur. Tidak ada jaring pengaman di sana dan aku tetap melompat. Aku menjadi orang yang berbeda. Egoku membengkak dan membuncah. Mendorongmu menjauh, membuatmu jengah.

Hingga sampailah kita ke titik ini.

Apa ini gara-gara seks?”

Pertanyaan itu menghantuiku seperti perempuan berambut panjang yang kadang muncul di sudut kamar, sebelum akhirnya aku menyerah.

Barangkali iya. Barangkali juga tidak. Apa gunanya mencari tahu? Setahuku cinta tidak butuh alasan. Manusialah yang bersusah payah merangkai formula untuk merumuskan cinta. Jatuh cinta karena begini. Jadi sayang karena begitu. Toh akhirnya kita menyerah pada kesederhanaan itu: Mencintai karena mencintai.

Ini bukan salah siapa-siapa. Aku berharap bisa bersamamu lebih lama, tapi semua memang sudah berubah.”

Aku tak bisa mencegahmu pergi. Dan aku tak ingin merengkuhmu kembali jika itu cuma akan menderamu.

Kamu layak untuk bahagia seperti aku juga ingin bahagia. Namun izinkan aku menyampaikan apa yang tak pernah tuntas diucapkan bibirku. Sekali saja.

Aku mencintai dadamu yang tidak bidang, bulu-bulu kasar di tubuhmu, tahi lalatmu. Aku mencintai caramu tertawa, tarikan sudut bibirmu, senyum lebarmu. Aku mencintai lipatan perutmu, pundakmu, lengan-lenganmu yang besar. Aku mencintai kening lebarmu, mata teduhmu, bibirmu. Aku mencintai caramu menatapku. Aku mencintai kecupanmu yang berkali-kali. Aku mencintai pelukanmu lebih dari aku mencintai hujan.

Aku mencintaimu lebih dari hamparan pasir hangat, merdu gelombang laut, semburat keemasan senja, dan lengkungan pelangi.

Aku mencintaimu lebih dari semua keindahan yang pernah kutemui.

Serumit dan sesederhana itulah aku menyayangimu.

—–

Gambar dipinjam dari gettyimages.com

10 Things I Learn About Me

Saya tidak bisa menyenangkan semua orang, namun melihat orang lain terluka akibat perbuatan saya adalah sesuatu yang menyakitkan.

Menyakiti orang lain, apa pun alasannya, sama saja dengan menyakiti diri sendiri. Dan pada akhirnya, diri sendirilah yang paling menderita.

Kebahagiaan bukan untuk dicari. Ia datang dan pergi dengan sendirinya.

Sekuat apa pun saya berusaha mempertahankan sesuatu, ia akan pergi jika sudah waktunya.

Saya bisa lari menjauhi apa pun di dunia, kecuali diri saya sendiri.

Penghakiman terbesar tidak datang dari orang lain, melainkan diri sendiri.

Kejujuran dan meminta maaf bukan sesuatu yang sulit, dan ia menyembuhkan.

Berdamai dengan diri sendiri jauh lebih penting ketimbang bersahabat dengan seisi dunia.

Saya rindu diri saya yang lama. Yang polos, bodoh dan tidak menghakimi dunia.

Ya, saya tersesat. Saya ingin pulang.

—–

*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Bunda

Satu setengah tahun berjuang melawan kanker, akhirnya Mama terpaksa menyerah. Namun, sebagaimana sifatnya yang tertutup dan tidak ingin menyusahkan orang, Mama menyimpan penderitaannya rapat-rapat, bahkan sampai detik terakhir.

Hari itu, untuk kesekian kalinya beliau dibawa ke rumah sakit karena komplikasi setelah menjalani kemoterapi. Ia pergi ditemani Ayah, Paman, dan Nenek. Saya tidak merasa perlu ikut mendampinginya. Saya, yang sudah terbiasa dengan kunjungan rutin ke rumah sakit lima hari dalam sebulan, menganggap hari itu sama seperti hari-hari lainnya.

Saya berdiri di depan pintu, melepas kepergian Mama sambil melambaikan tangan. Ia dengan daster panjang kesayangannya. Ia dengan kepala polos tanpa penutup, karena ia membenci wig dan topi yang membuat gerah. Ia dengan wajah mengernyit, tanpa satu pun keluhan terlontar.

Hari itu tanggal 14 Juli. Mama pergi ke rumah sakit tanpa saya di sisinya. Ia tidak pernah kembali lagi.

Saya merelakan kepergian Mama, karena saya lebih memilih kehilangan seorang ibu ketimbang melihatnya menderita dalam kesakitan. Namun, perlahan-lahan kehilangan itu menjelma menjadi lubang hitam. Saya merindukannya, dan kini saya tidak akan pernah lagi bertemu dengannya. Satu-satunya saat di mana kami dapat berjumpa lagi, barangkali nanti, ketika saya menyusulnya ke surga. Meski saya tidak bisa memungkiri perasaan bahwa dalam saat-saat tertentu, ia terasa begitu dekat.

Seolah-olah Mama tidak pernah pergi dari sisi saya. Ia hadir dalam saat-saat terberat di mana saya merasa hidup tidak lagi ada gunanya dan saya ingin mati saja. Ia hadir dalam masa-masa paling mengecewakan di mana yang ingin saya lakukan hanya mengubur diri di bawah selimut dan menghindari dunia.

Seakan-akan Mama ada dan berbisik, “Tidak apa-apa, Nak. Semua akan baik-baik saja,” meski tangannya tak dapat menjangkau wajah saya yang berairmata.

Ia hadir dalam saat-saat penuh kebahagiaan di mana saya berkhayal dapat menghambur ke kamarnya dan menceritakan apa yang saya rasakan dengan penuh sukacita. Ia hadir dalam masa-masa penuh kegembiraan ketika saya berbangga hati atas pencapaian yang saya raih. Seakan-akan Mama ada, tepat di sisi saya, tersenyum lebar, dan berbisik, “That’s my girl.”

Betapa saya rindu mempersembahkan setiap kemenangan dan keberhasilan saya untuknya, dan saya tahu dia tahu.

Setelah bertahun-tahun, akhirnya saya sadar: saya keliru.

Mama tidak pergi ke tempat asing bernama Surga di mana kami terpisah selamanya. Saya tidak perlu menanti sampai mati untuk berjumpa lagi dengannya. Saya tidak perlu menunggu sampai masa kontrak saya dengan dunia berakhir untuk bisa menemuinya.

Mama tidak pergi ke tempat lain. Ia pulang ke hati saya. Sebuah tempat di mana ia akan abadi dan tak terganti. Dan kami akan selalu bersama. Selamanya.

I know you’re listening, Mom. Welcome home.”

* * *

Once in a dream, I saw you telling me
That you’ve traveled in the dark
Just to find that little spot
How you’d settle for a light
In the vastness of the night
Then I saw some tears were coming from your eyes
As you said you’d found your paradise
And I began to ask you: why you have to cry?

And now, it’s so dreamlike I hear you telling me
It’s been such a perfect grace; it’s been such a perfect place
To be in my heart at last, and have angels singing you a song
And it’s time for me to say goodbye to those eyes
To let you go so sleeplike and hear you whisper: why we have to cry?

It’s a journey, you say, an illusion of a journey
Now you can’t see where it ends and where it starts
It’s our life and our love that you wish to have, where you wish to be
In this tiny spark of memory, mortality
What’s left for me to do is to welcome you home
Back to my heart, back to heaven’s light
Back to my heart, and we’re never apart

(Back to Heaven’s Light – Dewi Lestari)

*Tulisan yang sama pernah dimuat di sini sebagai salah satu pemenang ‘Rectoverso Moment’ yang diadakan CosmopolitanFM bekerjasama dengan GoodFaith Production.

Pemandangan Sudut Jembatan

Hari ini, seperti hari-hari lain yang belakangan sering saya habiskan di pusat Jakarta, saya menaiki jembatan penyeberangan untuk mencapai kantor baru saya di bilangan Thamrin.

Hari ini, yang duduk di sudut jembatan itu adalah seorang ibu muda bersama bayi yang tertidur lelap tepat di sampingnya. Bayi yang usianya takkan lebih dari beberapa bulan. Tangan mungilnya masih tersembunyi dalam sarung putih. Pantatnya masih terbungkus popok. Bayi yang terlalu kecil untuk menghirup udara kehitaman Jakarta dan tersengat terik matahari.

Dalam ketergesaan, saya hanya melirik singkat kepada mereka dan terus berlalu. Namun pikiran saya memutar ulang pemandangan di sudut jembatan yang sama, yang saya temui sebelumnya.

Beberapa hari lalu, sudut itu diisi seorang ibu gemuk dengan rambut dicepol. Bocah di sampingnya barangkali berusia satu tahun. Ketika saya melintasi jembatan di siang hari, sang bocah sedang lelap tertidur. Ketika saya kembali sore harinya, bocah tersebut sedang bermain sambil tertawa-tawa. Sang ibu menggoda anaknya sambil tersenyum lebar. Tak urung saya ikut tersenyum menyaksikan pemandangan yang cuma sekilas itu. Mendadak, perjalanan pulang selama dua jam terasa lebih ringan.

Sudut jembatan itu juga pernah ditempati seorang kakek yang menggenggam wadah plastik bekas air mineral. Sorot matanya kosong, dan seperti kebanyakan orang yang melintasi jembatan itu dengan langkah-langkah cepat, saya pun berlalu begitu saja.

Hari ini, ketika pikiran saya sedang berpacu dengan jemari untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan, sebuah kalimat muncul di layar komputer. Saya tidak kenal penulisnya. Kalimat tersebut diteruskan oleh seorang kawan dalam jaringan pertemanan yang saya ikuti.

They say go for your dreams, don’t compromise for anything else. How do you know which one is the “dream” & which one is “anything else”?

Saya terdiam. Lama.

Mimpi-mimpi.

Saya selalu tahu apa yang saya inginkan. Ajukan pertanyaan itu kepada saya dan saya akan menjawabnya dengan sebuah daftar lengkap.

Semua orang bisa bermimpi. Mimpi itu tidak bayar, maka gantungkan cita-citamu setinggi langit. Bahkan anak Sekolah Dasar yang paling bodoh tahu itu. Namun apa yang saya lihat di sudut jembatan beberapa hari terakhir telah memberitahu saya, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mengejar mimpi.

Kakek yang menggenggam wadah plastik bekas air mineral mungkin cuma bermimpi bisa tidur nyenyak dengan perut kenyang malam ini.

Wanita gemuk dengan bocah berwajah sumringah itu barangkali bermimpi bisa menyekolahkan anaknya, setidaknya sampai lulus SMU.

Beberapa jam sebelum menuliskan entri ini, saya melintasi jembatan yang sama untuk menaiki bus merah-kuning yang akan mengantarkan saya pulang ke rumah—tempat yang nyaman di mana saya bisa beristirahat di kamar yang sejuk usai membersihkan tubuh dengan air hangat.

Ibu muda dan bayinya masih ada di sana. Mereka tertidur pulas di atas selembar kardus. Saya menatap mereka dan bertanya dalam hati, adakah perempuan ini punya mimpi. Barangkali mimpinya sederhana saja: bisa terlelap di ranjang yang hangat dan punya tempat tinggal yang layak agar esok si mungil tak perlu menghirup udara kotor dan tersengat matahari.

Semua orang bisa bermimpi. Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mengejarnya.

Hari ini, saya ingin berterimakasih pada seseorang yang tak saya kenal namanya. Atas sebuah pertanyaan yang mengusik hati dan mengingatkan saya akan sesuatu yang sudah lama saya lupakan.

Mimpi-mimpi saya. Saya sudah hidup di dalamnya.

Dan untuk itu, sepatutnya hari ini ditutup dengan ucapan syukur.

—–