The Dreamers

“Adududuh, panasnyaaa!”

Amira menoleh sekilas kepada Erin yang sibuk menaungi wajah dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri sibuk mengipasi tengkuk dengan selembar brosur les Inggris yang dilipat dua. Tindakan yang sia-sia karena matahari siang itu memang nggak main-main gaharnya.

Di samping Erin, Katya juga sibuk menurunkan suhu tubuh dengan gerakan yang tidak kalah demonstratif, membuat Amira geleng-geleng geli.

“Duh, gue berasa bau,” keluh Katya. Kaus olahraganya yang bersimbah keringat tampak lengket. Bagian depannya kotor oleh bola basket yang dipeluknya.

“Bentar lagi juga bisa pulang, terus mandi,” timpal Amira. “Tinggal 1 pelajaran lagi.”

“Kenapa sih mereka nggak bisa pake otak dikit?” cela Erin, kali ini ditujukan pada tim guru penyusun jadwal pelajaran. “Kenapa juga jam olahraga gak ditaruh pas deket-deket pulang sekalian, biar kita bisa langsung cabut? Konyol banget kalo kayak gini, udah bau-keringetan masih harus belajar Sejarah!”

Amira menyetujui celaan itu. Emang keterlaluan, sih. Bayangin, jam setengah duabelas siang, dengan tubuh penuh keringat dan bau matahari (belum lagi kalau ada yang lupa pakai deodoran… iiih!), perut lapar dan capek, masih harus ngikutin pelajaran Sejarah yang amit-amit nyebelinnya.

Untung, guru olahraga mereka siang ini cukup pengertian dengan membubarkan murid-muridnya 15 menit sebelum pelajaran berakhir, sekadar memberi mereka waktu untuk mendinginkan badan dan ganti baju.

Mereka juga diizinkan untuk keluar dari area sekolah dan membeli jajanan yang tidak tersedia di kantin -seperti es kelapa muda dan siomay- asalkan tidak terlambat masuk kelas. Pak Sugiri –si guru olahraga—sudah mewanti-wanti dengan ancaman squad jump 100 kali jika ada murid yang nekat cabut dan tidak kembali ke kelas.

Dan di situlah mereka bertiga nyangkut – di tukang minuman dingin yang menjual berbagai softdrink dan jus, membersihkan gelas masing-masing dari es kelapa muda. Minum dengan kecepatan tinggi, karena setelah ini mereka masih harus ganti baju.

“Balik, yuk,” ucap Amira. “Ntar nggak keburu gantinya, lho.”

Belum habis kalimatnya terucap, 2 orang cowok berpostur tinggi-besar dan berkaus kutung lusuh nongol di samping gerobak jualan si tukang es.

“Kacang ijo satu,” ucap salah satu dari mereka. Erin melirik sekilas. Lengan atas cowok itu dihiasi tato ular berwarna hijau-merah. Rambutnya yang semi-gondrong tampak lengket dan berminyak. Lagaknya sejuta banget, petantang-petenteng. Temannya, yang memakai 3 anting di telinga kiri dan rantai perak di celana, sebelas-dua belas gayanya.

“Eh, ada nona-nona cantik,” siul si cowok ketika menyadari kehadiran mereka bertiga.

Sambil membayar minuman mereka, Katya melirik Amira. Wajah Amira berubah tidak nyaman, sementara Erin santai saja menghabiskan sisa buah kelapa di gelasnya.

“Cepetan, Rin,” desak Amira. Erin menurut dan meletakkan gelasnya.

“Eh, kok udahan? Buru-buru amat,” sergah si cowok bertato. Temannya cengengesan di sampingnya. “Temenin kita dong!”

Refleks, Amira menggamit lengan sahabat-sahabatnya, mengajak pergi. Gestur itu ditangkap oleh si cowok yang kemudian berjalan maju dan mem-blok langkah mereka.

Dengan cepat Katya melirik si tukang minuman, minta bantuan. Laki-laki itu langsung buang muka, pura-pura sibuk meracik es kacang hijau.

“Permisi,” Erin berkata dingin. “Kita mau balik ke sekolah.”

Teman si cowok bertato ikut melangkah maju. “Anak Bina Mulia?” ia meneliti postur Erin dan teman-temannya. Ditatapi begitu, Amira kontan mengkeret, risih. Ia yang cuma memakai kaus olahraga dan celana pendek sepaha tiba-tiba merasa salah kostum banget.

“Sekolahnya orang kaya,” komentarnya lagi. “Yang anak-anaknya pada belagu.”

Erin berjalan memutar, namun langkahnya lagi-lagi diblok oleh si cowok bertato.

“Cantik juga lu,” cetus cowok itu dengan tampang mupeng, yang bikin Erin tergoda menaboknya. “Seksi, lagi. Walo rada bau keringet.”

“Tolong minggir,” kali ini Katya bersuara. “Gue dan temen-temen gue udah telat masuk.”

Si cowok beranting bersiul, melecehkan. “Sapa suruh maen jauh-jauh.”

“Lo mau duit?” tanya Erin, tapi bukan dengan gestur ketakutan. Malah sebaliknya, menantang.

Amira merasa telapak tangannya berkeringat. Duh, Erin, Katya… udah dong jangan ditantangin. Kasih aja apa yang mereka mau, biar bisa cepetan pergi

Angka di jam tangannya sudah menunjukkan pukul 11:20. Bentar lagi mereka nggak nongol di kelas, alamat squad jump 100 kali deh!

Si cowok bertato menggeleng-geleng sambil nyengir. “Duit? Lu kira gua mau duit lu, hah? Dasar cewek kaya belagu…”

Digertak begitu, Erin sama sekali tidak mundur. “Kalo gitu tolong minggir,” ucapnya, kali ini dengan intonasi yang lebih hati-hati, mengingat 2 cowok preman ini bisa saja berbuat yang lebih fatal pada mereka.

Cowok bertato itu tidak menjawab. Ia malah berjalan maju, dan sebelum Erin sempat menghindar, ia mengulurkan tangannya yang besar dan kotor …dan memegang payudara Erin.

Amira menjerit tertahan, ketakutan setengah mati, sementara Katya sontak melangkah mundur dan Erin mati-matian berusaha menahan diri untuk tidak berteriak.

Ditatapinya cowok itu dengan sorot setajam silet, dan tanpa ragu-ragu Erin meludahi wajahnya.

Si cowok bertato terperanjat. Temannya bersiul lagi, antara kaget dan senang. Katya melirik sadis ke arah cowok beranting yang tampak sangat menikmati scene itu, tapi juga tidak berani berbuat apa-apa. Salah-salah nanti gantian ia yang kena!

“Cewek bangsat,” desis si Tato murka. “Berani lu ngeludahin gue.”

“Tangan lo perlu disekolahin,” balas Erin enteng, “dan tadi itu pelajaran pertama.”

“BERANI LU AMA GUA, HAH?! LU GAK TAU GUA SIAPA?!”

“Erin? Katya?”

Suara itu membuat mereka berenam –termasuk tukang minuman yang dari tadi cuma menonton adegan itu tanpa berani ngapa-ngapain—menoleh.

Pak Sugiri berjalan ke arah mereka, setengah berlari. Ekspresinya campuran antara kaget dan marah, entah karena fakta bahwa 3 muridnya yang ngilang begitu aja dari pelajaran Sejarah ternyata ada di sini, atau karena melihat mereka dikepung oleh 2 preman cap kapak.

Tidak jauh di belakang Pak Sugiri, muncul Parto dan Bahri, satpam sekolah.

Si cowok bertato mendengus kesal, lalu meraih gelas kacang hijaunya dan berjalan pergi, seolah tidak terjadi apa-apa. Temannya mengikuti.

Amira mendesah lega, hampir menangis. Tinggal si tukang minuman yang panik, karena 2 begajulan itu membawa pergi gelas-gelasnya, tanpa bayar pula!

Ajaibnya, Pak Sugiri tidak bertanya apa-apa. Mungkin karena melihat Amira yang mukanya sudah seputih mayat. Digiringnya mereka bertiga kembali ke sekolah, dan –sama sekali di luar dugaan—ia menyuruh mereka istirahat di kantin.

“Gila banget,” gumam Katya sambil menyedot es teh manis.

“Kamu… nggak pa-pa, Rin?” tanya Amira hati-hati.

Erin mengaduk-aduk orange juice-nya, sesaat tampak geram. “Dasar anjing,” makinya pelan. “Otak mesum. Babi goblok.”

Amira menatap sahabatnya, heran. Kalau ia yang mengalami pelecehan kayak gitu, mungkin sekarang ia sudah nangis-nangis nggak karuan, merasa kotor dan helpless. Tapi Erin sama sekali tidak kelihatan terpukul — ‘cuma’ marah.

“Gue udah pernah ngalamin beginian juga, pas SD,” ucap Erin. “Tapi waktu itu gue gak bisa ngapa-ngapain. Kalo yang tadi, seenggaknya masih sempet ngasih cinderamata,” ia nyengir membayangkan wajah berang si Tato waktu diludahi.

Amira melotot sampai es batu yang dikulumnya nyaris loncat keluar.

“Dan kamu nggak kenapa-napa ngalemin hal kayak gitu?”

“Marah, sih. Abis itu gue ngadu ke nyokap, dan nyokap nerusin perkara itu ke Kepsek sampe si brengsek itu dikeluarin dari sekolah. Puas banget gue,” Erin bercerita santai.

“Kamu nggak stres? Nggak down? Nggak ngerasa hina?” Amira terus mencecar walau ia tahu sebenarnya itu tidak sopan, apalagi sahabatnya baru mengalami hal yang sama — sekali lagi.

“Ngapain?” Erin merespon balik, sama santainya. Kali ini bahkan sambil membuka sebungkus roti cokelat-keju. “Buat apa juga ngerasa hina, bukan gue yang salah kok.”

“Tapi kan kamu yang jadi korbannya.”

“Justru itu,” ucap Erin sambil mengigit roti. “Gue korban, bukan penjahat. Hina itu kalo ngelakuin sesuatu yang kotor, yang jahat. Ngapain ngerasa hina untuk sesuatu yang bukan salah lo. Mereka aja yang otaknya kotor.”

“Setuju!” timpal Katya. “Sepupu gue juga pernah kayak gitu tuh, padahal dia gak ngapa-ngapain, cuma lagi nunggu bis di pinggir jalan. Dasar orang-orang sinting gak pake otak, gak punya nurani.”

Lagi-lagi mata Amira membulat, shocked.

“Ngerasa kotor, hina dan stres hanya bikin kita ngabisin lebih banyak energi. Ruginya 2 kali lipet,” tandas Erin.

“Tapi… kamu nggak nyesel pernah digituin?” Amira tidak habis pikir. Kalau ia yang ngalamin itu, mungkin seumur-umur ia bakal menyesali diri, kenapa itu bisa terjadi, di mana salahnya, mengapa harus ia yang mengalami, dan seribu pertanyaan lain.

Erin mengerling. “I have better things to do,” ia menjawab keheranan yang terpancar di wajah sahabatnya dengan kalem. “Gue punya mimpi dan cita-cita. Mendingan gue ngabisin energi untuk ngejar mimpi gue daripada nyeselin keadaan dan mikir yang nggak-nggak.”

And what is your dream?” Katya meraih sisa roti di tangan Erin dan memakannya.

Ditodong begitu, Erin malah nyengir.

My dream is… bahwa suatu hari nanti dunia bakal berada dalam genggaman gue.”

“Hah?” lagi-lagi Amira melongo dengan suksesnya.

“Caranya?” Katya –si cuek yang mulutnya setajam silet—bertanya sambil nyengir, dengan ekspresi sedikit menantang.

Erin tersenyum balik. Ia merogoh saku celana olahraganya dan mengeluarkan selembar kertas yang terlipat empat. Katya meraih kertas itu dan membacanya, lalu ternganga heran.

No kidding, Rin! Ini kan…”

“Gue berhasil masuk semifinal ‘HighLite! Look’. Doain, ya,” Erin menatap ketiga sahabatnya penuh semangat, sementara Amira merebut kertas itu dari Katya dan membacanya dengan ekspresi yang nggak kalah dodolnya. “Kalo gue jadi model ngetop kan elo-elo juga yang bangga.”

“HEBAAAT!” Katya bersorak dan melebarkan tangan, memeluk erat-erat sahabatnya yang bau keringat.

“Selamat ya, Rin,” Amira berkata tulus, salut banget akan sahabatnya yang punya determinasi kuat dan semangat juang tinggi ini.

Erin tertawa gembira. “Thanks. Gue juga seneng banget. Ini tahap awal pencapaian mimpi gue.”

“Hidup para pemimpi!” Katya mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. “Gue juga, ah, mau berjuang buat ngewujudin mimpi gue bertualang keliling dunia! VENICE, INDIA, NEPAL, HERE I COOOME!”

“Untuk para pemimpi,” Katya mengangkat orange juice-nya yang tinggal seperempat. “Semoga mimpi kita jadi kenyataan!”

Mereka bersorak heboh sampai Ibu Kantin melongok keheranan.

“Kalo elo, mimpi lo apa, Mir?” tanya Erin setelah mereka menghabiskan minuman masing-masing.

Mimpi aku…?

Amira berpikir-pikir. Sejenak kemudian ia tersenyum lebar, sangat yakin. “Jadi penulis besar kayak Dewi Lestari dan Seno Gumira Ajidarma!”

Zebra, Jajan dan Sebuah Pelajaran

Iya, jajan.

Bukan sekali-dua kali saya dibilang ‘perut naga’, lantaran kebiasaan yang sudah mendarah daging ini. Hidup untuk makan, atau makan untuk hidup? Saya mah nggak pusing dengan pertanyaan itu, karena saya hidup untuk JAJAN. Hehehe.

Jajan itu nikmat, bos. Teman-teman sekantor sudah hafal dengan kebiasaan saya yang sering menyelinap keluar pada jam kerja *uuups* untuk mampir ke toko buah di ruko sebelah (yang juga menjual snack dan es krim), sekadar untuk membeli cemilan.

*Eh, by the way, sebagai karyawan yang baik budi, saya tahu diri untuk tidak kabur lebih dari 10 menit, lho. :-D*

Sekali lagi, jajan itu nikmat, Jendral. Nggak tahu ya kalau orang lain, tapi saya sering sekali menyetok makanan di kantor, di rumah, bahkan di tas, saking sukanya jajan.

—–

Kemarin, Alex merengek minta diperlihatkan foto ketika wisata ke Taman Safari. Dia sangat suka gambar binatang, dan selembar foto patung zebra segera menarik perhatiannya. Berulangkali dia memperhatikan foto itu sambil berceloteh sendiri.

Merasa dapat ide jenius, saya mengeluarkan sebungkus Astor.

“Liat nih Auntie punya COKELAT ZEBRA!!!”

(Go on, laugh.. ;-D)

Benar saja. Dalam sekejap dia langsung terfokus pada bungkusan merah itu dengan raut ingin. Awalnya saya ragu, karena anak ini tidak terlalu suka makanan manis. Tapi, setelah mencicipi, ternyata Alex malah minta tambah.

Di ruangan sebelah, Daddy dan Mommy-nya sedang berdiskusi dengan 2 orang tamu. Sejak dulu, Alex selalu diajar: “Kalau Daddy dan Mommy lagi meeting, nggak boleh ganggu.” Jadilah dia bermain hanya ditemani Ncus dan teddy bear.

Ketika sedang mengunyah Astor ketiga, tiba-tiba Mommy menjenguk dari balik pintu. Spontan si kecil melonjak girang dan menghambur ke pelukannya.

“Awek mamam zebwa!” lapornya dengan mata berbinar-binar. Tangan kanannya terulur bangga, memamerkan ‘cokelat zebra’.

Sebatang Astor berpindah ke mulut Mommy. Alex memang suka memberi dan tidak pelit (walaupun mood-nya sangat menentukan, hihihi). Tidak lama kemudian, sang Mommy kembali meeting bersama tamu-tamunya.

Astor keempat kini sudah di tangan, tapi Alex tidak mau melahapnya.

“Buat Daddy,” katanya. Dan batangan cokelat bergaris-garis itu tetap digenggam, sama sekali tidak dimakan.

Kami bermain lagi, tapi gerakan Alex tidak leluasa karena tangannya terus memegang Astor. Sesekali si kecil berlari ke luar untuk mengintip Mommy dan Daddy, yang terus berbincang serius. Lalu dia kembali meneruskan permainan dengan Astor di genggaman.

“Buat Daddy,” ulangnya. Dia bahkan tidak mau menitipkannya pada Ncus.

“Alex makan aja,” saya cengar-cengir geli. “Nanti Auntie kasih yang baru untuk Daddy, kalau meeting-nya udah kelar.”

“Ga mau,” tolak Alex. “Buat Daddy.”

Berulangkali dia melirik makanan itu, tapi tidak digigitnya. Saya dan si Ncus saling berpandangan. Kira-kira tahan berapa lama?

Alex terus saja bermain. Tangan kanannya yang menggenggam Astor tidak bisa digunakan, tapi dia tidak peduli. Semua dilakukan dengan tangan kiri. Justru saya dan si Ncus yang geregetan melihat tingkahnya. Ribet bo.

“Alex makan dulu aja itu Astor-nya, biar nggak susah mainnya,” bujuk Ncus.

Alex menggeleng. “Buat Daddy,” katanya kekeuh. Dia kembali beranjak ke ruang sebelah, mengintip Daddy yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan selesai meeting, dan bermain lagi dengan satu tangan.

Meeting itu selesai berjam-jam kemudian, saat Alex sudah berganti baju tidur dan siap terbang ke pulau mimpi. Dia sudah lupa pada Astor-nya. Makanan itu sudah tidak karuan rupanya, karena Astor cepat melempem jika terlalu lama terpapar udara.

Daddy tidak jadi mendapat cokelat zebra, tapi matanya berbinar ketika diberitahu bahwa bocah semata wayangnya rela tidak makan Astor demi membaginya dengan sang ayah. Sebagai ganti Astor yang tidak jadi diberikan, Alex mendapat pelukan dan ciuman sayang dari Daddy.

🙂

Hari itu saya kembali belajar, bahwa kasih sayang bisa mengalahkan rasa egois dan keinginan yang berpusat pada diri sendiri. Menginginkan sesuatu untuk diri sendiri bukan hal yang salah, namun keinginan itu menjadi lebih indah bila dibagi dengan orang yang dicintai. Memberi –bahkan berkorban—menjadi tidak sulit untuk dilakukan bila dilandasi dengan hati yang penuh cinta. Alex telah membuktikan itu dengan caranya sendiri.

Ah, Alex. Kemarin saya belajar dari seorang remaja. Sekarang saya belajar dari bocah berumur 2 tahun.

Tapi, bukankah kehidupan memang sebuah proses belajar? 😉

Tentang Bahagia dan Jatuh Hati

Saya selalu merasa bahagia waktu…

…dapat kabar dari redaksi bahwa tulisan saya akan dipublikasikan.

…naik gaji *HALAH!* ;-D

…berkumpul dengan sahabat-sahabat; dari cekikikan gila sambil membahas hal-hal yang nggak penting jaya, sampai diskusi serius ditemani secangkir kopi.

…berkenalan dengan teman-teman baru yang seru.

…badan lagi capek, suntuk plus rada meriang, tiba-tiba si Papah menelepon untuk bilang, “Udah makan belum? Istirahat gih, jangan terlalu capek.” 🙂

…bertemu anak-anak kecil yang lucu dan menggemaskan (DAN tidak cengeng. Itu penting Jendral!).

…sedang jatuh hati.

Sekarang saya sedang bahagia karena 2 hal terakhir. 😉

Sumpah, saya langsung jatuh hati waktu bertemu dia, padahal saya ditinggal tidur dengan cueknya, hehehe.

Saya. Senang. Sekali.

Melihatnya menyurukkan kepala ke tubuh ibunya dan tidur pulas di sana.
Melihat sudut-sudut bibirnya terangkat seperti mau menangis, lalu kembali tidur dengan nyenyaknya.
Melihat matanya berkedut dan dahinya berkerut dalam tidur (mimpi apa, Dek?).
Mendengarnya merengek persis sebelum dipindahkan ke boks bayi (belum puas kangen-kangenan sama Ibu ya, Dek?)
Membayangkannya tumbuh selama 9 bulan di rahim hangat sang Ibu, dan akhirnya keluar untuk menyambut dunia di Minggu pagi yang cerah.

Pipi yang masih merah. Hidung yang lucu menggemaskan. Mata yang terpejam rapat. Ujung-ujung rambut yang menyembul halus dari balik topi. Tubuh mungil yang terbungkus selimut lembut.

Mendadak saya merasa bahagia. Sepertinya dia memang dilahirkan untuk membawa kebahagiaan, persis namanya. 🙂

Welcome to the world, Harsya Malik Rachmidiharja. Semoga kamu senantiasa bersinar untuk membuat dunia tersenyum.

Selamat untuk Sitta Karina (Arie) dan Trias Rachmidiharja atas lahirnya putra pertama, 6 April 2008. Semoga selalu berbahagia. 🙂

*By the way, saya jadi jatuh hati juga dengan rumah sakit ini. Bo, asli, seumur-umur baru kali ini ketemu RS yang ambiance-nya nyaman dan ramah (baca: nggak ‘dingin’ dengan bau steril menusuk dan suasana depressing). Sederhana tapi hangat, dengan harga bersahabat. Gimana Djeng May, tertarik? 😉

Konversasi Akhir Minggu Lalu…

Umur yang mendekati (atau sudah melewati) seperempat abad memang bukan alasan seseorang bisa disebut DEWASA. Bukti yang tak terbantahkan untuk kasus ini ditemukan minggu lalu, dalam konversasi-konversasi tolol di sebuah restoran.

Waktu bebek panggang disajikan (dengan kepala bebek utuh):
+ Ih bebeknya ngeliatin gue! (mengambil daun selada untuk …menutup mata si bebek)
– Ngapain sih lo?
+ Abisnya gue gak enak makan diliatin!

;-D

+ Mbak, ini menu terakhir, ya?
Pramusaji: Iya, abis ini buah.
– Yah, gue masih laper nih (berpandang-pandangan dengan kecewa).
+ Ah tenang aja. Bentar lagi kan tiup lilin, trus potong kue.

;-D

Waktu melihat kondisi meja yang naas dengan piring kosong berserakan — melukiskan rasa lapar yang teramat sangat:
+ Kenapa kita makannya ganas-ganas bener ya?
– He eh. Makanan udah abis masih laper aja. Padahal dulu kita kalo ke sini, baru beberapa menu aja udah kenyang ya.
+ Mungkin itu.. pertanda kita mulai tuir?
– Hah?
+ Iya. Dulu kan kita masih kecil. Makannya dikit…

;-D

Datanglah sepupu dari meja seberang, membawa sepiring udang:
+ Nih, buat kalian.
– Wuaaaa, ASIIIK! (lupa diri, lupa umur, lupa sikon)
+ Tapi burung daranya gue ambil ya. (sambil mengangkut beberapa potong daging burung)
– Yah… (jadi agak menyesal)

Hehehe.

*Just in case ada salah satu ‘anggota pembuat kerusuhan’ yang baca entri ini: I had great time, guys! ;-D

"Titip ya, Kak."

Kali pertama (dan terakhir) saya bertemu dengannya adalah dalam bis antar kota jurusan Sukabumi-Jakarta.

Setelah dengan cakepnya ketinggalan travel, saya memilih untuk pulang naik bis. Ternyata angkutan umum itu penuh. Saya salah satu yang beruntung mendapatkan kursi terakhir. Beberapa penumpang terpaksa berdiri. Tukang jualan hilir-mudik di sepanjang lorong bis yang sempit, mengundang makian dari beberapa penumpang yang tersenggol atau terinjak, sementara asap rokok tidak berhenti menguar bagai kabut tebal. Belum lagi pengamen yang tidak berhenti naik-turun dengan penuh semangat. Tidak ada AC, jendela pun sulit dibuka. Lagipula, gerimis di luar membuat beberapa orang yang berdiri protes ketika kaca jendela digeser. Kena tampias, katanya.

Saya memangku tas berisi pakaian dan postman bag, memeluknya erat-erat dengan paranoia berlebihan. Jujur, rasanya agak gimanaa gitu. Saya yang terbiasa manja dengan kenyamanan mobil travel, mendadak merasa risih.

“Jam berapa, Kak?” pertanyaan itu membuat saya menoleh.

“9 kurang 10.” jawab saya kepada gadis berpostur imut dengan rambut pendek yang duduk berselang 1 kursi dari saya.

Ia beringsut dari tempat duduknya. “Titip tas ya, Kak. Pengen pipis,” katanya polos. Saya cuma mengangguk.

Tidak lama setelah ia kembali, seorang laki-laki setengah baya masuk dan duduk di antara kami. Mengingat sempitnya bangku yang saya duduki, saya sempat berpikir untuk meletakkan tas di rak atas kursi. Tapi niat itu gagal, karena tas saya terlalu gendut untuk dijejalkan di situ. Sama sekali tidak muat.

Udara panas mulai membuat saya gerah. Teriakan-teriakan pedagang asongan dan pekatnya asap rokok membuat saya menghela nafas. Ini bakal jadi perjalanan yang tidak menyenangkan.

Pengamen selesai mendendangkan lagu. Kantong bekas permen mulai diedarkan. Saya ingat ada beberapa lembar ribuan di dompet, tapi dompet itu ada dalam postman bag (di dalam kantung ber-retsluiting pula) yang sedang saya dekap erat-erat di celah sempit antara perut saya dan tas pakaian.

Ah, bodo deh.

Saya hanya menjawab sodoran kantung permen dengan gelengan.

Si gadis rambut pendek membungkuk-bungkuk, merogoh tas yang ditaruh di lantai bis sebagai pijakan kaki. Tidak lama, sekeping ratusan berpindah tangan.

“TAHU, TAHU, TAHU! Lima sarebu, masih anget!!!”
“KACANG! KACANG REBUS!”
“PERMEN, TISU, ROKOK! Aqua-nya, Neng?”

Saya kembali menggeleng.

“Buat di jalan? Kalo haus?”

“Nggak, Bang.” Saya mulai menyesali keputusan untuk duduk di pinggir. Sudah beberapa kali peti asongan menyerempet kepala saya, dan entah berapa kali kaki saya terinjak pedagang-pedagang slebor.

“Tisunya, Neng? Permen buat di jalan?”

“NGGAK.”

Saya memejamkan mata, berusaha tidur.

“SELAMAT PAGI BAPAK-IBU SEKALIAN, SENANG JUMPA DENGAN ANDA SEMUA, IZINKAN KAMI MENGHIBUR ANDA DENGAN TEMBANG-TEMBANG MERDU…”

D-A-R-N. This is going to be a long day.

Saya adalah tukang tidur, terutama dalam kendaraan yang sedang bergerak. Saya bahkan biasa tidur pulas di angkot (yang menurut teman-teman saya berbahaya, which is true, hahaha!). Di mobil, angkot, taksi, travel, ojek (!), saya selalu terlelap dengan mudahnya. Tapi hari ini adalah pengecualian.

Lagi-lagi saya menampik ketika kantung uang diedarkan, meski dompet saya ada di balik kain hijau penutup tas. Males, males, males.

Saya melirik ke samping. Si gadis berambut pendek kembali membungkuk-bungkuk, meraih ransel di bawah kaki. Kali ini dua keping ratusan berpindah tangan.

Dan itulah yang terjadi selama sisa perjalanan. Sekali waktu, saya ingat bahwa saya masih punya uang ribuan dalam saku celana dan memberikannya untuk seorang pengamen bersuara merdu. Tapi cuma itu. Si gadis berulang kali merogoh tasnya dan mengeluarkan beberapa keping rupiah untuk SETIAP pengamen yang naik ke bis. Semua pengamen dikasih!

Hebat, batin saya. Saya, tanpa alasan yang benar-benar spesifik, tiba-tiba merasa salut padanya. Entah kenapa. Mungkin karena keikhlasannya memberi. Mungkin karena kerelaannya mengulurkan rupiah demi rupiah, sementara ia sendiri hanya berbalut sehelai kaus hitam lusuh dan ransel merah kotor. Mungkin karena nurani saya ikut terketuk oleh tindakannya memberi tanpa terhalang kepapaan.

Tiba-tiba saya merasa sejuk, meski udara panas semakin menggigit.

Bis berhenti sejenak di halte Grogol. Lelaki yang duduk di antara saya dan si gadis beranjak turun. Dengan lega kami menggeser tubuh agar lebih leluasa duduk.

Pengamen terakhir meloncat naik: 3 orang bocah berumur sekitar 8 sampai 4 tahun yang membawa kecrekan dan amplop-amplop putih. Saya tersenyum geli. Mengamati tingkah mereka jauh lebih menghibur daripada mendengar nyanyiannya, karena suara mereka …sumpah fals, bo.

Tapi mereka lucu dan menggemaskan. Beda dengan anak jalanan yang sering saya jumpai, ketiga bocah ini justru asyik bercanda dan tertawa-tawa ribut.

Saya mengambil dompet dan baru mengeluarkan selembar rupiah, ketika siku saya disenggol.

Si gadis menyodorkan uang seribuan kepada saya. “Titip ya, Kak,” ucapnya sambil menunjuk amplop putih yang saya pegang.

Saya memasukkan uang ke dalam amplop dan memberikannya kepada bocah yang paling besar. Lalu saya berpaling pada si gadis yang sudah asyik memperhatikan kendaraan di luar jendela.

Penasaran, saya mengajaknya ngobrol. Ternyata ia gadis yang supel dan tidak segan-segan bertanya balik. Ia bekerja di Sukabumi dan sedang dalam perjalanan pulang ke Pandeglang, Banten.

“Sampe sananya bisa malem, Kak. Lumayan jauh,” ungkapnya. Saya manggut-manggut sambil nyengir.

Ingatan saya cukup payah. Saya memiliki kapasitas otak yang sangat terbatas untuk mengingat nama orang. Jangankan nama, wajah aja suka nggak hafal. Bahkan setelah ngobrol cukup panjang, sampai detik ini saya tidak bisa mengingat namanya.

Yang saya ingat hanya jawaban terakhir yang diberikannya sebelum kami berpisah di terminal. Didorong penasaran, saya bertanya apa pekerjaannya di Sukabumi. Dugaan saya, dia bekerja di pabrik atau toko.

Ia memandangi saya dengan polos. Rambutnya kusut dan kelelahan membayang di matanya, tapi dia tetap tersenyum.

“Saya pembantu rumah tangga, Kak.”