I Love You!

Untuk cinta yang tanpa syarat, 24/7: I love you.

Untuk sepasang mata yang selalu bersinar lembut saat tatapan kita bertemu: I love you.

Untuk tidak pernah lupa menelepon, “Udah makan belum? Jangan lupa makan teratur, jangan kecapean kerjanya”: I love you.

Untuk obrolan-obrolan santai di dalam mobil, waktu kita berkendara menyusuri jalan tol yang lengang pada Minggu pagi atau Minggu malam: I love you.

Untuk curhat-curhatnya yang membuat saya merasa ‘penting’ dan dipercaya: I love you.

Untuk bercandaan yang garing tapi tetap kocak: I love you.

Untuk mendukung setiap pilihan yang saya jalani dalam hidup: I love you.

Untuk selalu ada bagi saya, kapan pun, dimana pun: I love you.

Untuk petuah-petuah berharga yang tidak menggurui: I love you.

Untuk nasehat-nasehat bijaksana yang tidak pernah membosankan didengar berulang kali: I love you.

Untuk memberi teladan lewat tindakan dan perbuatan, bukan kata-kata belaka: I love you.

Untuk ketekunan dan ketabahan yang membuat saya semakin mengerti makna bersyukur: I love you.

Untuk setiap tetes keringat dan tekad yang selalu saya kagumi: I love you.

Untuk kerelaannya berkorban tanpa pernah mengharap pamrih: I love you.

Untuk senantiasa menekankan bahwa yang terpenting bukanlah apa yang kita miliki, melainkan bagaimana cara kita menjalani hidup: I love you.

Untuk tetap bertahan menghadapi saya dalam masa-masa sukar dimana saya menjelma jadi perempuan paling menyebalkan sedunia: I love you.

Untuk menjadi diri sendiri; sosok yang selalu membuat saya merasa nyaman dan dicintai apa adanya: I love you.

Untuk menempatkan saya sebagai prioritas, dalam hati dan kehidupan: I love you.

Untuk mengajarkan bahwa yang terpenting bukanlah pertalian darah, melainkan cinta yang dipilin dengan ketulusan tanpa pernah mementingkan diri sendiri: I love you.

Untuk setiap helai uban dan kerut di wajah yang bertambah seiring usiamu, yang menandakan betapa lamanya kita telah bersama dan saling menyayangi: I love you.

Thank you for making me the luckiest girl on earth, Dad. I will always, always be so much proud of you.

*Terinspirasi sebuah percakapan di Minggu malam saat menyusuri tol berdua dengan Ayah, dan sebuah entri di blog ini. 😉

Resep Bahagia (?)

Define your happiness

…ah, nevermind ;-D.

*Goji: semacam sari buah (yang katanya) dari Himalaya. Or something like that.

Warna-warni Februari

Lupakan banjir yang merendam rumah sampai sepinggang. Lupakan mengungsi di kantor berminggu-minggu dan memakai kemeja yang itu-itu saja (eh, tapi tetep dicuci lho! Sumpah! ;-D). Lupakan perasaan dag-dig-dug yang selalu muncul ketika hujan lebat turun. Lupakan reruntuhan tembok di depan rumah. Lupakan cat dinding yang mengelupas, pintu-pintu yang rusak dan tidak bisa ditutup, juga aroma banjir yang menyengat.

Meski sempat senewen waktu banjir kemarin, banyak hal menggembirakan terjadi di Februari ini – terutama menjelang akhir bulan, saat situasi sudah kembali kondusif. *tsah!*

Salah satunya, formulir pendaftaran yang sudah saya tunggu-tunggu sejak 2007 akhirnya datang juga. Pendaftaran apa? Ada deh. Bukannya pelit, cuma agak males cerita karena orang-orang yang sempat saya beritahu –alih-alih mendukung—malah jadi tergila-gila dengan saya (“GILA LO! Ngapain sih begitu-begituan?!” – I know, garing. Hehehe). Yang jelas, I’m so excited about it.

Selanjutnya, proyek kantor yang saya tangani 2 bulan ini akhirnya selesai juga. Beberapa rekan sempat mempertanyakan hal ini, karena di tengah-tengah pengerjaan sempat muncul beberapa masalah yang menyebabkan saya terpaksa menunda untuk waktu yang cukup lama. Deadline akhir Februari, dan ketika masalah-masalah itu datang saya sempat sangsi, bisa kelar nggak ya? Ya sudah, akhirnya modal nekat. Setiap ditanya, dengan (sok) yakin saya selalu menjawab, ”Nggak mundur kok. Tetap selesai akhir Februari.” Tanggal 22, jam 4 sore, proyek yang melelahkan jiwa raga *maap, hiperbola* itu selesai. Fiuuuuuuh.

Lalu, setelah khawatir berlebihan akibat kebanyakan nonton berita tentang situasi di Timor Leste pasca tertembaknya Ramos Horta, akhirnya saya mendapat kabar yang melegakan: Jeung ini baik-baik saja. (Ya maaf, saya memang suka paranoid teu puguh.) Abis gimana yaaa… berita tentang status darurat di daerah rawan konflik –di mana sahabat saya berada—yang berpotensi dilanda kerusuhan massal sampai tentara bersenjata dengan tank baja bersiaga di seluruh penjuru kota mungkin memang bisa menimbulkan efek berupa khawatir berlebihan. Hihihi. Belum lagi minimnya sarana yang menyebabkan komunikasi jadi terhambat. Sumpah, saya lega setelah tahu bahwa dia baik-baik saja. 😉

Setelah cukup lama mengungsi (baca: pindah-pindah tidur sampai berasa jadi tunawisma), akhirnya saya bisa pulang ke rumah, meski aroma banjir masih setia menyapa hidung dan perabot masih berantakan – belum bisa ditata karena separuh rumah masih dalam perbaikan. Nggak apa lah, yang penting tidur di rumah sendiri, di kamar sendiri! ;-D

Setelah radang tenggorokan dan pilek yang menyiksa, akhirnya si kecil Alex kembali ceria dan bisa bermain lagi. Lari sana-sini, main sepeda pagi-siang-sore, lompat-lompatan sambil menonton Elmo, berseru-seru minta dibacakan buku, bercanda sampai tergelak-gelak… aduduh… senangnyaaa…

Tanggal 23 kemarin, di acara launching novel terbaru Sitta Karina, saya bertemu dengan teman-teman adik-adik milis yang super-heboh. Walau tidak ikut bergabung dengan kerumunan, saya cukup menikmati jalannya acara. Tidak disangka, Farida Susanty –pemenang Khatulistiwa Award 2007 kategori Penulis Muda Berbakat—juga hadir di situ. Saya sempat menyapa penulis berusia 17 tahun ini, dan salut dengan sikapnya yang sangat rendah hati. (Four thumbs up for you, Dear. Terima kasih atas konversasi singkatnya, yang membuat saya banyak berpikir tentang tujuan hidup dan arti pencapaian. Thanks sudah berbagi. Terus bercahaya ya, sebarkan rasa syukur, inspirasi dan kebahagiaan pada sebanyak mungkin orang 😉 )

Last but not least… novel dari penulis favorit saya –yang sudah ditunggu-tunggu sejak tahun lalu—akhirnya terbit! Saya selalu termehe-mehe membaca karya-karya Sitta Karina yang smart, witty dan ‘beda dari yang lain’. Yang paling saya tunggu-tunggu adalah saga keluarga Hanafiah yang nggak ada matinya. Sembilan novel, bow. Kapan kita bisa kayak gitu ya, Qi? ;-D

‘Seluas Langit Biru’ adalah novel favorit saya setelah ‘Pesan Dari Bintang’ dan ‘Lukisan Hujan’ (masing-masing karya penulis yang sama). Relationship Bianca dan Sora –tokoh-tokoh sentral—diceritakan dengan intens dan touchy. Bianca adalah perempuan tomboi, cuek dan saklek yang ‘unik sendiri’ di keluarga besar Hanafiah. Ketika sepupu-sepupunya menikmati kehidupan social butterflies yang serba gemerlap, Bianca memilih mendalami martial art dan menggemari segala sesuatu yang berbau ninja. Hidupnya berbalik 180 derajat ketika ia dijodohkan dengan Sultan yang gila kerja, kaku dan sedingin es, atas nama kelancaran bisnis keluarga. Belum sempat menata hati dari shock dan sindrom ‘ini-tidak-adil’, Bianca harus menghadapi kenyataan bahwa Sora –ksatria penyelamat yang dimuntahi dan diciumnya saat mabuk—adalah adik tiri Sultan.

Ending-nya tidak terlalu sulit untuk ditebak, namun alur cerita novel ini sama sekali tidak klise (walau saya sempat mempertanyakan sikap pasrah Bianca yang mengikuti perjodohan tersebut tanpa ‘perlawanan’ berarti. Menurut saya, Bianca terlalu ‘manut’ untuk ukuran cewek ninja sableng yang pernah menerobos masuk ke mansion pada malam buta ;-D). Fluktuasi hubungan Bianca-Sultan-Sora dipaparkan dengan menggelitik — seru untuk disimak sampai halaman terakhir. Selain plot yang intens, dalam novel ini Sitta Karina memberikan banyak informasi yang memperkaya wawasan, di samping pesan moral yang diselipkan di sana-sini. Tidak sedikit penggalan cerita yang merupakan refleksi dari idealisme penulis dan sukses bikin saya ketawa-ketawa bego tengah malam, saking ‘nampol’nya. ;-D Kerennya, itu semua disampaikan dengan wajar dan tanpa berkesan menggurui.

Congratulations, Mbak. Setelah Diaz, Chris, Inez dan Bianca, ditunggu kisah Nara & Reno-nya. 😉 Eh, tapi mungkin ‘Magical Seira 3’ dulu yang bakal terbit, ya?

—–

By the way… kok tahu-tahu sudah Maret lagi, ya? Time is running so fast, kadang-kadang saya merasa ‘hilang’ dalam cepatnya perputaran waktu. Banyak yang ingin dilakukan. Ingin diselesaikan (salah satunya novel, yang tertunda entah sejak kapan). Ingin pergi ke banyak tempat, tapi padatnya aktivitas seperti memerangkap keinginan demi keinginan dalam sebuah kandang kecil.

Ya sudahlah. Mungkin nanti. Sekarang saya masih menikmati zona nyaman yang bebas resiko. Ha! ;-D

For now, selamat bulan Maret, semuanya. 😉

Tentang Dave

Namanya Dave. Umurnya 2 tahun, tapi badannya yang mungil sempat membuat saya mengira bahwa dia baru berusia setahun lebih.

Dia tidak menjawab ketika saya menanyakan namanya. Dia hanya menyambut uluran tangan saya sambil tersipu-sipu. Kuku-kukunya mencakar telapak saya saat dia mengepalkan jemari dalam genggaman saya.

Saya mengajaknya bermain. Dave lari menjauh dan bersembunyi di belakang kereta bayi. Tapi saya tahu, dia tidak takut. Cuma malu. Kepalanya berulang kali menyembul dari balik kereta, mengintip saya dengan raut penasaran.

Saya mengambil wadah mainan dan menumpahkan aneka binatang plastik di atas karpet. Harimau, buaya, beruang, singa (belakangan baru nyadar, kok semuanya binatang buas ya? Hehehe). Saya mulai bermain sendirian. Mengadu harimau dengan beruang. Menjejerkan buaya, singa dan beruang dalam 1 barisan. Memasangkan masing-masing binatang sesuai dengan jenisnya.

Dave keluar dari balik kereta bayi. Dia berlari kecil dan duduk di samping saya. Detik berikutnya kami sudah asyik bermain. Lalu saya mulai membuat wajah-wajah lucu. Dave tersenyum, menggemaskan. Saya menggodanya. Dia lari menjauh, lalu kembali mendekati saya. Begitu terus.

Saya menjadi akrab dengan bocah berambut hitam tebal itu. Dia tidak menolak saya gendong, bahkan sesekali dia menghampiri saya dan minta dipangku. Setiap kali kami berpapasan, dia selalu tersenyum.

Dave mengikuti langkah-langkah saya, mengejar saya dengan kaki-kaki mungilnya, tertawa gembira ketika saya mencandainya, dan mendekati saya untuk disayang. Namun yang paling menyentuh adalah ketika saya berjongkok dan mengembangkan tangan ke arahnya. Dave berlari dan menyurukkan tubuhnya ke dalam pelukan saya, lalu bersandar dengan nyaman di sana.

Terus seperti itu, berulang-ulang. Dave mengikuti saya, dan saya menggodanya sampai kami berlari-larian. Ketika saya berjongkok sambil mengembangkan tangan, dia akan berlari secepat kedua kakinya dapat membawanya dan menghempaskan diri dalam rengkuhan saya.

Mata beningnya menatap saya lekat-lekat. Rasanya saya tak ingin melepaskan tubuh mungil itu. Bahkan tidak ketika Mama-Papanya mendekat hendak mengajaknya pulang. Sepasang mata bening yang selalu bersinar itu telah mengajari saya. Mengingatkan saya arti bahagia.

Senyum lebar Dave membuat saya tak rela melepasnya pulang. Senyum yang menampilkan geligi putih bersih itu telah mengingatkan saya akan makna bersyukur, yang begitu sering saya lupakan. Mengingatkan saya untuk berterima kasih –tanpa perlu melalui bahasa verbal— kepada Sang Pencipta atas setiap nikmat yang disodorkan kehidupan, meski hidup itu sendiri seringkali tak sesempurna yang didambakan.

Lengan-lengan mungil yang memeluk tubuh saya telah mengajari saya arti cinta. Mengingatkan saya untuk senantiasa mencintai tanpa syarat, dan mempercayai tanpa prasangka.

Langkah-langkah kecil Dave telah mengajari saya untuk memandang hidup dengan optimis. Bahwa hidup harus selalu dijalani dengan positif. Bahwa tidak peduli kesulitan apapun yang menjelang, semua pasti bisa diatasi dengan mata yang terus tertuju ke depan. Bahwa selama kita masih bisa terus berharap, langkah-langkah kita tak perlu mati.

Dia tak mungkin mengerti. Dave masih terlalu kecil untuk memahami bahwa dia telah mengajarkan saya begitu banyak hal hanya dalam beberapa jam. Mungkin dia akan melupakan saya sehari setelah pertemuan kami. Mungkin kami tak akan berjumpa lagi setelah ini.

Apapun itu, saya bersyukur sudah bertemu dengannya – bocah kecil yang telah mengajari saya lebih banyak dari yang dia sadari.

Namanya Dave. Umurnya 2 tahun. Dia sama cerianya dengan anak-anak lain sebayanya. Ketika dia merosot turun dari gendongan dan menjejak bumi dengan tapak-tapak mungil bersalut senyum ceria, tak akan ada yang menduga bahwa dia tuli sejak lahir.

Membeli Senyuman

Benda yang paling disukai Alex –putra sahabat saya yang berumur 2,5 tahun- adalah buku. Bukan mainan, bukan teddy bear, bukan bola warna-warni yang bisa bernyanyi kalau dipantulkan, bukan balon gas yang bisa membubung tinggi, juga bukan tenda kecil yang dibelikan uncle-nya sebagai hadiah Natal.

Ingin memberi hadiah untuk Alex? Ingin mencuri hatinya? Ingin membawakan oleh-oleh?

Gampang. Buku lah jawabannya. Nggak perlu yang mahal. Wong buku fotokopian yang minim gambar aja dia suka.

*Tentang gimana ceritanya Alex bisa menyukai fotokopian yang hitam-putih dan nggak jelas gambarnya itu, saya juga heran.*

Cara paling mudah untuk mendiamkan Alex saat sedang rewel? Ajak saja dia membaca. Jangan lupa tambahkan mimik wajah lucu. Dia akan terbahak-bahak sampai lupa pada rengekannya.

Cara paling mudah menidurkan Alex? Berikan sebuah buku. Dia akan memeluknya sampai tertidur (walau kadang-kadang tetap harus digendong atau dikelonin juga sih, hehehe).

Saya sangat suka memberikan hadiah buku untuk Alex. Pertama, saya paling kagok dalam pilih-memilih kado. Biasanya, jelang hari ulang tahun sahabat-sahabat saya, saya akan mengirimi mereka SMS berisi pertanyaan: Elo mau kado apa? Selanjutnya barulah saya bergerilya mencari benda yang disebutkan.

Pernah, saking bingungnya, saya memberi hadiah ulang tahun berupa voucher handphone kepada seorang sahabat yang sedang berada di luar kota. Sangat biasa dan tidak berkesan, tapi yang ada di otak saya waktu itu hanya: yang penting kepake dan berguna.

Karena Alex sangat suka buku, pilihan saya dalam mencari hadiah jadi sangat terarah. Nggak perlu susah-susah mikir beli apa, saya tinggal mampir ke Gramedia, langsung menuju rak yang khusus men-display buku anak-anak, memilih-milih sebentar (pakai feeling), bawa ke kasir, dan beres.

Alasan kedua saya hobi membelikan si kecil ini buku (sampai saya dijuluki supplier oleh ibunya Alex), karena… yah, buku adalah sarana belajar yang paling efektif dari masa ke masa, toh? Membeli buku itu artinya berinvestasi. Yea, yea… klise syekaleee. Tapi bener, kan? *wink*

Hampir seminggu ini Alex rewel karena penyakit musiman pancaroba (eh, sekarang masih pancaroba nggak sih, hitungannya?): radang tenggorokan dan pilek. Booo… kasihan banget. Anak-anak kecil adalah makhluk yang sangat menderita kalau sedang sakit. Mata berkaca-kaca (meski tidak menangis) dan tidak sebening biasanya, sorotnya redup, hidung terus mengeluarkan ingus sampai lecet karena keseringan diseka, suara bindeng, badan lemas.

Alhasil, beberapa hari ini Alex jadi sangat cranky. Lebih-lebih karena sepupunya dari Jawa Tengah (yang sedang berkunjung ke Jakarta dan memiliki hubungan love-hate dengan bocah ini hingga sering banget berantem) tidak habis-habisnya melakukan hal-hal yang memicu emosi jiwa. Yah… namanya juga anak-anak. Sebenarnya tindakan menjengkelkan itu bisa dimaklumi, tapi tidak bagi Alex yang sedang nggak enak body dan jadi super-sensitif.

Puncaknya adalah 2 hari lalu. Alex terus merengek. Tubuhnya panas, wajahnya sayu dan tidak henti-hentinya rewel. Batuk-pileknya semakin menjadi-jadi. Karena dia anak yang aktif, dia tidak betah diam di kamar. Tapi untuk bermain seperti biasa juga tidak mungkin.

Sore itu, saya masuk ke rumah Alex dan menemukannya sedang terbaring lemas di sofa, dipakaikan baju tidur oleh Ncus-nya sambil terus merengek. Matanya basah dan sembab karena kebanyakan menangis. Ingus berlelehan dari hidungnya dan dia terus terbatuk.

Saya meraba keningnya. Hangat.

Tangisan Alex semakin keras ketika si Ncus membedaki tubuhnya. Tapi dia tidak meraung atau menjerit — sepertinya sudah kehabisan tenaga.

Saya mengeluarkan sebuah buku dari balik punggung. Buku bersampul merah yang masih dibungkus plastik dan berjudul ‘Spot Goes to School’. Saya menggoyang-goyangkan buku itu di depan wajahnya.

Benar saja. Sepasang mata bulatnya segera terfokus pada cover yang eye-catching. Dalam hitungan detik, tangisnya pupus.

Saya menyerahkan buku itu ke dalam genggaman tangan-tangan mungilnya.

“Dibukanya besok pagi aja, ya. Sekarang Alex bobo dulu,” pesan saya. Dia mengangguk sambil memeluk buku barunya erat-erat.

Ncus sudah selesai memakaikan baju. Si kecil Alex kini siap tidur, ditemani buku yang masih bau toko.

Ia bersandar dengan tenang di bahu Ncus, mata sembabnya berbinar-binar memperhatikan buku baru dalam genggaman. Itulah binar pertama yang saya lihat sejak menyambangi rumahnya pagi itu.

Bibir mungilnya membuka, menampilkan sederet gigi susu yang belum sempurna.

Alex tersenyum.

Saya sudah terbiasa memberi Alex buku, sampai dijuluki ‘supplier’ oleh ibunya. Saya sudah sangat terbiasa menyambangi toko buku, langsung menuju rak yang memajang buku anak-anak, memilih-milih sebentar, dan membawanya ke kasir. Saya selalu suka mencium harum buku baru dan menyerahkannya ke pelukan Alex.

Hari ini berbeda.

Saya tidak mengeluarkan uang untuk membeli buku. Saya membeli sebuah senyuman.

Dan di tas saya masih tersimpan sebuah buku berjudul ‘Zara the Elephant’.