Pengungsi ;-)

(+) “Bo, elo salah sebut..”
(-) “Apanya?”
(+) “Itu.. ‘Gong Xi’ itu mestinya dibaca ‘Kung Si’, bukannya ‘Kiong Hi’.”
(-) “Ha? Masa sih?”
(+) “Serius. Katanya itu yang betul.”
(-) “Ohh…”
(+) “…”
(-) “Kita emang bener-bener pengungsi, ya?”
(+) “…”

Yup, Imlek tahun ini, saya dan sepupu betul-betul menjadi pengungsi – secara pelafalan aksara Cina maupun harafiah ;-D

Sejak Jum’at lalu saya belum pulang ke rumah, karena banjir setinggi pinggang (sekarang air sudah mulai surut, tapi saya dan keluarga masih mengungsi). Tapi itu masih belum apa-apa –or at least I think so—karena kami masih sempat menyelamatkan barang-barang berharga ke lantai dua. Rumah sepupu saya yang berlantai satu digenangi air setinggi dada dan hampir semua barang berharganya tidak bisa diselamatkan.

Moral of the story?

Nggak ada.

Saya cuma mau titip pesan untuk bapak berkumis baplang yang pernah menggembar-gemborkan janji akan ‘Jakarta yang lebih baik’: Bangsa kita memang kuat, Pak, dan soal ketahanan mental boleh lah diadu dengan bangsa-bangsa lain yang tidak pernah ngerasain banjir setinggi dada sampai kehilangan rumah dan barang berharga, tapi mbok yaaa ooo…

Dan satu lagi, Pak, konon nih yaaa, katanya bakal segera dibangun pusat perbelanjaan (lagi) di salah satu area resapan air di Jakarta Utara. Apa betul?

Mudah-mudahan itu cuma rumor ya, Pak 🙂 Tapi kalau sampai kejadian, sepertinya Perda yang mewajibkan SETIAP rumah di daerah rawan banjir Ibukota memiliki MINIMAL SATU PERAHU KARET sungguh layak dipertimbangkan… 🙂

Reno dan Bella

“Stop di sini, Pak.”

Taksi berwarna biru metalik yang kunaiki berhenti di depan rumah besar bercat putih. Bangunan yang sangat familiar dan kurindukan selama setahun terakhir.

Pak Marno bergegas membukakan pintu pagar untukku. Senyum gembira merekah di wajahnya. “Non Delia. Pulang, Non?” sapanya ramah.

“Iya, Pak.” Aku balas tersenyum dan membiarkan koper-koperku diambil alih oleh tukang kebun berwajah sumringah itu.

Aku meraih handel pintu utama dan baru akan membukanya, ketika telingaku menangkap suara-suara asing di balik pintu.

… itu?

Aku menoleh, baru hendak mengajukan pertanyaan kepada Pak Marno ketika pintu membuka, menampakkan seraut wajah yang sangat kurindukan.

Mama tersenyum lebar dan mengembangkan kedua tangannya. Aku memeluk Mama erat-erat sementara beliau mengusap kepalaku penuh sayang. Akhirnya aku bisa mencium aroma tubuh Mama lagi. Aroma yang harum dan selalu ngangenin.

Tapi Mama tidak sendirian menyambutku. Di belakangnya ada satu …tidak, dua sosok yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku mengerutkan kening. Mama bergeser. Sosok-sosok itu melangkah maju dan menatapku dengan ekspresi polos dan penuh semangat. Mata mereka membulat, seakan-akan mempelajariku dengan seksama. Aku balas menatap mereka, bergantian.

“Kenalin, Del. Ini Reno. Umurnya 3 tahun,” Mama mengusap kepala salah satu dari mereka. “Yang ini Bella. Dia baru 2 tahun.”

Sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, Papa muncul dan langsung memelukku erat-erat. “Welcome home, Sayang…” ia menjauhkanku sedikit agar bisa mengamati wajahku, “wah, putri Papa udah gede!”

Aku nyengir. “Delia udah 23, Pa.”

Aku menangkap kerling jenaka di wajah Papa dan tertawa. Kerlingan usil itu berarti: ‘You-will-always-be-my-little-girl’.

Reno menyeruak di antara aku dan Papa. Senyumku segera menghilang. Mama-Papa berhutang penjelasan padaku.

Melihat perubahan pada wajahku, Papa segera berkata, “Tentunya kamu sudah kenalan dengan Reno dan Bella. Mulai sekarang mereka bagian dari keluarga kita, Delia.”

“Sejak kapan?” aku tidak bermaksud begitu, namun suara yang keluar dari tenggorokanku terdengar dingin.

“Sejak Oma Rheine meninggal bulan lalu.” Papa menjawab seraya menatapku penuh arti.

Oma Rheine adalah wanita tua yang tinggal tidak jauh dari rumahku, hanya berselang beberapa blok dari sini. Wanita tua yang sedih dan merana, menurutku, karena menantu dan anak satu-satunya tewas dalam kecelakaan setahun lalu. Belum termasuk penyakit diabetesnya yang perlu mendapat perawatan serius dan kondisi keuangannya yang tidak menentu. Untuk alasan yang tidak kuketahui, Papa menyayangi Oma Rheine seperti ibu kandungnya sendiri dan sering sekali menjenguk wanita itu, sekedar untuk bercakap-cakap atau memberi bantuan materi kepadanya.

Aku menghela nafas. Papa menyayangi Oma Rheine. Kasihan padanya. OK. Tapi, masa sih sampai segitunya?

“Reno dan Bella tidak punya siapa-siapa lagi, Del.” Aku mengenali ketegasan yang tersimpan di balik intonasi lembut itu. Aku memandang Papa. Tarikan di wajahnya tidak memberiku pilihan selain menerima kedua monster cilik itu.

Great.

Well, mungkin aku berlebihan, menyebut Reno dan Bella monster. Aku bahkan belum kenal mereka. Tapi bukan salahku kalau sejak awal aku membenci mereka. Papa dan Mama harusnya tahu kalau aku tidak akan menyukai keputusan itu.

Pikiranku buyar ketika Papa mendaratkan ciuman di keningku dan membelai rambutku dengan sayang. Dia selalu tahu bagaimana membuatku luluh. Kurasa dalam hal itu Papa memang benar: I will always be his little girl.

Aku tersenyum dan memeluknya. Mata Papa bersinar-sinar di balik kacamatanya kala ia merangkulku menuju ruang makan. “Sekarang kamu harus cerita. How’s Chicago? Om Rianto sama Tante Sarah? Semua baik-baik?”

* * *

Now I officially hate those little monsters.

Liburan yang seharusnya indah rusak total gara-gara dua monster itu: Reno dan Bella.

Tadinya aku membayangkan hari-hari yang tenang, nonton DVD seharian sambil ngemil segala makanan di kulkas, bangun siang, bersantai di rumah, dan sebagainya.

Santai apanya!

Setiap pagi, waktu aku masih lelap, Reno akan membuat keributan di depan kamar sampai aku terbangun dan membukakan pintu. Setelah itu dia akan melenggang masuk dengan santai seolah-olah kamar ini miliknya. Kalau aku nekat tidak membuka pintu, dia akan terus ribut. Di dalam kamar Reno hanya mondar-mandir sambil mengambili barang-barang yang tergeletak di lantai (dia tidak bisa menjangkau barang-barang di atas meja rias karena terlalu tinggi baginya – syukurlah!) seperti slippers atau sisir yang terjatuh, dan memainkannya dengan berisik. Damn.

Pernah aku lupa mengunci pintu kamar, dan terbangun jam 5 pagi dengan slippers di samping bantal. Reno mengambilnya, menjatuhkannya di sebelah kepalaku dan menarik bed cover sampai aku nyaris menjerit. Aku sudah siap meneriakinya karena jengkel, tapi Mama buru-buru mencegah, “Reno nggak bermaksud mengganggu kamu, Del. Dia hanya ingin main sama kamu. Salah sendiri kamu tidur nggak ngunci-ngunci pintu.”

Yeah right. Now I’m the bad guy. Aku menarik bed cover sampai menutupi kepala, uring-uringan. Mama dan Papa membuat keputusan sepihak dengan mengambil Reno dan Bella tanpa memberitahuku sama sekali, dan sekarang mereka mengharapkan aku berbaik-baik pada kedua makhluk itu, padahal mereka tahu aku sangat benci…

…ah, sudahlah. Percuma.

* * *

Aku menaikkan kaki ke atas sofa dan sedang bersiap menggigit sandwich ketika Bella menghampiriku dan menatapku dengan matanya yang bulat besar, menampilkan ekspresi minta dikasihani. Dasar perayu!

Aku mengunyah sarapanku dengan cuek, tidak mempedulikannya. Bella terus menatapku tanpa bergerak sama sekali. Matanya tidak lepas dari sandwich di tanganku. Dasar rakus. Padahal dia sudah sarapan!

Aku membawa piringku ke dapur. Bella membuntutiku, tapi aku menutup pintu keras-keras tepat di depan wajahnya. Sukurin!

Sorenya, kejadian yang sama terulang lagi. Aku baru membuka lapisan alumunium pembungkus cokelat –bahkan belum sempat menggigitnya—ketika Bella muncul di depanku, lagi-lagi dengan ekspresi minta-mintanya.

Please deh.

“Nggak ada cokelat buat kamu,” ucapku ketus. “Pergi sana, main aja sama Reno!” aku membuat gerakan mengusir dengan tanganku, tapi Bella diam saja.

Aku menggigit cokelat. Bella mendekatiku. Matanya tak lepas dari cokelat di genggamanku.

“Eh, bandel! Disuruh pergi malah ngedeket. Sana!” aku memelototinya.

Kalau sebelumnya aku berpikir bahwa Reno-lah yang paling nakal di antara mereka berdua, maka Bella adalah biangnya keras kepala. Dia sama sekali tidak bergeming mendengar omelanku.

Aku berjalan ke dispenser, mengambil segelas air. Bella mengikutiku kemana pun aku melangkah, seperti bayang-bayang. Aku menghempaskan diri ke sofa. Bella mematung, tapi dalam sekejap dia sudah berada di sebelahku.

That’s it. Enough is enough.

Aku berdiri, sudah siap memukul dan melontarkan sumpah serapah ketika pandangan kami bertemu. Kali ini bukan cokelat. Bella memandangiku dengan kedua matanya yang besar.

Ia menatapiku tanpa berkedip, dengan ekspresi polos yang selalu ditampilkannya sejak hari pertama kami bertemu. Raut yang tidak pernah berubah: lugu dan minta dikasihani.

Aku melempar cokelat ke atas meja, menunggu reaksinya. Bella hanya memandang cokelat itu sekilas, lalu kembali menatapiku. Aku diam mematung. Mendadak sebersit rasa tidak tega melintas di hatiku. Bagaimana pun, seperti kata Papa, dia sebatang kara sekarang. Mungkin aku harus lebih lunak kepadanya.

“Sudahlah.” kataku ketus. “Tapi kamu tetap nggak boleh makan cokelat. Makan yang lain aja, OK?”

Dengan patuh Bella berjalan mengikutiku ke kulkas.

* * *

“Hei! Sejak kapan elo deket sama Reno dan Bella?”

Aku tidak mengacuhkan komentar usil Fey –adik semata wayangku– yang melintas di ruang tamu dengan kaus penuh keringat. Aku menoleh sekilas, lalu kembali berfokus pada talkshow di TV. Reno dan Bella duduk di sampingku, ikut mencerna acara tersebut dengan raut sok serius.

“Tumben, Mbak. Biasanya kan elo paling anti sa…”

“Shut up,” aku melempar bantal sofa ke arah Fey. “Mendingan lo mandi. Baunya sampe ke sini, tuh.”

“Don’t change the subject,” goda Fey si mulut jahil. “Sejak kapan lo jadi Nona Penyayang gini?”

“People change.” Aku bergumam, setengah terkejut karena jawaban yang kaluar dari bibirku.

People change?

Maybe yes. Aku tidak bisa menahan diri untuk melirik Reno dan Bella yang memandangi layar TV tanpa berkedip. Senyumku mengembang perlahan.

Entah bagaimana awalnya, aku juga tidak tahu. Tiba-tiba aku tidak terlalu merasa keberatan lagi dengan kehadiran dua pengganggu itu. Malah sebenarnya, aku agak senang mereka ada di sini, seperti sekarang. Aku senang ketika mereka mendekatiku, untuk meminta makananku atau sekedar minta disayang. Aku senang ketika mereka menatapku dengan wajah polos yang menggemaskan. Aku senang ketika mereka masuk ke kamarku setiap pagi dan mengajakku bermain. Aku bahkan tidak ragu membelai mereka dengan sayang. Aku… jatuh hati.

Ya, aku jatuh hati. Pada mereka yang kubenci. Padahal aku baru pulang 4 hari.

“Ati-ati, Mbak,” lagi-lagi Fey muncul dengan gaya selebornya yang khas ketika aku asyik mengelus kepala Bella, “ntar kalo udah balik ke Chicago lo bisa kangen berat sama mereka.”

Aku tidak menjawab. Sepertinya sih iya. Aku pasti akan kangen. Tapi itu kan masih lama. Masih ada 3 minggu sebelum aku kembali ke sana.

“Delia, Fey, ayo makan dulu!” Mama berseru. “Makanannya udah siap! Ayo, nanti keburu dingin nggak enak, lho!”

Aku dan Fey saling bertukar pandang, menggeleng-geleng heran. Mama selalu lupa bahwa anak-anaknya tidak berumur 7 tahun lagi.

Aku bangkit dari sofa dan berjalan ke ruang makan. Fey menduluiku, setengah berlari. Aku menoleh ke arah Reno dan Bella yang masih asyik di depan TV.

“Reno, Bella, sini!” seruku sambil terus berjalan.

Dua anjing golden retriever melompat turun dari sofa dan mengibaskan ekor dengan gembira. Sinar matahari yang menerobos dari jendela menciptakan siluet indah saat Reno dan Bella mengikutiku dengan lincah sambil berebut menjilatiku.

Memasuki Tahun Ke-24 :-)

Tahun ke-24. Terima kasih, Tuhan.

Lagi dan lagi, tak henti-hentinya saya bersyukur atas semua yang telah saya rasakan dan lalui sepanjang hidup. Atas setiap tetes nikmat dan anugerah yang tidak pernah berhenti tercurah dalam hidup ini. Atas aroma segar tanah sebelum hujan, dan pelangi indah setelah tetes terakhir jatuh ke bumi. Atas hari baru yang dibawa matahari dan embun setiap pagi. Atas kemurahan dan kebaikan Sang Mahabesar yang terjadi dalam tiap detik kehidupan saya, bahkan ketika saya terlalu sibuk untuk menyadarinya. Atas ‘sosok’ Tuhan yang saya jumpai di mana-mana, dan membuka mata hati saya terhadap begitu banyak hal yang sering terlewat dalam cepatnya perputaran roda kehidupan.

Tangan seorang gadis berbaju lusuh yang menjinjing tas kotor dalam bis antarkota yang mengulurkan sekeping rupiah kepada setiap pengamen tanpa terhalang kepapaannya sendiri – itulah tangan Tuhan.

Kerelaan untuk mengabdikan diri di daerah rawan konflik tanpa kompensasi yang memadai; serta kesediaan untuk mengambil dan merawat orang-orang gila yang terbuang untuk menyayangi mereka seperti keluarga sendiri – itulah hati Tuhan.

Cinta seorang Ibu yang rela memberikan nyawa bagi anak-anaknya dan kasih seorang sahabat yang selalu menerima dan mendukung tanpa mengharap pamrih sekejap pun – itulah cinta Tuhan.

Pelangi yang muncul setelah hujan dan mencerahkan Bumi dengan warna-warna indah, bunga yang tumbuh dan mekar setiap hari, sinar mentari yang menghangatkan tubuh dan setia terbit di ufuk, tetes-tetes embun di pucuk daun yang menjadi pertanda datangnya hari baru; itulah kebesaran Tuhan, dan masih banyak lagi ‘sifat-sifat’ Tuhan yang saya temukan setiap hari, dalam berbagai peristiwa dan individu.

Sahabat Mahakeren dan Kekasih Mahabaik yang selalu membuat saya jatuh cinta dengan kasih yang tidak terbatas, tangan yang selalu terulur memberi kekuatan (dan tidak pernah sekejap pun meninggalkan saya, bahkan saat saya berada pada ‘titik terendah’ hidup saya) — itulah Tuhan, bagi saya. Yang berkali-kali membuat saya jatuh cinta. Yang membuat saya mengerti bagaimana menjalani hidup. Yang menguatkan dan selalu menopang, sampai saya dapat berjalan tanpa terjatuh (dan ketika saya tersandung, lagi-lagi Dia ada di sana).

Terlalu sederhana? Mungkin iya 🙂 Yang pasti, saya bersyukur bahwa hati ini masih bisa terus merasakan cinta-Nya, yang akhirnya menjadi mutiara yang membingkai jiwa saya.

Saya bersyukur bahwa mata ini masih dapat menilik kebesaran-Nya yang tersembunyi dalam alam semesta dan sering kali luput dari perhatian.

Saya bersyukur bahwa kepingan jiwa ini masih mampu mengapresiasi makna kebaikan sebelum menjatuhkan penilaian terhadap sesama, dan masih mampu melihat garis keperakan pada setiap awan gelap yang menunjukkan secercah harapan dalam kemustahilan.

Saya bersyukur saya masih bisa belajar dari hal-hal sederhana yang ditawarkan kehidupan, detik demi detik.

Saya bersyukur bahwa kini saya mengerti arti ‘bijaksana’ melebihi tahun-tahun sebelumnya, di mana saya hanya melihat kehidupan dari balik lensa berwarna. Lebih dari saat-saat ketika saya hanya menganalisa dengan subyektif, sementara hidup ini begitu kaya warna.

Lebih dari segalanya, saya bersyukur bahwa saya terus bertumbuh bersama kehidupan. Tidak berlari, melainkan melangkah setapak demi setapak sambil menikmati keindahan di sepanjang jalan. Merengkuh keyakinan saya erat-erat sambil tetap membuka mata dan hati, karena bagaimanapun, hidup tidaklah terdiri dari hitam dan putih belaka.

Tahun ke-24.

Terima kasih, Tuhan. Untuk selalu berada di sisi saya. Untuk selalu menguatkan dan memberi yang terbaik bagi saya. Terima kasih buat cinta yang tidak pernah berhenti menghangatkan hati dan anugerah yang selalu tercurah, yang memampukan saya untuk menilik hidup dengan bijak dan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Dan yang terpenting, terima kasih karena telah mengajarkan saya tentang cinta, dengan mencintai saya seutuhnya sehingga saya bisa membagikan cinta yang sama kepada orang-orang lain — tanpa tersekat perbedaan. Semoga proses belajar itu tak pernah berhenti… 🙂

Setitik Embun, Semalam.

“Bisa tolong ceritakan keadaan di dalam, Bu?”
“Ya… ada keluarganya, dekat kaki Pak Harto. Ada Mbak Tutut juga, terus saya lihat Pak Moerdiono…”
“Bagaimana Ibu bisa masuk ke dalam?”
“Digilir, Mbak. Sepuluh-sepuluh. Yang pakai baju Muslim duluan, jadi saya masuk sama teman-teman pengajian.”
“Mbak sempat lihat jenazah Pak Harto?”
“Cuma sekilas, Mbak. Ndak tahan saya…”
Mata itu berkaca-kaca dan sembab, seolah merasakan pedih akibat ditinggal sanak keluarga atau sahabat terkasih.

Tangisnya tumpah semalam. Untuk sosok kaku yang terbujur dengan kain putih panjang.

Airmatanya jatuh semalam. Untuk seseorang yang bahkan tak pernah dikenalnya secara pribadi.

Dia berduka atas seseorang yang telah menuai hujat dan amarah penghuni negeri. Dan dalam doanya, dia memohonkan ampun.

Wanita berjilbab hitam itu menghela nafas. Berat.

Di depan layar kaca, saya termangu.

Siapa bilang kita tak lagi punya harapan?

Di tengah padang yang mulai meranggas ini, masih berkilau setitik embun.

Masih ada hati yang mau memberi maaf.

Selamat Jalan, Pak Harto.

Oleh-oleh Perjalanan

“Si Anu tuh baik ya. Orangnya nggak pelit, kalo pergi-pergi suka bawa oleh-oleh banyak banget.”

Saya tersenyum kecut mendengar komentar itu, karena sama seperti si Anu, saya juga baru saja kembali dari perjalanan, tapi tanpa membawa oleh-oleh (kecuali t-shirt untuk si kecil Alex). Si Anu, walau hanya mengunjungi 1 kota, membawa oleh-oleh cukup banyak untuk seluruh anggota keluarganya. Saya, yang wara-wiri ke 3 kota, pulang dengan tangan kosong dan baju kotor. *wink*

Rasa bersalah sempat berkelebat di hati, karena tiba-tiba saya merasa ‘pelit’. Lha, buktinya, pergi 5 hari, ke 3 tempat pula, masa nggak ada buah tangan yang dibawa?

Tapi, setelah dipikir-pikir, nggak ah, bukannya pelit kok. Alasan kenapa saya nggak membawa buah tangan untuk teman dan keluarga adalah… …ya karena males aja berburu oleh-oleh.

Hehehe.

Jadi ingat konversasi dengan seorang sahabat pertengahan tahun lalu, ketika saya main ke kotanya dan menginap di rumahnya.

Waktu itu dia bertanya, “Mau beli baju gak? Kalo mau ntar gue temenin ke factory outlet.”

“Nggak.”

“Yakin?”

“Beneran kok.”

“Kalo belanja?”

Yang ada saya malah balik nanya, “Belanja apa?”

“Apa kek, siapa tau lo mau beli apa gitu.”

“Nggak, ah.”

“Beli makanan buat oleh-oleh?”

Lagi-lagi saya menggeleng.

Saya baru bergerak ketika adik saya SMS minta dibawakan makanan khas kota itu.

Sumpah, alasannya bukan karena nggak mau keluar uang. Simply karena saya kurang suka merambah sudut-sudut kota hanya untuk berbelanja. Saya lebih senang menghabiskan waktu untuk menikmati udara segar, sambil leyeh-leyeh dan ngobrol panjang-lebar bersama sahabat (karena tinggal berbeda kota tentunya membuat komunikasi jadi terbatas, kan? Makanya kalau ketemu dipuas-puasin.. :-)). Atau makan di luar, mencicipi makanan khas daerah setempat. Itu thok. Kalau ada kesempatan, saya juga suka mengunjungi tempat-tempat menarik di kota yang saya singgahi, dengan catatan BUKAN factory outlet, pusat perbelanjaan atau tempat beli oleh-oleh.

Makanya, adik dan anggota keluarga saya yang lain hampir tidak pernah menanyakan oleh-oleh setiap kali saya pulang dari bepergian. Kalau mereka ingin sesuatu, mereka tinggal memesan lewat telepon/SMS, dan saya akan berusaha untuk mendapatkannya. Itu juga dengan embel-embel, “Kalau nemu, ya. Nggak janji pasti dapet.”

Hehehe.

Jadi, apa dong yang bisa dibagi dari perjalanan-perjalanan saya?

Cerita. Pengalaman.

Dua hal itu nggak bisa dibeli di tempat oleh-oleh mana pun, bos. Dan berbagi cerita setelah kembali dari perjalanan adalah hal yang paling saya sukai, ketimbang memberikan kantung plastik berisi oleh-oleh.

Cerita-cerita dan pengalaman yang saya dapatkan selama perjalanan bukan sesuatu yang ‘wah’ atau luar biasa. Kebanyakan sangat sederhana, namun selalu berkesan dan memberikan nutrisi untuk hati saya, serta bisa membuat saya cengar-cengir sinting mengingatnya.

Seperti ketika saya malas menenteng tas pakaian yang berat-gila sembari menunggu teman, dan dengan nekat menitipkannya di sebuah factory outlet dengan modal senyum manis kepada karyawan toko *halah* (dan kembali setengah jam kemudian untuk… numpang nge-charge handphone. Hahaha!).

Atau ketika saya mengetes keberanian dengan menjalani Fear Factor a la sendiri: sok beramah-tamah pada anjing-anjing setinggi paha dan akhirnya histeris ketika diterjang sampai jatuh. Bo, kayaknya dulu ngebayangin digigit anjing itu serem banget. Sekarang, gampang aja lho tangan saya masuk ke mulut anjing… dan digigit!

Atau ketika saya ketinggalan travel dan terpaksa naik bis umum, yang awalnya bikin jengkel karena udara yang gerah dan bis yang penuh sesak menguarkan aroma yang membelai hidung dengan aduhainya selama 4 jam. Tapi kekesalan itu hanya sementara, karena saya bertemu dengan seorang anak yang sangat manis, dan duduk dekat anak itu selama beberapa jam cukup membuka mata saya atas berbagai hal dalam hidup yang selama ini saya abaikan (that’s another story).

Atau ketika saya bertemu pengamen-pengamen cilik (yang sepertinya) adik-kakak dalam bis antarkota dan tersentuh dengan tingkah polah mereka.

Atau ketika saya dengan songongnya merasa ‘kuat’ setelah berhasil menenggak wine tanpa mabuk (sementara yang lain sebaliknya) dan dengan PD mencoba Bailey yang (sialnya) kadar alkoholnya jauh lebih tinggi dan akhirnya… kleyengan juga 😀

Atau ketika saya berjumpa dan berkenalan dengan orang-orang baru yang seru-seru, kreatif, gila dan super-fun.

Atau ketika menginap beramai-ramai di rumah seorang kenalan baru, dadakan, tanpa membawa apa pun dan tidur di lantai tanpa ganti baju (iya, jorok, tapi seru!).

Atau ketika duduk di pinggir jalan saat hujan gerimis -tanpa menghiraukan kendaraan yang lalu-lalang- sambil memuaskan hasrat banci kamera.

Atau ketika menggigil kedinginan sambil menikmati harum jagung rebus, sementara di luar hujan lebat disertai kabut.

Atau ketika makan jagung bakar -dengan mentega dan susu kental manis yang banyak- di pinggir pantai sambil bercengkerama, dan setelahnya menyusuri kota sambil minum es kelapa muda.

Atau sekedar duduk bersama sahabat-sahabat saya, ngobrol segala sesuatu yang tidak penting, membahas hal-hal tak berguna sambil terbahak-bahak gila sampai sakit perut, obral curhat dan bertukar cerita hingga pagi menjelang.

Itu semua adalah hal-hal berharga yang tidak ingin saya tukar dengan belanja di factory outlet atau berburu oleh-oleh – walau resikonya saya dicap pelit dan ‘nggak-inget-orang’. *wink*

Itu semua, buat saya, adalah oleh-oleh perjalanan yang tidak ternilai dan tidak bisa dibeli.

Dan, meski kedengarannya egois, saya senang karena sifat ogah-belanja saya ini lumayan menekan pengeluaran selama di luar kota, sehingga saya bisa menabung untuk perjalanan berikutnya. Hahaha!