E-mail di Penghujung Hari

E-mail itu bertengger di baris teratas inbox, dengan subject yang -sejujurnya- tidak terlalu menarik perhatian saya (maab… saya memang termasuk spesies yang selalu mendahulukan e-mail dengan subject menarik :)).

Saya tidak langsung membacanya, melainkan memusatkan perhatian pada timbunan spam yang memadati inbox. Setelah itu saya beralih pada beberapa situs yang sedang saya buka. Setelah semuanya selesai, barulah saya kembali ke e-mail tadi.

Ia seorang Ibu dengan 3 anak. Suaminya berulangkali ditahan karena narkoba, dan belum keluar dari penjara setelah penangkapan terakhir. Orangtuanya memaksanya meninggalkan sang suami, tapi ia memilih bertahan karena tidak ingin bercerai. Tekanan semakin kuat. Sang suami hanya bisa memberi janji belaka, tanpa pernah sungguh-sungguh berubah. Hidupnya semakin sulit. Komunitas tempat ia berada tidak memberikan dukungan yang dibutuhkannya, bahkan sekedar untuk menguatkan dan menghiburnya. Si pemimpin komunitas pun bersikap cuek, acuh tak acuh. Seakan pergumulan yang dialami anggota komunitasnya itu tidak berarti dan tak layak dilirik sebelah mata.

Saya tidak mau bercerai, karena saya tahu cerai itu dilarang,” tulisnya. “Tapi saya hampir tidak tahan lagi. Saya tidak tahu apakah saya sanggup menjalani kehidupan seperti ini…”

Mata saya menelusuri baris-baris terakhir e-mail itu. Hati saya mencelos membaca rangkaian kata yang sederhana, namun jelas penuh rasa sakit itu.

Mendadak saya malu, karena selama ini saya begitu mudah terdistraksi dan patah semangat hanya karena masalah-masalah kecil, yang sama sekali tidak sebanding dengan kesulitan yang dialami Ibu muda ini. Mendadak saya malu karena sering mengkhawatirkan hal-hal remeh, yang sebenarnya tidak perlu dipusingkan mengingat banyaknya hal lain yang patut mendapat perhatian lebih. Mendadak saya malu karena terlalu sering memikirkan diri sendiri, sementara di luar sana banyak orang bergumul dengan keringat dan airmata demi terus menjelang hidup.

E-mail itu berakhir dengan sebuah pertanyaan sederhana: “Apa yang harus saya lakukan?”

Saya termangu. Lama.

Berdoa? Jawaban standar yang klise – tanpa bermaksud mengecilkan makna doa sedikitpun.
Bersabar? Lebih basi lagi.
Berbesar hati?
Berserah diri?

… … apa…???!!

Saya memutuskan sambungan internet dan mematikan komputer. E-mail itu masih bertengger di sana, di baris teratas inbox.

Saya tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.

Iseng-iseng, Tentang Komitmen

Tergelitik dan terpesona *alah* oleh novel TESTPACK karangan Ninit Yunita (yang bercerita tentang kekuatan sebuah komitmen, dan sumpah Keren banget!), saya lantas berandai-andai dan mencoba menyimpulkan arti komitmen — versi saya sendiri, tentunya.

Setelah berhari-hari merenung (bo’ong benerrr) sambil mengintip halaman terakhir TESTPACK *haha!*, saya berhasil menggali beberapa makna komitmen. Kalau ada yang punya definisi lain tentang komitmen, monggo lho, ditunggu pendapatnya… 🙂

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang suami menerima istrinya dengan segala kekurangan dan kelemahannya tanpa menghakimi. Bersyukur ketika istrinya tampil menawan, dan sama bersyukurnya ketika sang istri mengenakan daster dengan wajah berminyak tanpa make-up. Bersyukur ketika bentuk tubuh sang istri berubah setelah melahirkan, dan tetap mengecupnya sayang sambil bilang, “Kamu cantik.”

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang suami tidak membongkar kelemahan istrinya pada orang lain. Sebaliknya, menutupi rapat-rapat setiap kekurangan itu dan dengan bangga bertutur bahwa sang istri adalah anugerah terindah yang pernah hadir dalam hidupnya.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang istri menunggui suaminya pulang hingga larut malam, membuatkan teh hangat dan makanan panas, dan tetap terbangun untuk menemani sang suami bersantap serta mendengarkan cerita-ceritanya yang membosankan di kantor.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang istri bertahan ketika suaminya jatuh sakit, dan dengan sukacita merawatnya setiap hari. Menghiburnya, menemaninya, menyuapinya, memandikannya, membersihkan kotorannya.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang istri terus mendampingi suaminya tanpa mengeluh atau mengomel. Sebaliknya, dengan setia tetap mendukung dan menyemangati meski sang suami pulang ke rumah dengan tangan kosong, tanpa sepeser uang pun.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat sepasang suami istri memutuskan untuk terus mengikatkan diri dalam pernikahan, dengan tulus dan sukacita, meskipun salah satu dari mereka tidak bisa memberikan anak.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat putra pelaku kriminal berkata kepada Ayahnya, “Saya percaya pada Papa. Papa tetap yang terbaik.”

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang yang bergelar S3 dengan jabatan direktur perusahaan multinasional pulang ke rumah orangtuanya, mencium mereka dengan hormat, serta memanggil mereka ‘Ayah’ dan ‘Ibu’.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang Ayah menerima kembali anaknya yang telah menyakiti dan meninggalkannya begitu rupa dengan tangan terbuka, memeluknya dan melupakan semua kesalahan yang pernah dilakukan si anak terhadapnya.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang Ibu mengelus sayang anak yang pernah mencacinya, dan tetap mencintainya tanpa syarat.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang mengulurkan tangan kepada sahabatnya yang terjerembab, menariknya berdiri dan membantunya berjalan tanpa mengatakan, “Tuh, apa kubilang! Makanya…”

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang pekerja menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik, sekalipun tugas itu amat berat dan upah yang diperoleh tidak sepadan.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang membulatkan hati dan tekad demi mencapai sebuah tujuan, sekalipun ia belum dapat mengetahui hasil akhir dari tujuan tersebut. Berjerih payah dan berkorban demi menyelesaikan tujuannya, sekalipun semua orang meninggalkannya.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang rela meninggalkan segala sesuatu yang berharga demi memenuhi panggilan hidupnya, walau harga yang harus dibayar tidak sedikit dan medan yang ditempuh tidak ringan.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang memikul resiko dan konsekuensi dari keputusannya tanpa mengeluh, dan menjalaninya dengan penuh rasa syukur sebagai bagian dari kehidupan yang terus berproses.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang berani setia dan percaya, meski harapannya tidak kunjung terpenuhi dan tidak ada yang dapat dijadikan jaminan olehnya.

Komitmen adalah sesuatu yang melampaui segala bentuk perbedaan, perselisihan dan pertengkaran. Ia tidak dapat dihancurkan oleh kekurangan, kelemahan maupun keterbatasan lahiriah… karena ketika kita berani mengikatkan diri dalam sebuah komitmen, kita telah ‘mati’ terhadap kepentingan diri sendiri.

Izinkan saya menyimpulkan tulisan ini dengan kalimat seorang perempuan bijak yang saya temukan beberapa waktu lalu:

“In the final analysis, commitment means: ‘Here I am. You can count on me. I won’t fail you.’”

Menoleh Sekilas.

Saya tidak akan melupakan malam itu. Sembilan tahun yang lalu, ketika saya terduduk di atas tempat tidur dengan tatapan kosong dan sisa airmata yang sudah mengering di pipi.

Saya tidak lagi sanggup mengalirkan airmata. Tangis saya sudah kering. Telinga saya tersumpal oleh earphone yang terus melantunkan lagu-lagu rohani, namun saya tak lagi mendengar sepatah kata pun.

Yang ada di benak saya hanya satu: Saya ingin mati. Dengan mudah dan cepat.

Saya pecinta produk instan, mulai dari mie, junk food, makanan ringan, sampai kematian. Saya tidak ingin merasa sakit hanya untuk meninggalkan dunia ini, tapi saya betul-betul siap untuk pergi. Apapun akan saya lakukan, asal saya tidak perlu berurusan dengan segala hal yang menyakitkan. Menyakitkan tubuh, maupun jiwa saya.

Kehampaan itu menyelimuti saya, sama pekatnya seperti kegelapan yang menaungi kamar saat lampu dimatikan. Segala sesuatu seakan sirna dengan perlahan, memudar dari jarak pandang dan pendengaran saya. Semuanya menjadi kabur. Saya siap untuk pergi.

Sampai lagu itu terdengar.

Lagu dari earphone yang tadinya tidak sanggup menembus telinga saya yang tuli oleh rasa sakit. Sebaris kata yang sejak tadi berputar tanpa henti dalam walkman, namun tak mampu singgah di benak saya yang terfokus pada cara mengakhiri nyawa. Melodi sederhana yang tiba-tiba meledak bagai bom di pikiran saya, entah oleh apa, dan mengapa.

Dan bersamaan dengan tergugahnya sel-sel otak saya, kalimat berikutnya singgah di telinga saya.

Kenapa mau mengakhirinya dengan cara seperti ini?
Kenapa semua yang sudah kamu lakukan harus menjadi sia-sia?
Untuk apa jerih payahmu, jika semua berakhir sampai di sini?

Saya mengingat malam itu seperti baru kemarin.
Peristiwa sembilan tahun lalu, ketika saya terduduk di atas tempat tidur dengan tatapan kosong dan tidak lagi sanggup mengalirkan airmata.

Semua berubah ketika suara itu bergema di benak saya. Semua berubah ketika pertanyaan-pertanyaan sederhana itu mengguncang kesadaran saya dengan cara yang tak terpahami. Semua berubah ketika airmata saya, yang sudah kering akibat terlalu banyak menangis, kembali mengalir. Satu-satu.

Malam itu, Ia menyelamatkan bukan hanya nyawa saya, namun juga jiwa saya.

The Calling – 3 (Analogi Lantai 20).

Sebuah percakapan tentang Panggilan Hidup –antara saya dan seorang sahabat—beberapa jam lalu, sambil menikmati bakpia kacang hijau. 🙂

Sahabat: Kita harusnya belajar dari mereka yang udah melangkah duluan. Ibarat tangga, mereka udah naik sampai lantai 20, kita masih di lantai 2. Ya terang aja kita belom bisa ngeliat apa-apa. Tapi mereka yang udah di lantai 20 itu, bisa melihat segala keindahan dari sana. Pemandangan yang jauh lebih luas, yang gak akan bisa dilihat oleh kita yang masih di bawah.

Saya: Iya. Tapi untuk bisa begitu, kita harus percaya dulu, bahwa keindahan itu memang ada. Gimana bisa ngikutin, kalau kita nggak punya keyakinan bahwa sesulit apapun lahan yang kita lalui, seberat apapun medan yang kita tempuh, kita pasti akan menemukan keindahan itu? Bukankah itu yang bisa bikin kita terfokus pada sebuah tujuan, dan nggak berpaling dari prosesnya? Perjalanan dari lantai 2 ke lantai 20 itu gak enteng, lho.

Sahabat: Ya, yang pertama diperlukan emang fondasi yang kuat dulu. Kepercayaan. Baru habis itu mulai melangkah. Kalau fondasi udah terbangun, bisa dipastikan bahwa kita nggak bakal berhenti di tengah jalan. Bahwa apapun yang terjadi, sesukar apapun kondisinya, kita akan terus melangkah sampai tujuan itu tergenapi.

Saya: Apalagi untuk ke lantai 20 itu, nggak ada eskalator. Kudu naik pake kaki sendiri… hehehe.

Ya, saya tahu ini sudah entri ketiga. Semoga tidak membosankan… karena saya masih punya emotional push untuk menulis hal serupa. 🙂 🙂

The Calling – 2.

Teman saya –seorang traveller— baru saja kembali dari misi sosial, menjadi relawan di daerah konflik.

Ia membawa ‘oleh-oleh’ berupa pencerahan bagi saya.

“Gue belajar banyak, terutama soal keberanian meninggalkan comfort-zone. Setelah sekian lama gue berada ditengah2 lingkungan sosial yang selalu mencap bahwa kegiatan sosial yang mblesek-mblesek dan melarat-larat itu kurang lebih konyol/merupakan aksi bunuh diri, eh gue ketemu dong dengan orang-orang yang punya pemikiran beda. Panggilan hidup mereka emang turun ke jalan dan hidup melarat-larat. Mereka harus menghadapi tantangan lingkungan sosial. Tapi berhubung itu panggilan hidup, mereka jalan terus – mengalami luka karena keputusan mereka.

Memang ada yang harus bergerak, supaya doa ga percuma. Supaya kasih itu bukan cuma di mulut.”

Pernyataan itu membuat saya tergelitik. Saya meraih buku besar tebal di sudut kamar, dan mulai membukanya.

Cari, cari, cari…

Itu dia.

Pandangan saya tertumbuk pada sebaris kalimat. Saya membacanya berulang-ulang, dan tidak bisa berhenti.

Teman saya betul. Doa saja tidak cukup. Bicara saja tidak cukup.

Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?” Maka sahutku: “Ini aku, utuslah aku!” (Yesaya 6: 8)