Topeng-Topeng Ceria

Di situ mereka duduk. Sekumpulan topeng ceria.

Si Badut tersenyum jenaka, membiarkan orang menertawakan dirinya dan turut tergelak absurd, tak peduli apa objeknya, dan mengapa.

Si Mafioso tersenyum simpul, matanya tajam menganalisa setiap celah bagai ular mengintai mangsa, sementara bibirnya tak lepas menyungging menghanyutkan.

Si Penyihir menyeringai, mengulurkan apel ranum yang disambut sukacita walau mematikan.

Si Don Juan tersenyum menawan, menebar pesona pada siapa saja yang mau terpikat dan percaya, tanpa peduli berapa banyak tangis akan keluar dari mata-mata indah bercelak itu.

Si Robin Hood tersenyum jumawa, memamerkan emas dan menuai kagum dari mereka yang memujanya bak pahlawan. Namun tak ada yang tahu bahwa harta itu takkan sampai ke melarat malang yang membutuhkan, melainkan aman di kantung kulitnya dengan sebilah belati tersembunyi, siap dihunuskan kapan saja pada kecoak pengganggu.

Di situ mereka duduk. Topeng-topeng ceria, bersuka ria. Memotong kue tar, menikmati tanpa sempat meliriknya. Menelan sepotong keindahan untuk dikeluarkan sebagai sampah esok paginya. Membuang lilinnya karena waktu tak berarti apa-apa, dan penandanya pun jadi tak berguna.

Di sudut sepi, seorang pengelana duduk sendiri. Matanya sarat arti, namun tubuh rentanya membuatnya tak layak dipandang. Di depannya juga terletak sepotong tar indah. Lilinnya masih utuh. Glazurnya bahkan tak tersentuh.

“Mengapa tak dimakan?” Tanya pramusaji.
Ia menggeleng. “Terlalu indah, Nona. Sayang bila esok sudah jadi kotoran tubuhku yang lemah ini.”
Pramusaji menatapnya tak mengerti. “Tapi tar memang untuk dinikmati. Akan rusak bila tidak, dan mubazir.”
Pengelana tersenyum lembut. “Aku tahu, Nona. Karena itu tak kusentuh keindahan ini. Kusimpan bagi si melarat malang yang terlupakan. Perut seperti itu, Nona, lebih layak menerimanya.”

Salah Satu Hari Terbaik

Hari ini adalah salah satu hari terbaik saya. WHY? Karena pagi tadi, saya (akhirnya) ketemu lagi dengan seorang sahabat. Ia sedang menetap di Belanda, dan komunikasi kami selama ini amat dibatasi jarak (dan tarif telepon yang mahalnya selangit).

Ia pulang ke Indonesia untuk memperpanjang visa. Bawaannya? Dua buah koper. Tapi bukan berisi pakaian, bukan juga buah tangan, melainkan setumpuk arsip. “Balik Indo bukan buat liburan,” katanya sambil tertawa lepas ketika saya menyinggung tentang holiday season. Jam kerja sahabat saya ini memang super duper padat. Hampir bisa dibilang 24/7, dan tak kenal istilah 8 to 5. Selain menyita energi dan waktu, pekerjaannya menuntut stamina dan kesiapan tinggi, karena salah satu ‘tugas’nya adalah melanglang buana ke berbagai negara dan benua, untuk istilah-istilah ‘berat’ macamnya simposium & conference.

Namanya Audrey. Ia adalah Presiden Mahasiswa Farmasi Sedunia yang pertama dari Asia. Prestasi yang luar biasa, mengingat selama puluhan tahun Indonesia gagal mengukir prestasi di mata dunia dalam bidang farmasi, dan baru kali inilah Asia ‘menelurkan’ presiden wanita pertama bagi organisasi internasional raksasa ini. Terlebih luar biasa lagi kalau mengingat usianya baru 21 tahun, dan sahabat saya ini besar di sebuah kota kecil bertajuk Sukabumi.

Ketika melihat wajahnya pagi ini, saya bertanya dalam hati, berubahkah ia?
Berubahkah Au-au yang saya kenal sebelum berangkat ke Den Haag?
Saya tak ingin ia berubah. Tapi, bagaimanapun, ia lebih ‘canggih’ dari selebriti Indonesia sekarang.

Audrey datang.
Dalam balutan sederhana kemeja cokelat-putih dan celana panjang hitam, tanpa pulasan make-up, dengan rambut tergerai polos.
Seseorang menyapanya ‘Ibu Presiden’. Seorang teman bahkan memperkenalkan anak balitanya dengan kalimat, “Kenalin, ini Tante Presiden.”

Audrey tergelak lepas. Sama sekali tak memancarkan binar jumawa, apalagi keangkuhan.

Sorot matanya tetap sama.
Senyumnya tetap sama.
Tawanya tetap sama.
Candanya tetap sama.
Kalimat-kalimatnya tetap sama.
Sederhana, membumi apa adanya.

Ia tak pernah berubah.

Hari ini adalah salah satu hari terbaik saya.
Di tengah gemerlap keberhasilan dan popularitas yang menyilaukan, sahabat saya tetap tak artifisial.

Sejenak Memandang…


Gramedia, 15 November 2006

Saya sedang asyik melihat pigura cantik berbentuk kubus di toko buku itu, ketika tawa nyaring menerobos telinga saya. Impuls, saya mengalihkan perhatian, penasaran akan sumber suara yang tak jauh dari punggung saya.

Di situ mereka berdiri. Seorang ayah dengan anak balitanya, di tengah lorong rak alat tulis. Sang ayah mengayun putranya sambil bercanda lepas, menikmati momen itu sepenuhnya. Tawanya merekah dengan cinta yang hanya seorang ayah yang punya.

Wajah si bocah tak terlihat karena kami saling membelakangi. Namun, gelak sang ayah yang murni bahagia dan binar matanya –yang tak peduli tatapan orang-orang yang melintas di lorong yang sama- seketika menghangatkan hati saya.
Si bocah aman dalam lengan-lengan kuat, menikmati setiap ayunan dan keceriaan tulus yang terpancar dari wajah ayahnya.

Semua berlangsung hanya dalam hitungan detik.
Mungkin kedengarannya berlebihan, namun bagi saya, waktu seolah berhenti sejenak untuk tersenyum kepada mereka. Mereka yang dengan gembira berdiri di tengah lorong, tak kuatir akan pandangan aneh orang-orang yang lalu lalang. Mereka bahagia. Mereka memiliki waktu. Dan dunia.

Panggilan Ayah membuat saya beranjak dengan enggan. Sambil melangkah, saya menoleh, ingin mengabadikan momen tersebut dalam memori saya, sekaligus melihat wajah bocah yang kini telah menyandarkan kepala dengan nyaman di pundak sang ayah.

Pandangan kami bertemu.

Bocah itu menderita Down Syndrome.

Untuk ‘daddy’ Steven, makasih ya buat fotonya yang sangat touching. Alex, semoga cepat besar dan bisa bilang ‘Auntie’ 🙂

Obrolan Tentang Rumah


Matius 7:25.

Tidak perlu buka Alkitab dulu, karena saya enggak akan membahas ayat di sini. Saya hanya tertarik pada 3 kata di dalamnya: hujan, banjir, dan angin. Gembala Sidang saya merumuskan definisi ketiga kata ini dengan fantastis: Hujan = serangan yang ditujukan kepada atap; Banjir = serangan yang ditujukan kepada fondasi; Angin = serangan yang ditujukan kepada dinding. Karenanya, kita perlu memiliki atap, fondasi, dan dinding rohani yang kokoh. Hebat euy, pikir saya. Sederhana, tapi bikin ‘melek’.

Saya tinggal di kompleks perumahan kecil di pinggiran Jakarta Barat, nyaris terkucil dari peradaban — mengingat tidak satu pun supir Bluebird (yang pool-nya di luar Jakarta Barat) mengetahui eksistensi pemukiman sederhana ini. Kenapa saya bilang sederhana? Wong airnya masih air tanah. Keruh kecokelatan dan membuat acara mandi jadi menyebalkan. Tidak ada fasilitas apapun, kecuali lapangan basket dan taman yang ditata seadanya. Rumah saya tidak besar, tidak mewah. Terletak di ujung gang, yang bikin maling ogah masuk saking terpencilnya. Tapi saya bersyukur, karena kami sekeluarga aman di dalamnya. Terlindung dari panas terik. Mau hujan enggak masalah, mau banjir silakan, mau badai hayuk.

Kalau ditanya, maukah punya rumah yang lebih gede? Tentu saya akan menjawab IYA (memangnya siapa yang enggak mau?) Tapi sebelum Yang Di Atas menganugerahi hunian yang lebih ‘wah’, terlebih dulu saya harus puas dengan apa yang ada sekarang. Dan daripada berangan-angan tentang enaknya tinggal di pemukiman elit Pondok Indah, lebih baik saya berfokus pada remeh-temeh seperti: memperkuat fondasi rumah, menambal retakan dinding, memulas warna tembok yang sudah pudar, dan memperbaiki atap yang bocor. KENAPA? Karena seperti yang Mas Matius (dan Gembala saya) bilang; atap, fondasi, dan dinding adalah 3 hal utama yang menentukan kokoh-tidaknya sebuah bangunan.

Hujan, banjir, dan angin adalah fenomena alam yang familiar dengan kehidupan manusia (kita belum ngomong badai, tsunami, angin puyuh, bahorok, puting beliung, dan gunung meletus, lho). Dengan kata lain, setiap orang pasti mengalami 3 hal tersebut. Minimal, Anda dan saya pernah ngerasain yang namanya kehujanan dan masuk angin. Kita enggak akan bisa mencegah hujan datang, karena emang udah kodratnya hujan pasti turun. Selama hukum alam masih berlaku, kita boleh yakin hujan akan senantiasa turun, angin bertiup, banjir melanda. Yang jadi pertanyaan bukanlah bagaimana cara meredakan fenomena alam tersebut, melainkan cara ‘mempertahankan rumah’ dan ‘melindungi diri’ agar tidak kebasahan dan kedinginan.

HOW?? Lagi-lagi sederhana. Kalau kita tidak bisa mencegah hujan datang, lebih baik pasang genteng yang kokoh. Kalau kita tidak bisa menghentikan angin bertiup, jangan punya dinding gedhek (itu lho, anyaman bambu). Kalau kita tidak tinggal di kawasan bebas banjir, sediakan budget untuk meninggikan fondasi rumah. Lebih baik mengeluarkan 5 juta untuk membangun fondasi, daripada 5 milyar untuk membangun rumah di atas fondasi seharga 500 ribu. Nilai sebuah rumah tidaklah lebih dari harga beton dan semen yang dipakai untuk membuat fondasinya. Dan sebagus-bagusnya rumah, siapa yang mau beli kalau atapnya dari rumbia??

Sebelum Tuhan mempercayakan rumah mewah di kawasan Menteng, mari bersyukur dengan sepetak hunian yang menjadi berkat kita saat ini. Pastikan fondasi, atap, serta dindingnya terbangun dengan kokoh. Minimal, cukup untuk melindungi kita dari terpaan hujan, banjir, dan angin. Kalau atap dan fondasi yang sekarang aja belum kuat, ngapain punya rumah 5 milyar?

p.s: ‘rumah’ di sini hanya metafora. Bentuk implisitnya? Monggo direnungkan 🙂

Reformat


Sebagai orang yang gaptek, saya tidak terlalu paham seluk-beluk komputer. Tapi ketika komputer saya mulai bandel, ‘susah diatur’, dan lelet setengah mati, saya tidak memerlukan otak seorang ahli komputer untuk menyadari: ada yang enggak beres nih!

Lambatnya komputer menyebabkan gangguan dalam banyak hal, karena saya termasuk orang yang ‘tidak bisa hidup tanpa komputer’. Plus, kegiatan socializing via internet jadi tidak nyaman lagi. Bayangkan, sejak menekan tombol power, butuh waktu 10 menit sampai komputer betul-betul siap dipakai. Untuk meng-connect ke internet dan membuka Yahoo! (first page-nya, lho, belum mail-nya), perlu 10 menit lagi.

Kalau tidak ingat bahwa komputer ini belum lama dibeli, saya nyaris mengikuti saran usil seorang teman, “pake lem biru aja! Lempar, beli baru.” Masalahnya, komputer saya bukan peranti jangkrik yang harus dimusnahkan karena ‘sudah enggak zamannya’. Segaptek-gapteknya, saya cukup engeh untuk tidak membuang komputer Pentium 4 hanya karena lambat, bandel, dan 101 alasan lain yang mengesahkan penggunaan lem biru.
Alasan logis saya yang pertama adalah, belinya pakai uang, dan cukup mahal. Alasan kedua, saya belum menguasai ilmu sulap mengubah daun pisang menjadi lembaran seratus ribu. Jadi, saya memutuskan untuk survive dengan komputer tercinta ini. Sampai akhirnya saya tak tahan lagi, dan menelepon seorang sepupu yang tidak segaptek saya.
Jawabannya ternyata simpel: komputer saya perlu diformat ulang. Dibersihkan dari file dan program yang bikin ‘berat’, supaya baik jalannya (mengingatkan saya pada lagu ‘Naik Delman’ zaman SD).

“Semua data yang ada di sini nanti bakal hilang,” jelasnya. Saya kontan melotot. Semua foto dan tulisan saya ada di komputer! Kiamat betul kalau sampai lenyap. “…tapi jangan khawatir, file-file yang masih terpakai bisa dicopy dulu ke disc. Setelah diformat, bisa dikembalikan lagi ke komputer,” sambungnya, membuat saya kembali bermafas lega.

Sampai hari ini, saya masih tetap gaptek. Tapi paling tidak, saya sudah tahu kalau komputer yang lelet dan bandel seyogianya tidak di-lem biru, melainkan diformat ulang. Dibersihkan dari program-program usang yang mengganggu, agar lancar jalannya dan bisa digunakan secara maksimal.

Mungkin hidup kita juga seperti itu. Kalau ada masih ada bagian yang ‘berantakan’, ‘susah diatur’, dan tidak berfungsi secara penuh, siapa tahu di dalamnya ada beberapa aspek yang perlu ‘dibersihkan’. Atau ‘direformat’ sekalian, kalau sudah ‘terlanjur parah’ kayak komputer saya. Dan setelah itu pun, harus sering-sering meluangkan waktu khusus untuk ‘mendefragnya’ (ini istilah komputer untuk merapikan atau menata ulang) supaya kondisinya tetap terjaga dan bisa dipakai dengan maksimal. Apalagi kalau kita bicara tentang destiny, visi, de-es-be-nya. Walaaah… yang pasti enggak cukup cuma jadi ‘warga negara yang baik dan taat hukum’. Kita sangat perlu kehidupan yang selaras kebenaran, fondasi yang kokoh, ‘stamina’ rohani yang kuat, serta arahan yang jelas. Dan untuk menginstall itu semua dalam hidup kita, enggak bisa pakai software antik zaman baheula!

Sering-seringlah memformat dan mendefrag komputer rohani ini. Percayalah, Anda sendiri yang akan menikmati hasilnya. Dan saya rasa, Sang Mastermind Agung juga menciptakan kita untuk jadi gadget berteknologi tinggi nan mutakhir, bukan peranti jangkrik keluaran abad 19 yang sudah bodol dan siap di-lem biru…

p.s: buat yang masih belum yakin dengan tulisan di atas, izinkanlah saya mengajukan pertanyaan ini: seandainya Anda jadi Bill Gates, Anda akan memilih menggunakan yang mana, laptop canggih dengan Intel Centrino Duo Mobile Technology, atau mesin ketik zaman Asrul Sani?
Silakan dijawab, lho…